Disusun Oleh :
Dosen Pengampu :
Syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
yang telah diberikan, sehingga penyusun bisa menyelesaikan Laporan Praktikum
Ekologi Hewan ini. Adapun tujuan disusunnya Laporan ini adalah sebagai syarat
untuk memenuhi tugas mata kuliah Praktikum ekologi hewan. Tersusunnya
Laporan Praktikum ini tentu bukan karena buah kerja keras penyusun semata,
Melainkan juga atas bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, kami ucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang membantu terselesaikannya makalah ini,
diantaranya:
1. Bapak Irham Falahudin selaku Dosen pengampu mata kuliah Prak Ekologi
Hewan
2. tua, kerabat, sahabat, dan pihak-pihak lainnya yang tidak bisa kaman satu
persatu.
Penyusun sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk
itu, Penyusun menerima dengan terbuka semua kritik dan saran yang membangun
agar makalah ini bisa tersusun lebih baik lagi. Penyusun berharap semoga laporan
praktikum ini bermanfaat untuk kita semua.
Tim penyusun
DAFTAR ISI
BAB 1 : PENDAHULUAN
Suhu adalah faktor krusial pada ekosistem perairan (Ewusie. 1990; 180).
Kenaikan suhu air bisa akan menyebabkan kehidupan ikan & fauna air lainnya
terganggu (Kanisius. 1992; 22). Menurut Soetjipta (1993; 71), Air mempunyai
beberapa sifat termal yg unik, sebagai akibatnya perubahan suhu pada air berjalan
lebih lambat berdasarkan dalam udara.
Sebagai fauna air, ikan mempunyai beberapa prosedur fisiologis yg nir dimiliki
sang fauna darat. Perbedaan daerah asal mengakibatkan perkembangan organ-
organ ikan diadaptasi menggunakan syarat lingkungan (Yushinta. 2004: 14).
Secara kesuluruhan ikan lebih toleran terhadap perubahan suhu air, beberapa
spesies bisa hayati dalam suhu air mencapai 290C, sedangkan jenis lain bisa
hayati dalam suhu air yg sangat dingin, akan namun kisaran toleransi individual
terhadap suhu biasanya terbatas(Sukiya. 2005; 9) Ikan yg hayati pada pada air yg
memiliki suhu nisbi tinggi akan mengalami kenaikan kecepatan respirasi
(Kanisius. 1992; 23).
Hal ini dapat diamati dari perubahan pergerakan cangkang ikan. Toleransi suhu
bervariasi antar spesies ikan, misalnya pada ikan sarden, suhu terendah yang dapat
menyebabkan kematian hanya di atas titik beku, sedangkan suhu tinggi dapat
menyebabkan gangguan fisiologis pada ikan (Tunas. 2005; 1617).
Di atas kita ketahui bahwa suhu merupakan faktor abiotik yang paling besar
pengaruhnya terhadap lingkungan perairan, maka perlu diketahui bagaimana suhu
mempengaruhi aktivitas biologis spesies ikan tertentu melalui pergerakan
operculum ikan komet (Carassius auratus). Ikan memiliki kapasitas adaptif yang
berbeda, yang mungkin terkait dengan ekosistem atau fungsi organisme hewan.
Oleh karena itu, dilakukan pengamatan untuk mengetahui bagaimana ikan
tersebut beradaptasi, mampu bertahan dalam berbagai kondisi dan aktivitas.
1.2 Tujuan
Kegiatan praktikum ini bertujuan untuk:
Ikan sebagai hewan air memiliki beberapa mekanisme fisiologi yang tidak di
miliki oleh hewan darat. Perbedaan habitat menyebabkan perkembangan organ-
organ ikan di sesuaikan dengan kondisi lingkungan. Misalnya, ikan memiliki
kemampuan untuk mendeteksi kekuatan dan arah arus air karena memiliki
memiliki organ yang di kenal dengan linea lateralis. Contoh lain, perbeedaan
konsentrasi antara medium tempat hidup dan konsentrasi cairan tubuhnya
(Nawangsari, 1984).
Apabila di suatu daerah suhu airnya menjadi hangat, maka ikan-ikan akan
bergerak ke bawah, kebagian yang lebih dingin atau bermigrasi ke tempat lain.
Demikian pula sebaliknya (Nawangsari, 1984). Adaptasi adalah cara bagaimana
organisme mengatasi tekanan lingkungan sekitarnya untuk bertahan hidup.
