Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TERNAK

ACARA VI
THERMOREGULASI

Disusun oleh :
Kelompok XIV
Dzakia Farah Fauzia Azzahra PT/09254
 Yohana Theresa Manihuruk PT/09502
 Yahya Imaduddin Akmal PT/09503
 Galvin Asyfi’ Rabbani PT/09510
 Hilmy Setya Atmaja PT/09511
 Safri Amir Udin PT/09513
 Elsa Aprilia Sihombing PT/09526
 Jenniya Dhiya Safira PT/09537
Asisten : Andrian Syah

LABORATORIUM FISIOLOGI DAN REPRODUKSI TERNAK


DEPARTEMEN PEMULIAAN DAN REPRODUKSI TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA 
YOGYAKARTA
2023
ACARA THERMOREGULASI

Tinjauan Pustaka

Thermoregulasi merupakan proses yang terjadi dalam tubuh hewan


untuk mengatur suhu tubuhnya supaya tetap konstan. Mekanisme
thermoregulasi yaitu mengatur keseimbangan antara perolehan panas
dan pelepasan panas. Keberhasilan suatu organisme untuk bertahan
hidup dan bereproduksi mencerminkan keseluruhan toleransinya terhadap
seluruh  kumpulan variabel lingkungan yang dihadapi organisme tersebut
artinya bahwa setiap organisme  harus mampu menyesuaikan diri
terhadap kondisi lingkungannya, adaptasi tersebut berupa respon
morfologi, fisiologi dan tingkah laku (Campbell, 2004).
Hewan diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan kemampuan untuk
mempertahankan suhu tubuh, yaitu poikiloterm dan homoiterm. Hewan
poikiloterm yaitu hewan yang suhu tubuhnya selalu berubah seiring
dengan berubahnya suhu lingkungan. Sementara hewan homoiterm yaitu
hewan yang suhu tubuhnya selalu konstan atau tidak berubah sekalipun
suhu lingkungannya sangat berubah (Isnaeni, 2006). Hewan homoiterm
memiliki suhu tubuh yang stabil dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan.
Homeostatis dipertahankan oleh mekanisme fisiologis yang sebagian
besar mekanismenya dikontrol oleh sistem syaraf dan endokrin (Santoso,
2009).
Hewan mempunyai mekanisme yang mempengaruhi kecepatan
panas tubuh saat menstabilkan suhu tubuhnya. Mekanisme tersebut
diantaranya yaitu mekanisme tingkah laku, mekanisme otonomik, dan
mekanisme adaptif. Kecepatan transfer panas dipengaruhi oleh tiga faktor.
Faktor-faktor tersebut antara lain luas permukaan, perbedaan suhu, dan
konduktansi panas.
Suhu tubuh mamalia berkisar 36,5°C sampai 37,5°C namun suhu
tubuh dapat berkurang menjadi 36°C atau meningkat hingga 40°C. Suhu
inti tubuh didefinisikan sebagai suhu dari hypothalamus, sebagai
pengaturan suhu tubuh. Pusat pengaturan suhu tubuh terdapat tiga
komponen antara lain hypothalamus, reseptor, dan afektor. Hypothalamus
sebagai pusat pengaturan suhu tubuh menerima tingkat suhu dari
thermoreseptor dan dikoordinasikan ke efektor suhu untuk melakukan
reaksi lanjutan. Reseptor merupakan reseptor sensoris yang dibagi
menjadi dua eseptor pusat dan tepi, pusat di hypothalamus dan tepi di
kulit yang sensitif pada perubahan suhu panas maupun dingin. Efektor
sendiri melakukan reaksi pengeluaran panas setelah koordinasi dengan
pusat pengaturan suhu tubuh (Indra, 2007).
Interaksi makhluk hidup dengan lingkungan terjadi pada perpindahan
panas. Penambahan atau pengurangan panas dapat mengatur
perpindahan panas dari tubuh dengan lingkungannya. Perpindahan
tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain, konduksi,
konveksi, radiasi dan evaporasi. Konduksi merupakan perpindahan dari
suhu dari yang tinggi ke yang rendah melalui kontak fisik secara langsung.
Konveksi adalah perpindahan panas melalui pergerakkan zat cair maupun
gas yang panas bersumber dari zat padat yang dilewati oleh udara atau
cairan. Radiasi adalah perpindahan tanpa kontak langsung dan terjadi
akibat intensitas suatu benda. Evaporasi adalah proses membawa uap air
bersama dengan panas ke luar tubuh (Goenarso, 2005).
Materi dan Metode

