Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

DASAR REKAYASA PRODUKSI BIOMASSA (BA-2105)

PENENTUAN SUHU DAN KELEMBABAN TERBAIK PADA SAPI PERAH


(FRIES-HOLLAND) DI KONDISI SUB-TROPIS

Oleh
Kelompok 8
Nabila Adawiyyah Swasana 11419020
Azizah Nur Fitriani Ikhfar 11420007
Zahira Amalia 11420010
Ahmad Auni Adyla 11420024
Charisma Diah Putri 11420034

SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI PROGRAM REKAYASA


INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG JATINANGOR

2021/2022
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Psychrometric
2.2 Pengaplikasian Psikometrik pada Livestock Housing
2.3 Analisis Permasalahan
2.4 Solusi Permasalahan Terkait Suhu dan Kelembaban

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia, sehingga
ketersediaan pangan perlu mendapat perhatian yang serius baik kuantitas maupun
kualitasnya. Bahan pangan dapat berasal dari tanaman maupun ternak. Produk ternak
merupakan sumber gizi utama untuk pertumbuhan dan kehidupan manusia. Bahan
pangan asal ternak seperti daging, telur, susu, serta olahannya mudah rusak dan
merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba. Cemaran mikroba pada
pangan asal ternak yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Bahan pangan asal
ternak dapat berupa daging, telur dan susu (Gustiani, 2009).
Kandang ternak merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi hewan ternak,
kesehatannya, dan produktivitasnya. Suhu tubuh ternak beserta kotoran ternak dapat
mempengaruhi suhu dalam kandang ternak. Apabila suhu dalam kandang ternak
meningkat pada suhu tinggi pula, hal itu dapat meningkatkan tingkat jenuh atau stress
pada sapi perah (Gustiani, 2009). Heat stress memiliki efek buruk pada produksi susu
dan reproduksi sapi perah (Hansen, 2007). Dalam pernyataan Hansen (2007), masalah
cekaman panas semakin meningkat karena peningkatan produksi susu menghasilkan
produksi panas metabolik yang lebih besar dan karena perubahan iklim global yang
seiring waktu turut meningkat pula. Besarnya tekanan panas, yang didefinisikan di sini
sebagai jumlah gaya eksternal pada hewan yang bekerja untuk memindahkan suhu
tubuh dari titik awal. Hal ini disebabkan oleh efek gabungan dari dry bulb temperature
(Tdb), kelembaban, radiasi matahari, dan kecepatan angin (WS). Berbagai indeks
digunakan untuk memperkirakan tingkat kenaikan panas atau suhu yang
mempengaruhi ternak dan hewan lainnya. Secara konseptual, sulit untuk memastikan
apakah THI merupakan pengukuran cekaman panas yang paling tepat pada sapi perah.
Oleh karena itu, pembahasan mengenai penentuan suhu dan kelembaban terbaik untuk
hewan sapi perah pada lingkungan sub-tropis sangat menarik dan perlu untuk dibahas
agar diperoleh hasil produksi susu yang optimal pula (Mader et al., 2006).

1.2. Tujuan
1. Menentukan suhu terbaik pada sapi perah (Fries-Holland) pada kondisi sub-
tropis
2. Menentukan kelembaban terbaik pada sapi perah (Fries-Holland) pada kondisi
sub-tropis
3. Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi heat stress pada sapi perah (Fries-
Holland)
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Psychrometric

