Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN EKOLOGI HEWAN

RESPON HEWAN PERAIRAN TERHADAP BERBAGAI FAKTOR


LINGKUNGAN

Disusun Oleh :

Aan Saputra (2030801045)

Siti Aisyah (2030801053)

Ahmad Septian Gumelar (2030801057)

Dini Monika (2030801065)

Dosen Pengampu :

Dr, Irham Falahudin, M. Si.

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2021
KATA PENGANTAR

Syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
yang telah diberikan, sehingga penyusun bisa menyelesaikan Laporan Praktikum
Ekologi Hewan ini. Adapun tujuan disusunnya Laporan ini adalah sebagai syarat
untuk memenuhi tugas mata kuliah Praktikum ekologi hewan. Tersusunnya
Laporan Praktikum ini tentu bukan karena buah kerja keras penyusun semata,

Melainkan juga atas bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, kami ucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang membantu terselesaikannya makalah ini,
diantaranya:

1. Bapak Irham Falahudin selaku Dosen pengampu mata kuliah Prak Ekologi
Hewan
2. tua, kerabat, sahabat, dan pihak-pihak lainnya yang tidak bisa kaman satu
persatu.

Penyusun sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk
itu, Penyusun menerima dengan terbuka semua kritik dan saran yang membangun
agar makalah ini bisa tersusun lebih baik lagi. Penyusun berharap semoga laporan
praktikum ini bermanfaat untuk kita semua.

Palembang, 12 November 2021

Tim penyusun
DAFTAR ISI
BAB 1 : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keberhasilan suatu organisme buat bertahan hayati & bereproduksi
mencerminkan holistik toleransinya terhadap semua gugusan variabel lingkungan
yg dihadapi organisme tadi (Campbell. 2004; 288). Artinya bahwa setiap
organisme wajib bisa mengikuti keadaan terhadap syarat lingkungannya. Adaptasi
tadi berupa respon morfologi, fisiologis & tingkah laku. Pada lingkungan
perairan, faktor fisik, kimiawi & biologis berperan pada pengaturan homeostatis
yg dibutuhkan bagi pertumbuhan & reproduksi biota perairan (Tunas. 2005;16).

Suhu adalah faktor krusial pada ekosistem perairan (Ewusie. 1990; 180).
Kenaikan suhu air bisa akan menyebabkan kehidupan ikan & fauna air lainnya
terganggu (Kanisius. 1992; 22). Menurut Soetjipta (1993; 71), Air mempunyai
beberapa sifat termal yg unik, sebagai akibatnya perubahan suhu pada air berjalan
lebih lambat berdasarkan dalam udara.

Selanjutnya Soetjipta menambahkan bahwa walaupun suhu kurang gampang


berubah pada pada air daripada pada udara, tetapi suhu adalah faktor pembatas
utama, sang karenanya mahluk akuatik acapkalikali mempunyai toleransi yg
sempit. Ikan adalah fauna ektotermik yg berarti nir membentuk panas tubuh,
sebagai akibatnya suhu tubuhnya tergantung atau menyesuaikan suhu lingkungan
sekelilingnya (Hoole et al, pada Tunas. 2005; 16).

Sebagai fauna air, ikan mempunyai beberapa prosedur fisiologis yg nir dimiliki
sang fauna darat. Perbedaan daerah asal mengakibatkan perkembangan organ-
organ ikan diadaptasi menggunakan syarat lingkungan (Yushinta. 2004: 14).
Secara kesuluruhan ikan lebih toleran terhadap perubahan suhu air, beberapa
spesies bisa hayati dalam suhu air mencapai 290C, sedangkan jenis lain bisa
hayati dalam suhu air yg sangat dingin, akan namun kisaran toleransi individual
terhadap suhu biasanya terbatas(Sukiya. 2005; 9) Ikan yg hayati pada pada air yg
memiliki suhu nisbi tinggi akan mengalami kenaikan kecepatan respirasi
(Kanisius. 1992; 23).

Hal ini dapat diamati dari perubahan pergerakan cangkang ikan. Toleransi suhu
bervariasi antar spesies ikan, misalnya pada ikan sarden, suhu terendah yang dapat
menyebabkan kematian hanya di atas titik beku, sedangkan suhu tinggi dapat
menyebabkan gangguan fisiologis pada ikan (Tunas. 2005; 1617).

