Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Lingkungan adalah sesuatu yang berada di sekitar kita. Lingkungan bagi
suatu organisme itulah yang menjadi kondisi atau persyaratan organisme untuk
hidup. Pada dasarnya, lingkungan terbagi atas lingkungan fisik abiotik dan
biotik. Kedua hal tersebut terjadi sangat mempengaruhi distribusi (pembesaran)
organisme dalam habitatnya yang berbeda-beda. Lingkungan abiotik meliputi
segala sesuatu yang tidak secara langsung terkait pada keberadaan organisme
tertentu yaitu: cahaya, kelembaban, pH, angin, air, dan lainnya.
Salah satu faktor fisik lingkungan yang paling jelas adalah suhu.
Dimana, suhu mudah diukur dan sangat beragam. Suhu tersebut mempunyai
peranan yang penting dalam mengatur aktivitas biologis organisme, hewan
maupun tumbuhan. Ini terutama disebabkan karena suhu mempengaruhi
kecepatan reaksi kimiawi dalam tubuh dan sekaligus menentukan kegiatan
metabolik, misalnya dalam hal respirasi.
Ciri-ciri makhluk hidup adalah bernapas, bergerak, menanggapi
rangsang, berkembangbiak, membutuhkan makanan, dan tumbuh. Pada saat
bernapas tejadi pertukaran antara oksigen dengan karbondioksida. Pernapasan
pada setiap organisme berbeda-beda, ada yang secara difusi dan ada yang
melalui saluran.
Untuk mengetahui bagaimana tentang suhu lebih jauh, maka
dilakukanlah suatu praktikum yang berjudul “Pengaruh Suhu Terhadap
Aktivitas Organisme”. Organisme kali ini akan diwakili oleh ikan mas koki
yang berkedudukan sebagai objek pengamatannya. Ikan mas koki adalah
organisme air tawar yang bernapas dengan menggunakan insang. Ikan ini
memperoleh udara dari proses buka tutup insang dan mulutnya. Dimana
oksigen masuk ke dalam mulut bersama air lalu dikeluarkan lewat operculum.
Sehingga dalam praktikum ini kita akan mengamati gerakan buka tutup
operculum ikan mas koki yang menandakan bahwa ikan tersebut menghirup
oksigen.
B. Tujuan
Melalui percobaan ini, mahasiswa diharapkan dapat membandingkan
kecepatan penggunaan oksigen pada suhu yang berbeda.
C. Manfaat
Mengetahui perbandingan kecepatan penggunaan oksigen pada suhu yang
berbeda.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Suhu merupakan salah satu faktor fisik lingkungan yang paling jelas, mudah
diukur dan sangat beragam. Suhu tersebut mempunyai peranan yang penting dalam
mengatur aktivitas biologis organisme, baik hewan maupun tumbuhan. Ini terutama
disebabkan karena suhu mempengaruhi kecepatan reaksi kimiawi dalam tubuh dan
sekaligus menentukan kegiatan metabolik, misalnya dalam hal respirasi.
Sebagaimana halnya dengan factor lingkungan lainnya, suhu mempunyai rentang
yang dapat ditoleransi (ditenggang) oleh setiap organisme (Tim Penyusun, 2013).
Suhu merupakan salah satu faktor pembatas penyebaran hewan, dan
selanjutnya menentukan aktivitas hewan. Rentangan suhu lingkungan di bumi jauh
lebih besar dibandingkan dengan rentangan penyebaran aktivitas hidup. Suhu udara di
bumi rentang dari (-70 sampai 80)0C. Secara umum, aktivitas kehidupan terjadi antara
rentangan sekitar (0 sampai 40)0C. Kebanyakan hewan hidup dalam rentangan suhu
yang lebih sempit. Beberapa hewan dapat bertahan hidup tetapi tidak aktif di bawa
00C, dan beberapa tahan terhadap suhu sangat dingin. Tidak ada hewan yang dapat
hidup di atas suhu 500C, dan sedikit bacteria dan alga aktif dalam sumber air panas
dengan suhu 700C. Batas-batas untuk bereproduksi lebih sempit daripada suhu hewan
dewasa bertahan hidup, tetapi embrio kebanyakan homeoterm lebih tahan terhadap
rentangan suhu yang lebih lebar daripada yang dewasa (Seowolo, 2000).
Berdasarkan responnya terhadap perubahan temperature lingkungan, hewan
dikelompokkan menjadi hewan homoitermi dan poikilotermi. Hewan homoitermi
bersifat homoitermik yaitu mamalia dan burung. Hewan poikilotermi adalah hewan
yang temperature tubuhnya berubah-rubah jika temperature lingkungannya berubah.
Hewan yang bersifat poikilotermik adalah reptil, amfibi, ikan, dan hewan-hewan
avertebrata. Sebagai contoh: temperatur tubuh ikan sama dengan temperatur air
dimana ikan itu berenang (Agus, 2005).
Semua hewan berusaha memanaskan tubuh agar temperature tubuh tidak
banyak berubah sebagai akibat penurunan temperature lingkungan, tetapi caranya
berbeda-beda. Hewa-hewan homeoterm memanaskan tubuh dengan cara
memproduksi panas. Hewan ini meningkatkan metabolisme tubuh, yaitu
meningkatkan respirasi karbohidrat. Dengan kata lain, panas tubuh hewan homeoterm
berasal dari dalam tubuhnya sendiri. Sifat seperti itu disebut endodermik.
Peningkatan produksi panas terjadi jika temperature lingkungan naik dan turun. Pada
saat temperature lingkungan meningkat, panas yang keluar sebagai hasil metabolisme
karbohidrat dipancarkan keluar. Selain itu, air yang diproduksi pada peningkatan
metabolisme karbohidrat di keluarkan ke permukaan kulit dalam bentuk keringat.
Keringat itu menguap, dan penguapan itu menghisap panas dari tubuh. Dengan cara
itu suhu tubuh hewan hemeoterm tidak meningkat, jika suhu lingkungan meningkat.
Bila temperatur lingkungan turun, panas yang dihasilkan pada respirasi karbohidrat
disimpan di dalam tubuh. Air yang keluar dari respirasi dikeluarkan melalui ginjal,
sehingga tidak menghisap panas tubuh untuk pengluarannya. Dengan cara itu hewan
homoeterm dapat mempertahankan temperature tubuh jika temperature lingkungan
turun (Pudyo, 2000).
Adapun menurut Adisendjaja (2001), faktor lingkungan mempengaruhi
organisme secara fisiologis dalam berbagai cara. Factor lingkungan yang sama
menghasilkan pengaruh yang berbeda pada saat yang berbeda dibawah kondisi yang
berbeda. Untuk setiap spesies terdapat rentangdalam factor lingkungan sehingga
fungsi-fungsi dalam spesie optimum. Setiap heawn mempunyai kisaran toleransi
tertentu untuk suatu factor lingkungan abiotik. Dalam kisaran kondisi yang
ditolerirnya itu hewan mempunyai preferensi terhadap kisaran kondisi yang paling
cocok baginya, yaitu preferensinya. Spesies bermacam-macam dalam batas
toleransinya terhadap factor yang sama. Apabila hewan mobile dihadapkan pada
suatu gradien factor lingkungan berupa suhu, maka hewan akan bergerak menuju
zona dengan kondisi suhu yang palinh cocok. Dengan begiti maka individu-individu
hewan akan paling banyak didapatkan pada zona preferensinya itu. Preferendum
hewan untuk suatu factor lingkungan tertentu di habitat alaminya sukar untuk
menentukannya. Salah satu penyebabnya adalah lingkungan alaminya, hewan
dihadapkan secara sekaligus pada beraneka ragam factor lingkungannya.
Menurut Gut Windarsih (2012), menuliskan bahwa pengaruh berbagai suhu
terhadap hewan ektoterm mengikuti suatumpola yang tipikal, walaupun ada
perbedaan dari species ke species yang lainnya. Pada intinya, ada tiga kisaran suhu
yaitu:
1. Suhu rendah berbahaya.
2. Suhu tinggi berbahaya.
3. Suhu diantara kedua rentang tersebut.
Dalam kisaran yang tidak mematikan pengaruh paling penting oleh suhu
terhadap hewan ektotermal dari sudut pandang ekologik adalah pengaruh suhu atas
perkembangan dan pertumbuhan.
Menurut Pudyo (2000), adaptasi fisiologis hewan terhadap temperatur
lingkungan meliputi tiga hal: 1) adaptasi untuk hidup dilingkungan bertemperatur
rendah, 2) adaptasi untuk hidup dilingkungan bertemperatur tinggi, 3) adaptasi untuk
mengatasi perubahan temperatur tubuh sebagai akibat perubahan temperatur
lingkungan.
Perubahan suhu memiliki pengaruh besar terhadap berbagai proses fisiologi.
Dalam batas-batas tertentu, peningkatan suhu akan mempercepat banyak proses
fisiologi. Misalnya, pengaruh suhu terhadap komsumsimoksigen akan meningkat
dengan meningkatnya suhu lingkungan. Pada seekor hewan yang memiliki rentangan
suhu toleransi luas, kecepatan konsumsi oksigennya akan meningkat dengan cepat
begiti suhu lingkungan naik (Seowolo, 2000).
BAB III
METODE PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat


Praktikum ini dilaksanakan pada:
Hari / tanggal : Rabu/ 08 Januari 2014
Waktu : Pukul 16.00 – selesai WITA
Tempat : Green House Jurusan Biologi FMIPA UNM
B. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Temometer batang 1 buah
b. Neraca
c. Stopwatch/ jam tangan
d. Becker glass 1000 ml 3 buah
2. Bahan
a. Ikan mas koki 3 ekor
b. Es batu
c. Air kran
d. Air panas
C. Langkah kerja
1. Mengambil 2 ekor ikan mas koki yang relatif sama besarnya dari suatu
wadah/ becker gelas yang telah disediakan, dan diaklimatisasi selama 15
menit.
2. Mengambil 1 ekor ikan mas koki dan memasukkan ke dalam becker
gelas (B) yang berisi air panas (380C) 800 ml. Menghitung dan mencatat
frekuensi gerakan (buka tutup) operculum dalam satu menit selama 5 menit.
3. Mengambil 1 ekor ikan mas koki dan memasukkan ke dalam becker
gelas (A) yang berisi air dingin (160C) 800 ml. Menghitung dan mencatat
frekuensi gerakan (buka tutup) operculum dalam satu menit selama 5 menit.
4. Mengambil 1 ekor ikan mas koki dan memasukkan ke dalam becker
gelas (C) yang berisi air kran (270C) 800 ml. Menghitung dan mencatat
frekuensi gerakan (buka tutup) operculum dalam satu menit selama 5 menit.
5. Mencatat hasil pengamatan dalam tabel.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN dan PEMBAHASAN