Gambar 1. Diagram Psikrometrik


(Tomi, 2021)
Psikrometri merupakan kajian tentang sifat-sifat campuran udara dan uap air. Uap
air merupakan bentuk gas dari air pada temperatur di bawah titik uap air yang nilainya
tergantung pada tekanan atmosfer. (Widodo dan Syamsuri, 2008).. Grafik psikrometrik
adalah sebuah grafik atau bagan yang memuat komponen-komponen untuk menentukan
sifat/karakteristik udara. Grafik psikrometrik (psychrometric chart) berhubungan dengan
berbagai macam parameter yang termasuk di dalam neraca energi dan massa pada udara
lembap (Sugiarto, 2012). Pada grafik psikrometrik, sumbu vertical menunjukkan nilai
specific humidity, sedangkan sumbu horizontal menunjukkan nilai dry-bulb temperature.
Grafik psikometri memuat komponen-komponen yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi sifat-sifat termodinamika udara, diantaranya adalah temperatur bola
kering (dry bulb temperature), temperatur bola basah (wet bulb temperature), titik embun
(dew point), tekanan uap air (vapor press), entalpi, volume spesifik (spesific volume),
kelembapan relatif (relative humidity), dan kelembapan spesifik (humidity ratio) (Sugiarto,
2012)
Temperatur bola kering (TDB) merupakan temperatur yang diukur dan dibaca
melalui skala termometer sensor kering dan terbuka. Perubahan suhu DB menunjukkan
adanya perubahan panas sensibel. Temperatur bola basah (TWB) adalah kondisi temperatur
saat terjadi kesetimbangan antara campuran udara dan uap air. Temperatur bola basah
diukur menggunakan termometer yang dibalut kain kassa basah dan ditempatkan
pada aliran udara minimal 5 m/s. Perubahan suhu WB menunjukkan adanya perubahan
panas total. Temperatur titik embun (TDP) adalah suhu di mana udara mulai menunjukkan
aksi pengembunan ketika didinginkan. Temperatur DP ditandai sebagai titik sepanjang
garis saturasi. Pada saat udara ruang mengalami saturasi (jenuh) maka besarnya suhu DB
sama dengan suhu WB dan DP. Temperatur DP merupakan ukuran panas laten pada sistem.
Perubahan temperatur DP menunjukkan adanya perubahan panas laten atau adanya
perubahan kandungan uap air di udara (Sugiarto, 2012).
Tekanan uap air merupakan tekanan parsial uap air yang ditimbulkan oleh molekul
uap air di dalam udara lembap pada temperatur konstan. Apabila udara mencapai kondisi
jenuh, maka tekanan uap air tersebut disebut tekanan uap air jenuh (Pvs). Volume spesifik
adalah ruang udara pada setiap meter kubik (m3) persatuan berat (Kg). Volume spesifik
dinyatakan dalam satuan volume per satuan berat (m3/kg). Garis skalanya sama dengan
garis skala bola basah (wet bulb). Kelembapan relatif (RH) merupakan perbandingan
tekanan uap air terhadap tekanan uap air jenuh pada temperatur konstan pada suatu ruang
atau lokasi tertentu. Kelembapan relatif dinyatakan dalam satuan persen atau disebut %.
Kemudian kelembapan spesifik (W) merupakan massa uap air (mu) yang terkandung dalam
udara lembap per-satuan massa udara kering (ma) pada atmosfer. Kelembapan spesifik
diukur dalam satuan grains per pound dan diplotkan pada garis sumbu vertikal yang ada di
bagian samping kanan grafik. Sementara entalpi merupakan energi kalor yang dimiliki oleh
suatu zat pada temperatur tertentu, atau jumlah energi kalor yang diperlukan untuk
memanaskan 1 kg udara kering dan x kg air dalam fasa cair. Harga entalpi dapat diperoleh
sepanjang skala di atas garis saturasi (Bhatia, 2012).