Di atas kita ketahui bahwa suhu merupakan faktor abiotik yang paling besar
pengaruhnya terhadap lingkungan perairan, maka perlu diketahui bagaimana suhu
mempengaruhi aktivitas biologis spesies ikan tertentu melalui pergerakan
operculum ikan komet (Carassius auratus). Ikan memiliki kapasitas adaptif yang
berbeda, yang mungkin terkait dengan ekosistem atau fungsi organisme hewan.
Oleh karena itu, dilakukan pengamatan untuk mengetahui bagaimana ikan
tersebut beradaptasi, mampu bertahan dalam berbagai kondisi dan aktivitas.

1.2 Tujuan
Kegiatan praktikum ini bertujuan untuk:

1. Melihat perbedaan faktor-faktor fisik yang mempengaruhi kehidupan di


Sungai
2. Melihat adaptasi hewan air terhadap perubahan faktor-faktor fisik dan
Kemis
3. Mengetahui aktivitas metamorfhosis katak dan ikan pada air Kolam/sungai
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ikan sebagai hewan air memiliki beberapa mekanisme fisiologi yang tidak di
miliki oleh hewan darat. Perbedaan habitat menyebabkan perkembangan organ-
organ ikan di sesuaikan dengan kondisi lingkungan. Misalnya, ikan memiliki
kemampuan untuk mendeteksi kekuatan dan arah arus air karena memiliki
memiliki organ yang di kenal dengan linea lateralis. Contoh lain, perbeedaan
konsentrasi antara medium tempat hidup dan konsentrasi cairan tubuhnya
(Nawangsari, 1984).

Ikan secara fisiologi memiliki kemampuan untuk mempertahankan agar suhu


tubuhnya tetap hangat (endotermi) contohnya pada ikan-ikan pelagis besar (Tuna),
namun sebagian besar ikan bersifat poikiloterm yaitu suhu tubuhnya bergantung
pada suhu lingkungan. Ikan tidak dapat mempertahankn temperatur tubuh yang
berbeda dengan lingkungan, karena sistem pergerakan panas dalam otot-ototnya
sebanding dengan pergerakan yang melalui insang. Sebagian besar panas dalam
darah di transfer ke otot melalui pembuluh arteri yang merupakan tempat
pertukaran panas. Agar suhu tubuhnya tetap stabil, ikan melakukan adaptasi
fisiologi melalui pergerakannya, misalnya diurnal, nocturnal, musiman dll.

Apabila di suatu daerah suhu airnya menjadi hangat, maka ikan-ikan akan
bergerak ke bawah, kebagian yang lebih dingin atau bermigrasi ke tempat lain.
Demikian pula sebaliknya (Nawangsari, 1984). Adaptasi adalah cara bagaimana
organisme mengatasi tekanan lingkungan sekitarnya untuk bertahan hidup.
Organisme yang mampu beradaptasi terhadap lingkungannya mampu untuk:

A) memperoleh air, udara dan nutrisi (makanan).

B) mengatasi kondisi fisik lingkungan seperti temperatur, cahaya dan panas.

C) mempertahankan hidup dari musuh alaminya bereproduksi.

D) merespon perubahan yang terjadi di sekitarnya (Ewusie, 1990).


Menurut Ewusie (1990), organisme yang mampu beradaptasi akan bertahan
hidup, sedangkan yang tidak mampu beradaptasi akan menghadapi kepunahan
atau kelangkaan jenis. Dalam beradaptasi, hewan memiliki toleransi dan resistensi
pada kisaran :

1) Zona Lethal
kisaran ekstrim dari variabel lingkungan yang dapat menyebabkan
kematian bagi suatu organisme.
2) ZonaOrganisme
Kisaran intermedier dimana suatu organisme dapat hidup.

Jenis Adaptasi Adaptasi terbagi atas tiga jenis yaitu:

1. Adaptasi morfologi adalah adaptasi yang meliputi bentuk tubuh. Adaptasi


Morfologi dapat dilihat dengan jelas. Sebagai contoh: paruh dan kaki
burung berbeda sesuai makanannya.
2. Adaptasi Fisiologi adalah adaptasi yang meliputi fungsi alat-alat tubuh.
Adaptasi ini bisa berupa enzim yang dihasilkan suatu organisme. Contoh:
dihasilkannya enzim selulase oleh hewan memamah biak.
3. Adaptasi Tingkah Laku adalah adaptasi berupa perubahan tingkah laku.
Misalnya: ikan paus yang sesekali menyembul ke permukaan untuk
mengambil udara (Ewusie, 1990).

