Irham Fazza
F14120071 / 2012
F14120076 / 2012
F14120109 / 2012
Mochammad Chusen
F14120111 / 2012
Muhammad Fadil
F14120120 / 2012
Achmad Fathlillah
F14130110 / 2013
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pemerintah Indonesia berupaya memacu peningkatan produksi susu
dengan menambah populasi sapi perah dan memperbaiki produktivitasnya.
Dibandingkan dengan negara maju, saat ini persentase peningkatan populasi sapi
perah di Indonesia memang lebih cepat. Akan tetapi, di negara maju jumlah
produksi yang sama dapat dihasilkan dari jumlah sapi yang lebih sedikit. Kondisi
tersebut bisa terjadi karena di negara maju yang paling utama diusahakan adalah
peningkatan produktivitasnya dan bukan populasinya (Pita, 2011).
Iklim tropis di Indonesia menjadi tantangan terbesar dalam upaya
optimalisasi produksi susu tersebut. Hal ini dikarenakan kenyataan bahwa sapi
perah akan dapat berproduksi dengan baik apabila dipelihara pada kondisi
lingkungan yang nyaman dengan batas maksimum dan minimum temperatur dan
kelembaban lingkungan berada pada thermo neutral zone (ZTN). Diluar kondisi
tersebut sapi perah akan mudah mengalami stres. Stres panas terjadi ketika
temperatur dan kelembaban berada di atas ZTN (RUMETOR, 2003). Lebih lanjut,
WAGNER (2001) menjelaskan bahwa stres panas akan terjadi ketika panas yang
masuk ke dalam tubuh ternak tidak seimbang dengan panas yang dapat
dikeluarkan oleh tubuh. Parameter yang sering digunakan di berbagai negara
untuk mengetahui potensi stres panas pada ternak adalah dengan Temperature
Humidity Index (THI). Apabila induk sapi perah berada pada kondisi lingkungan
dengan THI kritis akan mengalami gangguan fisiologis dan produktivitas (Pita,
2011).
1.2 Tujuan
1. Untuk mencapai suhu dan RH ideal untuk pertumbuhan dan
perkembangan sapi perah
2. Untuk mencegah terjadi stress pada sapi perah akibat kepanasan
3. Untuk mengefektifan penggunaan pendingin dengan menggunakan sistem
evaporative cooling
4. Untuk merancang sistem pendingin kandang sapi perah yang efektif dan
efisien
1.3 Manfaat
1. Sistem pendinginan yang efektif dan efisien dapat mengurangi biaya
instalasi dan kebutuhan energi pendingin kandang sapi perah
2. Dapat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan sapi perah
3. Suhu ideal dapat dipenuhi dengan melakukan sistem controlling pada
pendingin
4. Sapi perah menjadi nyaman sehingga membantu peningkatan produksi
susu, dan pertumbuhan sapi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Produksi Panas Hewan dalam Kandang
Ternak menghasilkan sejumlah panas metabolisme tergantung dari tipe
ternak yaitu bobot badan, jumlah makan yang dikonsumsi dan kondisi lingkungan
mikro. Panas yang dihasilkan kandang harus diprediksi untuk merancang sistem
kontrol lingkungan. Panas yang dihasilkan dan kemudian dilepas oleh tubuh
hewan terdiri atas panas sensibel dan panas laten yang dihasilkan oleh hewan
dalam kandang merupakan komponen kritis keseimbangan panas untuk kondisi
setimbang dalam struktur kandang (Ahmad, 2007).
Tabel 1. Produksi panas sapi perah (bobot badan 454.5 kg)
Suhu (oC)
4.44
278.4
766.6
1,055
10
322.4
674.0
996
15.56
392.7
556.8
949
21.11
410.3
498.2
908
26.67
556.8
293.1
849
2.3 Distribusi Suhu dan Kelembaban Udara pada Kandang Sapi Perah FH
Distribusi suhu dan kelembaban udara (RH) pada kandang sapi perah FH
dipengaruhi oleh luas dan tinggi bangunan, jumlah ternak, suhu lingkungan,
sistem ventilasi, radiasi matahari, peralatan peternakan, kecepatan angin,
pergerakan udara di sekitar bangunan. Pada bangunan pertanian ( greenhouse ),
faktor desain yang sangat menentukan distribusi suhu dan kelembaban udara
adalah dimensi bangunan, posisi dinding atau atap ventilasi, sudut pembukaan
ventilasi, jumlah span dan sebagainya (Boutet, 1987). Pertukaran udara dalam
kandang sapi perah dipengaruhi oleh besarnya suhu lingkungan, produksi panas
hewan, kelembaban, konsentrasi gas dalam kandang, jenis bahan atap bangunan,
pindah panas dari lantai, sistem dan luasan ventilasi, luas dan tinggi bangunan
kandang (Hellickson dan Walker, 1983).