2.2. Pengaplikasian Psikometrik pada Livestock Housing


Dalam kegiatan peternakan, grafik psikrometrik dapat digunakan untuk
mengetahui komponen-komponen psikrometrik yang berhubungan dengan kondisi udara
dan lingkungan tempat tinggal hewan ternak. Produktivitas hewan ternak dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan tempat tinggal hewan ternak. Keadaan lingkungan berupa suhu dan
kelembapan dapat mempengaruhi perkembangan mikroorganisme patogen yang dapat
mengancam kesehatan hewan ternak, serta berpengaruh pada keseimbangan panas di dalam
tubuh ternak. Kelebihan panas dalam tubuh ternak dapat menyebabkan cekaman panas
sementara kondisi kekurangan panas akan menyebabkan cekaman dingin yang keduanya
akan berpengaruh pada kenyamanan hewan di suatu lingkungan serta mempengaruhi
produktivitas hewan tersebut (Nuriyasa, 2017).
Ketidaknyamanan termal dapat dialami oleh hewan ternak dan disebabkan oleh
pancaran sinar matahari berlebih yang menjadi faktor utama penurunan produktivitas pada
hewan ternak. Setiap jenis hewan ternak memiliki rentang suhu dan kelembapan tertentu
dimana hewan tersebut dapat hidup dengan nyaman dan tidak mengalami gangguan
metabolisme atau cekaman yang diakibatkan oleh faktor suhu dan komponen-komponen
psikrometrik lainnya (Kashif et al., 2020).
Gambar 2. Transfer Panas ke Lingkungan Sebagai Bagian dari Metabolisme pada
Hewan
(Sumber : Kashif et al., 2020)
Lingkungan tinggal hewan ternak mempengaruhi proses transfer energi panas pada
ternak. Transfer energi perlu dilakukan untuk mempertahankan suhu tubuh ternak agar
tidak terlalu panas atau terlalu dingin. Sapi perah, misalnya, memiliki suhu tubuh rata-rata
sebesar 38 derajat Celcius dan mempertahankan suhu tubuhnya dengan cara menyesuaikan
produksi panas metabolik di dalam tubuhnya. Hewan kehilangan panas dalam bentuk
sensible heat dan panas laten atau melalui keringat. Kehilangan panas dalam bentuk
sensible heat terjadi karena perbedaan gradien temperature antara hewan dengan
lingkungan, dan dapat terjadi melalui proses konduksi, konveksi, dan radiasi (Collier,
2014).
Stres panas dapat didefinisikan sebagai kondisi yang terjadi saat
seekor hewan tidak dapat menghilangkan suhu panas secara memadai, entah saat suhu
diproduksi atau diserap oleh tubuh, untuk memelihara keseimbangan suhu badan. Stres
panas pada sapi perah dapat memengaruhi kinerja, fisiologis tubuh dan reproduksi sapi
perah (Menegassi et al., 2014; Jaenudin et al., 2018). Stress panas juga dapat mengurangi
konsumsi pakan (West et al., 2003 ; Jaenudin et al., 2018), menurunkan kesuburan
postpartum pada sapi yang sedang menyusui (Sakatani et al., 2012; Jaenudin et al., 2018)
dan mengubah pH darah (De Rensis et al., 2015 ; Jaenudin et al., 2018).
Stress panas juga dapat dapat menyebabkan sapi menjadi terengah-engah karena
hilangnya konsentrasi bikarbonat dalam air liur sapi. Hal ini terjadi karena pengurangan
pH saliva ternak dan mempengaruhi fermentasi pada rumen dan menyebabkan perubahan
kesimbangan kadar asam yang akan berefek negatif terhadap fertilitas sapi (Samal, 2013 ;
Jaenudin et al., 2018). Pengaruh jangka panjang dari stress panas pada sapi dapat
menyebabkan konsumsi pakan berkurang yang akan memengaruhi konsentrasi hormon
dalam darah sebagai pengaruh metabolisme utama dan faktor pertumbuhan yang
diperlukan untuk pertumbuhan folikel yang normal (Igono et al., 1990 ; Jaenudin et al.,
2018).
Gambar 4. Tabel Perubahan Psikologis pada Hewan Akibat Heat Stress (Stres
Panas)
(Sumber : Jaenudin et al., 2018)
Stress panas pada sapi dapat dicegah dan dikurangi dampaknya dengan pembuatan
model kandang ternak yang sesuai dengan kebutuhan ternak. Pembuatan model ini dapat
dilakukan dengan mempertimbangkan suhu dan kelembapan paling optimal yang
dibutuhkan oleh sapi perah menggunakan pendekatan psikometrik. Dibawah ini merupakan
diagram psikometrik yang menggambarkan nilai kenyamanan termal pada beberapa hewan
ternak termasuk sapi. Berdasarkan grafik dibawah, dapat dilihat bahwa dry bulb
temperature yang optimal berada pada rentang 4-23 derajat Celcius sementara untuk wet
bulb temperature ada pada rentang 2-24 derajat Celcius, serta humidity ratio sekitar 9-17
g/kg DA (Kashif et al., 2020).