Organisme yang mampu beradaptasi terhadap lingkungannya mampu untuk:
1) Zona Lethal
kisaran ekstrim dari variabel lingkungan yang dapat menyebabkan
kematian bagi suatu organisme.
2) ZonaOrganisme
Kisaran intermedier dimana suatu organisme dapat hidup.
Secara keseluruhan ikan lebih toleran terhadap perubahan suhu air suhu air,
seperti vertebrata poikiloterm lain suhu tubuhnya bersifat ektotermik, artinya suhu
tubuh sangat tergantung atas suhu lingkungan (Sukiya.2005;9-10). Selanjutnya
Sukiya menambahkan bahwa beberapa ikan mempunyai perilaku istimewa seperti
ikan Glodok yang dapat berjalan di atas daratan dan memanjat pohon.
Ikan merupakan mendapatkan Oksigen terlarut dalam air. Pada hampir semua
Ikan, insang merupakan komponen penting dalam pertukaran gas, insang
terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang mengeras, dengan beberapa filamen
insang di dalamnya (Fujaya. 1999; 103).
Menurut Sukiya (2005; 16), Setiap kali mulut dibuka, maka air dari luar akan
masuk menuju farink kemudian keluar lagi melalui melewati celah insang,
peristiwa ini melibatkan kartilago sebagai penyokong filamen ikan. Selanjutnya
Sukiya menambahkan bahwa lamella insang berupa lempengan tipis yang
diselubungi epitel pernafasan menutup jaringan vaskuler dan busur aorta,
sehingga karbondioksida darah dapat bertukar dengan oksigen terlarut di dalam
air. Organ insang pada ikan ditutupi oleh bagian khusus yang berfungsi untuk
mengeluarkan air dari insang yang disebut operculum yang membentuk ruang
operkulum di sebelah sisi lateral insang (Sugiri. 1984; 1966). Laju gerakan
operculum ikan mempunyai korelasi positif terhadap laju respirasi ikan.
Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam mengatur proses kehidupan
dan penyebaran organisme. Proses kehidupan yang vital yang secara kolektif
disebut metabolisme, hanya berfungsi didalam kisaran suhu yang relative sempit
biasanya antara 0-40°C, meskipun demikian bebarapa beberapa ganggang hijau
biru mampu mentolerir suhu sampai 85°C. Selain itu, suhu juga sangat penting
bagi kehidupan organisme di perairan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas
maupun perkembangbiakan dari organisme tersebut. Oleh karena itu, tidak heran
jika banyak dijumpai bermacam-macam jenis ikan yang terdapat di berbagai
tempat di dunia yang mempunyai toleransi tertentu terhadap suhu. Ada yang
mempunyai toleransi yang besar terhadap perubahan suhu, disebut bersifat
euryterm. Sebaliknya ada pula yang toleransinya kecil, disebut bersifat stenoterm.
Sebagai contoh ikan di daerah sub-tropis dan kutub mampu mentolerir suhu yang
rendah, sedangkan ikan di daerah tropis menyukai suhu yang hangat. Suhu
optimum dibutuhkan oleh ikan untuk pertumbuhannya. Ikan yang berada pada
suhu yang cocok, memiliki selera makan yang lebih baik (Ewusie, 1990).
Sesuai apa yg dikatakan Nybakken pada tahun 1988 bahwa Sebagian besar
organisme laut bersifat poikilotermik (suhu tubuh sangat dipengaruhi suhu massa
air sekitarnya), oleh karenanya pola penyebaran organisme laut sangat mengikuti
perbedaan suhu laut secara geografik. Berdasarkan penyebaran suhu permukaan
laut dan penyebaran organisme secara keseluruhan maka dapat dibedakan menjadi
4 zona biogeografik utama yaitu: kutub, tropic, beriklim sedang panas dan
beriklim sedang dingin. Terdapat pula zona peralihan antara daerah-daerah ini,
tetapi tidak mutlak karena pembatasannya dapat agak berubah sesuai dengan
musim. Organisme perairan seperti ikan maupun udang mampu hidup baik pada
kisaran suhu 20-30°C. Perubahan suhu di bawah 20°C atau di atas 30°C
menyebabkan ikan mengalami stres yang biasanya diikuti oleh menurunnya daya
cerna (Trubus Edisi 425, 2005). Oksigen terlarut pada air yang ideal adalah 5-7
ppm. Jika kurang dari itu maka resiko kematian dari ikan akan semakin tinggi.
