Anda di halaman 1dari 9

Mata Kuliah Ilmu Nutrisi Ternak Komparatif

Teori Termostatik

Oleh

Benny Yohanis Wole


Nim.

Program Studi Magister Ilmu Peternakan


Fakultas Peternakan Kelautan dan Perikanan
Universitas Nusa Cendana
2023
Latar Belakang
Teori termostatis artinya pada lingkungan yang dingin, ternak akan
mengkonsumsi pakan lebih banyak dibandingkan pada lingkungan panas atau ternak
makan untuk mempertahankan temperatur tubuhnya. Siswanto (2016) Kemampuan
untuk mengendalikan temperatur tubuh (thermoregulasi) pada bangsa unggas dan
mamalia telah berkembang jauh lebih baik ketimbang bangsa ikan, amfibia, dan
reptilia. Pada hakikatnya, binatang mampu melakukan aklimasi (penyesuaian diri
terhadap perubahan temperatur saja) dan aklimatisasi (penyesuaian terhadap
perubahan berbagai faktor lingkungan abiotik). Aklimasi dan aklimatisasi terhadap
temperatur rendah lebih berkembang pada vertebrata endotherm ketimbang vertebrata
ektotherm. Respon itu meliputi penyesuaian produksi hormon, yaitu hormon thiroksin
oleh kelenjar thiroid dan hormon adrenokortikosteroid oleh korteks kelenjar
adrenalis. Peningkatan sekresi kedua hormon tersebut dapat meningkatkan laju
metabolisme yang dapat meningkatkan produksi panas sehingga dengan demikian
meningkatkan ketahanan umum dari ternak tersebut terhadap cekaman dingin.
Ternak unggas tergolong hewan homeothermic (berdarah panas) dengan ciri
spesifik tidak memiliki kelenjar keringat serta hampir semua bagian tubuhnya
tertutup bulu. Kondisi biologis seperti ini menyebabkan ternak unggas dalam kondisi
panas mengalami kesulitan membuang panas tubuhnya ke lingkungan. Akibatnya,
ternak unggas yang dipelihara di daerah tropis rentan terhadap bahaya stres panas
(Tamzil, 2014). Stres dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi pada ternak yang
menyebabkan meningkatnya suhu atau stresor lain yang berasal dari luar ataupun dari
dalam tubuh ternak (Ewing et al. 1999), sedangkan Moberg (2000) mendefinisikan
stres sebagai setiap respons biologis yang dapat menimbulkan ancaman dan
mengganggu homeostasis pada hewan.
Repson ternak terhadap suhu dingin yang berlangsung dalam jangka waktu
lama, misalnya puluhan sampai ratusan tahun, terjadi bentuk penyesuaian secara fisik.
Binatang tersebut mengembangkan sistem insulasi panas (pelindung panas) yang
bertambah baik, misalnya dengan meningkatkan timbunan lemak di bawah kulit dan
makin lebatnya bulu yang menutupi tubuhnya. Lemak banyak digunakan sebagai
sumber energi karena selama pengoksidasiannya dapat dihasilkan panas dalam
jumlah yang lebih banyak daripada selama pengoksidasian glukosa dalam berat yang
sama. Respon fisiologi lainnya terhadap temperatur dingin meliputi refleks menggigil
dan timbulnya aktivitas pilomotor. Menggigil merupakan aktivitas kontraksi dan
relaksasi otot yang dapat menghasilkan energi dalam bentuk panas tubuh. Pada
kondisi lingkungan yang dingin, menggigil merupakan salah satu bentuk penyesuaian
fisiologi yang bersifat involunter (tidak dapat dikendalikan oleh kehendak) dan yang
dengan cepat dapat menghasilkan panas untuk mengatasi cekaman luar yang dingin
tersebut (Siswanto, 2016)
Respon terhadap konsumsi pakan pada temperatur yang dingin meningkatkan
fungsi thiroid. Respon hormon thiroid pada unggas terhadap lingkungan dingin
dipengaruhi akan meningkatkan hormon tirotropin, ialah suatu hormon yang pada
gilirannya merangsang pengeluaran hormon tiroksin (Soeharsono, 1976). Hormon
tiroid merupakan hormon yang berfungsi dalam meningkatkan konsumsi oksigen
sehingga dapat meningkatkan aktivitas metabolisme secara keseluruhan (Dewi,
2006). Jahja (2000) menyatakan bahwa temperatur lingkungan dapat mempengaruhi
perilaku untuk mendapatkan pakan, air minum, terengah-engah (panting), lokomosi
serta beristirahat. Ximenes (2018) konsumsi pakan ayam broiler pada suhu rendah
selama 3 minggu 1176,90 jauh lebih tinggi dari pada konsumsi pakan ayam broiler
pada suhu tinngi yang hanya 1154,91. Pada suhu dingin konsumsi bahan kering
meningkat namun konsumsi bahan kering tersebut dominan digunakan untuk
menghasilkan energi panas tubuh dan bisanya energi yang digunakan untuk
produktifitas berkurang.
Tujuan
Megetahui faktor-faktor yang mempengaruhi teori termostatis dalam
kaitannya dengan konsumsi pakan
BAB II