Gambar 5. Diagram Psikrometrik Kenyamanan Termal Pada Hewan Ternak


(Sumber : Kashif et al., 2020)
2.3 Analisis Permasalahan
Sapi perah adalah salah satu binatang ternak yang merupakan produsen susu dan
dairy product. Kelompok sapi perah yang memiliki produksi susu paling tinggi didunia
diantara kelompok sapi lain merupakan sapi perah jenis Fries Holland (FH). Menurut
Blakely serta Bade (1994) dalam Al-Amin et al. (2017) menyatakan bahwa, produksi susu
sapi perah FH pada negara asalnya berkisar 6.000˗˗7.000 liter dalam satu kali masa laktasi
atau masa penghasil susu. Sudono, et al. (2003) mengungkapkan bahwa produktivitas sapi
FH pada Indonesia masih rendah dengan produksi susu homogen-homogen 10
liter/ekor/hari atau lebih kurang 3.050 Kiolgram/laktasi. Hal ini disebabkan karena
perbdeaan iklim yang dimiliki oleh tempat assal dari sapi FH dengan iklim di indonesia.
Iklim tersebut akan memberikan dampak pada perbedaan suhu dan perbedaan kelembaban
yang dirasakan oleh sapi.
Mayoritas sapi perah yang terdapat pada Indonesia adalah sapi bangsa Fries
Holland (FH), yang didatangkan asal negara-negara Eropa serta mempunyai iklim sedang
(temperate) dengan kisaran suhu termonetral rendah berkisar 13-18oC (McDowell, 1972
dalam Al-Amin et al. 2017), 5-250C (McNeilly, 2001 dalam Al-Amin et al., 2017). Syarat
asal iklim tersebut, sapi perah FH sangat peka terhadap perubahan iklim mikro terutama
suhu dan kelembaban udara tinggi. Kedua parameter ini dapat mengakibatkan cekaman
panas dan mengakibatkan menurunnya produktivitas dari isapi perah dalam produksi susu.
Suhu dan kelembaban udara berpengaruh pribadi terhadap perubahan fisiologis sapi perah,
sehingga akhirnya akan berdampak pada produksi. di keadaan suhu serta kelembaban
tinggi akan terjadi penentuan antara imbangan proses perolehan panas (produksi panas
metabolisme serta perolehan asal lingkungan) dengan pembuangan panas dalam rangka
memelihara taraf suhu tubuh normal. semakin tinggi suhu lingkungan pada atas
Thermoneural zone akan mengakibatkan perolehan panas lebih banyak daripada
pembebasan panas, akibatnya peningkatan suhu tubuh. Bila suhu tubuh meningkat, akan
terjadi perjuangan ternak untuk mengeluarkan panas menggunakan cara radiasi, konduksi,
konveksi, serta evaporasi, yang mengakibatkan terjadinya peningkatan konsumsi air
minum serta menurunkan konsumsi pakan, dan energi yang digunakan buat mengatur suhu
tubuh meningkat. Peningkatan suhu tubuh tadi akan meningkatkan laju metabolisme dalam
sel. tetapi adanya pengaturan homeostasi melalui hormonal, akan menurunkan laju
produksi panas (Suherman et al., 2013).