A. Hasil pengamatan
Data frekuensi gerakan (buka tutup) operculum ikan mas koki pada suhu
air yang berbeda.
Suhu Waktu (menit ke ….) Rata –rata
Gelas kimia
awal air 1 2 3 4 5 total
A
160 45 18 6 30 24 24,6
(Air dingin)
B
380 90 175 140 159 147 142,2
(Air panas)
C
270 129 112 97 107 83 105,6
(Air kran)
B. Analisis data
Kecepatan rata-rata (buka tutup) operculum pada ikan mas koki
(45+ 18+6+30+24 )kali
1. Becker glass A =
5 menit
= 24,6 kali/menit
(90+17 5+140+ 159+ 147)kali
2. Becker glass B =
5 menit
= 142,2 kali/menit
(129+112+ 97+107+83) kali
3. Becker glass C =
5 menit
= 105,6 kali/menit
C. Pembahasan
Dari percobaan yang telah kami lakukan mengenai frekuensi gerakan (buka
tutup) operculum pada ikan mas koki dapat diketahui sebagai berikut:
1. Frekuensi gerakan (buka tutup) operculum ikan mas koki yang berada
pada becker gelas A yang berisi air dingin dengan suhu 16 0C pada menit
pertama yaitu 45 kali, pada menit kedua 18 kali, pada menit ketiga 6 kali,
pada menit keempat 30 kali, dan pada menit kelima sebanyak 24 kali.
Sehingga rata-ratanya adalah sebanyak 24,6 kali gerakan tiap menitnya.
2. Frekuensi gerakan (buka tutup) operculum ikan mas koki yang berada
pada becker glass B yang berisi air panas dengan suhu 38 0C pada menit
pertama yaitu 90 kali, menit kedua 175 kali, menit ketiga 140 kali, menit
keempat 159 kali, dan pada menit kelima sebanyak 147 kali. Sehingga rata-
ratanya adalah sebanyak 142,2 kali gerakan tiap menitnya.
3. Frekuensi gerakan (buka tutup) operculum ikan mas koki yang berada
pada becker glass C yang berisi air kran dengan suhu 27 0C pada menit
pertama yaitu 129 kali, menit kedua 112 kali, menit ketiga 97 kali, menit
keempat 107 kali, dan pada menit kelima sebanyak 83 kali. Sehingga rata -
ratanya adalah sebanyak 105,6 kali gerakan tiap menitnya.
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa kecepatan buka tutup
operculum pada ikan mas koki dalam menyerap oksigen berbeda ditinjau dari
suhu lingkungannya. Kecepatan buka tutup operculum yang dilakukan oleh ikan
mas koki pada suhu normal (270C) yaitu 105,6 kali/menit. Pada keadaan ini, ikan
koki melakukan respirasi secara normal.
Kecepatan buka tutup operculum yang dilakukan oleh ikan mas koki
cenderung lebih cepat pada suhu air yang lebih panas (38 0C) yaitu 142,2
kali/menit. Keadaan ini disebabkan karena ikan mas koki membutuhkan energi
yang besar pada saat itu untuk mengimbangi keadaan lingkungan dengan
menyerap oksigen sebanyak mungkin sesuai dengan yang dibutuhkan dalam
proses respirasinya.
Sedangkan pada suhu yang lebih dingin (160C), kecepatan tutup buka
operculum ikan mas koki lambat jika dibandingkan pada saat ikan berada pada
suhu normal dan suhu panas yaitu 24,6 kali/menit. Hal ini disebabkan karena
pada suhu rendah ikan mas koki melakukan respirasi lebih lambat dibandingkan
pada suhu yang lebih tinggi.
Jika ditinjau berdasarkan teori, hasil pengamatan telah sesuai karena
diperoleh frekuensi kecepatan buka tutup operculum pada suhu dingin lebih
lambat daripada frekuensi kecepatan buka tutup operculum pada suhu panas,
menurut teori sebaliknya karena pada suhu panas lebih banyak melepas oksigen
sedangkan pada suhu dingin lebih banyak menangkap oksigen, sehingga pada
suhu panas frekuensi kecepatan buka tutup operculum pada ikan mas koki lebih
cepat daripada frekuensi kecepatan buka tutup operculum pada suhu dingin.
Jadi, kisaran suhu sangat berpengaruh terhadap aktivitas hewan
contohnya ikan mas koki, hal ini sesuai dengan pemaparan Adisendjaja (2001)
yang mengatakan bahwa hewan memiliki kisaran toleransi tertentu untuk suatu
faktor lingkungan abiotik. Dalam kisaran kondisi yang tolerirnya itu hewan
mempunyai preferensi terhadap kisaran kondisi yang paling cocok baginya, yaitu
preferensinya. Contohnya pada suhu, dimana hewan akan bergerak menuju zona
dengan kondisi suhu yang paling cocok.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat disimpulkan bahwa suhu sangat
berperan penting dalam mengatur segala aktivitas biologis organisme, baik
hewan maupun tumbuhan. Pada suhu (38oC), kecepatan respirasi ikan lebih
tinggi. Hal ini disebabkan karena pada suhu tersebut jumlah oksigen yang
tersedia lebih sedikit. Pada suhu (16oC), kecepatan respirasinya lebih rendah
karena aktivitas organisme yang kurang aktif dan metabolisme ikan manurun.
Pada suhu normal (27oC), kecepatan respirasi organisme /ikan normal, karena
pada suhu ini merupakan suhu optimum dimana organisme dapat hidup dengan
baik.
B. Saran
Adapun saran saya untuk laboratorium yaitu agar Alat-alat dalam
praktikum sangat tidak mencukupi dalam melakukan praktikum. Dengan rendah
hati kami meminta agar alat-alat yang digunakan dalam praktikum lebih
banyak.Untuk asisten, sebaiknya untuk setiap kelompok dapat didampingi oleh
satu orang asisten agar praktikum bisa berjalan lancar dan dapat lebih mengerti
dengan jelas.Untuk Praktikan, teliti dalam melakukan percobaan, berhati –hati
dalam menggunakan alat.
DAFTAR PUSTAKA