Namun tidak semuanya seperti itu, ada juga beberapa ikan yang mampu hidup
suhu yang sangat ekstrim.
Dari data satelit NOAA, contoh jenis ikan yang hidup pada suhu optimum 20-
30°C adalah jenis ikan ikan pelagis. Karena keberadaan beberapa ikan pelagis
pada suatu perairan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi. Faktor
oseanografis yang dominan adalah suhu perairan. Hal ini dsebabkan karena pada
umumnya setiap spesies ikan akan memilih suhu yang sesuai dengan
lingkungannya untuk makan, memijah dan aktivitas lainnya. Seperti misalnya di
daerah barat Sumatera, musim ikan cakalang di Perairan Siberut puncaknya pada
musim timur dimana SPL 24-26°C, Perairan Sipora 25-27°C, Perairan Pagai
Selatan 21-23°C.
Pengaruh Suhu Air terhadap Ekosistem Perairan merupakan salah satu faktor fisik
lingkungan perairan adalah suhu. Permukaan air peka terhadap perubahan suhu,
perubahan suhu dipengaruhi oleh letak geografisnya, ketinggian tempat, lama
paparan terhadap matahari dan kedalaman badan air (Tunas. 2005;16, 18).
Kenaikan suhu air akan dapat menimbulkan beberapa akibat sebagai berikut
(Kanisius. 2005; 22-23):
Selanjutnya menurut Munro (1978 dalam Tunas 2005; 18), Peningkatan suhu air
dapat menyebabkan penurunan kelarutan gas-gas, tetapi meningkatkan solubilitas
senyawa-senyawa toksik seperti polutan minyak mentah dan pestisida, serta
meningkatkan toksisitas logam berat, sebagai contoh bahwa pada air tawar
(salinitas 0%) peningkatan suhu dari 25 menjadi 300C menyebabkan penurunan
kelarutan oksigen dari 8,4 menjadi 7,6 mg/liter.
Pengaruh Suhu Air terhadap Respon Fisiologis dan Tingkah Laku Ikan memiliki
derajat toleransi terhadap suhu dengan kisaran tertentu yang sangat berperan bagi
pertumbuhan, inkubasi telur, konversi pakan dan resistensi terhadap penyakit
(Tunas. 2005;16). Selanjutkan Tunas menambahkan bahwa ikan akan mengalami
stres manakala terpapar pada suhu di luar kisaran yang dapat ditoleransi. Suhu
tinggi tidak selalu berakibat mematikan tetapi dapat menyebabkan gangguan
status kesehatan untuk jangka panjang. Misalnya stres yang ditandai tubuh lemah,
kurus, dan tingkah laku abnormal, sedangkan suhu rendah mengakibatkan ikan
menjadi rentan terhadap infeksi fungi dan bakteri patogen akibat melemahnya
sistem imun (Tunas. 2005;16-17).
Pada dasarnya suhu rendah memungkinkan air mengandung oksigen lebih tingi,
tetapi suhu rendah menyebabkan stres pernafasan pada ikan berupa penurunan
laju respirasi dan denyut jantung sehingga dapat berlanjut dengan pingsannya
ikan-ikan akibat kekurangan oksigen.
Penelitian oleh Kuz’mina et al. (1996 dalam Tunas. 2005) menunjukkan bahwa
suhu perairan sangat berpengaruh terhadap laju metabolisme dan proses- proses
biologis ikan. Ditunjukkan bahwa aktivitas enzim pencernaan karbohidrase sangat
dipengaruhi oleh suhu, aktivitas protease tertinggi dijumpai pada musim panas,
adapun aktivitas amilase tertinggi dijumpai pada musim gugur (Hofer, 1979a ;
1979b dalam Tunas. 2005; 18).
Menurut Kanisius (1992; 23) suhu air yang relatif tinggi dapat ditandai antara lain
dengan munculnya ikan-ikan dan hewan air lainnya ke permukaan untuk mencari
oksigen.
