Habitat atau tempat hidup hewan terbagi tiga yaitu akuatis, terestrial, dan aerial. Hewan
yang hidup di habitat terestrial memiliki masalah yang akut terhadap temperatur, karena
adanya radiasi panas matahari yang dapat mencapai lebih dari batas letal.
Udara memiliki panas spesifik dan dapat mengalami peningkatan atau kehilangan panas
secara cepat. Setelah matahari terbenam,
panas akan menurun karena panas dari lingkungan hilang sehingga mungkin mencapai batas
temperatur rendah yang bersifat letal.
Termoregulasi adalah kemampuan hewan untuk meregulasi atau mempertahankan
temperatur tubuhnya. Termoregulasi berperan sangat vital dalam menjaga homeostasis
tubuh agar enzim, hormon dan lainnya bekerja sebagaimana mestinya sehingga fisiologi
berjalan normal.
A. Nomenklatur Termoregulasi
Hewan eksotermis sangat tergantung kepada panas lingkungan untuk meningkatkan suhu
tubuhnya. Berkebalikan dengan itu, sebagian kecil hewan menghasilkan panas yang cukup
dari metabolisme oksidatifnya dan menjaga temperatur tubuhnya pada level yang konstan
sehingga panas tubuhnya tergantung kepada produksi internalnya sendiri. Kelompok ini
disebut endotermis yang meliputi homeotermis seperti burung dan mamalia. Terdapat
kategori yang lainnya dari hewan yang tidak mempertahankan suhu tubuhnya pada kondisi
konstan seperti prototeria, akan tetapi selama beraktivitas hewan tersebut memperlihatkan
regulasi endotermis. Kelompok ini dikenal dengan heterotermis atau disebut juga sebagai
endotermis fakultatif karena hanya mampu meregulasi temperatur fisiologisnya pada waktu
tertentu saja (Rastogi, 2007: 205).
Gambar : respons hewan endoterm dan ektoterm (Akin, 2011: 7; Randall, D, Burggren,
French, 1997: 683).
Suhu tubuh hewan terdiri dari dua komponen yaitu suhu inti
tubuh dan suhu perifer tubuh. Suhu inti tubuh mencerminkan total keseluruhan panas dalam
tubuh. Suhu inti tubuh diukur dari suhu trunkus dan kepala, sedangkan suhu perifer tubuh
diukur dari suhu ekstrimitas. Suhu inti tubuh cenderung lebih stabil dan dalam kondisi
lingkungan moderat, sedangkan suhu perifer lebih rendah 2-4 0C dibandingkan dengan suhu
inti tubuh. Termoregulasi bekerja dengan menjaga suhu inti tubuh dalam rentang 1-20 C
untuk menjaga sel berfungsi dengan normal. Panas diproduksi dan dihilangkan dari tubuh
supaya tubuh tetap berada dalam keadaan normotermia agar fisiologi berjalan normal.
Panas dihasilkan oleh semua aktivitas metabolisme tubuh, dan dari lingkungan eksternal.
Hewan endotermik memproduksi panas dalam jumlah besar di inti dari tubuh. Jaringan
hewan endoterm memiliki substansial kepadatan mitokondria yang lebih tinggi dan aktivitas
enzim mitokondria yang lebih tinggi daripada hewan ektoterm berukuran serupa, yang
mencerminkan kemampuan hewan ini untuk menghasilkan panas metabolik. Pada burung
dan mamalia pada saat istirahat, organ dada dan perut (usus, hati, ginjal, jantung, paru-paru,
dan lain-lain) memproduksi hingga tiga perempat panas metabolik, sedangkan ketika aktif,
dengan laju metabolisme mungkin meningkat 10 kali lipat terutama otot yang menghasilkan
panas ekstra. Karena itu, suhu inti hewan bervariasi, tergantung aktivitas hewan tersebut.
aktivitas hewan tersebut. Seperti unta, yang memiliki variasi tubuh yang spektakuler
setiap hari sebagai bagian dari strategi termal mereka. Suhu inti sebagian besar burung dan
mamalia juga sedikit berbeda secara periodisitas diurnal sesuai dengan siklus cahaya.
Spesies diurnal lebih tinggi pada siang hari, dan spesies nokturnal lebih tinggi pada malam
hari, dengan perbedaan rata-rata hingga 2°C. Bahkan ketika isyarat cahaya dihilangkan efek
diurnal tetap ada, dengan sedikit berbeda secara periodisitas, yang menunjukkan irama
endogen dari produksi panas. Komplikasi jangka panjang lebih lanjut muncul sehubungan
dengan siklus estrus pada mamalia, di mana betina mungkin 0,5-1°C lebih tinggi saat
ovulasi. Hubungan temperatur tubuh hewan dengan lingkungannya tergantung kepada
kandungan air dalam tubuh hewan tersebut. Hewan-hewan terestrial memiliki lingkungan
yang kompleks sehingga sangat sulit untuk mengukur termal lingkungan secara akurat.
Hewan terestrial sebaliknya dihadapkan dengan masalah termoregulasi yang lebih besar.