Pindah panas pada kandang sapi perah dapat terjadi secara radiasi,
konveksi maupun konduksi (Wathes dan Charles, 1994) yang mengakibatkan
adanya distribusi suhu dalam kandang. Pindah panas secara radiasi dipengaruhi
oleh besarnya radiasi matahari atau bahan, kecepatan angin dan suhu lingkungan.
Pindah panas pada bahan bangunan kandang dipengaruhi oleh
konduktivitas bahan, tebal bahan dan waktu, sedangkan secara konveksi sangat
dipengaruhi oleh suhu lingkungan, kecepatan angin, waktu dan luasan daerah
konveksi. Analisis distribusi suhu dalam bangunan pertanian dapat dilakukan
dengan perhitungan besarnya pindah panas dan massa pada bangunan melalui
sistem ventilasi sehingga menghasilkan aliran udara yang baik di dalam kandang.
Pemecahan analisis aliran udara pada kandang sapi perah (bangunan
pertanian) dalam 2 atau 3 dimensi dapat dilakukan dengan metode finite element,
metode finite difference (Cheney dan Kincaid, 1990), metode spectral dan finite
volume dengan computational fluid dynamics atau CFD (Versteeg dan
Malalasekera, (1995).
2.4 Ventilasi
Ventilasi pada bangunan pertanian digunakan untuk mengendalikan suhu,
kelembaban udara, kotoran ternak dan pergerakan udara sehingga kondisi
lingkungan mikro yang dibutuhkan ternak dapat terpenuhi. Ventilasi terjadi jika
terdapat perbedaan tekanan udara. Ventilasi dengan tekanan udara tertentu dapat
mempengaruhi kecepatan pergerakan udara, arah pergerakan, intensitas dan pola
aliran serta rintangan setempat (Takakura, 1979). Laju ventilasi diukur dengan
satuan massa udara per unit waktu (Mastalerz, 1977). Laju ventilasi minimum
pada kandang biasanya didasarkan pada kebutuhan pergerakan udara untuk
kontrol kelembaban (Esmay, 1986).
Di daerah tropis seperti Indonesia, ventilasi bangunan kandang yang
biasanya digunakan adalah ventilasi alami karena dapat menekan biaya dan tenaga
kerja dibandingkan dengan ventilasi lainnya. Ventilasi alami terjadi karena
adanya perbedaan tekanan udara akibat faktor angin dan faktor termal. Faktor
angin dan termal ini dimanfaatkan untuk menggerakkan udara dan menentukan
laju ventilasi alami yang terjadi. Laju ventilasi alami memiliki hubungan yang
linier dengan kecepatan udara dan tergantung pada perbedaan tekanan udara yang
ditimbulkan oleh perbedaan temperatur lingkungan (Takakura, 1979). Laju
pertukaran udara dipengaruhi oleh total luas bukaan, arah bukaan, kecepatan
angin dan perbedaan temperatur di luar dan di dalam kandang (Mastalerz, 1977).
Kontrol manual sistem ventilasi alami dapat dilakukan dengan pembukaan dan
penutupan lubang ventilasi serta pengaturan bukaan pada dinding (Takakura,
1979). Pengaturan ventilasi alami agar tetap kontinyu sulit dilakukan karena
dipengaruhi oleh temperatur, kecepatan dan arah angin yang tidak mudah
dikendalikan.
2.5 Efek Angin dan Efek Termal
Efek angin digolongkan menjadi dua komponen, yaitu efek turbulen dan
efek steady . Efek steady terjadi karena pada saat angin bertiup di atas dan di
sekeliling bangunan. Pergerakan angin ini dapat membangkitkan perbedaan
tekanan pada lokasi yang berbeda yang menghasilkan distribusi tekanan pada
bangunan. Distribusi tekanan di sekitar bangunan dinyatakan sebagai distribusi
dari koefisien tekanan. Apabila koefisien tekanan bernilai positif maka akan
erjadi aliran udara masuk (inflow) melalui bukaan pada bangunan. Apabila
koefisien tekanan bernilai negatif maka akan terjadi aliran udara keluar dari
bangunan (outflow). Efek turbulen terjadi karena kecepatan angin tidak bersifat
statis melainkan bervariasi secara kontinyu yang menghasilkan fluktuasi tekanan.
Efek termal timbul dari perbedaan temperatur di dalam dan di luar
kandang (Bockett & Albright, 1987). Konveksi panas dari atap dan material
penyusun kandang dapat meningkatkan temperatur udara dan menurunkan
kerapatan udara dalam kandang sehingga mengakibatkan perbedaan tekanan udara
di dalam dan di luar kandang yang pada akhirnya terjadi aliran udara keluar
masuk kandang melalui bukaan. Akibat faktor termal, terdapat suatu bidang pada
bukaan kandang dimana tidak terjadi aliran udara karena tekanan udara di dalam
dan di luar kandang besarnya sama. Bidang ini disebut bidang tekanan netral.
