Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN FISIOLOGI HEWAN

PENGARUH SUHU LINGKUNGAN TERHADAP DENYUT JANTUNG


Daphnia sp.

Pelaksanaan : 02 Mei 2018


Dosen : Erlix Rakhmad Purnama, S.Si., M.Si.

Kelompok 2

Ahmad Rizal Fadhil 16030204050


Fakhri Burhannudin 16030204053
Dian Nur Khayati 16030204063
Ni Made Dinda Arsarini 16030204083

PBB 2016

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2018
I. Judul : Pengaruh Suhu Lingkungan Terhadap Denyut Jantung Daphnia sp.

II. Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara mengukur frekuensi denyut jantung Daphnia sp.?
2. Bagaimana mengidentifikasi frekuensi denyut jantung dan pengaruh suhu
terhadap denyut jantung Daphnia sp.?

III. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah :
1. Untuk mengetahui cara mengukur frekuensi denyut jantung Daphnia sp.
2. Untuk mengidentifikasi frekuensi denyut jantung dan pengaruh suhu
terhadap denyut jantung Daphnia sp.

IV. Hipotesis
Ha : Ada pengaruh suhu lingkungan terhadap denyut jantung Daphnia sp.
Ho : Tidak ada pengaruh suhu lingkungan terhadap detak jantung Daphnia
sp.

V. Dasar Teori
1. Kutu Air (Daphnia sp.)
Daphnia adalah krustasea berukuran kecil yang hidup di perairan
tawar, sering juga disebut sebagai kutu air (Gambar 1 dan 2). Disebut
demikian karena cara bergerak yang unik dari organisme ini di dalam air.
Ada terdapat banyak spesis (kurang lebih 400 spesis) dari Daphniidae dan
distribusinya sangat luas. Dari semua spesis yang ada, Daphnia yang
paling dikenal, dan sering digunakan sebagai pakan untuk larva ikan.
Daphnia berukuran 0,1 – 3 mm (Pangkey, 2009).
Gambar 1. (Sumber: Pangkey, 2009)

Daphnia memiliki fase seksual dan aseksual. Pada kebanyakan


perairan populasi Daphnia lebih didominasi oleh Daphnia betina yang
bereproduksi secara aseksual. Pada kondisi yang optimum, Daphnia betina
dapat memproduksi telur sebanyak 100 butir, dan dapat bertelur kembali
setiap tiga hari. Daphnia betina dapat bertelur hingga sebanyak 25 kali
dalam hidupnya, tetapi rata-rata dijumpai Daphnia betina hanya bisa
bertelur sebanyak 6 kali dalam hidupnya. Daphnia betina akan memulai
bertelur setelah berusia empat hari dengan telur sebanyak 4 – 22 butir.
Pada kondisi buruk jantan dapat berproduksi, sehingga reproduksi seksual
terjadi. Telur-telur yang dihasilkan merupakan telur-telur dorman (resting
eggs). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan hal ini adalah kekurangan
makanan, kandungan oksigen yang rendah, kepadatan populasi yang tinggi
serta temperatur yang rendah (Pangkey, 2009).
Soetrisno (1987) berpendapat bahwa beberapa faktor yang
mempengaruhi fisiologi atau denyut jantung, diantaranya adalah hewan
kecil mempunyai denyut cepat daripada hewan besar. Menurut Waterman
(1960), hal ini disebabkan adanya kecepatan metabolik yang dimiliki
hewan kecil tersebut. Menurut Pennak (1853) mekanisme kerja jantung
Daphnia sp. berbanding langsung dengan kebutuhan oksigen per unit berat
badannya pada hewan-hewan dewasa. Djarijah (1995) menyatakan
Daphnia sp. sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan pada suhu 220 –
310oC dan pH 6,5 – 7,4 yang mana organisme ini perkembangan larva
menjadi dewasa dalam waktu empat hari.
Menurut Waterman (1960) pada lingkungan dengan suhu tinggi
akan meningkatkan metabolisme dalam tubuh sehingga laju respirasi
meningkat dan berdampak pada peningkatan denyut jantung Daphnia sp.
Menurut Pangkey (2009) beberapa faktor yang mempengaruhi
peningkatan denyut jantung Daphnia sp. adalah:
a. Aktivitas
Dalam keadaan tenang dan tidak banyak bergerak akan mempengaruhi
denyut jantung pada Daphnia sp. yaitu menjadi semakin lambat.
b. Ukuran dan umur
Daphnia sp. yang memiliki ukuran tubuh lebih besar cenderung
mempunyai denyut jantung yang lebih lambat.
c. Cahaya
Pada keadaan gelap denyut jantung Daphnia sp. akan mengalami
penurunan sedangkan pada daerah yang cukup cahaya denyut jantung
Daphnia sp. akan mengalami peningkatan.
d. Temperatur
Denyut jantung Daphnia sp. akan bertambah tinggi apabila suhu
meningkat.
e. Obat-obat (senyawa kimia)
Zat kimia akan menyebabkan aktivitas denyut jantung Daphnia sp.
menjadi tinggi atau meningkat.

