Anda di halaman 1dari 5

Pedet yang beru lahir membutuhkan perawatan khusus, ketelitian, ketekunan

daripada sapi yang sudah dewasa, hal ini dikarenakan sekitar 20% dari pedet yang
dilahirkan akan mengalami mortalitas pada periode umur 3 bulan pertama. Pedet yang
baru lahir diberikan kolostrum untuk membentuk antibody. Kolostrum merupakan
cairan yang pertama keluar dari kelenjar ambing setelah pedet dilahirkan hingga 3-5
hari, kolostrum ini sangat penting untuk membantu pedet bertahan hidup kedepannya.
Sebagaimana menurut Noegroho (2019) bahwa Kolostrum mengandung komponen
yang sangat penting bagi pedet yaitu Immunoglobulin yang terkandung dalam protein
kolostrum serta lemak kolostrum. immunoglobulin bertugas sebagai komponen untuk
membentuk antibodi dan immunitas pedet, sedangkan lemak merupakan sumber energi
bagi pedet. Salah satu cara perawatan pedet yaitu dengan memisahkan kandang dengan
cara membuat kandang khusus yang hanya bisa dimasuki pedet agar dapat keluar masuk
untuk menyusu ke induknya. Sebagaimana menurut Achadri ( 2019) Dilakukannya
pemisahan kandang pedet di dalam kandang komunal dengan teknik membuat
kandangyang hanya bisa dimasuki oleh pedet sehingga pedet dapat keluar masuk leluasa
untuk makan dan minum, serta menyusu ke induknya.Penerapan manajemen
pemeliharaan ini perlu dilakukan sejak pedet baru lahir untuk mencegah kematian
pedet yang tinggi. Sementara itu pemberian pakan pada pedet dilakukan secara
bertahap, hal ini dikarenakan saluran pencernaan pedet belum berfungsi secara normal.
Sebagaimana menurut Sari (2017) bahwa saluran pencernaan pedet saat lahir belum
berkembang dan berfungsi dengan baik, sehingga belum mampu untuk mencerna pakan
padat, rumput, atau sumber serat lainnya. Oleh karena itu, pemberian pakan padat dan
hijauan (pakan sumber serat) pada pedet dilakukan secara bertahap.

Achadri, Y., Sendow, C. J. B., dan Ratnawaty S. 2019. Manajemen Pemeliharaan untuk
Menurunkan Tingkat Mortalitas Pedet Sapi Bali. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. 269-276
Noegroho, V. A. K. 2019. Pengaruh Umur Kolostrum Terhadap Kualitas Kolostrum
Sapi Perah Pfh Di Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang. Fakultas Peternakan,
Universitas Brawijaya, Malang (Skripsi)
Sari, U. K. I. 2017. Evaluasi Kualitas Nutrisi Calf Starter Untuk Pedet Sapi Perah.
Fakultas Pertanian Peternakan, Universitas Muhammadiyah Malang (Skripsi)
Sapi dara (heifer) merupakan sapi pada periode yang paling menentukan terhadap
produksi dsri lepas sapih sampai laktasi pertama kali yaitu berkisar antara umur 12
minggu sampai dengan 2 tahun, sapi dara akan terus tumbuh sampai umur 4 – 5 tahun.
Perawatan sapi dara meliputi pemberian pakan yang berkualitas, karena pakan yang
berkualitas akan mempengaruhi dewasa tubuh dan dewasa kelamin pada ternak, selain
itu pada sapi dara juga dilakukan pemotongan kuku secara rutin sehingga kuku sehat
dan perlu dimandikan agar sapi bersih dan terhindar dari penyakit. Sebagaimana
menurut Azhari (2017) Strategi dalam pemeliharaan sapi dara diantaranya meliputi
pemberian pakan, peningkatan manajemen pengawasan, penggunaan konsentrat, dan
penyediaan kandang yang memadai. Pemeliharaan sapi dara yang baik dapat ditunjang
melalui pemberian pakan yang baik dan cukup nutrisinya. Tanda-tanda birahi pada
ternak yaitu abang, aboh, anget, vulva bengkak, keluar lendir, gelisah, ekor diangkat ke
atas dan menaiki sapi lain. Sementara pemberian pakan untuk sapi beberapa bulan
menjelang melahirkan yaitu dengan meningkatkan pemberian konsentrat dan hijauan.
Sedangkan beberapa minggu sebelum melahirkan dilakukan challenge feeding yaitu
pemberian konsentrat sebelum melahirkan. Menurut Rahman (2013) yang mneyatakan
bahwa pemeliharaan sapi perah bunting adalah dengan member ransum dan menjaga
kesehatannya. Sapi perah yang mendapat ransum yang baik dalam kuantitas dan kualitas
serta kesehatan yang terpelihara baik akan melahirkan pedet yang sehat dan kuat.
Kualitas pakan yang kurang baik dengan jumlah yang kurang pada induk dapat
menyebabkan perombakan energi tubuh induk untuk menghasilkan susu bagi pedet.