Posisi bidang tekanan netral memberikan gambaran bukaan yang berfungsi
sebagai saluran masuk dan saluran keluarnya udara. Pada bagian bawah bidang
tekanan netral, tekanan udara luar lebih tinggi daripada tekanan udara di dalam
kandang sehingga terjadi aliran udara masuk ke dalam kandang. Pada bagian di
atas bidang tekanan netral, tekanan udara di dalam lebih tinggi dari tekanan udara
di luar sehingga terjadi aliran udara keluar (Brockett & Albright, 1987).
2.6 Computational Fluid Dynamics (CFD)
Computational Fluid Dynamics (CFD) adalah suatu analisis sistem yang
meliputi aliran fluida, pindah panas dan massa, serta fenomena lain seperti reaksi
kimia dengan menggunakan simulasi berbasis komputer. CFD telah digunakan
sejak tahun 1960 untuk mendesain mesin jet dan aircraft . CFD merupakan
pemanfaatan komputer untuk memprediksi secara kuantitatif apa yang terjadi
pada saat fluida mengalir sehingga prediksi aliran fluida pada berbagai sistem
dapat dilakukan dengan biaya murah dan waktu relatif singkat dibandingkan
dengan metode eksperimen. Untuk memprediksi aliran fluida pada kondisi
tertentu, program CFD harus dapat menyelesaikan persamaan yang mengatur
aliran fluida sehingga pemahaman tentang sifat-sifat dasar aliran fluida sangat
penting. Persamaan pengatur aliran fluida adalah persamaan differensial parsial
dan komputer digital tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan persamaan
tersebut secara langsung sehingga persamaan tersebut harus ditransformasikan ke
dalam persamaan aljabar sederhana dengan metode diskritisasi (Versteeg dan
Malalasekera, 1995).
kandang sapi perah didekati dengan persamaan konveksi alami tanpa pengendalian
mekanis. Koefisien pindah panas konveksi pada dinding tegak dan atap untuk
konveksi alami dihitung menggunakan rumus (Cengel, 2003) sebagai berikut:
k
h=Nu
L
Nu= 0.825+
0.387 Ra l 6
( (
0.496
1+
Pr
9 8
16 27
))
Dimana,
h
k
L
Nu
Pr
Ral
Dimana,
Q
A
T
T
Besarnya panas yang dipindahkan dari tubuh ternak (sapi perah FH)
tergantung dari produksi panas yang dihasilkan oleh ternak (Purwanto et
al.,1993) seperti terlihat pada Tabel 1.
3.3 Pengukuran Luas Permukaan dan Suhu Kulit Sapi Perah FH
Luas permukaan kulit sapi perah FH sebagai area heat transfer merupakan
fungsi dari bobot badan sapi. Semakin besar bobot badan sapi, semakin besar luas
permukaan kulitnya dan dapat dirumuskan sebagai berikut (Esmay & Dixon, 1986) :
0.48
As=0.21 W
Dimana,
As
: Luas permukaan kulit sapi (m2)
W
: Bobot tubuh sapi FH (kg)
5. Pipa sirkulasi
Pipa sirkulasi berfungsi sebagai tempat fluida air mengalir dari tangki ke
dinding air.
3.6 Rancangan Struktural
Adapun komponen komponen yang digunakan untuk membangun sistem
pendingin evaporative cooling untuk kandang sapi perah FH adalah sebagai
berikut :
1. Kipas
Kipas berfungsi untuk mengalirkan udara menuju ruang di dalam
kandang. Udara ini akan membawa uap air dikarenakan proses
penyerapan panas laten dari fluida air yang bersentuhan dengan partikel
fluida udara yang mengalir. Besarnya uap air ini akan menentukan
kapasitas pendinginan dalam kandang sapi. Daya kipas yang digunakan
bergantung pada pindah panas dan capaian suhu optimum.
2. Dinding air
Dinding air berfungsi untuk membuat partikel air dan partikel udara
bersentuhan sehingga terjadi perpindahan panas laten dari fluida air ke
udara.
3. Pompa
Pompa berfungsi untuk mengalirkan air dari agar disirkulasikan ke
dinding air hingga tangki air. Pompa yang digunakan memiliki daya
sebesar 1 HP.
4. Tangki air
Tangki air berfungsi untuk menampung air yang bersirkulasi. Tangki air
yang digunakan diletakkan dalam kandang dan berkapasitas 500 L.
5. Pipa sirkulasi
Pipa sirkulasi berfungsi sebagai tempat fluida air mengalir dari tangki ke
dinding air. Pipa yang digunakan memiliki diameter inch.