“TERMOREGULASI”
Disusun Oleh:
Kelompok 5 A1:
JURUSAN BIOLOGI
2021
Kel 5 Bio A1/3
TERMOREGULASI
DASAR TEORI
Habitat atau tempat hidup hewan terbagi tiga yaitu akuatis, terestrial, dan aerial.
Hewan yang hidup di habitat terestrial memiliki masalah yang akut terhadap yang namanya
temperatur, karena adanya radiasi panas matahari yang dapat mencapai lebih dari batas etal.
Udara memiliki panas spesifik dan dapat mengalami peningkatan atau kehilangan panas
secara cepat (Maiti & Bidinger, 1981).
Hewan yang tinggal di habitat akuatis tidak mengalami masalah dengan efek termal
akut seperti yang dialami oleh hewan terestrial. Air memiliki panas yang spesifik dan dapat
mengalami penurunan atau peningkatan secara lamban, sehingga hanya memiliki efek yang
kecil terhadap perubahan temperatur. Air memiliki konduktivitas panas yang rendah dan akan
mengalami pemanasan sevara perlahan. Oleh sebab itu, hewan akuatis menjaga suhu
tubuhnya mendekati suhu lingkungan (Maiti & Bidinger, 1981).
Hewan aerial seperti burung memiliki suatu batas toleransi termal yang lebih tinggi
(35–42oC) berkenaan dengan laju metabolismenya. Berdasarkan akutnya efek temperatur
pada hewan terestrial, maka diperlukan suatu sistem untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu
termoregulasi (Maiti & Bidinger, 1981). Thermoregulasi ialah proses dimana hewan
mengatur suhu tubuhnya agar tetap konstan, namun tidak semua hewan mampu
mempertahankan suhu tubuh agar tetap konstan. Proses termoregulasi terjadi dengan
mengatur keseimbangan antara perolehan panas dengan pelepasan panas (Rofifah, 2020).
animals). Namun, ahli-ahli Biologi lebih suka menggunakan istilah eksoterm dan endoterm
yang berhubungan dengan sumber panas utama tubuh (Zein & Newi, 2019).
Eksoterm adalah hewan yang panas tubuhnya berasal dari lingkungan (menyerap
panas lingkungan). Suhu tubuh eksoterm cenderung berfluktuasi, tergantung pada suhu
lingkungan. Hewan dalam kelompok ini adalah anggota invertebrata, ikan, amfibia, dan
reptilia. Sedangkan endoterm adalah hewan yang panas tubuhnya berasal dari hasil
metabolisme. Suhu tubuh hewan ini lebih konstan. Endoterm umum dijumpai pada kelompok
burung (Aves) dan mamalia, termasuk manusia (Zein & Newi, 2019).
Pada dasarnya hewan menurut istilah thermofisiologi dapat digolongkan ke dalam dua
golongan besar, yaitu hewan eksoterm dan endoterm. Terdapat dua cara yang umum, di mana
panas hewan endoterm dan eksoterm dikontrol yaitu pengaturan secara tingkah laku dan
sirkulasi metabolis. Banyak hewan megatur tingkah lakunya dengan memilih temperatur
yang nyaman (Sonjaya, 2013).
Pada eksoterm, temperatur tubuh ditentukan oleh karakteristik fisik lingkungan. Jadi
tingkah lakunya adalah salah satu faktor utama untuk memelihara temperatur tubuh secara
tetap. Sejumlah eksoterm yang kurang bergerak atau hanya lewat pada lingkungan di mana
temperatur tidak memerlihatkan variasi lokal yang berarti (contohnya pada lingkungan
akuatik), hanya satu kemungkinan untuk beradaptasi adalah modifikasi intensitas
metabolisme ketika temperatur lingkungan berubah (menurun/meningkat) (Sonjaya, 2013).
Dalam pengaturan suhu tubuh, hewan harus mengatur panas yang diterima atau yang
hilang ke lingkungan. Mekanisme perubahan panas tubuh hewan dapat terjadi dengan 4
proses, yaitu konduksi, konveksi, radiasi, dan evaporasi. Konduksi adalah perubahan panas
tubuh hewan karena kontak dengan suatu benda. Konveksi adalah transfer panas akibat
adanya gerakan udara atau cairan melalui permukaan tubuh. Radiasi adalah emisi dari energi
elektromagnet. Evaporasi proses kehilangan panas dari permukaan cairan yang
ditransformasikan dalam bentuk gas (Zein & Newi, 2019).
Cara lain untuk mengukur laju metabolisme adalah dengan menentukan jumlah
oksigen yang dikonsumsi oleh respirasi seluler seekor hewan. Setiap hewan memiliki kisaran
laju metabolisme. Laju metabolisme minimum mendukung fungsi-fungsi dasar yang
mempertahankan supaya hewan dapat tetap hidup, seperti bernafas dan denyut jantung.
