Anda di halaman 1dari 9

KETERSEDIAAN BAHAN BAKU PAKAN DI NUSA TENGGARA BARAT

UNTUK MENUNJANG PENDIRIAN PABRIK PAKAN

Oleh :
Dinda Febyan Prameswari (I2D222001)

Faculty of Animal Husbandry Mataram University, Mataram, Indonesia


Email : dindafebyanprameswarib1d019059@gmail.com

PENDAHULUAN diperhatikan adalah ketersediaan bahan baku


pakan.
Pembangunan sub sektor peternakan
Pakan adalah bahan makanan tunggal
merupakan bagian penting dari kebijakan
atau campuran, baik yang diolah maupun
pembangunan pertanian yang memiliki nilai
yang tidak diolah, yang diberikan kepada
strategis dalam upaya meningkatkan
hewan untuk kelangsungan hidup,
ketahanan pangan dan kualitas sumber daya
berproduksi, dan berkembang biak. Pakan
manusia. Dalam konteks ini, industri pakan
merupakan faktor utama dalam keberhasilan
ternak sapi memainkan peran krusial dalam
usaha pengembangan peternakan disamping
menyediakan pakan yang berkualitas untuk
faktor bibit dan tatalaksana. Pakan yang
meningkatkan produktivitas dan
berkualitas akan sangat mendukung
pertumbuhan ternak sapi. Pendirian industri
peningkatan produksi maupun reproduksi
pakan ternak sapi menjadi pilihan strategis
ternak (Anggorodi, 1985). Hal-hal yang
untuk memenuhi permintaan yang terus
berkaitan dengan pemberian pakan ternak
meningkat akan daging sapi. Namun,
adalah kebutuhan nutisi ternak, komposisi
pendirian industri pakan ternak sapi
nutrisi bahan pakan penyusun ransum dan
bukanlah keputusan yang dapat diambil
bagaimana beberapa bahan dapat
dengan mudah. Sebelum melangkah lebih
dikombinasikan untuk mencukupi
jauh, penting untuk melakukan evaluasi
kebutuhan ternak (Tiana dan Murhananto,
menyeluruh guna memastikan kelayakan
2002).
pendirian industri tersebut. Evaluasi ini
Mariyono dan Romjali (2007)
melibatkan analisis faktor-faktor kunci yang
menyatakan, bahwa limbah pertanian dan
berpengaruh dalam menentukan
agroindustri pertanian memiliki potensi yang
keberhasilan dan keberlanjutan bisnis
cukup besar sebagai sumber pakan ternak.
tersebut. Salah satu aspek penting yang perlu
Beberapa jenis limbah yang dapat digunakan sebagai pakan ternak adalah jerami tanaman
seperti jerami padi, jerami jagung, jerami kedelai, dan jerami kecang tanah. Ketersediaan
pakan limbah pertanian pangan merupakan salah satu kunci dalam mengolah pakan ternak.
Ketersediaan bahan yang berlimpah dan kontinyu merupakan pendorong dalam
menjadikannya sebagai 2 bahan pengolahan pakan ternak.
Industri merupakan suatu kegiatan ekonomi yang mengolah barang mentah, bahan
baku, barang setengah jadi atau barang jadi untuk dijadikan barang yang lebih tinggi
kegunaannya (Sukirno, 1995). Dalam industri pakan, untuk mendapatkan keuntungan yang
maksimal bergantung pada harga pembelian bahan baku. Selain pertimbangan harga, industri
pakan juga harus memikirkan kualitas dan kontinuitas ketersediaan bahan tersebut. Industri
pakan kemungkinan tidak akan memakai bahan pakan yang ketersediaannya tidak terjamin,
walaupun bahan tersebut murah dan mempunyai kualitas baik.
Industri pakan unggas merupakan sektor yang penting dalam industri peternakan,
yang berfokus pada produksi pakan untuk unggas seperti ayam, bebek, dan kalkun. Industri
ini bertujuan untuk menyediakan pakan yang seimbang nutrisinya dan memenuhi kebutuhan
nutrisi unggas untuk pertumbuhan, produksi telur, atau produksi daging yang optimal.
Industri pakan unggas melibatkan formulasi pakan yang tepat untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi spesifik dari masing-masing jenis unggas. Formulasi pakan biasanya mencakup
kandungan protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, dan bahan tambahan pakan
lainnya. Bahan baku utama dalam pakan unggas meliputi jagung, kedelai, tepung ikan,
bungkil kelapa sawit, dan dedak padi. Ketersediaan bahan baku ini akan mempengaruhi
produksi pakan unggas. Selain itu, bahan baku alternatif seperti bungkil kacang-kacangan
juga dapat digunakan. Dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai ketersediaan bahan
baku pakan unggas di wilayah Nusa Tenggara Barat.