2) Termoregulasi
Hewan yang aktif biasanya hidup pada kisaran suhu yang sempit
dimulai pada beberapa derajat di bawah titik beku air murni (0oC) hingga
sekitar suhu 50oC. Sejumlah besar ikan dan hewan vertebrata di daerah
kutub hidup di dalam air yang sangat dingin (-1,8oC), sedangkan pada
sebagian hewan keadaannya sangat berlawanan, yaitu di daerah sumber air
panas dengan suhu berkisar 50o C bahkan ganggang hijau biru dapat hidup
pada suhu luar 70o C, bakteri termofilik dapat hidup pada suhu di atas suhu
tubuh yang mendekati suhu sekelilingnya dan sebaliknya burung dan
mamalia biasanya mempertahankan suhu tubuhnya hampir konstan dan
tidak terpengaruh suhu lingkungannya (Goenarso, 2005).
Termoregulasi adalah pemeliharaan suhu tubuh di dalam suatu
kisaran yang membuat sel-sel mampu berfungsi secara efisien. Menurut
Campbell, et.al. (2004), ada empat proses fisik yang bertanggung jawab
atas perolehan panas dan kehilangan panas, yaitu:
a. Konduksi; perpindahan langsung gerakan termal (panas)
antara molekul- molekul lingkungan dengan molekul-
molekul permukaan tubuh, misalnya seekor hewan duduk
dalam kolam air dingin atau di atas batu yang panas. Panas
akan selalu dihantarkan dari benda bersuhu lebih tinggi ke
benda bersuhu lebih rendah.
b. Konveksi; perpindahan panas melalui pergerakan udara
atau cairan melewati permukaan tubuh seperti ketika tiupan
angin turut menghilangkan panas dari permukaan tubuh
hewan yang berkulit kering.
c. Radiasi; pancaran gelombang elektromagnetik yang
dihasilkan oleh semua benda yang lebih hangat dari suhu
yang absolute nol termasuk tubuh hewan dan matahari,
contohnya hewan menyerap panas radiasi dari matahari.
d. Evaporasi atau penguapan adalah kehilangan panas dari
permukaan cairan yang hilang berupa molekul yang
berubah menjadi gas. Evaporasi air dari seekor hewan
memberi efek pendinginan yang signifikan pada permukaan
hewan itu. Konveksi dan evaporasi merupakan penyebab
kehilangan panas yang paling bervariasi.
Berdasarkan kemampuan untuk mempertahankan suhu tubuh,
hewan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu poikiloterm dan
homoiterm. Hewan poikiloterm adalah hewan yang suhu tubuhnya selalu
berubah seiring dengan berubahnya suhu lingkungan. Hewan homoiterm
adalah hewan yang suhu tubuhnya selalu konstan / tidak berubah sekalipun
suhu lingkungannya sangat berubah. Pada hewan homoiterm suhunya
lebih stabil, hal ini dikarenakan adanya reseptor dalam otaknya sehingga
dapat mengatur suhu tubuh. Hewan homoiterm dapat melakukan aktifitas
pada suhu lingkungan yang berbeda akibat dari kemampuan mengatur
suhu tubuh. Hewan homoiterm mempunyai variasi temperatur normal
yang dipengaruhi oleh faktor umur, faktor kelamin, faktor lingkungan,
faktor panjang waktu siang dan malam, faktor makanan yang dikonsumsi
dan faktor jenuh pencernaan air (Swenson, 1997).
Hewan poikiloterm dapat juga disebut ektoterm karena suhu
tubuhnya ditentukan dan dipengaruhi oleh suhu lingkungan eksternal.
Sedangkan homeoterm dapat disebut endoterm karena suhu tubuhnya
diatur oleh produksi panas yang terjadi dalam tubuh. Tetapi ada
perkecualian pada insekta. Sebenarnya insekta misalnya lalat, yang dapat
menghasilkan tambahan panas tubuh dengan melakukan kontraksi otot,
maka dari itu lalat dikatakan bersifat endotermik sebagian (Swenson,
1997)
Termoregulasi melibatkan penyesuaian fisiologis dan perilaku
ektodermik dan endodermik, laju pertukaran panas dengan lingkungan
eksternalnya dengan cara pendinginan melalui evaporasi dan melalui
respon perilaku. (Campbell et. al., 2004)
Gambar 3. Pengaruh Suhu terhadap Hewan Endoterm dan
Ektoterm (Campbell et. al., 2004)