PEMBAHASAN

Thermostatik

Teori ini berlandasan bahwa ternak akan makan untuk mempertahankan panas
dan akan berhenti makan untuk mencegah hyperthermia. Panas yang diproduksi dari
hasil pencernaan dan metabolisme makanan adalah merupakan signal dalam
pengaturan makan. Thermoreceptor sensitif terhadap perubahan panas yang terjadi di
anterior hipothalamus dan juga di periperal kulit. Pada daerah panas ternak akan
mengurangi makannya untuk menurunkan produksi panasnya. Sulistyonigsih (2003)
Hewan yang mengalami temperatur dingin berkepanjangan akan mengalami
pelepasan hormon tiroid, dengan akibat peningkatan metabolisme untuk peningkatan
produksi panas internal. Respon ini pada beberapa jenis hewan sedemikian cepatnya
untuk mekanisme umpan balik yang biasa, dengan demikian ada pula stimulasi rasa
dingin terhadap refleks saraf paling tidak sebagai titik awalnya. Keadaan temperatur
dingin yang berkepanjangan akan diikuti oleh hyperplasia dari kelenjer tiroid.
Franson (1992). Stres yang bersifat fisik dan emosional akan cenderung menghambat
sekresi kelenjer tiroid.

Pengaruh Iklim
Pada saat cuaca dingin dan hujan berkepanjangan, metabolisme energi dalam
tubuh akan meningkat. Peningkatan ini bertujuan meningkatkan produksi panas
dalam tubuh untuk beradaptasi terhadap cuaca dingin. Akibatnya, energi panas yang
seharusnya digunakan untuk produksi akan berkurang. Belum lagi kemampuan untuk
mencerna nutrisi juga akan menurun pada cuaca dingin. Apabila jumlah heat loss
(kehilangan panas) lebih besar daripada jumlah panas yang diproduksi maka ancaman
yang mengikuti adalah hipotermi dan kematian. Williamson dan Payne (1993)
menyatakan bahwa pengaruh iklim terhadap kondisi ternak yaitu ternak berusaha
mempertahankan suhu tubuhnya pada kisaran yang paling cocok untuk terjadinya
aktivitas biologis yang optimum. Ternak dalam mempertahankan suhu tubuhnya
terhadap suhu lingkungan sangat bervariasi, diantaranya harus mempertahankan
keseimbangan panas antara panas yang diproduksi oleh tubuh dengan panas yang
hilang. Perolehan panas dari luar tubuh (heat gain) akan menambah beban panas bagi
ternak bila suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman. Sebaliknya, akan terjadi
kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu nyaman
(Yani dan Purwanto, 2006). Kenaikan suhu lingkungan mikro (sekitar ternak) sebesar
5℃ dapat mengakibatkan perubahan yang nyata pada pola makan ternak bahkan
dapat menyebabkan stress bila tidak dikendalikan serta menurunkan efisiensi
penggunaan makanan (Williamson dan Payne, 1993). Kawasan yang menunjang
kelangsungan hidup ternak adalah kawasan homeotermia. Kawasan ini mencakup
empat sub kawasan yaitu (a) kawasan temperatur terendah dimana ternak harus
meningkatkan produksi panasnya dengan jalan meningkatkan konsumsi ransum, (b)
kawasan temperature nyaman, suatu kawasan dimana usaha termoregulasi adalah
minimal dan kawasan ini biasanya selalu dicari sendiri oleh ternaknya, (c) kawasan
temperatur netral atau thermoneutral zone, suatu kawasan dimana produksi panas
tidak tergantung pada temperatur lingkungan tetapi semata-mata tergantung pada
tingkat konsumsi ransum dan berat badan ternak dan (d) kawasan temperatur kritis
tertinggi, suatu kawasan di mana temperatur tubuh masih dapat dipertahankan
konstan, tetapi kehilangan panas evaporatif dan produksi panas tubuh mulai
meningkat secara nyata. Di bawah kawasan temperatur kritis terendah ternak akan
mati kedinginan dan di atas kawasan temperatur kritis tertinggi ternak mati kepanasan
(Nuriyasa, 2017).

