Anda di halaman 1dari 5

ARTIKEL

“TERMOREGULASI”

Nama : Shafira Hana Marsyah


NIM : 0310172083
Kelas : Pendidikan Biologi-3/IV

A. Pengertian Termoregulasi
Termoregulasi adalah kemampuan yang dimiliki oleh hewan untuk mempertahankan
panas tubuhnya. Pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), pengaturan cairan tubuh, dan
ekskresi adalah elemen-elemen dari homeostasis. Dalam termoregulasi dikenal adanya
hewan berdarah dingin cold-blood animals dan hewan berdarah panas warm-blood
animalsNamun, para ahli-ahli Biologi lebih suka menggunakan istilah ektoterm dan
endoterm yang berhubungan dengan sumber panas utama tubuh hewan. Hewan eksoterm
adalah hewan yang sangat bergantung pada suhu di lingkungan luarnya untuk
meningkatkan suhu tubuhnya karena panas yang dihasilkan dari keseluruhan sistem
metabolismenya hanya sedikit contoh ikan dan amfibia. Sedangkan hewan endoterm,
adalah hewan yang suhu tubuhnya berasal dari produksi panas di dalam tubuh, yang
merupakan hasil samping dari metabolisme jaringan contoh aves dan mamalia
(Nielsen, 1997).

Homeostasis adalah suatu kondisi lingkungan internal sel yang statis atau stabil
didalam tubuh. Salah satu bentuk adanya proses menjaga homeostasis suatu sel oleh
makhluk hidup adalah adanya mekanisme dalam tubuh hewan untuk mempertahankan
suhu internal tubuhnya agar tetap berada di dalam kisaran yang dapat ditolelir atau yang
disebut dengan mekanisme termoregulasi (Isnaini, 2006).

Mekanisme termoregulasi tersebut menjadi penting bagi suatu mahkluk hidup


karena suhu berpengaruh kepada tingkat metabolisme. Suhu yang tinggi akan
menyebabkan aktivitas molekul-molekul semakin tinggi karena energi kinetiknya
semakin besar pula. Akan tetapi, kenaikan aktivitas dengan metabolisme hanya akan
bertambah seiring dengan kanaikan suhu hingga batas tertentu saja. Hal ini disebabkan

1
metabolisme didalam tubuh diatur oleh enzim (salah satunya) yang memiliki suhu
optimum dalam bekerja. Jika suhu lingkungan atau tubuh meningkat atau menurun
drastis, enzim-enzim tersebut dapat terdenaturasi dan kehilangna fungsinya (Isnaini,
2006).

B. Klasifikasi dan Pengaturan Suhu

Klasifikasi Suhu Tubuh Manusia secara umum suhu tubuh manusia berkisar 36,5 –
37,5 °C. Gangguan suhu tubuh dapat diklasifikasikan menjadi hipotermia (<35 °C),
demam (>37.5–38.3 °C), hipetermia (>37.5–38.3 °C), dan hiperpireksia (>40 –41,5 °C).
Ditilik dari tingginya suhu, pada demam dan hipertermia memiliki nilai rentang suhu
yang sama yaitu berkisar antara > 37.5-38.3 °C. Yang membedakan antara keduanya
adalah mekanisme terjadinya. Pada demam, peningkatan suhu tubuh disebabkan oleh
peningkatan titik pengaturan suhu (set point) di hipotalamus. Sementara, pada hipertermia
titik pengaturan suhu dalam batas normal.

Pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), pengaturan cairan tubuh, dan eksresi adalah
elemen-elemen dari homoestasis. Dalam termoregulasi dikenal adanya hewan berdarah
dingin cold blood animal dan hewan berdarah panas warm blood animal. Namun lebih
dikenal dengan istilah ektoterm dan endoterm yang berhubungan dengan sumber panas
utama tubuh hewan (Nielsen, 1997).

Beberapa adaptasi hewan untuk mengurangi kehilangan panas, misalnya adanya bulu
dan rambut pada burung dan mamalia, otot, dan modifikasi sistem sirkulasi di bagian
kulit. Kontriksi pembuluh darah di bagian kulit dancountercurrent heat exchange adalah
salah satu cara untuk mengurangi kehilangan panas tubuh. Perilaku adalah hal yang
penting dalam hubungannya dengan termoregulasi. Migrasi, relokasi, dan sembunyi
ditemukan pada beberapa hewan untuk menurunkan atau menaikkan suhu tubuh (Nielsen,
1997).

C. Termoregulasi Hewan Endoterm

Beberapa cara hewan endoterm dalam mengantisipasi pengaruh cekaman dingin


yaitu pengurangan gradien termik (T1-T2), penurunan Konduktans Termik (C),
penurunan panas melalui evaporasi dan peningkatan termogenesis. Sebaliknya pada

2
lingkungan yang panas, hewan endoterm akan menurunkan termogenesis dan
meningkatkan termolisis. Respon hewan endoterm dalam mengantisipasi variasi
temperatur pada lingkungan baru yaitu dengan aklimatisasi dan akhirnya.Hewan
golongan homeoterm dalam menghadapi perubahan suhu lingkungan cenderung
mempertahankan suhu tubuhnya dengan cara meningkatkan adaptasi atau penyesuaian
diri terhadap lingkungan. Ada juga mempertahankan suhu tubuhnya karena golongan
homeoterm mempunyai kemampuan faal untuk mengontrol suhu tubuhnya, sehingga
hewan homeoterm memiliki tingkat adaptasi yang lebih tinggi dibanding hewan golongan
poikiloterm Contoh hewan yang tergolong eksoterm yaitu ikan salmon (22 oC), ikan
saumon (18oC), crapaud bufo boreas (27 oC), alligator (buaya) (32 - 35 oC), iguana 38
oC), lezard anolois sp (30 - 33 oC), dan larva lalat rumah (30 - 37 oC) (Eckert, 1983).