INDUSTRI PAKAN TERNAK


Industri pakan ternak adalah sektor ekonomi yang bergerak dalam produksi dan
penyediaan pakan ternak untuk berbagai jenis hewan ternak, termasuk sapi, domba, kambing,
babi, ayam, dan unggas lainnya. Industri ini berperan penting dalam menyediakan pakan yang
berkualitas dan nutrisi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan gizi hewan ternak, meningkatkan
produktivitas, pertumbuhan, dan kesehatan ternak (Daud dkk., 2020). Industri pakan ternak
melibatkan proses produksi, formulasi, pengolahan, dan distribusi pakan ternak yang
mengikuti standar nutrisi dan keamanan pangan (Retnani, 2015). Bahan-bahan yang digunakan
dalam pakan ternak meliputi bahan nabati seperti biji-bijian, dedak, tepung ikan, jagung,
kedelai, serta suplemen vitamin dan mineral. Bahan-bahan ini dicampur dan diproses secara
tepat guna menghasilkan pakan yang seimbang nutrisinya dan sesuai dengan kebutuhan
spesifik setiap jenis ternak (Handari, 2002).
Industri pakan ternak berperan penting dalam menjaga kesehatan dan kualitas ternak,
meningkatkan produksi susu, daging, dan telur, serta memaksimalkan efisiensi pakan. Dengan
menyediakan pakan yang baik, industri ini membantu peternak untuk mencapai hasil ternak
yang optimal dan berkontribusi pada ketahanan pangan masyarakat. Penting juga untuk
mencatat bahwa industri pakan ternak berada dalam kaitan erat dengan industri peternakan
secara keseluruhan. Permintaan pakan ternak yang tinggi didorong oleh pertumbuhan industri
peternakan, yang membutuhkan pasokan pakan yang cukup dan berkualitas untuk memenuhi
kebutuhan hewan ternak yang dipelihara (Mayulu dkk., 2010).

PAKAN
Pakan merupakan bahan baku yang dapat dikonsumsi oleh hewan ternak untuk
memenuhi kebutuhan energi dan atau zat nutrisi dalam ransum makanannya. Penilaian
terhadap unsur-unsur lingkungan dalam sumberdaya pakan dapat dilakukan dalam tiga tingkat,
yaitu total ketersediaan, potensi dan cadangan riel. Ketersediaan total menyangkut unsur
lingkungan yang mungkin sebagai sumberdaya pakan yang dapat diperoleh. Potensi adalah
bagian dari total ketersediaan yang dapat diperoleh karena tidak seluruh yang tersedia dapat
diperoleh untuk penyediaan pakan. Demikian juga dari bagian potensi tidak seluruhnya dapat
menjadi cadangan nyata karena hanya sebagian dari sumberdaya yang diketahui pasti dapat
diperoleh akibat kompetisi peruntukan dengan kepentingan lain (Umiyasih dkk, 2004).
Kelangkaan sumberdaya bisa terjadi karena terbatasnya ketersediaan sumberdaya pada
suatu tempat sehingga tidak memenuhi kebutuhan lokal atau wilayah tertentu. Kelangkaan juga
bisa terjadi karena sumberdaya tersebut hanya terkonsentrasi di suatu tempat tetapi dibutuhkan
di tempat lain, karena proses distribusi yang terhambat. Kelangkaan bisa juga terjadi karena
digunakan secara terus menerus dari waktu ke waktu sehingga stok menjadi berkurang yang
berkorelasi terhadap harga. Fluktuasi harga komoditi peternakan umumnya disebabkan oleh
perubahan harga pakan ternak di pasaran. Kenaikan harga pakan secara langsung umumnya
akan menyebabkan peningkatan harga komoditas peternakan, hal ini disebabkan oleh biaya
produksi terbesar dari usaha peternakan adalah biaya pakan.
Nusa Tenggara Barat memiliki potensi pertanian dan populasi ternak yang cukup besar
serta dukungan limbah pertanian dan perikanan yang potensial untuk diolah dan dimanfaatkan
untuk memproduksi pakan ternak yang berkualitas dalam bentuk jadi. Realita yang terjadi
selama ini menunjukkan bahwa pakan ternak komersil yang memenuhi pasar lokal adalah dari
luar daerah. Kenyataan tersebut sesungguhnya merupakan tantangan sekaligus peluang bagi
pengembangan usaha di bidang peternakan dengan memanfaatkan sumberdaya lokal yang ada
sehingga biaya produksi usaha peternakan yang ada dapat ditekan.