Burung dan mamalia dapat mengubah laju produksi panas


metabolik insuasi, vasodilatasi dan penukar panas awan arus mengubah
laju pertukaran panas dengan mengeluarkan lidah, berkeringat, dan mandi
berendam meningkatkan penguapan. Sebagian besar hewan serangga dan
ikan membangkitkan panas metabolic melalui pertukaran panas awan arus.
Beberapa invertebrate, amphibian dan reptilia mempertahankan suhu
internal yang dapat ditoleris melalui penyesuaian perilaku. Mekanisme
termoreguasi pada mamalia dan burung meliputi termogenenesis
menggigil dan tak menggigil, insulasi oleh lemak rambut atau bulu,
meliputi penurunan laju metabolisme denyut jantung dan laju pernapasan
serta membuat hewan tersebut mampu untuk sementara menahan suhu
yang tidak sesuai atau kekurangan makanan dari air (Campbell, et.al.,
2004), pada hewan poikiloterm yang hidup di air, suhu tubuhnya sangat
ditentukan oleh keseimbangan konduksi dan konveksi dengan kondisi air
sekelilingnya. Kenaikan suhu akan mempengaruhi laju metabolisme dan
meningkatkan laju respirasi.
Menurut Campbell, et.al., (2004), hewan endotermik
mempertahankan suhu lingkungan internal yang hampir konstan meskipun
suhu sekelilingnya berfluktuasi. Baik hewan eksotermik maupun
endotermik mengatur suhu tubuhnya menggunakan beberapa kombinasi
dari empat katagori umum adaptasi:
1. Penyesuaian laju pertukaran panas antara hewan dan sekelilingnya.
2. Pendinginan melalui kehilangna panas evaporatif
3. Respon perilaku
4. Pengubahan laju produksi panas metabolik.

3) Pengaruh suhu terhadap perubahan aktivitas


Perubahan suhu memiliki pengaruh besar terhadap berbagai tahap
proses fisiologi (Kanisius, 1992). Misalnya, pengaruh suhu terhadap
konsumsi oksigen. Dalam batas-batas toleransi hewan, kecepatan
konsumsi oksigen akan meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan.
Pada seekor hewan yang memiliki rentangan suhu toleransi luas, kecepatan
konsumsi oksigennya akan meningkat dengan cepat begitu suhu
lingkunganya naik. Suatu metode untuk menghitung pengaruh suhu
terhadap kecepatan reaksi adalah perkiraan Q10, yaitu peningkatan
kecepatan proses yang disebabkan oleh peningkatan suhu 10oC. Q10
merupakan perbandingan antara laju reaksi (A) yang terjadi pada suhu (t +
10)oC dan laju reaksi (A) pada suhu t0 oC atau dapat dituliskan dengan
rumus :
Q10 = A ( t + 10)oC
A ( t0)oC
Pada seekor hewan yang memiliki rentangan suhu toleransi luas,
kecepatan konsumsi oksigenya akan meningkat dengan cepat begitu suhu
lingkungannya naik. Bila pengaruh suhu terhadap kecepatan konsumsi
oksigen ini digambarkan grafiknya, akan diperoleh kurva eksponensial
(Kanisius, 1992)
Suhu mempengaruhi proses fisiologis organisme termasuk
frekuensi denyut jantung. Penaikan ataupun penurunan tersebut dapat
mencapai dua kali aktivitas normal. Perubahan aktivitas akibat pengaruh
suhu. Aktivitas akan naik seiring dengan naiknya suhu sampai pada titik
dimana terjadi kerusakan jaringan, kemudian diikuti aktivitas yang
menurun dan akhirnya terjadi kematian. (Kanisius, 1992)
Pada umumnya, hewan poikilotermik akan mati jika dihadapkan
pada suhu yang amat rendah, walaupun masih diatas titik beku air untuk
hewan akuatik. Sebaliknya hewan akan mati jika dihadapkan pada suhu
yang yang tinggi, meskipun masih dibawah suhu yang dapat menyebabkan
denaturasi protein. Begitu suhu tubuh hewan poikiloterm turun, maka
aktivitas jantung dan pernafasan menjadi lambat dan hewan mungkin
hipoksia. Hewan poikiloterm suhu tubuhnya sangat ditentukan oleh
keseimbangan konduktif dan konfektif dengan air mediumnya dan suhu
tubuhnya mirip dengan suhu air. Hewan memproduksi panas internal
secara metabolik. Karena air memiliki konduktifitas dan kapasitas panas
yang tinggi. Seekor hewan kecil kehilangan panas lebih cepat, sehingga
suhu tubuh tidak berbeda jauh dengan suhu lingkungan (Hastuti, 2003).