Pisces (Ikan) merupakan superkelas dari subfilum Vertebrata yang memiliki


keanekaragaman sangat besar (Sukiya. 2005; 33). Ikan adalah anggota vertebrata
poikilotermik (berdarah dingin) yang hidup di air dan bernapas dengan insang.
Ikan merupakan kelompok vertebrata yang paling beraneka ragam dengan jumlah
spesies lebih dari 27,000 di seluruh dunia (Fujaya,1999 dalam Dhamadi. 2009).

Secara keseluruhan ikan lebih toleran terhadap perubahan suhu air suhu air,
seperti vertebrata poikiloterm lain suhu tubuhnya bersifat ektotermik, artinya suhu
tubuh sangat tergantung atas suhu lingkungan (Sukiya.2005;9-10). Selanjutnya
Sukiya menambahkan bahwa beberapa ikan mempunyai perilaku istimewa seperti
ikan Glodok yang dapat berjalan di atas daratan dan memanjat pohon.

Ikan merupakan mendapatkan Oksigen terlarut dalam air. Pada hampir semua
Ikan, insang merupakan komponen penting dalam pertukaran gas, insang
terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang mengeras, dengan beberapa filamen
insang di dalamnya (Fujaya. 1999; 103).

Menurut Sukiya (2005; 16), Setiap kali mulut dibuka, maka air dari luar akan
masuk menuju farink kemudian keluar lagi melalui melewati celah insang,
peristiwa ini melibatkan kartilago sebagai penyokong filamen ikan. Selanjutnya
Sukiya menambahkan bahwa lamella insang berupa lempengan tipis yang
diselubungi epitel pernafasan menutup jaringan vaskuler dan busur aorta,
sehingga karbondioksida darah dapat bertukar dengan oksigen terlarut di dalam
air. Organ insang pada ikan ditutupi oleh bagian khusus yang berfungsi untuk
mengeluarkan air dari insang yang disebut operculum yang membentuk ruang
operkulum di sebelah sisi lateral insang (Sugiri. 1984; 1966). Laju gerakan
operculum ikan mempunyai korelasi positif terhadap laju respirasi ikan.

Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam mengatur proses kehidupan
dan penyebaran organisme. Proses kehidupan yang vital yang secara kolektif
disebut metabolisme, hanya berfungsi didalam kisaran suhu yang relative sempit
biasanya antara 0-40°C, meskipun demikian bebarapa beberapa ganggang hijau
biru mampu mentolerir suhu sampai 85°C. Selain itu, suhu juga sangat penting
bagi kehidupan organisme di perairan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas
maupun perkembangbiakan dari organisme tersebut. Oleh karena itu, tidak heran
jika banyak dijumpai bermacam-macam jenis ikan yang terdapat di berbagai
tempat di dunia yang mempunyai toleransi tertentu terhadap suhu. Ada yang
mempunyai toleransi yang besar terhadap perubahan suhu, disebut bersifat
euryterm. Sebaliknya ada pula yang toleransinya kecil, disebut bersifat stenoterm.
Sebagai contoh ikan di daerah sub-tropis dan kutub mampu mentolerir suhu yang
rendah, sedangkan ikan di daerah tropis menyukai suhu yang hangat. Suhu
optimum dibutuhkan oleh ikan untuk pertumbuhannya. Ikan yang berada pada
suhu yang cocok, memiliki selera makan yang lebih baik (Ewusie, 1990).

Beberapa ahli mengemukakan tentang suhu :

a) Nontji (1987), menyatakan suhu merupakan parameter oseanografi yang


mempunyai pengaruh sangat dominan terhadap kehidupan ikan khususnya
dan sumber daya hayati laut pada umumnya.
b) Hela dan Laevastu (1970), hampir semua populasi ikan yang hidup di laut
mempunyai suhu optimum untuk kehidupannya, maka dengan mengetahui
suhu optimum dari suatu spesies ikan, kita dapat menduga keberadaan
kelompok ikan, yang kemudian dapat digunakan untuk tujuan perikanan.
c) Nybakken (1988), sebagian besar biota laut bersifat poikilometrik (suhu
tubuh dipengaruhi lingkungan) sehingga suhu merupakan salah satu faktor
yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran
organisme.