PAKAN UNGGAS
Bahan pakan untuk unggas umumnya bersumber dari bahan pakan asal nabati atau yang
bersumber dari produk pertanian dan bahan pakan asal hewani atau bahan pakan asal produk
perikanan, serta bahan pakan pelengkap yang umumnya buatan pabrik, yang biasanya
digunakan untuk menutupi atau menyempurnakan keseimbangan nutrisi. Bahan pakan nabati
mempunyai porsi 90-94% dari total formulasi ransum (Rasyaf, 2002). Hal tersebut disebabkan
karena bahan pakan nabati umumnya sebagai sumber energi yang harus selalu terpenuhi di
dalam penyusunan ransum. Bahan pakan nabati umumnya tidak mempunyai kandungan asam
amino cukup seimbang, sehingga di dalam penyusunan ransum unggas hendaknya
menggunakan lebih dari satu bahan pakan asal nabati dengan tujuan untuk saling melengkapai
kelebihan dan kekurangan asam amino. Dengan demikian, bahan pakan asal hewani hanya
sebagai pelengkap saja, mengingat harganya lebih mahal dibandingkan dengan pakan nabati.
Semua bahan pakan nabati umumnya mempunyai kandungan serat kasar yang tinggi, padahal
ternak unggas mempunyai keterbatasan dalam mencerna serat kasar. Untuk lebih rincinya,
diuraikan bahan per bahan di bawah ini.
1. Jagung
Jagung merupakan bahan pakan yang paling banyak digunakan dalam penyusunan ransum
unggas. Hal tersebut disebabkan karena jagung banyak mengandung karbohidrat sebagai
sumber energi, banyak mengandung provitamin A, palatabel, dan serat kasarnya rendah,
sehingga mudah dicerna. Jagung merupakan pakan yang sangat baik untuk unggas. Jagung
sangat disukai ternak dan pemakaiannya dalam ransum unggas tidak ada pembatasannya,
kecuali untuk unggas petelur, pemakaian yang berlebih untuk ternak ini dapat menyebabkan
kelebihan lemak. Jagung tidak mempunyai antinutrisi.
2. Dedak Padi
Dedak padi diperoleh dari penggilingan padi menjadi beras. Banyaknya dedak yang
dihasilkan tergantung pada cara pengolahan. Sebanyak 4% dedak kasar dan 2,5% dedak
halus dapat dihasilkan dari berat gabah kering. Dedak padi cukup disenangi ternak.
Pemakaian dedak padi dalam ransum unggas umumnya sampai 15% dari campuran
konsentrat. Pembatasan dilakukan karena pemakaian dedak padi dalam jumlah besar dapat
menyebabkan susahnya pengosongan tombolok karena adanya sifat pencahar pada dedak.
Pemakaian dedak padi dalam jumlah besar dalam campuran ransum dapat memungkinkan
ransum tersebut mudah mengalami ketengikan selama penyimpanan.
3. Bungkil Kacang Kedelai
Bungkil kedelai adalah produk sampingan yang dihasilkan dari proses ekstraksi minyak
kedelai. Setelah minyak kedelai diekstraksi, sisa bahan padat yang tersisa disebut bungkil
kedelai. Bungkil kedelai merupakan biji kedelai yang telah dihilangkan sebagian minyaknya
dan umumnya digunakan sebagai bahan baku pakan ternak. Bungkil kedelai kaya akan
protein nabati, serat, dan nutrisi penting lainnya. Kandungan protein bungkil kedelai
berkisar antara 40 hingga 48 persen, tergantung pada metode ekstraksi minyak yang
digunakan. Bungkil kedelai juga mengandung lemak, serat pangan, karbohidrat, mineral
seperti kalsium, fosfor, dan zat besi, serta beberapa vitamin. Dalam industri pakan ternak,
bungkil kedelai digunakan sebagai sumber protein yang penting untuk makanan hewan
ternak seperti unggas, babi, dan ikan. Bungkil kedelai dapat digunakan dalam bentuk utuh
atau setelah diolah menjadi tepung bungkil kedelai. Pada umumnya, bungkil kedelai diolah
melalui proses penggilingan dan pengeringan sebelum digunakan sebagai bahan baku pakan
ternak.