Banyak faktor yang mempengaruhi laju metabolisme seekor hewan, termasuk umur, jenis
kelamin, ukuran tubuh, suhu tubuh, suhu sekelilingnya, kualitas dan kuantitas makanan,
Kel 5 Bio A1/3
tingkat aktivitas, jumlah oksigen yang tersedia, keseimbangan hormonal, dan waktu dalam
sehari (Biologi Jl. 3 Ed. 5, n.d.).
Suhu dapat mempengaruhi aktivitas metabolisme organisme. Perubahan suhu air yang
drastis dapat mematikan biota air karena terjadi perubahan daya angkut darah. Suhu sangat
berkaitan erat dengan konsentrasi oksigen terlarut dalam air dan konsumsi oksigen hewan air.
Suhu berbanding terbalik dengan konsentrasi jenuh oksigen terlarut, tetapi berbanding lurus
dengan laju konsumsi oksigen hewan air dan laju reaksi kimia dalam air (K & BAKTI, 2010).
Suhu air dapat mempengaruhi kehidupan biota air yaitu melalui pengaruhnya terhadap
kelarutan oksigen di dalam air. Suhu juga dapat mempengaruhi metabolisme. Daya larut gas-
gas, termasuk oksigen, serta berbagai reaksi kimia di dalam air. Semakin tinggi suhu air,
semakin tinggi pula laju metabolisme biota, yang berarti semakin besar konsumsi
oksigennya, padahal kenaikan suhu tersebut bahkan mengurangi daya larut oksigen dalam air.
Setiap kenaikan suhu 10oC akan mempercepat laju reaksi kimia sebesar dua kali (K &
BAKTI, 2010).
Menurut (Mokoginta, 2003) Daphnia sp. adalah jenis zooplankton yang, mendiami
kolam, danau dan diperairan lainya. Daphnia sp. dapat hidup di daerah tropis dan subtropis.
Kehidupan Daphnia sp. dipengaruhi oleh beberapa faktor ekologi perairan antara lain: suhu,
oksigen terlarut dan pH. Daphnia Sp. juga dapat beradaptasi dengan baik pada perubahan
lingkungan hidupnya dan termasuk dalam ketegori hewan eutropik dan tahan terhadap
fluktuasi suhu harian atau tahunan. Kisaran suhu yang dapat ditolerir oleh Daphnia sp.
bervariasi sesuai adaptasinya pada lingkungan tertentu. (Gide, 1967)
Kehidupan Daphnia dipengaruhi oleh beberapa faktor ekologi perairan antara lain
suhu, oksigen terlarut, dan pH. Suhu merupakan faktor lingkungan yang sering kali
beroperasi sebagai faktor pembatas. Daphnia dapat beradaptasi dengan baik pada perubahan
lingkungan hidupnya dan termasuk dalam kategori eutropik dan tahan terhadap fluktuasi suhu
Kel 5 Bio A1/3
harian atau tahunan. Kisarah suhu yang dapat ditolelir bervariasi sesuai adaptasinya pada
lingkungan tertentu (Diana & Safutra, 2018)
METODE
Prosedur Kerja
Pertama kultur Daphnia sp disiapkan, kemudian diletakan didalam cawan arloji yang
berbeda pada suhu 5 °C (letakan diatas batu es). Daphnia dipindahkan dengan pipet pada
gelas objek yang cekung atau pada cawan arloji lain, lalu dilihat dibawah mikroskop.
Lakukanlah pengamatan dengan pembesaran 25x, aturlah Daphnia agar jantung tampak
jelas dan mudah mengikuti denyutnya. Jumlah denyut jantung dihitung dalam interval 15
detik menggunakan stopwatch. Buatlah tiga kali pengukuran dan hasilnya dirata-ratakan.
Pada setiap kali pengukuran suhu harus tetap dijaga agar tetap pada suhu yang dikehendaki.
Selanjutnya kultur Daphnia dipindahkan ketempat yang suhunya lebih tinggi 10 °C dari
suhu sebelumnya (5°C). Kemudian lakukanlah pengerjaan seperti diatas. Lakukan pula
pengukuran denyut jantung daphnia untuk suhu 25 °C, 35 °C, 45 °C, dan 55 °C.
Buatlah grafik yang menyatakan hubungan antara jumlah denyut jantung per menit
untuk setiap macam suhu lingkungan, dan hitunglah Q10 pada setiap suhu pengukuran.
Diharapkan hasil yang didapat akan sesuai dengan hokum Van’t Hoff.