Adisendjaja. 2001. Petunjuk Praktikum Ekologi Hewan. Bandung: JICA.

Agus. 2005. Ekologi Hewan. Malang: Universitas Negeri Malang.

Gut Windarsih. 2012. Biologi. Balikpapan.

Seowolo. 2000. Pengantar Fisiologi Hewan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan


Tinggi Departeman Pendidikan nasional.

Susanto, Pudyo. 2000. Pengantar Ekologi Hewan. Jakarta: Direktorat Jenderal


Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan nasional.

Tim Penyusun. 2013. Penuntun Praktikum Biologi Dasar. Makassar: Jurusan Biologi
FMIPA UNM.
LAMPIRAN

Jawaban Pertanyaan
1. Terjadinya perbedaan frekuensi gerakan operculum ikan pada suhu yang
berbeda-beda disebabkan karena adanya perbedaan suhu air pada masing-masing
becker glass. Sedangkan suhu salah satu factor yang mempengaruhi respirasi.
Sehingga ikan menyesuaikan diri dengan perubahan di lingkungannya.
2. Frekuensi gerakan buka tutup operculum tertinggi terjadi pada becker glass
yang berisi air dingin dengan suhu 380C.
3. Frekuensi gerakan buka tutup operculum terendah terjadi pada becker glass
yang berisi air kran dengan suhu 160C.

HALAMAN PENGESAHAN
Laporan lengkap praktikum biologi dasar dengan judul praktikum
“Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Organisme’’ disusun oleh :
Nama : Oktadiana Pakiding
NIM : 1313040011
Kelas/ Kelompok : Pendidikan Kimia/VI
Jurusan : Kimia
telah diperiksa dan dikonsultasikan oleh asisten dan koordinator asisten,maka
dinyatakan diterima.

Makassar, Januari 2014


Koordinator Asisten Asisten

Aswal Salewangeng Rasda Gustianto


NIM. 1114040003 NIM. 1114040016

Mengetahui
Dosen Penanggung Jawab

Faisal, S.Pd, M. Pd
NIP. 19840619200801 1 003

Anda mungkin juga menyukai