POTENSI BAHAN BAKU PAKAN


Jagung
Jagung merupakan salah satu bahan dasar pakan ternak yang sangat penting. Formulasi
pakan unggas membutuhkan jagung yang sangat besar dalam komposisinya, yaitu 20-50 persen
dari formulasi pakan. Jagung sebagai sumber energi bagi ternak dengan porsi paling banyak
dalam pakan unggas, yaitu 40–50%, dedak padi 5–20 %, bungkil kedelai 10–25%, dan sisanya
bahan-bahan lain dengan porsi yang sangat sedikit (Tangendjaja, 2007). Swastika et al., (2011)
mengatakan bahwa jagung merupakan komponen terpenting pakan pabrikan di dunia, terutama
di daerah tropis. Di Indonesia, sekitar 51 persen komponen pakan pabrikan (terutama pakan
komplit) adalah jagung.
Kebutuhan jagung untuk pakan ditentukan oleh jenis dan populasi ternak. Dibutuhkan
analisis kebutuhan pakan ternak unggas dengan memperhitungkan angka produksi jagung
untuk mengetahui ketersediaan bahan baku pakan apakah sudah mencukupi atau tidak.
Berdasarkan hal tersebut, di bawah ini akan dicantumkan data populasi ternak unggas dan
produksi jagung di wilayah Nusa Tenggara Barat.
Tabel 1. Rata-rata populasi ternak unggas per kabupaten/kota di Nusa Tenggara Barat (ekor)
Jumlah dan Jenis Populasi Unggas
Kabupaten/Kota Ayam Kampung Ayam Petelur Ayam Pedaging Itik/Itik Manila
2016 2018 2019 2016 2018 2019 2016 2018 2019 2016 2018 2019
Kabupaten Lombok Barat 251200.00 1242689.001242689.00767707.00 350853.00 350853.00 1081866.00824150.00 824150.00 143078.00 161686.00 161686.00
Kabupaten Lombok Tengah 71728.00 3074683.003074683.003423669.00352548.00 352548.00 2879459.004103956.004103956.00712772.00 752145.00 752145.00
Kabupaten Lombok Timur 117124.00 1488996.001488996.001406627.00431142.00 431142.00 1574330.006949714.006949714.00146760.00 140339.00 140339.00
Kabupaten Sumbawa 29539.00 900436.00 900436.00 63875.00 14530.00 14530.00 141202.00 335725.00 335725.00 7129.00 12122.00 12122.00
Kabupaten Dompu 1380.00 159138.00 555062.00 446370.00 6996.00 40866.00 1490450.00217323.00 174036.00 14218.00 16639.00 27325.00
Kabupaten Bima 530.00 569531.00 569531.00 148732.00 4300.00 4300.00 192875.00 2213800.002213800.0031692.00 30497.00 30497.00
Kabupaten Sumbawa Barat 800.00 93820.00 93820.00 1015550.0022271.00 22271.00 526150.00 8100.00 8100.00 28755.00 9083.00 9083.00
Kabupaten Lombok Utara 2077.00 132368.00 132368.00 1600.00 47861.00 47861.00 91385.00 98514.00 98514.00 5045.00 10569.00 10569.00
Kota Mataram 10632.00 63078.00 63078.00 17621.00 11328.00 11328.00 68510.00 123346.00 123346.00 12499.00 10431.00 10431.00
Kota Bima 3853.00 145737.00 145737.00 244373.00 4870.00 4870.00 84544.00 313022.00 313022.00 17703.00 25523.00 25523.00
Nusa Tenggara Barat 488863.00 7870476.008266400.007536124.001246699.001280569.008130771.0015187650.0015144363.00
1119651.001169034.00 1179720

