Anda di halaman 1dari 9

Cekaman Panas

Cekaman panas atau heat stress merupakan kondisi saat ternak


mengalami kesulitan untuk mempertahankan keseimbangan produksi dan
pembuangan panas tubuh. Ayam akan memproduksi panas dan membuang
kelebihan panas tubuh secara terkendali pada zona termonetral
(thermoneutral zone) sehingga suhu tubuh konstan. Ketika temperatur
lingkungan mencapai ambang batas atas (upper critical temperature),
terjadi peningkatan akitivitas pembuangan panas melalui panting. Panting
adalah respons normal terhadap panas dan dianggap sebagai masalah
kesejahteraan hewan (animal welfare). Frekuensi panting meningkat sesuai
dengan peningkatan temperatur lingkungan. Produksi panas melebihi
kemampuan pembuangan panas yang maksimum (maximum heat loss)
menyebabkan kematian setelah ayam menunjukkan cekaman panas yang
intens (akut) atau cekaman panas yang berlangsung dalam waktu lama
(kronis). Suhu tubuh ayam harus dijaga sekitar 39,9 – 41 oC, ayam akan
mati apabila suhu tubuh meningkat sebanyak 4oC atau lebih (DEFRA, 2005).
Mekanisme Produksi Panas dan Pembuangan Panas pada Ayam

Ayam broiler memiliki pertumbuhan cepat dan laju metabolisme yang


cepat, disertai dengan produksi panas yang tinggi akibat tingginya konsumsi
pakan. Ayam bersifat homeotermik dan mempertahankan suhu tubuh pada
rentangan yang sempit, kemampuan mendisipasi panas menurun saat
temperatur lingkungan meningkat (Yahav et al., 2005). Rentangan yang
sempit tersebut digambarkan dengan sedikitnya selisih batas atas dan
bawah dari ritme sirkadian suhu tubuh. Pada siang hari konsumsi menurun
sehingga produksi panas menurun, hal ini dimaksudkan untuk menjaga
keseimbangan suhu tubuh agak tidak melebihi ambang batas atas (May dan
Lott, 1992).
Pada temperatur lingkungan yang relatif rendah, panas didisipasi melalui
sensible heat loss (SHL) secra radiasi, konduksi, dan konveksi. Mekanisme
radiasi panas dari ayam ke lingkungan terjadi akibat perbedaan temperatur
permukaan tubuh dan temperatur udara sekitarnya. Konveksi terjadi melalui
aliran udara dari jengger, pial, wajah, kaki, jari-jari, leher, tubuh dan sayap
(Yahav et al., 2005). SHL dari jengger dan pial mencakup 34% dari total
SHL pada suhu 35oC. Konduksi terjadi dengan menyalurkan panas dari
tubuh ke permukaan benda, misalnya litter, lantai atau dinding kandang
(Hilman et al., 1985). Evaporasi pada ayam tidak terjadi melalui penguapan
air yang dihasilkan oleh kelenjar keringat, melainkan dari mulut yang
dikenal dengan istilah panting. Panting efektif apabila kelembaban
lingkungan tidak terlalu tinggi. Temperatur dan kelembaban udara yang
tinggi menyebabkan cekaman yang lebih parah daripada temperatur tinggi
namun kelembabannya rendah. Panting membutuhkan energi untuk
aktivitas otot organ pernafasan, panting yang cepat dan berat akibat
temperatur ekstrim dapat meningkatkan frekuensi pernafasan hingga 10 kali
lipat.