Materi
Alat. Alat yang digunakan dalam praktikum acara thermoregulasi
adalah termometer, arloji (stopwatch), kendi, beacker glass, dan penjepit
katak.
Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum acara thermoregulasi
adalah kapas, katak, air panas, air es, dan probandus (manusia).
Metode
Pengukuran Suhu Tubuh 
Pada pengukuran mulut, skala pada termometer diturunkan hingga
0°C. Ujung termometer dibersihkan lalu dimasukkan kedalam mulut dan
diletakkan pada bawah lidah dan mulut ditutup rapat. Termometer
ditunggu hingga berbunyi dan hasil suhu yang tertera dicatat. Dilakukan
hal yang sama pada mulut terbuka. Probandus kemudian berkumur
dengan air es selama 1 menit dan dengan cara yang sama dilakukan
pengukuran seperti sebelumnya.
Pada pengukuran axillaris, Skala pada termometer diturunkan hingga
0°C. Ujung termometer disisipkan pada fasa axillaris dengan pangkal
lengan dihimpitkan. Termometer ditunggu hingga berbunyi dan hasil suhu
yang tertera dicatat.
Pengukuran Proses Pelepasan Panas 
Pelepasan Panas pada Katak. Katak ditelentangkan pada papan
dan diikat. Suhu tubuh katak diukur melalui oesophagus selama 5 menit.
Katak dimasukkan ke dalam air es selama 5 menit dan diukur suhu
tubuhnya melalui oesophagus. Katak dimasukkan ke dalam air panas 40 C o

selama 5 menit dan diukur suhu tubuhnya.


Pelepasan Panas pada Kendi. 
Disediakan dua kendi, yang satu dicat dan yang satunya tidak.
Masing-masing diisi dengan air panas 70°C dengan jumlah yang sama
lalu diukur suhunya dengan termometer setiap 5 menit sebanyak 6 kali.
Hasil dan Pembahasan

Thermoregulasi merupakan suatu proses homeostatis untuk


menjaga agar suhu tubuh suatu hewan tetap dalam keadaan stabil
dengan cara mengatur dan mengontrol keseimbangan antara banyak
energi (panas) yang diproduksi dengan energi yang dilepaskan.
Berdasarkan kemampuan untuk mempertahankan suhu tubuh, hewan
diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu poikiloterm dan homoiterm.
Hewan poikiloterm adalah hewan yang temperatur tubuhnya selalu
mendekati temperatur lingkungan tempat hewan tersebut saat itu berada.
Sebaliknya, hewan homoiterm merupakan hewan yang mampu
mempertahankan temperatur tubuhnya agar tetap konstan atau mendekati
konstan walaupun temperatur lingkungannya sangat bervariasi atau
berubah-ubah (Isnaeni, 2006). Hewan mengalami pertukaran panas
dengan lingkungan sekitarnya, atau dapat dikatakan berinteraksi panas.
Interaksi panas tersebut ternyata dimanfaatkan oleh hewan sebagai cara
untuk mengatur suhu tubuh, yaitu untuk meningkatkan dan menurunkan
pelepasan panas dari tubuh, atau sebaliknya untuk memperoleh panas.
Interaksi atau pertukaran panas antara hewan dan lingkungannya dapat
terjadi melalui empat cara, yaitu konduksi, konveksi, radiasi, dan
evaporasi (Presicce, 2017).
Pengukuran Suhu Tubuh
Suhu tubuh adalah pengukuran keseimbangan antara panas yang
dihasilkan oleh tubuh dan panas yang hilang dari tubuh. Pengukuran suhu
tubuh dilakukan untuk mengetahui suhu tubuh pada masing-masing
probandus dengan perlakuan yang berbeda. Pengukuran suhu tubuh
dilakukan dengan menggunakan termometer digital. Termometer digital
mampu mendeteksi suhu tertentu dengan menggunakan sensor. Saat
digunakan untuk mengukur suhu suatu benda, tegangan kaki pada output
sensor termometer akan berubah. Perubahan tersebut kemudian
dikonversikan menjadi angka yang selanjutnya menunjukkan nilai dari
suhu yang diukur. Termometer digital diletakkan dibawah lidah dengan
mulut tertutup dan mulut terbuka lalu berkumur dengan air es kemudian
dilakukan hal yang sama, serta dilakukan pada bagian axillaris. Suhu
tubuh normal manusia berada pada kisaran 36,5 sampai 37,5°C. Hasil
praktikum dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengukuran suhu tubuh pada mulut dan axillaris
Perlakuan Probandus 1 Probandus 2
Mulut tertutup 37,3°C 37,2°C
Mulut terbuka 37,3°C 37°C
Berkumur air es
- Mulut tertutup 36,7°C 36,9°C
- Mulut terbuka 36,8°C 37°C
Axillaris 36,9°C 36,2°C
Berdasarkan tabel diatas diperoleh hasil dari kedua probandus yang
menunjukkan bahwa perbedaan suhu hampir sama. Suhu tubuh relatif
normal yaitu antar 36,2°C sampai 37,3°C. Suhu tubuh pada mulut tertutup
probandus I sama dengan suhu tubuh pada mulut terbuka, dimana suhu
tersebut sebesar 37,3°C. Probandus II, saat mulut tertutup suhunya lebih
tinggi sedikit dibandingkan saat mulut terbuka. Dimana suhu pada saat
mulut tertutup yaitu sebesar 37,2°C, sedangkan saat mulut terbuka yaitu
37°C. Fauzi (2013) menyatakan bahwa rata-rata suhu manusia normal
adalah berkisar antara 36,5°C sampai 37,5°C, akan tetapi dapat berubah
ketika melakukan aktivitas. Perubahan suhu tersebut merupakan kondisi
fisiologis yang normal. Suhu tubuh juga dapat meningkat akibat adanya
perubahan suhu lingkungan dan kelembaban udara yang relatif tinggi. 
Faktor yang menyebabkan suhu mulut tertutup lebih tinggi dari mulut
terbuka dikarenakan saat mulut tertutup tidak ada sirkulasi udara di dalam
mulut sehingga suhu yang terukur merupakan suhu tubuh secara
keseluruhan. Namun ketika mulut terbuka terdapat sirkulasi udara
sehingga suhu dalam tubuh ada yang hilang.