Salinitas adalah jumlah kadar garam yang terdapat pada suatu perairan. Ikan
seribu (Poecilia reticulata), merupakan salah satu ikan tawar yang banyak
ditemukan di sekitar lingkungan, misalnya parit, sungai, dan lain sebagainya,
sebab ikan tersebut dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Perbedaan antara ikan seribu jantan berada pada ukurannya. Ikan
jantan memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan dengan betina, selain itu ikan
jantan memiliki aneka macam warna pada tubuhnya, dan memiliki bintik hitam
seperti mata pada masing-masing sisi tubuhnya, sedangkan ikan betina tidak
memilikinya (Gusrina, 2008).
Setiap ikan akan mengalami proses osmosis melalui insangnya, air secara terus
menerus masuk kedalam tubuh ikan melalui insang. Proses ini secara pasif
berlangsung melalui suatu proses osmosis yaitu, terjadi sebagai akibat dari kadar
garam dalam tubuh ikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan lingkungannya.
Sebaliknya garam akan cenderung keluar. Dalam keadaan normal proses ini
berlangsung secara seimbang. Peristiwa pengaturan proses osmosis dalam tubuh
ikan ini dikenal dengan sebutan osmoregulasi.
Pengaruh ini berbeda pada setiap organisme baik itu fitoplankton, zooplankton,
maupun ichthyoplankton. Pengaruh salinitas pada ikan dewasa sangat kecil karena
salinitas di laut relatif stabil yaitu berkisar antara 30 – 36 ‰, sedangkan larva ikan
biasanya cepat menyusuaikan diri terhadap tekanan osmotik. Namun demikian
cenderung memilih perairan dengan kadar salinitas yang sesuai dengan tekanan
osmotik tubuhnya. Dan hal ini secara langsung akan sangat mempengaruhi
distribusi larva ikan (Lignot et al., 2000).
BAB 3 : METODE PRAKTIKUM
Bahan : ikan
4.1 Hasil
4.2 Pembahasan
A. Es Batu (Aquarium 1)
Pada percobaan adaptasi pertama di akuarium ke-1 adalah es batu. Di kondisi
awal dengan suhu 30°C merupakan kondisi normal sebelum es batu dimasukkan
ke dalam akor ini.
Pada menit pertama dimasukkannya sebagian es batu ke dalam akuarium ini ikan
mulai bergerak untuk beradaptasi dengan suhu lingkungan pada es batu. Suhunya
mencapai 20°C dengan Operkulum nya pada menit 02.31 ikan sudah dapat
beradaptasi seperti biasa. Gerakan buka tutup mulut pada ikan terjadi sebanyak ±
97 kali selama 2 menit lebih dengan awal gerakan yang sedikit melambat saat air
es dimasukkan ke dalam hingga pada menit kedua akan sudah mulai lincah untuk
bergerak karena sudah bisa beradaptasi pada suhu lingkungan
Kemudian masukkan lagi seluruh sisa es batu yang tadi hingga suhu air pada
akuarium pertama mencapai 15°C. Dimana pada suhu ini ikan sudah mulai tidak
bisa melakukan adaptasi pada suhu ini. Gerakan buka tutup mulut pada ikan juga
mulai sedikit melambat, ± hanya sebanyak 30 kali selama 1 menit lebih. Dengan
gerakan ikan yang mulai melambat juga dan terkadang tidak bergerak atau
pingsan.
Dan pada menit ke 05.43 semua ikan yang ada pada akuarium ke-1 telah mati
pada suhu 9°C. Dengan tubuh yang membeku dan tempat ikan mati itu di pada
dasar aquarium.
Operculum ikan mati dengan perlahan namun cepat.
Pada menit pertama lebih tepatnya detik ke-15 air panas dimasukkan setengah
sehingga suhunya mencapai hingga 47°C namun pada kondisi ini ikan masih bisa
untuk beradaptasi walau suhu yang ada pada air meningkat drastis. Pada awal air
panas dimasukkan ikan cupang agak cukup sulit untuk beradaptasi dikarenakan
peningkatan suhu yang cukup signifikan namun setelah beberapa detik atau
setelah 10 detik pertama ikan cukup bisa untuk beradaptasi walaupun sudah
sangat meningkat. Gerakan buka tutup mulut pada ikan di suhu lingkungan air
panas sedikit lebih banyak atau lebih cepat dibandingkan air dingin yang
sebelumnya ± 17 kali dalam waktu 10 detik. Gerakan awal ikan sangat cepat saat
air panas dimasukkan ke dalam akuarium namun saat ikan sudah mulai
beradaptasi gerakannya mulai melambat seperti biasa.