Azhari, H. S. 2017. Tatalaksana Pemeliharaan Sapi Perah Periode Dara di CV. Capita
Farm Desa Sumogawe Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang Jawa Tengah.
Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang (Skripsi)
Rahman, S., dan A. Rauf. 2013. IbM Kelompok Usaha Sapi Perah Dan Pengolah
Dangke Di Kabupaten Enrekang. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. 4(1) : 48-62
Fisiologis lingkungan merupakan faktor yang mempengaruhi produktivitas ternak
dimana faktor ini berpengarih terhadap kesehatan ternak. Faktor fisiologis ini meliputi
suhu udara, kelembaban udara, radiasi matahari, dan kecepatan angin. Sebagaimana
menurut Rosidi (2017) bahwa kondisi lingkungan merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap perkembangan serta produktifitas sapi, kondisi lingkungan juga
sangat berpengaruh terhadap penyebaran penyakit pada ternak. Faktor yang
mempengaruhi kondisi lingkungan meliputi suhu lingkungan, kelembapan udara dan
radiasi matahari. Terdapat beberapa dampak dari pengaruh lingkungan ternak yang
terkena cekaman panas yaitu nafsu makan menurun, konsumsi minum meningkat,
metabolisme menurun dan katabolisme meningkat. Sebagaimana menurut Kurniawan
(2016) bahwa Secara fisiologis ternak atau sapi FH yang mengalami cekaman panas
akan berakibat pada : 1) penurunan nafsu makan; 2) peningkatan konsumsi minum; 3)
penurunan metabolisme dan peningkatan katabolisme; 4) peningkatan pelepasan panas
melalui penguapan; 5) penurunan konsentrasi hormon dalam darah; 6) peningkatan
temperatur tubuh, respirasi dan denyut jantung; dan 7) perubahan tingkah laku dan 8)
meningkatnya intensitas berteduh sapi. Suhu udara adalah ukuran intensitas panas yang
ditunjukan dalam satuan derajat celcius, suhu udara ini dibagi menjadi suhu udara di
luar kandang dan suhu udara di dalam kandang. Sebagaimana menurut Astuti dan
Jaiman (2019) yang menyatakan bahwa Suhu udara merupakan ukuran intensitas atau
unit standar yang biasanya ditunjukkan dengan satuan derajat celcius (oC), yaitu
rata rata suhu pada lingkungan air dan udara pada sekitar ternak yang berhubungan
padastatus fisiologis ternak. Cara pengukuran suhu udara ini menggunakan termometer
digital caranya yaitu dengan meletakkan termometer di dalam dan di luar kandang,
diamati dan dicatat hasilnya. Kelembaban udara merupakan jumlah konsentrasi uap air
yang terdapat di udara, kelembaban yang tinggi dapat mengurangi jumlah panas akibat
penguapan. Kelembaban udara dapat diukur dengan menggunakan hygrometer.
Temperature humidity index (THI) merupakan suatu indeks yang meliputi kombinasi
suhu dan kelembaban udara yang menunjukkan tingkat stress terhadap lingkungannnya.
Sebagaimana menurut Mefriyanto (2017) Temperature humidity index (THI)
merupakan estimasi kondisi lingkungan yang terdiri dari temperatur udara dan
kelembaban terhadap kondisi ternak yang dapat digunakan sebagai indikator tingkat
stres. Standar THI yang normal pada ternak yaitu suhu yang tidak lebih dari 20oC
dengan ketentuan THI < 72