Hasil
T1 = 48 R2 10
Q10 =
R 1 T 2−T 1
5 ( 48+50+ 46 ) x 4
R1 = = 192
T2 = 50 3 233,3 10
Q10 =
192 15−5
T3 = 46
Q10 = 1,21
T1 = 58 R3 10
Q10 =
R 2 T 3−T 2
15 T2 = 60 (58+60+57) x 4
R2 = = 233,3
3 269,3 10
T3 = 57 Q10 =
233,3 25−15
Q10 = 1,15
T1 = 65 R4 10
Q10 =
R 3 T 4−T 3
25 T2 = 67 (65+67 +70) x 4
R3 = = 269,3
3 277,3 10
T3 = 70 Q10 =
269,3 35−25
Q10 = 1,02
T1 = 68 R3 10
Q10 =
R 4 T 3−T 4
35 T2 = 70 (68+70+70) x 4
R4 = = 277,3
3 Q10 = 0
T3 = 70
Pembahasan
Daphnia sp. merupakan kelompok udang udangan kecil yang bersifat non selective.
Di alam, Daphnia sp. mengkonsumsi pakan berupa bakteri, fitoplankton, ciliata, dan detritus.
(Darmawan, 2014). Daphnia adalah filum Arthropoda yang hidup secara umum di perairan
tawar. Daphnia sp. merupakan salah satu hewan poikiloterm sehingga naik turunnya
Kel 5 Bio A1/3
temperatur lingkungan dapat mempengaruhi denyut atau kerja jantung, begitu juga dengan
denyut jantungnya.
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Crustacea
Classis : Branchiopoda
Subclassis : Diplostraca
Ordo : Cladocera
Subordo : Eucladocera
Familia : Daphnidae
Subfamilia : Daphnoidea
Keterangan:
Daphnia merupakan jenis zooplankton yang hayati pada air tawah, mendiami kolam-
kolam atau danau-danau. Daphnia dapat hidup pada wilayah tropis dan subtropis. Kehidupan
Daphnia ditentukan oleh beberapa faktor ekologi perairan antara lain suhu, oksigen terlarut,
dan pH. Daphnia bisa menyeduaikan diri menggunakan baik dalam perubahan lingkungan
hidupnya dan termasuk pada kategori fauna eutropik dan tahan terhadap fluktuasi suhu harian
atau tahunan. Kisaran suhu yang bisa ditolerir bervariasi sesuai adaptasinya dalam
lingkungan tertentu. Suhu yang mendukung pertumbuhan populasi Daphnia yaitu suhu 29,7–
30oC. Kisaran suhu toleransi bagi pertumbuhan dan perkembangan Daphnia berkisar antara
25–30oC.
Daphnia memiliki fase seksual dan aseksual. Pada kebanyakan perairan populasi
didominasi oleh Daphnia betina yang bereproduksi secara aseksual. Pada kondisi yang
optimum, Daphnia betina dapat memproduksi telur sebanyak 100 butis, dan dapat berletul
kembali setiap tiga hari. Daphina betina dapat bertelur hingga sebanyak 25 kali dalam
hidupnya, tapi rata-rata dijumpai Daphnia betina hanya bisa betelur sebanyak 6 kali.
Kel 5 Bio A1/3
Daphnia betina akan memulai bertelur setelah berusia empat hari dengan telur
sebanyak 4 – 22 butis. Pada kondisi buruk jantan dapat bereproduksi, sehingga repsoduksi
seksual terjadi. Telur-telur yang dihasilkan merupakan telur-telur dorman. Faktor-faktor yang
dapat menyebabkan hal ini adalah kekurangan makanan, kandungan oksigen yang rendah,
kepadatan populasi tinggi serta temperatur rendah. Daur hidup Daphnia terdiri dari tahao
telur, juvenil, individu muda dan dewasa.
Kandungan nutrisi Daphnia bervariasi menurut umur dan tergantung pada makanan
yang dimakan. Kandungan protein biasanya sekitar 50% dari berat kering. Pada Daphnia
dewasa mengandung lemak yang lebih tinggi dibanding pada junevil yaitu sekitar 20 – 27%,
serta 4 – 6% pada junevil. Pada beberapa spesies dijumpai mengandung protein sampai
sebanyak 70%. Daphnia juga mengandung sejumlah enzim pencernaan seperti proteinase,
peptidasem amilase, selulase, dan lipase.