Pengaruh suhu lingkungan tinggi lebih banyak diperhatikan, karena sering


mengakibatkan kerugian pada peternak. Lingkungan ternak dapat diklasifikasikan
menjadi dua yaitu (1) lingkungan abiotik (2) lingkungan biotik. Lingkungan abiotik
meliputi semua faktor fisik dan kimia. Lingkungan biotik merupakan interaksi
diantara (perwujudan) makanan, air, predasi, penyakit serta interaksi sosial dan
seksual. Faktor lingkungan abiotik merupakan faktor yang menentukan ternak apakah
berada pada kondisi hipotermia (cekaman dingin), nyaman (comfort zone) atau
hipertermia (cekaman panas). Kondisi lingkungan ternak dapat berpengaruh secara
langsung yang berkaitan dengan keseimbangan panas dalam tubuh ternak
(homeostatis). Ternak mendapatkan beban panas dari (1) panas metabolisme (2)
radiasi matahari langsung baik berupa gelombang panjang maupun gelombang
pendek (3) radiasi baur dari atmosfer (4) pantulan (refleksi) dari tanah. Total beban
panas ini akan diseimbangkan dengan ternak dengan melepaskan panas secara (1)
konduksi (2) konveksi (3) radiasi dan (4) evaporasi. Ternak yang sanggup
menyeimbangkan produksi panas dengan panas yang dilepaskan menyebabkan ternak
berada pada kondisi nyaman. Sedangkan ketidak mampuan ternak menyeimbangkan
panas tersebut menyebabkan kondisi cekaman (Fadhlurrohman dkk., 2021)

Adaptasi terhadap Cekaman Dingin


Cekaman dingin pada ternak dapat terjadi sebagai akibat dari penurunan suhu
lingkungan. Kejadian ini berlangsung di daerah-daerah yang mengalami musim
dingin. Pada daerah tropis kondisi seperti ini dapat pula terjadi terutama pada daerah
dataran tinggi. Pada daerah ini suhu udara rata-rata harian dapat mencapai 9 oC
(Nuriyasa, 2017). Pada daerah dataran tinggi intensitas radiasi matahari lebih rendah
daripada dataran rendah karena pancaran radiasi matahari terhalang oleh kabut.
Ternak yang tidak mampu beradaptasi terhadap cekaman dingin akan dapat
menghambat pertumbuhan, menurunkan produksi bahkan dapat menyebabkan
kematian. Ternak yang berasal dari daerah tropis sulit mempertahankan pertumbuhan
dan produksinya pada cekaman dingin. Sebaliknya ternak dari daerah lintang tengah
(sub tropis) sanggup tumbuh, berkembang dan berproduksi dengan baik pada kondisi
lingkungan dingin. Berdasarkan permasalahan di atas maka perbaikan mutu genetik
ternak dengan mendatangkan bibit unggul dari daerah sub tropis memerlukan kajian
yang mendalam dalam hal faktor lingkungan. Kemampuan ternak untuk beradaptasi
terhadap cekaman dingin tergantung pada penyangga panas pada permukaan tubuh
ternak. Sebelum panas pada tubuh ternak dilepaskan ke lingkungan, panas tersebut
masih disangga oleh udara tipis yang menyeliputi tubuh ternak. Lapisan udara
tersebut dikenal dengan sebutan ”boundry layer”. Makin tebal lapisan udara tersebut
makin besar daya sangga aliran panas dari tubuh ternak ke lingkungan. Produksi
panas pada suhu lingkungan di bawah titik kritis akan meningkat secara garis lurus.
Penelitian mendapatkan bahwa jika suhu lingkungan berubah maka produksi panas
juga berubah. Peningkatan suhu lingkungan yang lebih tinggi dari suhu titik
kritis,ternak akan berusaha mempertahankan produksi panas agar tetap konstan
meskipun suhu lingkungan terus meningkat. Sampai pada suhu lingkungan tertentu,
akhirnya produksi panas tidak dapat dipertahankan karena suhu lingkungan sudah
mendekati suhu tubuh ternak. Dalam kondisi seperti ini penurunan produksi panas
dapat terjadi jika ada proses pendinginan dari penguapan air dipermukaan tubuh
ternak. Kegagalan pembuangan panas tubuh dengan cara penguapan menyebabkan
produksi panas akan meningkat sehingga dapat menyebabakan kematian pada ternak.
Pada kondisi lingkungan yang memiliki suhu lingkungan di bawah titik kritis maka
produksi panas oleh ternak akan meningkat secra linier. Peningkatan ini sangat
diperlukan oleh ternak untuk mempertahankan diri terhadap keadaan dingin. Jika
suhu lingkungan terus turun maka ternak memerlukan tambahan panas untuk dapat
mempertahan suhu tubuh agar tidak turun secara drastis. Tambahan panas tubuh ini
bisa didapatkan dengan cara meningkatkan konsumsi ransum. Tujuan ternak
meninghkatkan konsumsi ransum adalah untuk meningkatkan panas metabolisme
dalam tubuh ternak disamping untuk memenuhui kebutuhan energi. Cara lain yang
dapat dilakukan ternak adalah dengan menggerakkan otot (menggigil). Gerakan otot
ini akan dapat menghasilkan panas mekanik sehinggga ternak memiliki kemampuan
yang lebih tinggi dalam mengatasi cekaman dingin. Mempertahankan diri terhadap
cekaman dingin dapat pula dilakukan oleh ternak dengan cara merubah tingkah laku
(”behavior”). Dalam keadaan dingin anak babi dan ayam akan bergerombol. Dengan
cara ini ternak dapat mengurangi ruang kontak dengan lingkungan sehingga
pelepasan panas ke lingkungan dapat dikurangi. Meningkatkan ketebalan bulu
berpengaruh terhadap kemampuan mempertahankan diri terhadap cekaman dingin.
Bulu pada ternak akan mengisolasi panas tubuh ternak yang ada dipermukaan tubuh
ternak sehingga proses pengantaran panas secara konduksi, konveksi dan radiasi
dapat dikurangi. Faktor cuaca seperti hujan, angin atau keterpaduannya akan
berpengaruh terhadap tebal bulu (Nuriyasa, 2017).