VI. Bahan dan Alat


1. Bahan
- Kultur Daphnia sp.
- Es batu
- Air hangat

2. Alat
- Mikroskop
- Gelas obyek
- Gelas piala
- Gelas arloji
- Pipet tetes
- Termometer
- Statif
- Klem
VII. Cara kerja
1. Menyiapkan kultur Daphnia pada suhu awal [10ºC, 15ºC, 20ºC, 25ºC ].
2. Meletakkan Daphnia pada gelas arloji yang berada pada suhu yang
telah ditentukan (diletakkan di atas es batu atau air dengan suhu yang
dikehendaki).
3. Dengan pipet, dipindah secara hati-hati seekor Daphnia pada gelas
obyek yang cekung atau gelas arloji lain sambil dilihat di bawah
mikroskop. Daphnia bisa juga diletakkan di atas gelas obyek datar.
4. Menambah air secukupnya agar tidak kekeringan. Jangan
menambahkan air terlalu banyak, karena Daphnia akan mudah bergerak
dan sulit diatur posisinya. Aturlah letak Daphnia dengan posisi tubuh
miring hingga jantungnya tampak jelas dan mudah diikuti denyutnya.
Apabila menggunakan gelas arloji atau gelas obyek datar tidak perlu
ditutup dengan kaca penutup.
5. Setelah tampak denyutan jantungnya menghitung jumlah denyut setiap
15 detik [dengan menggunakan jarum penunjuk detik pada arloji].
6. Membuat tiga kali pengukuran dan hasilnya dirata-rata. Pada setiap kali
pengukuran suhu harus tetap pada suhu yang dikehendaki. Jika perlu
setiap selesai satu kali pengukuran Daphnia dikembalikan pada air
dengan suhu yang telah ditentukan. Lampu mikroskop dapat dengan
cepat menaikkan suhu obyek pada meja obyek.
7. Selanjutnya Daphnia dipindahkan ke tempat baru [10ºC lebih tinggi
daripada suhu awal]
8. Mengukur denyut jantung Daphnia pada suhu yang baru.

VIII. Hasil dan Pembahasan


Tabel 1 : Hasil Data Pengaruh Suhu Terhadap Denyut Jantung Daphnia
sp.
SUHU
Pengulangan
10oC 15oC 20oC 25oC 30oC 35oC
1.. 33 37 45 73 82 108
2. 29 36 46 63 67 72
3. 31 34 40 57 67 72
Rata-rata 31 36 44 64 72 84

Q10= A (To + 10)oC


A (To)oC
 Q10 (1) = 44(20+10)oC = 1.320 = 2,13
31(20)oC 620
 Q10 (2) = 64(25+30)oC = 3.520 = 3,91
36(25)oC 900
 Q10 (3) = 72(30+10)oC = 2.880 = 2,18
44(30)oC 1320
 Q10 (4) = 84(35+30)oC = 5.460 = 2,44
64(35)oC 2.240

Tabel 2. Denyut jantung Daphnia sp setiap kenaikan 10oC


Suhu Denyut Rata- Suhu Denyut Rata-
Q10
Awal Jantung Rata Akhir Jantung Rata
33 45
10oC 29 31 20 oC 46 44 2,84
31 40
37 73
15oC 36 36 25oC 63 64 3,91
34 57
45 82
20oC 46 44 30 oC 67 72 4,09
40 67
73 108
25oC 63 64 35oC 72 84 2,44
57 72
Grafik 1. Nilai Q10 denyut jantung Daphnia sp.