Sesuai apa yg dikatakan Nybakken pada tahun 1988 bahwa Sebagian besar
organisme laut bersifat poikilotermik (suhu tubuh sangat dipengaruhi suhu massa
air sekitarnya), oleh karenanya pola penyebaran organisme laut sangat mengikuti
perbedaan suhu laut secara geografik. Berdasarkan penyebaran suhu permukaan
laut dan penyebaran organisme secara keseluruhan maka dapat dibedakan menjadi
4 zona biogeografik utama yaitu: kutub, tropic, beriklim sedang panas dan
beriklim sedang dingin. Terdapat pula zona peralihan antara daerah-daerah ini,
tetapi tidak mutlak karena pembatasannya dapat agak berubah sesuai dengan
musim. Organisme perairan seperti ikan maupun udang mampu hidup baik pada
kisaran suhu 20-30°C. Perubahan suhu di bawah 20°C atau di atas 30°C
menyebabkan ikan mengalami stres yang biasanya diikuti oleh menurunnya daya
cerna (Trubus Edisi 425, 2005). Oksigen terlarut pada air yang ideal adalah 5-7
ppm. Jika kurang dari itu maka resiko kematian dari ikan akan semakin tinggi.
Namun tidak semuanya seperti itu, ada juga beberapa ikan yang mampu hidup
suhu yang sangat ekstrim.
Dari data satelit NOAA, contoh jenis ikan yang hidup pada suhu optimum 20-
30°C adalah jenis ikan ikan pelagis. Karena keberadaan beberapa ikan pelagis
pada suatu perairan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi. Faktor
oseanografis yang dominan adalah suhu perairan. Hal ini dsebabkan karena pada
umumnya setiap spesies ikan akan memilih suhu yang sesuai dengan
lingkungannya untuk makan, memijah dan aktivitas lainnya. Seperti misalnya di
daerah barat Sumatera, musim ikan cakalang di Perairan Siberut puncaknya pada
musim timur dimana SPL 24-26°C, Perairan Sipora 25-27°C, Perairan Pagai
Selatan 21-23°C.

Pengaruh Suhu Air terhadap Ekosistem Perairan merupakan salah satu faktor fisik
lingkungan perairan adalah suhu. Permukaan air peka terhadap perubahan suhu,
perubahan suhu dipengaruhi oleh letak geografisnya, ketinggian tempat, lama
paparan terhadap matahari dan kedalaman badan air (Tunas. 2005;16, 18).

Kenaikan suhu air akan dapat menimbulkan beberapa akibat sebagai berikut
(Kanisius. 2005; 22-23):

a) Jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun.


b) Kecepatan reaksi kimia meningkat
c) c. Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu.
d) Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, ikan dan hewan air lainnya
mungkin akan mati.

Selanjutnya menurut Munro (1978 dalam Tunas 2005; 18), Peningkatan suhu air
dapat menyebabkan penurunan kelarutan gas-gas, tetapi meningkatkan solubilitas
senyawa-senyawa toksik seperti polutan minyak mentah dan pestisida, serta
meningkatkan toksisitas logam berat, sebagai contoh bahwa pada air tawar
(salinitas 0%) peningkatan suhu dari 25 menjadi 300C menyebabkan penurunan
kelarutan oksigen dari 8,4 menjadi 7,6 mg/liter.

Pengaruh Suhu Air terhadap Respon Fisiologis dan Tingkah Laku Ikan memiliki
derajat toleransi terhadap suhu dengan kisaran tertentu yang sangat berperan bagi
pertumbuhan, inkubasi telur, konversi pakan dan resistensi terhadap penyakit
(Tunas. 2005;16). Selanjutkan Tunas menambahkan bahwa ikan akan mengalami
stres manakala terpapar pada suhu di luar kisaran yang dapat ditoleransi. Suhu
tinggi tidak selalu berakibat mematikan tetapi dapat menyebabkan gangguan
status kesehatan untuk jangka panjang. Misalnya stres yang ditandai tubuh lemah,
kurus, dan tingkah laku abnormal, sedangkan suhu rendah mengakibatkan ikan
menjadi rentan terhadap infeksi fungi dan bakteri patogen akibat melemahnya
sistem imun (Tunas. 2005;16-17).

Pada dasarnya suhu rendah memungkinkan air mengandung oksigen lebih tingi,
tetapi suhu rendah menyebabkan stres pernafasan pada ikan berupa penurunan
laju respirasi dan denyut jantung sehingga dapat berlanjut dengan pingsannya
ikan-ikan akibat kekurangan oksigen.