Sumber: BPS, 2019


Tabel 1 memperlihatkan bahwa budidaya ternak unggas di daerah Nusa Tenggara Barat
terdiri dari ayam kampung, ayam petelur, ayam pedaging dan itik. Populasi ternak unggas di
tiap kabupaten ≥ 300 ribu ekor.

Tabel 2. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Jagung di Nusa Tenggara
Barat Tahun 2016-2019.
Produktivitas
Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton)
(Ton/Ha)
2016 206.885 1.278.271 61,79
2017 310.990 2.127.324 68,40
2018 326.377 2.084.928 63,88
2019 362.092 2.494.931 68,90
Sumber: Kementerian pertanian, dinas pertanian dan perkebunan NTB

Produksi jagung dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti musim tanam, pembukaan
lahan baru, dan budaya masyarakat petani jagung. Faktor lain yang juga mempengaruhi
produksi adalah serangan hama dan penyakit. Pada saat ini dilaporkan adanya serangan hama
baru yang sudah tersebar diseluruh daerah pertanaman jagung (Nelly et al., 2021). Berdasarkan
tabel 2 dapat diketahui bahwa data perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas dari
tahun 2016-2019 berfluktuasi. Diketahui pada tahun 2016 luas lahan 206.885 Ha diproleh
produksi mencapai 1.278.271 Ton dengan produktivitas sebesar 61,79 Ton/Ha. Adapun pada
tahun 2017 luas panen mengalami peningkatan yaitu 310.990 Ha dengan produksi 2.127.324
Ton sehingga produktivitas mencapai 68,40 Ton/Ha. Sedangkan di tahun 2018 produksi sedikit
mengalami penurunan 2.084.928 Ton dengan luas panen 326.377 Ha, hal ini berdampak juga
pada produktivitas sehingga produktivitas yang diperoleh sebesar 63,88 Ton/Ha. Dan pada
tahun 2019 adanya penambahan luas panen yaitu mencapai 362.092 Ha, sehingga dengan
demikian produksi mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu mencapai pada
2.494.931 Ton. Meningkatnya luas panen dan produksi tentu akan berpengaruh pada
produktivitas, dengan jumlah luas panen dan hasil produksi di tahun 2019 produktivitas
mencapai pada angka 68,90 Ton/Ha. Kemudian dibutuhkan analisa lebih lanjut untuk
mengetahui apakah produksi jagung di Nusa Tenggara Barat dapat memenuhi kebutuhan untuk
pembuatan pakan ternak unggas apabila akan didirikan pabrik pakan di wilayah tersebut
dengan mencari terlebih dahulu kebutuhan jagung untuk formulasi pakan unggas, rata-rata
kebutuhan ternak unggas per ekor per hari, mencari hubungan kebutuhan jagung dengan
populasi ternak unggas, serta hubungan produksi dan kebutuhan jagung di tiap kabupaten/kota
di Nusa Tenggara Barat.