Gambar 4. Indeks suhu dan kelembaban relatif untuk sapi perah


(Sumber : Wierama (1990) dalam Yani (2006))
Salah satu faktor lingkungan yang cukup dominan dalam mempengaruhi
produktivitas ternak adalah iklim mikro(Dikmen dan Hansen, 2009). Iklim mikro di suatu
tempat yang tidak mendukung bagi kehidupan ternak membuat potensi genetik seekor
ternak tidak dapat ditampilkan secara optimal (Yani et al., 2006) . Suhu udara dan
kelembaban harian di Indonesia umumnya tinggi, yaitu berkisar antara 24 – 34o C dan
kelembaban 60 - 90%. Hal tersebut akan sangat mempengaruhi tingkat produktivitas sapi
FH. Pada suhu dan kelembaban tersebut, proses penguapan dari tubuh sapi FH akan
terhambat sehingga mengalami cekaman panas. Hal-hal yang dapat disebabkan akibat dari
adanya cekaman panas pada sapi perah FH adalah penurunan nafsu makan, peningkatan
konsumsi minum, penurunan metabolisme dan peningkatan katabolisme, peningkatan
pelepasan panas melalui penguapan, penurunan konsentrasi hormon dalam darah,
peningkatan temperatur tubuh, respirasi dan denyut jantung (McDowell (1972) dalam Yani
(2006)), dan perubahan tingkah laku (Ingram & Dauncey (1985) dalam Yani (2006)).
Untuk mengurangi cekaman panas yang disebabkan oleh suhu tinggi dan
kelembaban tinggi bisa dilakukan menggunakan pemugaran pakan, perbaikan konstruksi
kandang, hadiah naungan pohon serta air minum ad libitum (Velasco et al., 2002). Menurut
Yani (2006), modifikasi yang dapat dilakukan dalam mengurangi cekaman panas guna
mengurangi penurunan produktivitas pada sapi perah adalah dengan memberikan sapi air
minum yang dingin dan diberikan naungan. Penelitian yang dilakukan oleh Milam et al.
(1986) dalam Yani (2006) melaporkan bahwa pemberian air minum dingin dapat
meningkatkan produksi susu sapi Holstein sebesar 10,86% dari 22,1 pada air minum 28o C
menjadi 24,5 kg pada air minum 10o C. Selain itu, naungan dan bahan pembuatan naungan
untuk kandang juga mempengaruhi dalam menanggulangi cekaman panas yang terjadi.
Bahan yang tipis seperti kebanyakan logam memiliki koefisien konduksi yang besar,
sehingga suhu di atas dan di bawah hampir sama. Hahn (1985) dalam Yani (2006)
menyatakan bahwa bahan atap rumput kering atau jerami paling efektif menahan radiasi
matahari yang terpancar langsung, sedangkan bahan padat seperti asbes, besi berlapis, seng
atau alumunium akan memberikan efek yang kurang efektif. Namun hal ini dapat dicegah
dengan melapisi bahan menggunakan cat berwarna putih.
Sapi FH memberikan penampilan produksi terbaik bila ditempatkan di suhu
lingkungan 18,3oC dengan kelembaban 55%. Bila melebihi suhu tersebut, ternak akan
melakukan penyesuaian secara fisiologis dan secara tingkah laku (behaviour). usaha
peternakan sapi FH pada Indonesia, pada umumnya dilakukan pada daerah yang
mempunyai ketinggian lebih berasal 800 m di atas bagian atas bahari, menggunakan tujuan
buat penyesuaian lingkungan. Suhu dan kelembaban lingkungan yg ideal bagi penampilan
produksi sapi perah peranakan FH akan dicapai di suhu udara 18,30C serta kelembaban
udara 55% (Sutardi (1981) dalam Suherman (2013) ), dan menurut Sudono et al. (2003)
penampilan produksi masih cukup baik jika suhu lingkungan meningkat sampai 21,10C
serta suhu kritis sebesar 270C.
2.4 Solusi Permasalahan Terkait Suhu dan Kelembaban
Salah satu faktor penting dalam produktivitas sapi perah FH adalah lingkungannya.
Lingkungan yang baik dapat ditunjang dengan kandang yang sesuai. Untuk mendapatkan
kandang sapi dengan suhu dan kelembapan yang sesuai perlu diperhatikan lokasi
peternakan sapi perah. Kendang sapi perah dapat dibangun di dataran rendah (100-500
mdpl) hingga dataran tinggi (lebih dari 500 mdpl). Namun, untuk mendapatkan hasil yang