Penelitian oleh Kuz’mina et al. (1996 dalam Tunas. 2005) menunjukkan bahwa
suhu perairan sangat berpengaruh terhadap laju metabolisme dan proses- proses
biologis ikan. Ditunjukkan bahwa aktivitas enzim pencernaan karbohidrase sangat
dipengaruhi oleh suhu, aktivitas protease tertinggi dijumpai pada musim panas,
adapun aktivitas amilase tertinggi dijumpai pada musim gugur (Hofer, 1979a ;
1979b dalam Tunas. 2005; 18).

Menurut Kanisius (1992; 23) suhu air yang relatif tinggi dapat ditandai antara lain
dengan munculnya ikan-ikan dan hewan air lainnya ke permukaan untuk mencari
oksigen.

Salinitas adalah jumlah kadar garam yang terdapat pada suatu perairan. Ikan
seribu (Poecilia reticulata), merupakan salah satu ikan tawar yang banyak
ditemukan di sekitar lingkungan, misalnya parit, sungai, dan lain sebagainya,
sebab ikan tersebut dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Perbedaan antara ikan seribu jantan berada pada ukurannya. Ikan
jantan memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan dengan betina, selain itu ikan
jantan memiliki aneka macam warna pada tubuhnya, dan memiliki bintik hitam
seperti mata pada masing-masing sisi tubuhnya, sedangkan ikan betina tidak
memilikinya (Gusrina, 2008).
Setiap ikan akan mengalami proses osmosis melalui insangnya, air secara terus
menerus masuk kedalam tubuh ikan melalui insang. Proses ini secara pasif
berlangsung melalui suatu proses osmosis yaitu, terjadi sebagai akibat dari kadar
garam dalam tubuh ikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan lingkungannya.
Sebaliknya garam akan cenderung keluar. Dalam keadaan normal proses ini
berlangsung secara seimbang. Peristiwa pengaturan proses osmosis dalam tubuh
ikan ini dikenal dengan sebutan osmoregulasi.

Tujuan utama osmoregulasi adalah untuk mengontrol konsentrasi larutan dalam


tubuh ikan (Gusrina, 2008). Masing-masing ikan memiliki kemampuan yang
berbeda untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Poecilita reiculata dapat
hidup dengan ukuran salinitas tertentu, yaitu pada perairan dengan salinitas tinggi
(air asin), hingga 150% salinitas normal air laut. Untuk membuktikan pada
salinitas berapakah ikan seribu tersebut dapat bertahan hidup, maka praktikum ini
dilaksanakan. Selain itu, P. Reticulata dipilih sebagai sampel karena mudah
ditemukan dan mudah untuk diamati pergerakkannya pada setiap salinitas yang
berbeda.

Hubungan Salinitas Dengan Fisiologi Ikan Secara ideal, salinitas merupakan


jumlah dari seluruh garam dalam gram pada setiap kilogram air laut. Secara
praktis, adalah susah untuk mengukur salinitas di laut, oleh karena itu penentuan
nilai salinitas dilakukan dengan meninjau komponen yang terpenting saja yaitu
klorida (Cl). Andungan klorida ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah dalam
gram ion klorida pada satu kilogram air laut jika semua halogen digantikan oleh
klorida. Laevastu dan Hayes (1981) menyatakan perubahan salinitas di laut
terbuka relatif lebih kecil dibandingkan dengan perubahan salinitas di pantai yang
memiliki masukan air tawar dari sungai terutama saat musim hujan.

Salinitas berpengaruh pada osmoregulasi dari ikan serta berpengaruh besar


terhadap kesuburan dan pertumbuhan telur. Beberapa spesies bisa hidup dengan
toleransi salinitas yang besar (euryhaline) tetapi ada juga yang sempit
(stenohaline). Disamping itu Hayes dan Laevastu (1982) menyatakan bahwa
salinitas berpengaruh pada distribusi, orientasi migrasi, dan kesuksesan
reprodukasi dari ikan. Hayes dan Laevastu (1982) menjelaskan bahwa salinitas
mempengaruhi fisiologis kehidupan organisme dalam hubungannya dengan
penyesuaian tekanan osmotik antara sitoplasma dan lingkungan.

