OLEH;
HERA SILVIA
I2D222004
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2022
PENDAHULUAN
Burung puyuh (Coturnix coturnix Japonica) adalah salah satu jenis unggas
yang banyak digemari masyarakat. Adanya permintaan pasar untuk memperoleh
burung puyuh, sebagai pilihan sumber protein hewani, mendorong
berkembangnya peternakan burung puyuh di Indonesia. Pemeliharaan puyuh yang
mudah, tidak memerlukan lahan yang luas, dan ekonomis menjadi nilai lebih
beternak burung puyuh dibandingkan jenis unggas yang lain. Selain itu telur
burung puyuh memiliki nilai nutrisi lebih tinggi dibandingkan telur ayam. Telur
puyuh mengandung protein sebesar 13 % sedangkan telur ayam sebesar 11 %
(Gomathi et al., 2014).
Kelebihan burung puyuh dibandingkan unggas lain juga dapat dilihat dari
tingkat produksi dan konsumsi pakannya. Produksi telur untuk satu ekor puyuh
mencapai 300 butir per tahun dengan konsumsi pakan sebanyak 20 gram per ekor
per hari, namun satu ekor ayam mampu menghasilkan telur sebanyak 200 butir
per tahun dengan konsumsi pakan sebanyak 180-200 gram per ekor per hari
(Subekti dan Hastuti 2013). Burung puyuh dapat mulai bertelur pada umur 45 hari
yang jauh lebih singkat jika dibandingkan jenis unggas konsumsi lain seperti itik
maupun ayam yang mulai bertelur pada umur 6 bulan. Keuntungan secara
ekonomi dan hemat dalam pengeluaran biaya beternak burung puyuh menjadi
pertimbangan yang baik dari segi bisnis untuk dapat dikembangkan (Wuryadi,
2013).
Burung puyuh termasuk salah satu aneka ternak sangat potensial untuk
dikembangkan. Namun produktivitas ternak puyuh di Indonesia masih tergolong
rendah dan masih sangat mungkin untuk ditingkatkan. Permasalahan klasik yang
dialami oleh para peternak puyuh yaitu ternak puyuh mudah mengalami stres
yang berpengaruh terhadap produktivitas. Puyuh mempunyai ukuran tubuh yang
kecil, sehingga memiliki panas tubuh yang lebih besar dibandingkan ternak yang
besar, ditambah lagi dengan keberadaan bulu yang menutupi hampir seluruh
tubuhnya. Ternak unggas juga tidak memiliki kelenjar keringat yang
mengakitbatkan terlambatnya pembuangan panas tubuh baik berasal dari proses
metabolisme maupun panas dari lingkungan.
Suhu lingkungan yang tinggi dan lembab akan memberikan dampak
negatif terhadap ternak, dimana ternak mudah untuk menderita stres. Stres atau
cekaman merupakan suatu keadaan tubuh yang mengalami perubahan kondisi
hormonal secara temporer sebagai usaha pertahanan tubuh terhadap pengaruh dari
luar yang mengancam. Stres dari cekaman panas terjadi karena unggas tidak dapat
membuang panas dari dalam tubuh akibat suhu lingkungan yang tinggi. Masalah
ini menyebabkan pemeliharaan ternak unggas terutama burung puyuh menjadi
lebih rentan terhadap pengaruh cekaman panas.
Ternak unggas yang menderita stres akan terlihat banyak mengonsumsi air
minum, nafsu makan turun, gelisah dan mengepak-ngepakan sayap dilantai
kandang (Tamzil, 2014). Unggas akan cenderung menurunkan konsumsi pakan
saat kondisi heat stres dan akan banyak melakukan aktivitas makan saat kondisi
lingkungan nyaman. Frekuensi pemberian pakan harus disesuaikan dengan
temperatur, dimana kebutuhan energi meningkat dan unggas sangat responsif
terhadap temperatur yang nyaman untuk melakukan aktivitas makan.
Unggas akan menunjukkan tingkah laku sesuai kondisi lingkungan guna
memenuhi kebutuhan pakan, oleh karena itu manajemen pemberian pakan harus
di sesuaikan dengan kondisi lingkungan dan pola tingkah laku unggas. Pakan
harus disediakan pada waktu ayam butuh makan atau saat temperatur lingkungan
nyaman, sehingga unggas akan aktif melakukan aktivitas makan.
PEMBAHASAN
KESIMPULAN
Anggraeni. Elis Dihansih. 2019. Pengaruh Penambahan Esktrak Kunyit dalam Air
Minum Terhadap Produksi Telur Burung Puyuh. Jurnal Peternakan
Nusantara. 12 (2), 34-38
Curtis SE. 1983. Environmental Management in Animal Agriculture. Ames, IA.,
The Iowa State Univ. Press.
Diarra, S. S and P. Tabuaciri. 2014. Feeding management of poultry in high
environmental temperatures. Int. J. of Poult. Sci. 13 (11): 657-661.
Fransiska, Nurul. Andri Kusmayadi. 2020 Pemberian Air Isotonik Alami untuk
Mengatasi Stres terhadap Perfoman Produksi Burung Puyuh. Jornal of
Tropical Animal Production. 21 (1), 63-68.
Gomathi, S., Vijitha, M. and Rathnasamy, S. 2014. Affinity Separation of
Lysozyme from Quail Egg (Coturnix ypsilophora) and its Antimicrobial
Characterization. Int J Pharm Tech Res. 6(4): 1286-1291.
Lara LR, Rostagno MH.2013. Impact of heat stres on poultry production.Animals,
3, 356-369.
Mack LA, Felver-Gant JN, Dennis RL, Cheng. 2013. Genetic variation alter
production and behavioral responses following heat stres in 2 strains of
laying hens. Poult. Sci, 92:285–294.
Marai IFM., Ayyat MS andAbd El-Monem UM.2001. Growth performance and
reproductive traits at first parity of New Zealand White female rabbits as
affected by heat stres and its alleviation, under Egyptian conditions. Trop.
Anim. Health Prod. 33:457–462.
Mills, A. D., L. L. Crawford., M. Domjam and J. M. Faure. 1997. The Behavior of
the Japanese or domestic quail (Coturnix japonica). Neurosci. Biobehav.
rev. 21 (3) : 261-281.
Muharlien, Achmanu dan A. Kurniawan. 2010. Efek lama waktu pembatasan
pemberian pakan terhadap performans ayam pedaging finisher. J. Ternak
Tropika 11 (2) : 88-94.
Situmeang, J M. Supriyatna E. Dwi S. 2017. Pengaruh Frekuensi da Periode
Pemberian pakan Terhadap Performa Puyuh Petelur. Fakultas Peternakan
dan Pertanian Undip.
Tamba H. R. Suprijatna E. dan Atmomarsono U. 2019. Pengaruh Frekuensi dan
Periode Pemberian Pakan yang Berbeda Terhadap Tingkah Laku Makan
Burung Puyuh Petelur. Jurnal Sain Peternakan Indonesia. Volume. 14 No.
1 Hlm. 28 – 37.
Tamzil, M. H., Noor, R. R., Hardjosworo, P. S., Manalu, W. and Sumantri, C.
2014. Hematological response of chickens with different heat shock
protein 70 genotypes to acute heat stres. Int J Poult Sci. 13:14- 20
Wuryadi, S. 2014. Beternak Puyuh. Jakarta.