optimal kendang lebih baik dibangun di dataran tinggi dengan suhu udara yang rendah.
Semakin dingin suhu di peternakan semakin optimal kandang yang dibangun. Lokasi
peternakan sapi perah yang ideal adalah lokasi yang memiliki suhu rata-rata dibawah 30°C.
Selain lokasi, konstruksi kandang juga perlu diperhatikan. Kandang yang baik adalah
kandang yang memiliki sirkulasi udara yang baik. Ukuran kandang rata-rata 3 x 1,8 m
untuk dua ekor sapi perah. Atap kandang bisa berupa genting atau asbes. Ketinggian atap
sekitar lima meter agar sirkulasi udara berjalan baik dan kelembaban udara dapat terjaga.
Dinding kandang berupa dinding semen setinggi 1,5 m dengan bagian atas terbuka. Dinding
berfungsi untuk mencegah terpaan angin langsung mengenai sapi. Bagian terbuka di atas
dinding berfungsi untuk memoerlancar sirkulasi udara dalam kandang (Syarif dan
Harianto, 2011). Selain faktor kandang, faktor pakan juga dapat mempengaruhi suhu pada
sapi perah FH. Potongan pakan sebesar 5 dan 10 cm menunjukkan suhu yang lebih stabil
dibandingkan dengan potongan pakan sebesar 15 cm. Hal ini dapat dikarenakan
peningkatan kecernaan ransum menyebabkan laju pakan ke organ pasca rumen akan lebih
cepat dan lambung akan cepat kosong sehingga mendorong ternak untuk makan terus
(Indriani et al. 2013), yang dapat menyebabkan peningkatan suhu rektal. Hal ini dapat
disebabkan ternak berhasil melakukan proses termoregulasi atau pengaturan
keseimbangan panas melalui mekanisme homeostatis di dalam tubuh yang
merupakan perwujudan kerja organ-organ tubuh (Purwanto et al. 1995 dalam Novianti et
al. 2013). Faktor stress yang dialami sapi perah FH dapat dikurangi dengan beberapa cara
antara lain seperti melakukan Perbaikan sumber pakan/ransum, dalam hal ini
keseimbangan energi, protein, mineral dan vitamin (Churng, 2002). Melakukan Perbaikan
genetik untuk mendapatkan breed yang tahan panas (Kwang, 2002). Melakukan Perbaikan
konstruksi kandang, pemberian naungan pohon dan mengkontinyu kan suplai air (Velasco,
et al. 2002). Serta mengoptimalkan Penggunaan naungan, penyemprotan air dan
penggunaan kipas angin serta kombinasinya (Liang, 2002).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesimpulannya adalah bahwa Sapi FH memberikan penampilan produksi terbaik bila
ditempatkan di suhu lingkungan 18,3oC dan kelembaban 55%. Sedangkan faktor yang
berpengaruh pada produktifitas hewan ternak adalah faktor lingkungan berupa iklim mikro
yang membuat potensi genetik seekor ternak tidak dapat ditampilkan secara optimal.
3.2 Saran
Sebaiknya makalah ini dapat dikembangkan lebih luas lagi dengan melakukan sebuah
penelitian, bukan hanya referensi dari jurnal saja. Agar ilmu yang sudah didapat dapat
diaplikasikan dengan baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Amin, F.A. Hartono, M., Suharyati, S. 2017. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Calving
Interval Sapi Perah Pada Peternakan Rakyat di Beberapa Kabupaten/Kota Provinsi
Lampung. Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia, 1(1), 33-36
Bhatia, A. (2012). Principles of Evaporative Cooling System. Philadelphia Online Course.
Churng Faung Lee, 2002. Feeding Management and Strategies for Lactating Dairy Cows
under Heat Stress. International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in
Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26-31,
2002, Tainan, Taiwan, ROC.
Collier, R. J. (2014). Thermal biology of domestic animals. Cornell University
DeVoe, K.R. (2017). Climate dependent heat stress mitigation medeling for dairy cattle
housing [Graduate Thesis and Dissertations, Iowa State University]. Iowa State
University Repository. https://lib.dr.iastate.edu/etd/15511