Nilai Q10 Denyut Jantung Daphnia.sp


4.5
3.91
4
3.5
3
2.44
2.5 2.13 2.18
2
1.5
1
0.5
0
Q1 Q2 Q3 Q4

Analisis
Berdasarkan hasil data tabel 1 dan 2, dapat diketahui bahwa pada
percobaan ini suhu berpengaruh terhadap denyut jantung Daphnia sp. Hal
ini terbukti pada hasil percobaan yaitu pada suhu awal 10oC terjadi
penurunan detak jantung dengan rata-rata denyut jantung adalah 31 kali
dimana dilakukan 3 kali perhitungan detak jantung setiap 15 detik.
Percobaan berikutnya yaitu pada suhu 15oC, 20oC, dan 25oC juga terjadi
penurunan detak jantung dengan rata-rata denyut jantung secara berturut-
turut sebanyak 36 kali, 44 kali dan 64 kali, dimana perhitungan detak
jantung juga dilakukan sebanyak 3 kali setiap 15 detik. Pada suhu 30oC
dan 35oC rata-rata denyut jantung secra berturut yaitu 72 kali dan 84 kali.
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, juga dapat diketahui
bahwa semakin tinggi suhu, detak jantung Daphnia sp semakin tinggi
berdasarkan nilai Q10 atau koefisien aktivitas yang disebabkan oleh
kenaikan suhu 10oC. Hal ini terbukti pada suhu 10oC yang dinaikan
menjadi 20oC menyebabkan peningkatan detak jantung Daphnia sp dari
31 menjadi 44 dengan koefisien denyut jantung (Q10) sebesar 2,13. Suhu
20oC yang dinaikkan menjadi 30oC juga mengakibatkan Daphnia sp
mengalami peningkatan detak jantung dari 44 menjadi 72 dengan nilai
koefisien denyut jantung (Q10) sebesar 2.18. Suhu 15oC yang dinaikkan
menjadi 25oC juga mengakibatkan Daphnia sp mengalami peningkatan
detak jantung dari 36 menjadi 64 dengan nilai koefisien denyut jantung
(Q10) sebesar 3,91. Suhu 25oC yang dinaikkan menjadi 35oC juga
mengakibatkan Daphnia sp mengalami peningkatan detak jantung dari 64
menjadi 84 dengan nilai koefisien denyut jantung (Q10) sebesar 2,44. Nilai
Q10 paling tinggi yaitu Q2 pada kenaikan suhu dari 15oC ke 35oC.