Panting

Peningkatan frekuensi nafas membuang CO2 dalam jumlah besar dan


meningkatkan pH darah sehingga terjadi alkalosis. Kadar kalium dan fosfat
darah menurun, sedangkan natrium dan klorida meningkat. Konsekuensi
dari panting yaitu dapat menurunkan laju pertumbuhan atau justru
menurunkan bobot badan (DEFRA, 2005).
Pengaruh Cekaman Panas terhadap Konsumsi dan Bobot Badan

Peningkatan temperatur lingkungan kandang dari 21,1 – 32,2oC


menyebabkan penurunan konsumsi pakan per ekor per hari sebanyak 9,5%
dari minggu ke 1 – 6. Ketika temperatur lingkungan meningkat dari 32,2 -
37,8oC terjadi penurunan konsumsi sebesar 9,9% dibandingkan temperatur
21,1 oC (North dan Bell, 1990). Menurut May dan Lott (1992), peningkatan
konsumsi air pada temperatur siklik 24 – 35 – 24 oC disertai dengan
penurunan konsumsi pakan. Penurunan konsumsi pakan bertujuan untuk
mencegah peningkatan panas yang dihasilkan dari proses pencernaan dan
matabolisme. Peningkatan konsumsi air bertujuan untuk menurunkan
temperatur tubuh dan memudahkan pembuangan panas.
Penurunan konsumsi pakan jelas menghasilkan bobot badan yang
lebih rendah. Bobot badan ayam broiler umur 6 minggu menurun sebesar
14,3% dan 21,2% pada suhu 32,2 oC dan 37,8 oC (North dan Bell, 1990).
Pertumbuhan ayam terganggu (kiri), normal (kanan)

Pengaruh Cekaman Panas terhadap Fisiologis

Frekuensi nafas tergantung pada umur ayam, temperatur


lingkungan, dan kelembaban. Peningkatan frekuensi nafas terjadi apabila
terjadi peningkatan kelembaban (RH) lingkungan. Menurut Yahav (2000),
frekuensi panting yang diestimasi dari pH darah dan pCO2 lebih tinggi pada
temperatur 30oC dibandingkan 28oC. Frekuensi nafas ayam normalnya
sebanyak 20 – 30 kali per menit, tetapi saat temperatur 30,2oC dan
kelembaban 89,0%, frekuensi nafas meningkat menjadi 39 kali per menit
(Abioja et al., 2012).
Rasio heterofil-limfosit adalah rasio indikator cekaman yang nilainya
dipengaruhi oleh berbagai stressor, misalnya temperatur lingkungan yang
tinggi. Rasio heterofil-limfosit yang tinggi berkorelasi negatif dengan bobot
badan dan berkorelasi positif dengan mortalitas (Puvaldopirod dan Thaxton,
2000).
Strategi Pemberian Pakan selama Cekaman Panas

Pembatasan pakan dapat dilakukan untuk mengurangi beban panas


saat temperatur lingkungan tinggi. Pemuasaan selama 2 jam sebelum
periode terpanas di siang hari dapat memperbaiki FCR dan menurunkan
angka mortalitas tanpa mempengaruhi bobot badan (Yalcin et al., 2001).
Ayam yang diberi pakan lebih sedikit selama 2 jam sebelum periode
terpanas di siang hari mengalami peningkatan bobot badan sebesar 2,8%
dan penurunan rasio heterofil:limfosit dibandingkan ayam yang diberi pakan
ad libitum. Hal ini berarti pembatasan pakan selama cekaman panas dapat
mengurangi efek bahaya cekaman panas.

Pilih bahan pakan dengan teliti untuk free choice feeding

Cara lainnya adalah dengan pemberian pakan basah (wet feeding).