Gustiani, E. (2009). Pengendalian cemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak (daging
dan susu) mulai dari peternakan sampai dihidangkan. Jurnal Litbang Pertanian,
Vol. 28(3); 96-100.
Hansen, P. J. (2007). Exploitation of genetic and physiological determinants of
embryonic resistance to elevated temperature to improve embryonic survival in
dairy cattle during heat stress. Theriogenology, 68S, S242–S249.
Indriani, Ap, Muktiani A, Pangestu E. 2013. Konsumsi dan Produksi Protein Susu Sapi
Perah Laktasi yang Diberi Suplemen Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza) dan
Seng Proteinat (Feed Intake and Milk Protein Production Of Dairy Cow Fed
Temulawak (Curcuma Xanthorrizha) and Zn Proteinate As Supplementation).
Anim. Agric. Journal, Vol. 2. No. 1, 2013, P 128 –135.
Kashif, M., Niaz, H., Sultan, M., Miyazaki, T., Feng, Y., Usman, M., Shahzad, M., Niaz,
Y., Waqas, M. M., & Ali, I. (2020). Study on Desiccant and Evaporative Cooling
Systems for Livestock Themal Comfort : Theory and Experiments. Energies,
13(11) : 1-18.
Liang Chou Hsia, 2002. How to Release Heat Stress from Dairy Cattle. International
Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock
Research Institute (TLRI-COA) August 26-31, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.
Mader, T. L., M. S. Davis, and T. Brown-Brandl. (2006). Environmental factors
influencing heat stress in feedlot cattle. J. Anim. Sci., 84, 712–719
Novianti, J., Purwanto, B. P., & Atabany, A. (2017). Respon Fisiologis dan Produksi Susu
Sapi Perah FH pada Pemberian Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dengan
Ukuran Pemotongan yang Berbeda. Jurnal Ilmu Produksi Dan Teknologi Hasil
Peternakan, 1(3), 138-146.
Nuriyasa, I. M. (2017). Diktat Kuliah Lingkungan dan Produktivitas Ternak. Universitas
Udayana
S. Dikmen, P.J. Hansen. (2009). Is the temperature-humidity index the best indicator of
heat stress in lactating dairy cows in a subtropical environment?, Journal of Dairy
Science, 92(1) : 109-116.
Sudono, A., F. Rosdiana dan S. Budi. (2003). Beternak Sapi Perah. PT. Agromedia
Pustaka, Jakarta.
Sugiarto, Y. (2012). Pengeringan Lanjutan. Universitas Brawijaya Press.
Suherman, D., Purwanto, Manalu, W., Permana. (2013) . Model Penentuan Suhu Kritis
Pada Sapi Perah Berdasarkan Kemampuan Produksi Dan Manajemen Pakan.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia . 8(2), 121-138.
Syarif, E. K., & Harianto, B. (2011). Buku Pintar Beternak & Bisnis Sapi Perah.
AgroMedia.
Tomi, B. (2021). Pengaruh Kecepatan Putaran Kipas Udara Balik Terhadap Karakteristik
Mesin Pendingin Udara Ruangan dengan Energi Motor Bakar. [Skripsi,
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta]. Repository Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta. https://repository.usd.ac.id/39215/
Velasco NB, Arguzon JA, Briones JI. 2002. Reducing heat stress in dairy cattle:
Phlippines.International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy
Cattle.Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26-31, 2002,
Tainan, Taiwan, ROC.
Widodo, S., dan Syamsuri, H. (2008). Sistem Refrigerasi dan Tata Udara. Pendidikan
Nasional.
Yani, A. Purwanto, B.P. 2006. Pengaruh Iklim Mikro terhadap Respons Fisiologis Sapi
PeranakanFries Holland dan Modifikasi Lingkungan untuk Meningkatkan
Produktivitasnya. Media Peternakan, 29(1) : 35-46.
LAMPIRAN

Tabel 1. Tabel Pembagian Tugas


No. Nama Tugas
Cover, Daftar Isi, Latar belakang, Tujuan,
1. Nabila
Merapihkan & Mengecek Format
2. Azizah Kesimpulan, Saran, Daftar Pustaka, Lampiran
3. Zahira Amalia Pembahasan 1-2
4. Ahmad Auni Adyla Pembahasan 3
5. Charisma Diah Pembahasan 4

Anda mungkin juga menyukai