Astuti, F. K., dan E. Jaiman. 2019. Perbandingan Pertambahan Bobot Badan Ayam
Pedaging Di CV Arjuna Grup Berdasarkan Tiga Ketinggian Tempat Yang
Berbeda. Jurnal Sains Peternakan. 7(2) : 75-90
Kurniawan, S. B. 2016. Tampilan Fisiologis, Tingkah Laku Berbaring Dan Produksi
Susu Sapi Perah Laktasi Pada Ketinggian Tempat Yang Berbeda Di Kabupaten
Semarang. Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang
(Skripsi)
Mefriyanto, Y. A. 2017. Respon Fisiologis Domba Lokal Jantan Muda Yang Diberi
Pakan dengan Kandungan Protein dan Energi yang Berbeda. Fakultas Peternakan
dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang (Skripsi)

Rosidi, M. R. 2017. Tatalaksana Kesehatan Dan Pencegahan Penyakit Pada


Penggemukan Sapi Potong Di CV Indonesia Multi Indah Desa Langse Kecamatan
Margorejo Kabupaten Pati. Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas
Diponegoro, Semarang (Skripsi)
Fisiologi ternak merupakan cara yang digunakan untuk mengetahui fungsi tubuh ternak
secara normal serta pengaturannya atas fungsi dalam sistem tersebut sehingga dapat
diketahui kesehatan ternak dan kenyamanan ternak. Sebagaimana menurut Gaina dan
Foeh (2018) yang menyatakan bahwa Kondisi status fisiologis ternak merupakan
indikasi dari kesehatan dan adaptasi ternak terhadap lingkungannya. Respons
fisiologis ternak, meliputi denyut jantung, frekuensi pernafasan, dan suhu rektal.
Suhu rektal ternak merupakan ukuran parameter dari suhu tubuh dari hasil
paparan suhu dan kelembapan lingkungan. Hal ini sesuai dengan Saiya (2014) yang
menyatakan bahwa Suhu rektal merupakan salah satu parameter dari pengaturan suhu
tubuh yang umum digunakan, karena kisaran suhunya relatif lebih konstan dan lebih
mudah pengukuran di lapangan. Pengukuran suhu rektal ini menggunakan termometer
rektal, caranya yaitu dengan menghidupkan termometer hingga konstan setelah itu
dimasukkan ke rektal sapi sampai berbunyi. Selanjutnya pengukuran frekuensi denyut
nadi dilakukan dengan mencari denyutan caranya dengan memegang pangkal ekor sapi
selama 1 menit. Normalnya frekuensi denyut nadi sapi sekitar 50-60 kali per menit.
Hewan yang mengalami peningkatan denyut nadi disebabkan karena stress, sakit,
terkejut, serta temperatur lingkungan yang berubah-ubah. Sebagaimana menurut Anton
et a., (2013) bahwa peningkatan frekuensi denyut nadi pada penelitian inidisebabkan
oleh stres ringan sebagai akibat darikegiatan transportasi seperti penanganan yang
kurang baik oleh petugas penanganan hewan (animal handlers) seperti kurangnya
pemberianpakan dan minum, perlakuan kasar terhadapsapiyang menyebabkan ternak
merasa sakit, danterkejut selama bongkar muat serta adanya perubahan temperatur
lingkungan dari sebelum, selama dan setelah transportasi. Frekuensi pernafasan
tergantung dari jenis hewan ternak, rata rata pernafasan sapi 19 kali permenit.
Kecepatan nafas pada hewan dipengaruhi oleh kondisi panas tubuh, suhu lingkungan,
pakan, usia dan stress. Menurut Wijayanti dan Ardigurnita (2020) bahwa Frekuensi
pernapasan yang mengalami kenaikan salah satu bentuk kemampuan tubuh melepas
panas dalam jangka waktu yang singkat, namun tingginya frekuensi pernapasan tidak
selalu menunjukkan bahwa hewan tersebut berada dibawah tekanan panas.

Gaina, C. D., dan N.D. F. K. Foeh. 2018. Studi Performa Umum Tubuh dan Status
Fisiologis Kuda Sumba. Jurnal Kajian Veteriner. 6(2): 38-44
Saiya, H. V. 2014. Respons Fisiologis Sapi Bali Terhadapperubahan Cuaca Di
Kabupaten Merauke Papua. Jurnal Agricola. 4(1): 22-32
Wijayanti., dan F. Ardigurnita. 2020. Efek Pemberian Ekstrak Buah Parijoto (Medinilla
speciosa) terhadap Suhu Tubuh, Frekuensi Pernapasan dan Profil Sel Darah Putih
Kambing Peranakan Etawa. Jurnal Agripet. 20(1): 96-105

Anda mungkin juga menyukai