Anda di halaman 1dari 7

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Mengukur performans ayam petelur dari penyusutannya

Ayam petelur diternakkan untuk menghasilkan telur yang nantinya

akan dijual. Salah satunya untuk mengetahui seberapa tingkat keberhasilan

usaha beternak ayam petelur, diperlukan beberapa alat ukur untuk mengetahui

perfomans ayam petelur salah satunya adalah dilihat dari penyusutannya, ada

3 deplesi (susut) yang bisa dipakai yaitu:

1. Susut (deplesi) ayam dalam 1 minggu :

Cara ini dapat di hitungdengan cara Jumlah kumulatif ayam yang

mati dan “culling” dalam seminggu dibagi jumlah ayam pada awal minggu

dikalikan persen (%). Angka standar maksimumnya yaitu

0,20% per minggu. Jika melebihi angka standar dapat diambil kesimpulan

penyusutan yang cukup tinggi dan bisa menyebabkan kerugian.

2. Susut (deplesi) ayam dalam 1 bulan :

Jumlah kumulatif ayam mati dan “culling” dalam sebulan dibagi

jumlah ayam pada awal bulan dikalikan persen (%). Angka standar

maksimum 0,84% per bulan Jika melebihi angka standar dapat diambil

kesimpulan penyusutan yang cukup tinggi dan bisa menyebabkan

kerugian.

3. Susut (deplesi) ayam dalam 1 periode, umur 20 – 80 minggu atau sampai

ayam afkir :
Jumlah kumulatif ayam mati (standarnya 1/3 bagian) dan “culling”

(standarnya 2/3 bagian) dalam satu periode dibagi jumlah ayam pada awal

periode (sejak Hen Week 5%) dikalikan persen (%). Angka standar

maksimum 10% per periode Jika melebihi angka standar dapat diambil

kesimpulan penyusutan yang cukup tinggi dan bisa menyebabkan

kerugian.

3.2 Mengukur performans ayam petelur dari presentase produksi telur harian

(Hen Day)

Produksi telur harian (Hen Day Production) adalah Presentase dari

total telur yang diproduksi oleh sejumlah ayam dalam kurun waktu tertentu

(Dadang, 2006, Leke 2015). Hen day dapat dihitung dengan cara dihitung

dari jumlah produksi telur yang diperoleh dibagi jumlah ayam yang dipelihara

dikalikan 100%.

Angka penelitian dengan kisaran Hen Day Production antara 73,93 –

88,75 % masih berada pada produksi yang maksimal. Amrullah (2003)

menyatakan bahwa ayam petelur unggul dapat berproduksi sampai 70% atau

275 butir per tahun.

Sebagai contoh jumlah ayam layer pada pagi hari 1.000 ekor, total

produksi telur dalam satu hari 850 butir, maka Han day-nya 850 butir/1.000

ekor x 100% = 85%. Maka dapat disimpulkan performans ayam petelur masih

baik karena masih pada angka han day yang standar strain yaitu 73 – 88%.
3.3 Mengukur performans ayam petelur dari bobot telur yang dihasilkan

Egg weight adalah bobot telur (kg) dibagi jumlah telur (butir) x 1.000 =

gram/butir telur. Standarnya minimum 62,5 gram/butir. Sedangkan Egg mass

adalah bobot telur (kg) dibagi jumlah ayam x 1.000 ekor (kg/1.000 ekor).

Standarnya 52 – 53 kg/1.000 ekor. (Admin, 2015). Cara lain untuk menentukan

produktivitas telur ayam, ialah mengamati kemampuan ayam untuk memproduksi

telur tiap harinya dalam bentuk berat telur dibandingkan dengan jumlah ayam

petelur yang ada (North dan Bell, 1990 ; Fenita, Y., 2011).

Rendahnya produktivitas disebabkan belum mampunya peternak

mengatasi “micro climate” dimana adanya pengaruh yang negative dengan

tingginya suhu dan kelembaban kandang, kepadatan kandang yang terlalu tinggi,

serta intake energi dan protein yang masih rendah di bawah standar, sehingga

kemangkusan maksimal belum bisa dicapai. (Fenita, Y., 2011). Bell dan Weaver

(2002) dalam Fenita, Y. (2011), bahwa kebutuhan protein per hari untuk ayam

petelur selama periode produksi adalah 17 gram/ekor. Bell dan Weaver

melakukan penelitian dengan menggunakan ayam tipe ringan.

Konsumsi ransum yang diberikan ayam ras menjadi salah satu hal

terpenting yang dapat mempengaruhi bobot telur. Kualitas ransum yang kurang

baik akan menghasilkan kualitas telur menjadi rendah. Nutrien dalam ransum

yang dapat mempengaruhi kualitas telur antara lain; protein, mineral, dan vitamin

(Saputra dkk., 2016; Utomo, D. M., 2017).

Di sisi lain rendahnya bobot telur dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Faktor tersebut seperti: status kesehatan ternak, penyerapan nutrsi ransum,


cekaman, dan suhu lingkungan. Saputra dkk., (2016) dalam Utomo, D. M. (2017)

menyatakan bahwa konsumsi ransum menjadi salah satu faktor terpenting yang

mempengaruhi bobot telur. Faktor makanan terpenting yang diketahui

mempengaruhi besar telur adalah protein dan asam amino yang cukup dalam

ransum.