250
200
150
100
50
0
5 °C 15 °C 25 °C 35 °C
0.8
0.6
0.4
0.2
0
5 °C 15 °C 25 °C 35 °C
Suhu
Adapun suhu yang diberikan yaitu 5oC, 15oC, 25oC, dan 35oC. Pada tabel 1 terlihat,
rata-rata jumlah denyut jantung/menit dari Daphnia pada suhu 5oC yaitu 192, pada suhu 15oC
yaitu 233.3, suhu 25oC yaitu 269.3 dan pada suhu 35oC yaitu 277.3. Dari data jumlah denyut
jantung tersebut diperoleh nilai Q10 untuk masing-masing suhu yaitu 1,21; 1,15; 1,02 dan
pada suhu 35oC didapatkan hasil 0 pada perhitungan Q10. Hal ini menunjukan, kenaikan suhu
terjadi pada titik dimana suhu berada pada kondisi terbilang ekstrem bagi Daphnia sp. Ketika
suhu lingkungan rendah, Daphnia akan menyesuaikan dengan meningkatkan laju konsumsi
dalam hal ini denyut jantungnya, sama halnya dengan ketika suhu lingkungan tinggi. Proses
ini termasuk proses homeostatis (termoregulasi).
Adapun respon denyut jantung Daphnia sp dapat dilihat pada (Grafik.1). Daphnia
merupakan hewan poikiloterm dapat juga disebut ektoterm karena suhu tubuhnya ditentukan
dan dipengaruhi oleh suhu lingkungan eksternal yaitu jika suhu lingkungan berubah maka
suhu tubuh pada daphnia juga berubah seiring dengan suhu lingkungan, hal ini dipergunakan
daphnia untuk menyesuaikan diri agar metabolisme dalam tubuh tetap berjalan dan dapat
bertahan hidup. Dengan meningkatnya denyut jantung mengindikasikan bahwa konsumsi
oksigen juga semakin meningkat sehubungan dengan meningkatnya aktifitas metabolisme
Kel 5 Bio A1/3
untuk menyesuaikan dengan lingkungannya. Sehingga grafik suhu (x) terhadap frekuensi
denyut jantung/menit (y) sesuai.
Pada termoregulai berlaku hukun Van`t Hoff yang berbunyi “Dari setiap peningkatan
suhu sebesar 10 akan meningkatkan laju konsumsi oksigen atau dalam hal ini adalah denyut
jantung sebesar 2 sampai 3 kali kenaikan”. Hal ini menunjukkan bahwa setiap suhu dinaikan,
jumlah denyut jantung juga bertambah. Namun, berdasarkan hasil yang diperoleh terlihat
tidak sesuai dengan pernyataan Hukum Van`t Hoff. Seperti yang terlihat (grafik 2),
ketidaksesuaian ini dikarenakan jumlah denyut jantung yang tidak menaik setiap
pertambahan suhu, tetapi malah semakin menurun.
Kemungkinan Faktor yang menyebabkan hasil tidak sesuai yaitu saat memasukkan air
dengan suhu tertentu kedalam kaca arloji. Terjadi perubahan suhu dari air tersebut karena
terpengaruh suhu ruangan, hal ini dapat mempengaruhi laju konsumsi oksigen dan denyut
jantung. Kemudian kemungkinan hal lain yang memperngaruhi adalah perhitungan yang
cukup lama dibawah mikroskop yang menyebabkan air yang ada pada kaca preparat akan
terpengaruh oleh cahaya dari mikroskop. Namun, terlepas dari kerancuan data pada
percobaan pembuktian termoregulasi ini, terbukti bahwa ada respon yang berbeda yang
dikeluarkan oleh hewan terhadap suhu lingkungan yang berbeda pada tempat hidupnya.
Menurut Barnes (1963) menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi
denyut jantung adalah sebagai berikut:
KESIMPULAN
terjadi perubahan suhu yang signifikan, seperti pada suhu 25 derajat dengan rata-rata denyut
jantung dalam 1 menit adalah 269,3 dan suhu 35 dengan rata-rata 277,3 denyut/menit. Pada
hubungan dengan Q10, hasil tidak sesuai dengan hukum Vant Hoff, hal tersebut
kemungkinan terjadi karena dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya kondisi suhu
lingkungan yang tidak stabil.
DAFTAR PUSTAKA
Diana, F., & Safutra, E. (2018). PENGARUH PEMBERIAN PAKAN ALAMI YANG
BERBEDA PADA BENIH IKAN TAWES (Barbonymus gonionotus) TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP. Jurnal Akuakultura, 2(1).
https://doi.org/10.35308/ja.v2i1.769
K, M. G. H. K., & BAKTI, P. T. C. A. (2010). Budi Daya Perairan Buku Kedua. Citra
Aditya Bakti.
Maiti, & Bidinger. (1981). Fisiologi Hewan. In Journal of Chemical Information and
Modeling (Vol. 53, Issue 9).
Zein, U., & Newi, E. E. (2019). Buku Ajar Ilmu Kesehatan (Memahami Gejala, Tanda Dan
Mitos). Deepublish.
Zakiyah, F., Diniarti, N., & Hari Setyono, Dwi, B. (2019). the Effect Oh the Combination
Tofu and Bran Fermentation on the. Perikanan, 9(1), 101–111