Pembahasan:
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat diketahui
bahwa semakin tinggi suhu, maka detak jantung Daphnia semakin cepat.
Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu
maka detak jantung Daphnia sp semakin cepat.
Aktivitas metabolisme Daphnia akan naik seiring dengan naiknya
suhu sampai pada titik dimana terjadi kerusakan jaringan, kemudian
diikuti aktivitas yang menurun dan akhirnya terjadi kematian. Penyebab
terjadinya penurunan detak jantung Dapnia saat suhu dinaikkan 10oC dari
suhu awal dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah
sistem ketahanan tubuh Daphnia. Saat suhu dinaikkan 10oC dari suhu
awal, Daphnia mengalami kejutan atau shock sehingga aktivitas
metabolisme di dalam tubuh semakin tinggi. Daphnia merupakan hewan
poikiloterm dimana suhu tubuhnya ditentukan dan dipengaruhi oleh suhu
lingkungan eksternal. Jika suhu lingkungan berubah maka suhu tubuh pada
Daphnia juga berubah seiring dengan suhu lingkungan, hal ini digunakan
Daphnia untuk menyesuaikan diri agar metabolisme dalam tubuh tetap
berjalan dan dapat bertahan hidup.
Sehubungan bahwa Daphnia merupakan hewan poikiloterm atau
ektoterm, maka pada suhu yang semakin meningkat, Daphnia juga akan
melakukan adaptasi morfologis yang serupa dengan hewan ektoterm pada
umumnya, yaitu dengan mempertinggi konduktan dan mempercepat aliran
darah agar panas mudah terlepas dari tubuh, karena afinitas hemoglobin
dalam mengikat oksigen turun. Mekanisme adaptasi fisiologi ini juga
mempengaruhi peningkatan frekuensi denyut jantung pada Daphnia.
Hewan ini dapat memperoleh energi panas dari lingkungan. Energi ini
yang digunakan untuk melangsungkan metabolisme. Mekanisme kerja
jantung Daphnia sp. berbanding lurus dengan kebutuhan oksigen per unit
berat badannya pada hewan-hewan dewasa. Daphnia sp. sangat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan pada suhu 220C – 310C dan pH 6,5 –
7,4 sehingga jika temperatur turun maka laju metabolisme turun dan
menyebabkan turunnya kecepatan pengambilan oksigen. (Pennak 1853).
Dalam batas-batas toleransi hewan, kecepatan konsumsi oksigen
akan meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan. Daphnia
memperebutkan oksigen untuk bisa mempertahankan hidupnya.
Kebutuhan oksigen yang semakin banyak akibat kenaikan suhu disertai
perebutan oksigen sesama Daphnia menyebabkan Daphnia yang memiliki
ketahanan tubuh yang rentan mengalami kerusakan jaringan tubuh yang
lebih cepat bila dibandingkan dengan spesies yang memiliiki ketahanan
tubuh yang tinggi. Ini terkait dengan enzim yang merupakan pengatur
metabolisme dalam tubuh, yang mempunyai suhu optimum dalam
kerjanya. Apabila suhu lingkungan atau suhu tubuh meningkat drastis,
maka enzim-enzim yang bekerja mengalami denaturalisasi sehingga tidak
dapat mengerjakan fungsinya. Sama halnya dengan suhu lingkungan yang
menurun drastis menyebabkan enzim-enzim tidak dapat bekerja dengan
baik. Artinya Daphnia dengan ketahanan tubuh rentan memiliki suhu
optimum yang lebih rendah bila dibandingkan suhu optimum Daphnia
dengan ketahanan tubuh yang lebih kuat. Hal ini mengakibatkan Daphnia
yang memiliki ketahanan tubuh rentan mengalami penurunan aktivitas
metabolisme dalam tubuhnya, sehingga detak jantung Dapnia menjadi
lebih lambat. Pada praktikum ini, penurunan detak jantung Daphnia saat
suhu dinaikkan kemungkinan disebabkan oleh ketahanan tubuh Daphnia
yang diamati lebih rentan.
Selain itu, penurunan detak jantung Daphnia juga disebabkan oleh
proses adaptasi fisiologis Daphnia untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan suhu lingkungan yang membutuhkan waktu lebih lama.
Perebutan oksigen sebagai akibat dari perubahan suhu lingkungan yang
semakin tinggi menyebabkan komposisi oksigen di dalam air semakin
menurun. Daphnia yang memerlukan adaptasi fisiologis tubuh lebih lama
dapat mengalami penurunan detak jantung akibat perubahan suhu yang
semakin tinggi tersebut, sehingga suhu air yang dinaikkan menyebabkan
penurunan detak jantung Daphnia.
Penurunan detak jantung Daphnia akibat perubahan suhu yang
semakin tinggi juga dipengaruhi oleh faktor keterbatasan praktikan dalam
menghitung detak jantung Daphnia tersebut. Detak jantung Daphnia yang
sangat cepat menyebab perhitungan detak jantung yang dilakukan oleh
praktikan menjadi kurang teliti. Hal ini dapat berpengaruh terhadap jumlah
hasil perhitungan. Menurut Waterman (1960) mengemukakan bahwa
hewan kecil memiliki frekuensi denyut jantung yang lebih cepat dari pada
hewan dewasa baik itu pada suhu atau temperatur panas, sedang, dingin,
maupun alkoholik. Hal ini disebabkan adanya kecepatan metabolik yang
dimiliki hewan kecil tersebut.
Pengukuran suhu air yang kurang tepat juga dapat menjadi faktor
menurunnya detak jantung Daphnia. Pengukuran suhu air yang kurang
teliti dapat berpengaruh terhadap kecepatan denyut jantung yang
dihasilkan. Hal ini disebabkan Daphia merupakan hewan poikiloterm
dimana suhu tubuhnya ditentukan dan dipengaruhi oleh suhu lingkungan
eksternal. Jika suhu lingkungan berubah maka suhu tubuh pada Daphnia
juga berubah seiring dengan suhu lingkungan, hal ini digunakan Daphnia
untuk menyesuaikan diri agar metabolisme dalam tubuh tetap berjalan dan
dapat bertahan hidup.
Suatu metode untuk menghitung pengaruh suhu terhadap
kecepatan reaksi adalah perkiraan Q10, yaitu peningkatan kecepatan proses
yang disebabkan oleh peningkatan suhu 10oC. Q10 merupakan
perbandingan antara laju reaksi (A) yang terjadi pada suhu (t+10)oC. Laju
reaksi (A) pada suhu t0 oC atau dapat dituliskan dengan rumus :
Q10 = A ( t + 10)oC
A ( t0)oC
Suhu mempengaruhi proses fisiologis organisme termasuk
frekuensi denyut jantung. Kenaikan atau penurunan tersebut dapat
mencapai dua kali aktivitas normal. Cara mengukur frekuensi denyut
jantung Daphnia sp. adalah mengamati di bawah mikroskop dengan
meletakkannya posisi miring. Dengan posisi tersebut maka denyut jantung
Daphnia sp. akan terlihat jelas dan mudah diikuti dan dihitung.