Pengukuran suhu saat berkumur air es diperoleh hasil pada


probandus I ketika mulut tertutup yaitu sebesar 36,7°C dan ketika mulut
terbuka yaitu sebesar 36,8°C. Sedangkan pada probandus II didapatkan
hasil ketika mulut tertutup yaitu sebesar 36,9°C dan saat mulut terbuka
yaitu sebesar 37°C. Jika dibandingkan dengan suhu tubuh yang diukur
sebelumnya, percobaan ini mengalami penurunan suhu tubuh namun
penurunan tersebut masih dalam kisaran suhu normal. Marwanto dan
Erlina (2011) menyatakan bahwa suhu tubuh manusia secara normal akan
dipertahankan pada suhu diantara 36°C dan 38°C. Pada percobaan
pengukuran setelah berkumur dengan air es, didapatkan hasil suhu mulut
yang lebih rendah dari suhu basal karena ada redaman panas dari dalam
mulut dengan suhu air yang lebih rendah. Hal ini sesuai dengan teori
bahwa manusia atau hewan homoiterm selalu mempertahankan suhu
tubuhnya dalam keadaan tetap atau konstan walaupun dengan suhu
lingkungan yang berbeda. Purnawan et al. (2015) menyatakan bahwa
sebagai makhluk homoiterm, manusia akan berusaha mempertahankan
tubuhnya tetap dalam kondisi stagnan meskipun suhu lingkungan
berubah. Suhu tubuh dipengaruhi oleh banyak faktor. Guyton dan Hall
(2012) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi suhu tubuh ada
beberapa yaitu laju metabolisme sel tubuh, aktivitas otot, hormon, kondisi
kesehatan, dan perlakuan yang diberikan kepada tubuh. 