Dedak Padi
Dedak padi adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada bungkil atau ampas
yang dihasilkan dari proses penggilingan padi. Dedak padi terdiri daripada kulit luar dan
lapisan aleuron pada butir padi yang dipisahkan semasa proses penggilingan untuk
menghasilkan beras putih. Dedak padi biasanya digunakan sebagai makanan ternak, terutama
untuk unggas. Dedak padi mengandung sejumlah nutrisi penting seperti protein, serat, asid
lemak esensial, serta beberapa vitamin dan mineral. Oleh itu, dedak padi merupakan suplemen
makanan yang penting bagi ternakan untuk membantu memenuhi keperluan nutrisinya.
Kebutuhan dedak padi untuk pakan ditentukan oleh jenis dan populasi ternak.
Dibutuhkan analisis kebutuhan pakan ternak unggas dengan memperhitungkan angka produksi
dedak padi untuk mengetahui ketersediaan bahan baku pakan apakah sudah mencukupi atau
tidak. Berdasarkan hal tersebut, di bawah ini akan dicantumkan produksi padi di wilayah Nusa
Tenggara Barat.
Dapat dilihat pada tabel 3 bahwa pada tahun 2018 luas panen padi di Nusa Tenggara
Barat sebesar 289242.59 Ha, kemudian di tahun berikutnya mengalami penurunan menjadi
281666.04 Ha. Produksi pada tahun 2018 sebesar 1460338.81 ton, kemudian di tahun
berikutnya menurun menjadi 1402182.39 ton.
Tabel 3. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi Berdasarkan Provinsi
di Indonesia Tahun 2018-2019
Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi Menurut Provinsi
PROVINSI Luas Panen (ha) Produktivitas (ku/ha) Produksi (ton)
2018 2019 2018 2019 2018 2019
ACEH 329515.78 310012.46 56.49 55.30 1861567.10 1714437.60
SUMATERA UTARA 408176.45 413141.24 51.65 50.32 2108284.72 2078901.59
SUMATERA BARAT 313050.82 311671.23 47.37 47.58 1483076.48 1482996.01
RIAU 71448.08 63142.04 37.28 36.56 266375.53 230873.97
JAMBI 86202.68 69536.06 44.44 44.57 383045.74 309932.68
SUMATERA SELATAN 581574.61 539316.52 51.48 48.27 2994191.84 2603396.24
BENGKULU 65891.16 64406.86 43.83 46.03 288810.52 296472.07
LAMPUNG 511940.93 464103.42 48.61 46.63 2488641.91 2164089.33
KEP. BANGKA BELITUNG 17233.59 17087.81 26.53 28.56 45724.69 48805.68
KEP. RIAU 375.87 356.27 29.19 32.30 1097.00 1150.80
DKI JAKARTA 673.37 622.59 72.76 53.96 4899.14 3359.31
JAWA BARAT 1707253.81 1578835.70 56.51 57.54 9647358.75 9084957.22
JAWA TENGAH 1821983.17 1678479.21 57.63 57.53 10499588.23 9655653.98
DI YOGYAKARTA 93956.45 111477.36 54.81 47.86 514935.49 533477.40
JAWA TIMUR 1751191.67 1702426.36 58.26 56.28 10203213.17 9580933.88
BANTEN 344836.06 303731.80 48.94 48.41 1687783.30 1470503.35
BALI 110978.37 95319.34 60.11 60.78 667069.06 579320.53
NUSA TENGGARA BARAT 289242.59 281666.04 50.49 49.78 1460338.81 1402182.39
NUSA TENGGARA TIMUR 218232.91 198867.41 41.24 40.82 899935.88 811724.18
KALIMANTAN BARAT 286476.03 290048.44 27.92 29.23 799715.21 847875.13
KALIMANTAN TENGAH 147571.69 146144.51 34.88 30.35 514769.05 443561.33
KALIMANTAN SELATAN 323091.21 356245.95 41.09 37.69 1327492.41 1342861.82
KALIMANTAN TIMUR 64961.16 69707.75 40.45 36.41 262773.88 253818.37
KALIMANTAN UTARA 13707.00 10294.70 32.88 32.40 45063.53 33357.19
SULAWESI UTARA 70352.62 62020.39 46.47 44.79 326929.74 277776.31
SULAWESI TENGAH 201279.24 186100.44 46.05 45.40 926978.66 844904.30
SULAWESI SELATAN 1185484.10 1010188.75 50.21 50.03 5952616.45 5054166.96
SULAWESI TENGGARA 136673.75 132343.86 39.43 39.27 538876.14 519706.93
GORONTALO 56631.64 49009.95 47.60 47.18 269540.40 231211.11
SULAWESI BARAT 65303.78 62581.47 48.46 47.96 316478.37 300142.22
MALUKU 29052.14 25976.85 40.01 37.82 116228.86 98254.75
MALUKU UTARA 13412.75 11700.50 36.57 32.43 49047.11 37945.64
PAPUA BARAT 7767.01 7192.15 32.15 41.63 24967.13 29943.56
PAPUA 52411.95 54131.72 42.57 43.48 223119.42 235339.51
INDONESIA 11377934.44 10677887.1552.03 51.14 59200533.72 54604033.34