IX. Diskusi
1. Berdasarkan grafik 1., bagaimana pengaruh suhu terhadap denyut
jantung Daphnia?
Jawab: Pengaruh suhu terhadap denyut jantung Daphnia yaitu
semakin tinggi suhu maka detak jantung Daphnia sp semakin cepat.
2. Hitunglah Q10 pada setiap suhu yang telah Anda lakukan!
Jawab:
 Q10 (1) = 44(20+10)oC = 1.320 = 2,13
31(20)oC 620
 Q10 (2) = 64(25+30)oC = 3.520 = 3,91
36(25)oC 900
 Q10 (3) = 72(30+10)oC = 2.880 = 2,18
44(30)oC 1320
 Q10 (4) = 84(35+30)oC = 5.460 = 2,44
64(35)oC 2.240

X. Simpulan
Berdasarkan percobaan mengenai pengaruh suhu terhadap denyut jantung
Daphnia, maka dapat disimpulkan bahwa suhu berpengaruh pada laju
denyut jantung Daphnia. Semakin tinggi suhu maka semakin tinggi pula
laju denyut jantung Daphnia. Peningkatan laju denyut jantung tersebut
dapat disebabkan karena meningkatnya proses fisiologis di dalam tubuh
Daphnia sebagai respon dari meningkatnya suhu lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Campbell, Neil A., Reece, J.B., & Mitchell, L.G.. 2004. Biologi Jilid 3. Jakarta:
Erlangga.
Djarijah, A.S. 1995. Pakan Alami Ikan. Yogyakarta: Kanisius.
Goenarso, Darmaji. 2005. Fisiologi Hewan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Hastuti, S. 2003. Respon Glukosa Darah Ikan Gurami (Osphronemus gouramy,
LAC.) terhadap Stres Perubahan Suhu Lingkungan. Journal IPB Vol 2
Kanisius. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius
Pengky, Henneke. 2009. Daphnia dan Penggunaannya. Jurnal Perikanan dan
Kelautan Vol V (3): 33-36.
Pennak, R.W. 1953. Fresh Water Invertebrata. New York: The Ronal Company.
Soetrisno. 1987. Fisiologi Hewan. Fakultas Peternakan Unsoed. Purwokerto.
Swenson, GM. 1997. Dules Physiology or Domestic Animals. New York:
Publishing Co. Inc
Watterman, T.H. 1960. The Physiology of Crustacea Volume I. New York:
Academic Press.
LAMPIRAN

Heart

Intestine

Compound eye

Antenna

Legs with

bristles

Gambar Daphnia sp. Perbesaran 40X10

Gambar pengukuran suhu air sebagai variabel manipulasi

Anda mungkin juga menyukai