Kemudian pada detik ke 28 seluruh sisa air panas dimasukkan ke dalam akuarium
yang menyebabkan perubahan yang sangat signifikan pada suhu air hingga
mencapai 55°C. Di mana pada kondisi ini semua ikan sudah tidak dapat
beradaptasi lagi menyebabkan ada salah satu ikan yang mati pada suhu 55°C. Dan
sisa 2 ikan lainnya sudah mulai bergerak melambat dan terkadang juga salah satu
ikannya ada yang pingsan dengan gerakan mulut buka tutup jauh lebih lambat
daripada detik ke-15 sebelumnya ± 8 kali dalam 10 detik.
Pada detik ke 35 seluruh ikan mati disebabkan dengan suhu air yang mencapai
57°C yang mengakibatkan Ikam sudah tidak lagi beradaptasi dengan kondisi yang
sangat panas ini. Ikan mati dengan kondisi tubuh yang sedikit melunak dan
mengambang di bagian atas permukaan air.
Pada menit pertama dimasukkannya air garam kondisi ikan normal dengan
gerakan lincah seperti ikan pada umumnya ikan masih dapat beradaptasi pada 10
menit pertama Kemudian pada menit ke-13 ikan mulai lemas dan sedikit
pergerakan. Operculum pergerakan ikan melambat, dengan gerakan buka tutup
mulut juga melambat sekitar ± 24 kali dalam 1 menit. Dengan salinitas sebesar
5,7%
Kemudian pada menit ke-17 salah satu ikan ada yang mati lalu di menit ke-24 dua
ikan lainnya menyusul mati karena pada menit ke-24 dua ikan lainnya menyusul
mati.
Operculum ikan mati dengan sangat perlahan karena salinitas yang ada pada air
tidak terlalu tinggi.
D. Air Biasa (Aquarium 4)
Pada percobaan adaptasi ke-4 di akuarium ke-4 adalah air biasa. Kondisi awal
suhu pada akuarium ke-4 adalah 30°C, dengan salinitas 0,0%.
Pada 10 menit pertama kondisi suhu maupun salinitas tidak berubah begitu pula
hingga 10 menit ketiga kondisi air dan juga salinitas masih tetap sama. Pada
kondisi ini ikan bisa hidup dengan suhu 30°C dan salinitas 0,0%.
Operkulum pergerakan ikan pada akuarium keempat lincah dikarenakan suhu dan
juga salinitas yang ada pada air tepat atau memang sesuai dengan kondisi yang
seharusnya. Gerakan buka tutup mulut pada ikan juga sebanyak ± 38 kali.
BAB 5 : PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang bisa ditarik dari hasil praktikum yang telah dilaksanakan adalah
sebagai berikut :
1. Suhu tinggi memang tidak selalu berakibat mematikan namun hal itu juga
dapat menjadikan menyebabkan gangguan stres kesehatan untuk jangka
panjang seperti tubuh yang lemah kurus dan juga tingkah laku yang
abnormal pada ikan sedangkan suhu yang rendah dapat mengakibatkan
ikan rentan terhadap infeksi jamur maupun bakteri patogen akibat
melemahnya sistem imun.
2. Salinitas sangat mempengaruhi fisiologi kehidupan organisme dalam
hubungannya dengan penyesuaian tekanan osmotik antara sitoplasma dan
juga lingkungan. Pengaruh ini berbeda pada setiap organisme baik itu
fitoplankton zooplankton dan juga yang lainnya. Pengaruh salinitas pada
ikan dewasa sangat kecil karena salinitas di laut stabil dengan kisaran
antara 30-36. Sedangkan untuk ikan kecil biasanya cukup cepat
menyesuaikan diri dengan tekanan osmotiknya namun salinitas dengan
tingkat yang lebih tinggi juga dapat mempengaruhi kematian pada ikan.
5.2 Saran
Agar praktikum dapat berjalan dengan baik dan lancar maka kegiatan praktikum
harus berjalan dengan prosedur yang ada dan sesuai dengan yang telah diterapkan
pada laboratorium. Tingkat kehati-hatian juga mempengaruhi hasil praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Fujaya, Yushinta. 2004. Fisologi Ikan. Jakarta. Penerbit P.T Rineka Cipta