DAFTAR PUSTAKA
Dewi. R. R. S. P. S. 2006. Strategi Peningkatan Produksi Benih Ikan Budidaya
Melalui Penggunaan Hormon Tiroid. Media Akuakultur. 1 (2).

Ewing SA, Donald C, Lay J, Von Borrel E. 1999. Farm animal well-being: stress
physiology, animal behaviour and environmental design. Upper Saddle River
(New Jersey): Prentice Hall.

Fadhlurrohman R., Delvia Fitri Suarman, Muhammad Zainal Umar, Yusni Atifa.
2021. Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Reproduksi Ayam Ras Petelur.
Prosiding SEMNAS BIO 2021 Universitas Negeri Padang ISBN :2809-8447

Franson. R. D. 1992. Anatomi dan fisiologi ternak. Edisi IV. Gadjhamada Univ. Press.
Yokyakarta

Jahja. 2000. Ayam Sehat Ayam Produktif. Bandung: Medion Press

Moberg GP. 2000. Biological Response To Stress: Implications for animal welfare.
In: Moberg GP, Mench JA, editors. Biol Anim Stress. Oxfordshire (UK):
CABI Publishing. 1-21

Nuriyasa, I. M. 2017. Adaptasi Ternak. Diktat. Universitas Udayana. Denpasar

Siswanto. 2016. Thermoregulasi. Fisiologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan


Universitas Udayana.
Soeharsono. 1976. Respon Broiler Terhadap Berbagai Kondisi Lingkungan. Disertasi.
Dirjen Dikti Depdikbud.

Tamzil MH. 2014 Stres Panas pada Unggas: Metabolisme, Akibat dan Upaya
Penanggulangannya. Wartazoa. 24 (2); 57-66

Williamson, G. dan W. J A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.


Edisi ke-1. Gadjah Mada Univercity Press. Yoygakarta

Ximenes L., Pratiwi Trisunuwati, dan Muharlien. 2018. Performa Produksi Broiler
Starter Akibat Cekaman Panas Dan Perbedaan Awal Waktu Pemberian Pakan.
J. Ilmu-Ilmu Peternakan. 28 (2): 158–167

Yani, A. dan B. P. Purwanto. 2006. Pengaruh Iklim Mikro Terhadap Respons


Fisiologis Sapi Peranakan Fries Holland Dan Modifikasi Lingkungan Untuk
Meningkatkan Produktivitasnya. Media Peternakan. Bogor. 29 (1): 35-46

Anda mungkin juga menyukai