Seluruh produksi panas tubuh akan hilang keluar tubuh melalui konduksi, konveksi, radiasi,
dan evaporasi. Mamalia memiliki sistem piranti termoregulasi fisiologis yang efisien untuk
menjaga suhu tubuhnya. Jika suhu lingkungan meningkatkan suhu tubuh, maka suhu tubuh
tidak akan dibiarkan untuk meningkat. Mekanismenya akan berlangsung melalui evaporasi
air melalui permukaan tubuh. Evaporasi akan menurunkan temperatur tubuh. Kulit dan
sistem respirasi hewan memiliki signifikansi termoregulasi yang sangat besar.
Hewan invertebrata terestrial merupakan kelompok hewan yang memiliki daya adaptasi
maksimum terhadap suhu lingkungannya. Kelompok hewan tersebut adalah artropoda dan
insekta, di mana kedua kelompok hewan ini memperlihatkan aktivitas aktif di lingkungan
yang panasnya cukup ekstrem. Suhu tubuh insekta dapat bervariasi tergantung suhu
lingkungan. Hal ini disebabkan karena tiga hal penting yaitu adanya kehilangan panas
melalui evaporasi, absorpsi panas radiasi dan produksi panas metabolisme (Rastogi, 2007:
209).
1. Kehilangan panas melalui evaporasi.
2. Absorpsi panas radiasi. Insekta menyerap panas dari matahari dan akan meningkatkan
temperatur tubuhnya.
3. Produksi panas dari metabolisme.
Jika suhu suhu tubuh lebih tinggi dari lingkungan, maka tubuh akan melepaskan
panas ke lingkungan. Untuk mengkompensasi kehilangan panas tersebut,
homeotermis memproduksi panas dengan cara meningkatkan laju
metabolismenya. Berdasarkan hukum Newton tentang pendinginan, perubahan
panas dalam tubuh perunit waktu adalah proporsional terhadap perbedaan antara
suhu tubuhnya dan suhu lingkungan.
Persamaan matematisnya sebagai berikut:
dH/dt = C (TB-TA),
di mana: C : konduktansi termal
TB: suhu tubuh
TA: suhu lingkungan.
Dimana Selama hipertermia, aliran darah dan dilatasi pembuluh darah yang
dikontrol oleh saraf simpatik menuju kulit ditingkatkan agar banyak panas yang
bisa dilepaskan lewat kulit. Proses penghilangan panas pada kondisi hipertermia
melalui:
1. Terjadinya relaksasi aktivitas saraf yang bertanggung jawab dalam
vasokonstriksi.
2. Terjadinya peningkatan aktivitas serabut-serabut vasodilator simpatik
sehingga meningkatkan aliran darah dan dilatasi pembuluh darah, khususnya
pembuluh darah pada permukaan kulit.
3. Terjadinya pelepasan senyawa kimia (bradikinin) dari kelenjar keringat
sehingga panas tubuh keluar bersama keringat.
Sistem saraf merupakan pusat untuk mengontrol termoregulasi pada hewan endotermis. Aktivitas
muskular (shivering) akan meningkatkan produksi panas yang mekanisme kerjanya di bawah kontrol saraf
motorik. Variasi jumlah darah yang mengalir melalui kulit dan pengeluaran keringat merupakan bentuk
usaha tubuh untuk menjaga agar suhu tubuh normal di bawah kontrol sistem saraf simpatik. Pusat kontrol
termoregulasi hewan endotermis terletak di hipotalamus (Randall, D, Burggren, French, 1997: 700), yang
terintegrasi dengan saraf sensoris yang masuk melalui reseptor suhu. Ada dua macam termoreseptor,
yaitu termoreseptor perifer yang terletak pada seluruh permukaan tubuh dan pada bagian-bagian tertentu
saluran pencernaan, dan termoreseptor pusat yang terletak di tengah-tengah tubuh. Pusat termoregulasi
pada hipotalamus dapat distimulasi dengan stimulus listrik atau panas. Bagian anterior hipotalamus
berfungsi sebagai pusat yang disebut pusat kehilangan panas (termotaksik) dan bagian posteriornya
adalah pusat produksi panas. Dua bagian dari hipotalamus ini secara anatomis saling berhubungan dalam
merespons kondisi hipertermia dan hipotermia. Hipertermia memfasilitasi pengaktifan pusat kehilangan
panas sedangkan hipotermia akan memfasilitasi pengaktifan pusat produksi panas. Pusat termoregulasi ini
dapat diaktivasi oleh reseptor termal yang ada pada kulit dan oleh reseptor pusat yang ada dalam inti
tubuh melalui perubahan suhu di dalam darah. Pada hipotalamus telah diketahui adanya tiga tipe sel yang
sensitif terhadap suhu (Rastogi, 2007: 214), yaitu:
a. Reseptor panas, di mana diketahui adanya sel-sel yang meningkatkan aktivitasnya ketika suhu
hipotalamus meningkat tetapi suhu kulit tidak memengaruhinya.
b. Reseptor dingin, di mana diketahui adanya sel-sel yang meningkatkan aktivitasnya jika suhu
hipotalamus menurun dan tetap tidak terpengaruh oleh suhu di kulit.
c. Reseptor campuran, di mana adanya sel-sel yang memperlihatkan respons terhadap peningkatan suhu
kulit, sekaligus meningkatkan aktivitasnya jika hipotalamus menjadi panas.