Pengaruh ini berbeda pada setiap organisme baik itu fitoplankton, zooplankton,
maupun ichthyoplankton. Pengaruh salinitas pada ikan dewasa sangat kecil karena
salinitas di laut relatif stabil yaitu berkisar antara 30 – 36 ‰, sedangkan larva ikan
biasanya cepat menyusuaikan diri terhadap tekanan osmotik. Namun demikian
cenderung memilih perairan dengan kadar salinitas yang sesuai dengan tekanan
osmotik tubuhnya. Dan hal ini secara langsung akan sangat mempengaruhi
distribusi larva ikan (Lignot et al., 2000).
BAB 3 : METODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu Dan Tempat


praktikum ini dilaksanakan di di kampus B UIN Raden Fatah Palembang
Jakabaring. Di gedung laboratorium lantai 3 ruangan laboratorium ekologi pada
hari Senin Tanggal 8 November 2021 pukul 10.00-selesai.

3.2 Alat Dan Bahan


Alat : pH meter, salinometer, termometer, piring secci, tali, meteran, botol
Sampel, Akuarium 40x40 cm (9 kotak), garam, es batu

Bahan : ikan

3.3 Langkah Kerja


- Sediakan 3 kotak aquarium yang telah di isi air biasa, garam dan air dingin
(es).
- Kemudian masukkan masing2 ikan mujahir/mas kedalam aquarium
Tersebut. Lalu amati perubahan insangnya dan kemudian catat berapa
- Banyak ikan tersebut membuka dan menutup insang atau mulutnya pada
Masing-masing aquarium.
BAB 4 : HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

N Jenis Kondisi Kondisi Kondisi 3 Kondisi Operculu


o Air Awal 2 akhir m
1 Aquariu 30°C (di 20°C ( di 15°C (pada Pada Ikan mati
m 1 (Es kondisi ini kondisi ini kondisi ini menit ke perlahan
Batu) merupaka es batu seluruh, dan 05.43 namun
n kondisi baru pada suhu semua cepat.
normal dimasukk ini juga ikan yang
sebelum an ikan-ikan ada pada
es batu setengah yang ada akuarium
dimasukk sehingga pada mati
an ke suhu baru aquarium dengan
dalam mencapai ini sudah suhu 9°C
akuarium) 20°C dan tidak dapat
ikan juga beradaptasi)
masih Pada menit
dapat ke 03.57
beradapta
si pada
kondisi
suhu ini)
pada
menit ke
02.31
2 Aquariu 30°C 47°C 55°C ( pada 57°C (tak Ikan mati
m 2 (Air ( pada ( pada kondisi lama dengan
Panas) kondisi ini kondisi ini sungai ini setelah sangat
merupaka air panas ikan sudah kondisi cepat,
n kondisi dimasukk tidak dapat kedua bahkan
normal an beradaptasi pada detik hanya
sebelum setengah lagi ke 35 dalam
air panas sehingga dikarenakan semua hitung
dimasukk suhu perubahan ikan sudah detik
an ke mencapai suhu yang mati
dalam 47°C, meningkat dikarenak
akuarium) namun signifikan an Suhu
pada dan juga air yang
kondisi ini suhu yang panas
kan masih cukup membuat
bisa untuk panas untuk ikan mati
beradapta ikan dengan
si walau sehingga cepat)
suhu menyebabk
sudah an ada ikan
meningkat yang mati
drastis) pada suhu
pada detik 55°C, )
ke 15 pada detik
ke 28
3 Aquariu 0.0% - - 5,7% Ikan mati
m 3 (pada (pada dengan
(Garam) kondisi ini kondisi ini sangat
merupaka salinitas perlahan
n kondisi air mulai karena
normal meningkat salinitas
sebelum namun pada air
air garam ikan tidak
dimasukk masih terlalu
an ke dapat tinggi.
dalam beradaptas
akuarium) i pada 10
menit
pertama.
Namun
pada
menit ke-
13 ikan
mulai
lemas,
Kemudian
pada
menit ke-
17 salah
satu ikan
ada yang
mati. Lalu
pada
menit ke
24, 2 ikan
lainnya
menyusul
mati
4 Aquariu 30°C - - Di 10 Normal
m 4 (Air (kondisi menit
Biasa) awal air pertama
merupaka hingga 10
n kondisi menit
normal) ketiga
ikan dapat
beradaptas
i dengan
baik pada
air ini.