Penambahan air dapat menstimulasi pencernaan dan absorbsi, memudahkan
kerja lambung dan usus dalam mencerna pakan. Penambahan acidifier
berupa asam organik dalam ransum basah dapat menciptakan kondisi
optimal bagi enzim pencernaan sehingga pakan mudah dicerna dan diserap,
serta meningkatkan pertambahan bobot badan dan menurunkan FCR (Khoa,
2007). Penambahan air dalam pakan dapat mengurangi viskositas digesta
dan menyebabkan laju pencernaan yang lebih tinggi dan menstimulasi
aktivitas enzimatik dari dinding usus (Yasar dan Forbes, 2000).
Metode lainnya yaitu dengan suplementasi vitamin, mineral, dan
herbal tertentu, misalnya vitamin C (asam askorbat), mineral seng (Zn) dan
madu. Penambahan vitamin C dalam air minum dapat menurunkan suhu
rektal dan frekuensi panting saat siang hari pada ayam yang dipelihara
dalam kandang semi terbuka. Vitamin C dapat menghambat sekresi dan
pelepasan kortikosteron yang bersifat sitositik dalam konsentrasi tinggi
selama periode cekaman (Pardue dan Thaxton, 1986 dalam Abioja et al.,
2012). Seng (Zn) berperan dalam sistem imun tubuh. Suplementasi Zn
sebanyak 34, 68, dan 181 mg/kg ransum dapat meningkatkan aktivitas
antibodi, meningkatkan bobot organ limfoid, jumlah makrofag, dan
kemampuan fagositosis makrofag pada temperatur lingkungan 23,9 – 35oC
(Bartlett dan Smith, 2003). Suplementasi 20 ml madu per liter air minum
menurunkan frekuensi panting dan denyut jantung karena madu
mengandung fitohormon yang berperan dalam kontraksi dan relaksasi otot
jantung maupun paru-paru. Madu berpengaruh dalam meningkatkan bobot
relatif kelenjar timus, hal ini menunjukkan bahwa aktivitas kelenjar timus
mengalami peningkatan untuk mekanisme sistem kekebalan tubuh (Abioja
et al., 2012).
Heat stress berbahaya & sangat merugikan, karena itu harus dicegah

Referensi
Abioja, M.O., K.B. Ogundimu, T.E. Akibo, K.E. Odukoya, O.O. Ajiboya, J.A.Abiona, T.J. Williams,
E.O. Oke, dan O.O. Osinowo. 2012. Growth, mineral deposition, responses of broiler
chickens offered honey in drinking water during hot-dry season.

Bartlett, J.R. dan M.O. Smith. 2003. Effects of different levels of zinc on the performance and
immunocompetence of broilers under heat stress.

Cheng, T.K., M.L. Hamre, dan C.N. Coon. 1999 Effect of constant and cyclic environmental
temperatures, dietary protein, and amino acid levels on broiler performance.

Corzo, A., E.T. Moran, dan D. Hoehler. 2003. Lysine needs of summer-reared male broilers from six
to eight weeks of age.

Department for Environmental Food and Rural Affair (DEFRA). 2005. Heat Stress in Poultry :
Solving the Problem

Hilman, P.E., Scott, N.R. dan Van Tienhove, A. 1985. Physiological responses and adaptations to
hot and cold environments, in: YOUSEF, M.K. (Ed.) Stress physiology in livestock
Khoa, M.A. 2007. Wet and coarse diets in broiler nutrition: Development of the GI tract and
performance. PhD Thesis. Waningen University and Research Centre, Wageningen.

May, J.D., B.D.Lott, dan J.D. Simmons. 1997. Water consumption by broilers in high cyclic
temperatures: bell versus nipple waterers.

North, M.O. dan D.D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual

NRC. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. 9 ed. National Research Council.

Puvadolpirod, S. dan J.P. Thaxton. 2000. Model of physiological stress in chickens : response
parameters.

Sakomura, N.K., F.A. Longo, E.O. Oviedo-Rondon, C. Boa-Viagem dan A. Ferraudo. 2005. Modeling
energy utilization and growth parameter description for broiler chickens.

Yahav, S. 2000. Relative humidity at moderate ambient temperatures: its effect on male broiler
chickens and turkeys.

Yahav, S., D. Shinder, J. Tanny, dan S. Cohen. 2005. Sensible heat loss: the broilers paradox.

Yasar, S. dan J.M. Forbes. 2000. Enzyme supplementation of dry and wet wheat-based feeds for
broiler chickens: performance and gut responses.

Yalcin, S., S.Ozkan, L. Turkmut, dan P.B. Siegel. 2001.Responses to heat stress in commercial and
local broiler stocks. 1. Performance traits.

Yo, T., P.B. Siegel, H.Guerin, dan M. Picard. 1997. Self-selection of dietary protein and energy by
broilers grown under a tropical climate: effect of feed particle size on the feed choice.

Anda mungkin juga menyukai