Sumber: BPS, 2019

Dibutuhkan analisa lebih lanjut untuk mengetahui apakah produksi padi di Nusa
Tenggara Barat dimana hasil sampingannya yang berupa dedak padi dapat memenuhi
kebutuhan untuk pembuatan pakan ternak unggas apabila akan didirikan pabrik pakan di
wilayah tersebut dengan mencari terlebih dahulu kebutuhan dedak padi untuk formulasi pakan
unggas, rata-rata kebutuhan ternak unggas per ekor per hari, mencari hubungan kebutuhan
dedak padi dengan populasi ternak unggas, serta hubungan produksi dan kebutuhan padi di tiap
kabupaten/kota di Nusa Tenggara Barat.
DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi, R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Daud, M., Fuadi, Z., Mulyadi. 2020. Performan dan Produksi Karkas Itik Lokal Dengan
Pemberian Ransum yang Mengandung Limbah Ikan Leubim (Canthidermis maculata).
Jurnal Agripet, 20(1): 9-16.

Handari, R. D. 2002. Teknologi dan Kontrol Kualitas Pengolahan Pakan di PT Charoen


Pokphand Sidoarjo Jawa Timur. Laporan Praktek Kerja Lapangan. Fakultas Peternakan
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Mariyono, E. dan Romjali. 2007. Petunjuk Teknis Teknologi Inovasi Pakan Murah untuk
Usaha Pembibitan Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Grati.

Mayulu, H., Sunarso, Sutrisno, C. I., Sumarsono. 2010. Kebijakan Pengembangan Peternakan
Sapi Potong di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 29(1): 34-41.

Nelly, N., Hamid, H., Lina, E. C., & Yunisman. (2021). Distribution and genetic diversity of
spodoptera frugiperda j. E. smith (noctuidae: Lepidoptera) on maize in west sumatra,
indonesia. Biodiversitas, 22(5), 2504–2511.

Rasyaf, M. 2002. Bahan Makanan Unggas di Indonesia. Cetakan ke 9. Yogyakarta: Penerbit


Kanisius.

Retnani, Yuli. 2015. Proses Industri Pakan. Bogor: PT Penerbit IPB Press.

Sukirno, S. 1995. Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro. Edisi kedua, halaman 54. PT. Karya
Grafindo Persada. Jakarta.

Swastika, D. K. S., Agustian, A., & Sudaryanto, T. (2011). Analisis Senjang Penawaran dan
Permintaan Jagung Pakan dengan Pendekatan Sinkronisasi Sentra Produksi, Pabrik
Pakan, dan Populasi Ternak di Indonesia. Informatika Pertanian, 2(2), 65–75.

Tangendjaja, B. 2007. Inovasi teknologi pakan menuju kemandirian usaha ternak unggas.
Wartazoa, 17(December), 12–20.

Tiana dan Murhananto. 2002. Budidaya Koi. Depok: Agromedia Pustaka.

Umiyasih, U., Gunawan, D. E., Wahyono, Y.N., Anggraeni, dan I.W Mathius. 2004.
Penggunaan Bahan Pakan Lokal Sebagai Upaya Efisiensi pada Usaha Pembibitan Sapi
Potong Komersial. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner,
Bogor, 4-5 Agustus 2004. Puslitbangnak Bogor.

Anda mungkin juga menyukai