4.2 Pembahasan
A. Es Batu (Aquarium 1)
Pada percobaan adaptasi pertama di akuarium ke-1 adalah es batu. Di kondisi
awal dengan suhu 30°C merupakan kondisi normal sebelum es batu dimasukkan
ke dalam akor ini.

Pada menit pertama dimasukkannya sebagian es batu ke dalam akuarium ini ikan
mulai bergerak untuk beradaptasi dengan suhu lingkungan pada es batu. Suhunya
mencapai 20°C dengan Operkulum nya pada menit 02.31 ikan sudah dapat
beradaptasi seperti biasa. Gerakan buka tutup mulut pada ikan terjadi sebanyak ±
97 kali selama 2 menit lebih dengan awal gerakan yang sedikit melambat saat air
es dimasukkan ke dalam hingga pada menit kedua akan sudah mulai lincah untuk
bergerak karena sudah bisa beradaptasi pada suhu lingkungan

Kemudian masukkan lagi seluruh sisa es batu yang tadi hingga suhu air pada
akuarium pertama mencapai 15°C. Dimana pada suhu ini ikan sudah mulai tidak
bisa melakukan adaptasi pada suhu ini. Gerakan buka tutup mulut pada ikan juga
mulai sedikit melambat, ± hanya sebanyak 30 kali selama 1 menit lebih. Dengan
gerakan ikan yang mulai melambat juga dan terkadang tidak bergerak atau
pingsan.

Dan pada menit ke 05.43 semua ikan yang ada pada akuarium ke-1 telah mati
pada suhu 9°C. Dengan tubuh yang membeku dan tempat ikan mati itu di pada
dasar aquarium.
Operculum ikan mati dengan perlahan namun cepat.

B. Air Panas (Aquarium 2)


Pada percobaan adaptasi kedua di akuarium kedua adalah air panas. Pada kondisi
awal dengan suhu 30°C Merupakan kondisi normal sebelum air panas dimasukkan
ke dalam akuarium ini.

Pada menit pertama lebih tepatnya detik ke-15 air panas dimasukkan setengah
sehingga suhunya mencapai hingga 47°C namun pada kondisi ini ikan masih bisa
untuk beradaptasi walau suhu yang ada pada air meningkat drastis. Pada awal air
panas dimasukkan ikan cupang agak cukup sulit untuk beradaptasi dikarenakan
peningkatan suhu yang cukup signifikan namun setelah beberapa detik atau
setelah 10 detik pertama ikan cukup bisa untuk beradaptasi walaupun sudah
sangat meningkat. Gerakan buka tutup mulut pada ikan di suhu lingkungan air
panas sedikit lebih banyak atau lebih cepat dibandingkan air dingin yang
sebelumnya ± 17 kali dalam waktu 10 detik. Gerakan awal ikan sangat cepat saat
air panas dimasukkan ke dalam akuarium namun saat ikan sudah mulai
beradaptasi gerakannya mulai melambat seperti biasa.

Kemudian pada detik ke 28 seluruh sisa air panas dimasukkan ke dalam akuarium
yang menyebabkan perubahan yang sangat signifikan pada suhu air hingga
mencapai 55°C. Di mana pada kondisi ini semua ikan sudah tidak dapat
beradaptasi lagi menyebabkan ada salah satu ikan yang mati pada suhu 55°C. Dan
sisa 2 ikan lainnya sudah mulai bergerak melambat dan terkadang juga salah satu
ikannya ada yang pingsan dengan gerakan mulut buka tutup jauh lebih lambat
daripada detik ke-15 sebelumnya ± 8 kali dalam 10 detik.

Pada detik ke 35 seluruh ikan mati disebabkan dengan suhu air yang mencapai
57°C yang mengakibatkan Ikam sudah tidak lagi beradaptasi dengan kondisi yang
sangat panas ini. Ikan mati dengan kondisi tubuh yang sedikit melunak dan
mengambang di bagian atas permukaan air.

Operculum ikan mati dengan sangat cepat.


C. Air Garam (Aquarium 3)
Percobaan adaptasi ketiga di akuarium akuarium ketiga adalah air garam. 0,0%
merupakan kondisi normal dimana air di akuarium belum dimasukkan air garam.