Hewan endoterm adalah hewan yang panas tubuhnya berasal dari dalam tubuh,
sebagai hasil dari proses metabolisme sel tubuh. Suhu tubuh endoterm dipertahankan agar
tetap konstan, walaupun suhu lingkungannya selalu berubah . Hewan endoterm meliputi
burung dan mamalia. Cara adaptasi hewan endoterm terhadap lingkungannya adalah
sebagai berikut:

1. Cara yang dilakukan hewan endoterm untuk meningkatkan pelepasan panas


karena suhu tubuh terlalu tinggi, yaitu vasolidasi daerah perifer tubuh,
berkeringat, menurunkan laju metabolisme, dan respon perilaku
2. Cara yang dilakukan hewan endoterm untuk mempertahankan meningkatkan
produksi panas karena suhu tubuhnya terlalu rendah, yaitu vasokonstriksi,
menegakkan rambut, menggigil, meningkatkan laju metabolisme, respon
perilaku.

D. Termoregulasi pada Beberapa Kelompok Hewan


Adaptasi yang dilakukan hewan ektoterm terhadap lingkungan adalah dengan
tingkah lakunya. Contoh adaptasi yang dilakukan hewan ektoterm antara lain :
1. Ikan (Pisces).
Jika lingkungan panas adaptasi yang dilakukan ikan adalah dengan berenang ke
perairan yang lebih dasar atau menuju ke tempat yang intensitas sinar matahari lebih
sedikit seperti dibawah pepohonan.

3
2. Katak (Amphibi)
Pada lingkungan yang panas hewan ini beradaptasi secara morfologi dengan cara
menguapkan panas dari dalam tubuhnya . Sedangkan secara tingkah laku yan dilakukan
katak adalah bersembunyi pada bongkahan tanah yang dianggap lebih rendah suhunya.
Namun jika suhu lingkungan ekstrim panas katak menggunakannya untuk
memaksimalkan reproduksinya. Dengan tujuan melestarikan spesiesnya. Telur yang
dihasilkan ditempelkan pada daun atau ranting pohon. Ketika lingkungan sudah
memungkinkan seperti pada saat musim penghujan, Maka telur tersebut akan
berkembang menjadi berudu yang akhirnya akan menjadi katak dewasa yang baru.

3. Belalang (Insecta)
Pada lingkungan panas belalang beradaptasi secara morfologi dengan cara mengubah
warna tubuhnya. Secara tingkah laku yang dilakukan belalang adalah bersembunyi
dabalik daun.

4. Buaya (Reptile)
Buaya memiliki kulit yang tebal sehingga untuk beradaptasi pada lingkungan panas
dia mengurangi penguapan dengan kulitnya yang tebal tersebut. Secara tingkah laku yang
dilakukan buaya adalah dengan membuka mulut untuk menguapkan panas tubuhnya
(Evaporasi). Kelompok hewan melata (reptil)adalah binatang bertulang belakang berkulit
berkulit kering, bersisik, dan bernapas dengan paru-paru. Hewan melata termasuk
kelompok hewan berdarah dingin, artinya hewan yang memanfaatkan suhu lingkungan
untuk mengatur suhu tubuhnya.

5. Ular
Secara tingkah laku ular melakukan adaptasi pada lingkungan panas dengan
bersembunyi dibawah tanah atau dalam liangnya. Pada beberapa ular gurun adaptasi pada
lingkungan panas dilakukan dengan berjalan karah menyamping bersudut sekitar 45o.

6. Gajah di daerah tropis untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara mandi atau
mengipaskan daun telinga ke tubuh. Manusia menggunakan pakaian adalah salah
satu perilaku unik dalam termoregulasi (Sukarsono, 2009).

4
Hewan mempunyai kemampuan adaptasi terhadap perubahan suhu lingkungan.
Sebagai contoh, pada suhu dingin, mamalia dan burung akan meningkatkan laju
metabolisme dengan perubahan hormon-hormon yang terlibat di dalamnya, sehingga
meningkatkan produksi panas. Pada ektoterm (misal pada lebah madu), adaptasi terhadap
suhu dingin dengan cara berkelompok dalam sarangnya. Hasil metabolisme lebah secara
kelompok mampu menghasilkan panas di dalam sarangnya (Soewolo, 2000)

Referensi :

Eckert, R. 1983. Animal Energetics and Temperature in: Animal Physiology Mechansm
and Adaptation. 2nd Edition. WH Freeman and Company. New York.

Isnaini, Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Penerbit Kanisiu

Mitchell, Campbell Reece. 2000. Biologi Edisi Kelima Jilid 3. Jakarta: Erlangga

Nielsen, Knut Schmidt. 1997. Animal Physiology Adaptation and Environment:


Cambridge University Press.

Putra Santoso. 2009. Bahan Ajar Fisiologi Hewan. Padang: UNP press.

Soewolo. 2000. Pengantar Fisiologi Hewan. Jakarta: proyek pengembangan guru sekolah
menengah IBRD Loan No. 3979.Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional.

Sukarsono. 2009. Ekologi Hewan. Malang: UMM Press

Anda mungkin juga menyukai