Bobot telur dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti; sifat genetik, tingkat

dewasa kelamin, ransum, obat-obatan, umur dan bobot ayam. Nilai koefisien

keragaman bobot ayam terhitung 7% dari 400 ekor ternak yang ditimbang

sebelum penelitian. Sejalan dengan pernyataan Hartono dan Kurtini (2015) dalam

Utomo, D. M. (2017) bahwa bobot ayam dan bobot telur mempunyai korelasi

positif, ayam dengan bobot yang lebih berat memproduksi telur yang lebih berat

dibandingkan ayam dengan bobot tubuh yang ringan.

Untuk strain ayam rataan berat telur yang paling kecil adalah strain Super

Harco yaitu 60.11 gram diikuti stain Dekalb Warren yaitu 60.22 gram dan paling

besar adalah strain Lochmann yaitu 60.97 gram dan hal ini sesuai dengan

yangdikatakan oleh Yuwanta (2010) dalam Fenita, Y. (2011) berat telur

dipengaruhi oleh laju produksi dan genetik, dimana penelitian strain ayam berbeda

tentu berat telur juga berbeda.


3.4 Mengukur performans ayam petelur dari Konversi Ransum (FCR)

Konversi ransum menunjukkan kemampuan ternak dalam mengubah

ransum menjadi produk telur. Nilai konversi ransum merupakan perbandingan

antara jumlah ransum yang dikonsumsi dengan jumlah bobot telur yang dihasilkan

Standart acuan untuk nilai FCR dari ISA Brown pada umur 30-38 minggu adalah

1.93, artinya 1,93 pakan menghasilkan 1 kg telur. (Utomo, D. M., 2017). Menurut

Admin (2015) FCR total adalah jumlah pakan kumulatif sejak H.W 5% s.d umur

80 minggu/afkir. Misal habis 44.974 kg, dibagi jumlah telur kumulatif 19.934,1

kg = 2,26. Standarnya 2,10 – 2,20.

Walukow, K. S., dkk, (2016) menjelaskan konversi ransum dapat

digunakan sebagai gambaran koefisien produksi, semakin kecil nilai konversi

semakin efisien penggunaan ransum. Puspita (2008) menjelaskan bahwa konversi

ransum erat kaitannya dengan konsumsi ransum dan produksi telur. Semakin

rendah nilai konversi ransum yang diperoleh, maka semakin efisien ternak. Hal ini

didukung oleh pendapat Anggorodi (1994) yang menyatakan bahwa tinggi

rendahnya konversi ransum sangat ditentukan oleh keseimbangan antara energi

metabolisme dengan zat-zat nutrisi terutama protein dan asam-asam amino.

Konversi pakan yang tinggi pada pakan lebih disebabkan karena konsumsi pakan

yang rendah yang menyebabkan kecukupan asupan zat makanan ayam untuk

memproduksi telur menjadi sedikit lebih rendah.


3.5 Faktor yang mempengaruhi performans ayam petelur

Kualitas telur umumnya bergantung pada saat sebelum dan atau sesudah

oviposisi telur itu sendiri. Telur ketika berada dalam saluran reproduksi induk

ayam selama lebih dari 24 jam lamanya dan mengalami banyak proses yang

mempengaruhi kualitasnya. Yuwanta, (2004) dalam Utomo, D. M. (2017)

menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas telur sebelum

oviposisi antara lain faktor genetik, umur dan berat induk, nutrisi ransum,

penyakit, dan suhu lingkungan. Faktor yang mempengaruhi produksi telur

diantaranya: perkandangan, bibit, ransum, dan kondisi kesehatan ayam.

Di sisi lain rendahnya bobot telur dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Faktor tersebut seperti: status kesehatan ternak, penyerapan nutrsi ransum,

cekaman, dan suhu lingkungan. Saputra dkk., (2016) dalam Utomo, D. M. (2017)

menyatakan bahwa konsumsi ransum menjadi salah satu faktor terpenting yang

mempengaruhi bobot telur. Faktor makanan terpenting yang diketahui

mempengaruhi besar telur adalah protein dan asam amino yang cukup dalam

ransum.

Bobot telur dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti; sifat genetik, tingkat

dewasa kelamin, ransum, obat-obatan, umur dan bobot ayam. Hartono dan Kurtini

(2015) dalam Utomo, D. M. (2017) menyatakan bahwa bobot ayam dan bobot

telur mempunyai korelasi positif, ayam dengan bobot yang lebih berat

memproduksi telur yang lebih berat dibandingkan ayam dengan bobot tubuh yang

ringan.
DAFTAR PUSTAKA

Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Seri Beternak Mandiri. Lembaga


Satu Gunungbudi, Bogor.
Dadang, R. A. 2006. Effect of rice bran and phytase supplementation on egg
laying performance and egg quality of laying hens. Thesis.
University Putra Malaysia..
Admin. 2015. Ayam Petelur : Mengukur dan Menghitung Performans.
http://arboge.com/ayam-petelur-mengukur-dan-menghitung-
performans/ (diakses 7 Mei 2020)
Fenita, Y. (2011). Analisis faktor-faktor pengelolaan manajemen usaha
peternakan ayam ras petelur di Kabupaten 50 Kota Provinsi
Sumatera Barat. Jurnal AGRISEP Kajian Masalah Sosial Ekonomi
Pertanian dan Agribisnis, 10(2), 225-241.
Utomo, D. M. (2017). Performa ayam ras petelur coklat dengan frekuensi
pemberian ransum yang berbeda. AVES: Jurnal Ilmu
Peternakan, 11(2), 3-3.
Walukow, K. S., Laihad, J., Leke, J. R., & Montong, M. (2016). Penampilan
Produksi Ayam Ras Petelur MB 402 yang Diberi Ransum
Mengandung Minyak Limbah Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis
L). ZOOTEC, 37(1), 125-135.

Anda mungkin juga menyukai