Pada menit pertama dimasukkannya air garam kondisi ikan normal dengan
gerakan lincah seperti ikan pada umumnya ikan masih dapat beradaptasi pada 10
menit pertama Kemudian pada menit ke-13 ikan mulai lemas dan sedikit
pergerakan. Operculum pergerakan ikan melambat, dengan gerakan buka tutup
mulut juga melambat sekitar ± 24 kali dalam 1 menit. Dengan salinitas sebesar
5,7%

Kemudian pada menit ke-17 salah satu ikan ada yang mati lalu di menit ke-24 dua
ikan lainnya menyusul mati karena pada menit ke-24 dua ikan lainnya menyusul
mati.

Operculum ikan mati dengan sangat perlahan karena salinitas yang ada pada air
tidak terlalu tinggi.
D. Air Biasa (Aquarium 4)
Pada percobaan adaptasi ke-4 di akuarium ke-4 adalah air biasa. Kondisi awal
suhu pada akuarium ke-4 adalah 30°C, dengan salinitas 0,0%.

Pada 10 menit pertama kondisi suhu maupun salinitas tidak berubah begitu pula
hingga 10 menit ketiga kondisi air dan juga salinitas masih tetap sama. Pada
kondisi ini ikan bisa hidup dengan suhu 30°C dan salinitas 0,0%.

Operkulum pergerakan ikan pada akuarium keempat lincah dikarenakan suhu dan
juga salinitas yang ada pada air tepat atau memang sesuai dengan kondisi yang
seharusnya. Gerakan buka tutup mulut pada ikan juga sebanyak ± 38 kali.
BAB 5 : PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang bisa ditarik dari hasil praktikum yang telah dilaksanakan adalah
sebagai berikut :

1. Suhu tinggi memang tidak selalu berakibat mematikan namun hal itu juga
dapat menjadikan menyebabkan gangguan stres kesehatan untuk jangka
panjang seperti tubuh yang lemah kurus dan juga tingkah laku yang
abnormal pada ikan sedangkan suhu yang rendah dapat mengakibatkan
ikan rentan terhadap infeksi jamur maupun bakteri patogen akibat
melemahnya sistem imun.
2. Salinitas sangat mempengaruhi fisiologi kehidupan organisme dalam
hubungannya dengan penyesuaian tekanan osmotik antara sitoplasma dan
juga lingkungan. Pengaruh ini berbeda pada setiap organisme baik itu
fitoplankton zooplankton dan juga yang lainnya. Pengaruh salinitas pada
ikan dewasa sangat kecil karena salinitas di laut stabil dengan kisaran
antara 30-36. Sedangkan untuk ikan kecil biasanya cukup cepat
menyesuaikan diri dengan tekanan osmotiknya namun salinitas dengan
tingkat yang lebih tinggi juga dapat mempengaruhi kematian pada ikan.

5.2 Saran
Agar praktikum dapat berjalan dengan baik dan lancar maka kegiatan praktikum
harus berjalan dengan prosedur yang ada dan sesuai dengan yang telah diterapkan
pada laboratorium. Tingkat kehati-hatian juga mempengaruhi hasil praktikum.
DAFTAR PUSTAKA

Campbell. 2004. Biologi, Edisi Kelima-Jilid 3. Jakarta. Penerbit Erlangga

Collin.1996. Ventilation rates for Goldfish Carassius auratus during changes in


dissolved oxygen. Professional Papper. University of Nevada Las Vegas.
12-4-1996

Djamal, Zoer’aini.1992.Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi. Jakarta. Penerbit


P.T Bumi Aksara

Ewusie. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Bandung. Penerbit Institut Teknologi


Bandung

Fujaya, Yushinta. 2004. Fisologi Ikan. Jakarta. Penerbit P.T Rineka Cipta

Kanisius. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogjakarta. Penerbis Kanisius

Koesbiono, 1980. Biologi Laut. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.

Mamangkey, Jack j. 2004. Ekologi Ikan Butini (Glossogobius matanensis) di


Danau Matano Daerah Malili Sulawesi Selatan. Makalah Falsafah Sains
(pps 702) program pascasarjana/s3 Institut Pertanian Bogor November 25,
2004 Nolan

Nawangsari. 1984. Zoologi Umum. Jakarta. Penerbit Erlangga

Soetjipta. 1993. Dasar-dasar Ekologi Hewan. Yogjakarta. Penerbit Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan Sugiri

Sukiya. 2005. Biologi Vertebrata. Malang. Penerbit Universitas Negeri Malang

Tunas, Arthama Wayan. 2005. Patologi Ikan Toloestei. Yogjakarta. Penerbit


Universitas Gadjah Mada

Anda mungkin juga menyukai