Pengukuran suhu pada axillaris diperoleh hasil suhu probandus I


yaitu sebesar 36,9°C dan pada probandus II diperoleh suhu sebesar
36,2°C. Nusi et al. (2013) menyatakan bahwa badan normal pada
manusia yaitu 36,5°C sampai 37°C, apabila suhu manusia lebih dari
37,5°C maka orang tersebut dapat dikatakan demam. Faktor yang
mempengaruhi suhu tubuh pada manusia antara lain aktivitas manusia
yang tinggi menyebabkan suhu tubuh juga menjadi tinggi, luas permukaan
tubuh yang besar, maka pori-pori kulitnya juga besar yang berfungsi untuk
pengeluaran panas, dan suhu lingkungan, ketika suhu lingkungan panas
maka suhu tubuh juga mengeluarkan panas. Fauzi (2013) menyatakan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi suhu tubuh manusia antara lain
tekanan panas (heat stress), usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh,
kondisi kesehatan, dan tingkat aklimatisasi. Berdasarkan hasil yang
didapatkan, dapat disimpulkan bahwa hasil praktikum sesuai dengan
literatur.
Pengukuran Proses Pelepasan Panas
Proses yang terjadi pada hewan dalam mengatur suhu tubuhnya
agar tetap konstan dan dinamis sangat bervariasi. Mekanisme
thermoregulasi terjadi dengan mengatur keseimbangan antara perolehan
panas dengan pelepasan panas. Presicce (2017) menyatakan bahwa
thermolisis atau pelepasan panas mencakup beberapa mekanisme, yaitu
radiasi, konduksi, konveksi, dan evaporasi. Radiasi adalah proses
pelepasan panas tanpa melalui zat perantara atau inframerah. Konduksi
adalah proses pelepasan panas melalui perantara benda padat. Konveksi
adalah proses pelepasan panas melalui perantara zat cair dan udara.
Evaporasi adalah proses pelepasan panas dengan penguapan. Besarnya
panas yang dipertukarkan (hilang atau diperoleh) tergantung kepada
besarnya beda temperatur terhadap lingkungan. Kondisi homeostasis
dalam temperatur tubuh dapat dicapai bila panas yang dihasilkan atau
diterima oleh tubuh sama dengan panas yang hilang dari dalam tubuh.
Pelepasan Panas pada Katak. Katak merupakan salah satu
hewan poikilotherm yang mana hewan ini tidak dapat mempertahankan
suhu tubuhnya sehingga suhu tubuhnya akan selalu berubah seiring
dengan perubahan suhu lingkungan yang ada. Suhu lingkungan dimana
katak berada diasumsikan pada keadaan biasa yaitu 25°C. Wahyudi
(2018) menyatakan bahwa suhu kamar (room temperature) dalam
penggunaan ilmiah dianggap kurang lebih antara 20 hingga 25 derajat
celcius), walaupun nilai tersebut bukanlah suatu nilai yang ditentukan
dengan persis. Untuk kemudahan penghitungan, sering digunakan angka
20°C atau 293 K. Untuk kenyamanan manusia, rentang suhu dan
kelembapan relatif dapat diterima. Hasil praktikum dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Pengukuran suhu tubuh katak
Perlakuan
Suhu (°C)
Keadaan Biasa Air Es Air Panas
Lingkungan 28°C 8°C 40°C
Katak 30°C 19°C 35°C
Berdasarkan tabel diatas diperoleh hasil perbedaan suhu yang
sangat signifikan pada katak. Katak dalam keadaan biasa, suhunya
adalah 30°C, mendekati suhu lingkungan yaitu 28°C. Suhu tubuh katak
menunjukkan angka 19°C ketika dimasukkan pada air yang bersuhu 8°C
dan ketika dimasukkan pada air bersuhu 40°C suhu katak menunjukkan
angka 35°C, ini membuktikan bahwa katak termasuk hewan poikiloterm
dimana suhu lingkungan sedikit banyak mempengaruhi suhu tubuhnya.
Suripto (1998) menyatakan bahwa pada lingkungan yang dingin, katak
akan menyesuaikan diri dengan lingkungannya, yaitu dengan menurunkan
suhu tubuhnya, demikian pula pada keadaan panas maka katak akan
meningkatkan suhu tubuhnya. Wafa (2013) menyatakan bahwa sebagian
besar enzim mempunyai suhu optimum yang sama dengan suhu normal
sel organisme tersebut. Suhu optimum enzim pada hewan poikiloterm di
daerah dingin biasanya lebih rendah daripada enzim pada hewan
homoiterm. Contohnya, suhu optimum pada manusia adalah 37°C,
sedangkan pada katak 25°C. Azhari (2020) menyatakan bahwa pada
hewan poikilotermik darat, misalnya katak, keong dan serangga, suhu
tubuhnya dapat lebih mendekati suhu udara lingkungan. Input radiasi
panas dari matahari atau sumber lain mungkin meningkatkan suhu tubuh
di atas suhu lingkungan, dan penguapan air melalui kulit dan organ-organ
respiratori menekan suhu tubuh beberapa derajat di bawah suhu
lingkungan.

Hewan darat dapat memelihara keseimbangan tubuh dengan


mengurangi penguapan dan kehilangan panas lewat konduksi dan
memaksimalkan penambahan panas melalui radiasi dan panas metabolik.
Imam dan Kusmiyati (2016) menyatakan bahwa adaptasi terhadap suhu
yang panas pada hewan poikiloterm dilakukan dengan meningkatkan laju
pendinginan dengan penguapan melalui kulit bagi hewan yang berkulit
lembab (cacing dan katak) atau dengan cara berkeringat (untuk hewan
yang mempunyai kelenjar keringat), melalui saluran pernafasan, bagi
hewan yang kulitnya tebal dan kedap air (reptil dan insekta), mengubah
mesin metaboliknya agar bisa bekerja pada suhu tinggi (kadal dan reptil).
Adaptasi terhadap suhu dingin dilakukan dengan meningkatkan
konsentrasi osmotik, titik beku cairan tubuh dapat diturunkan hingga
dibawah 0oC. Zat terlarut  gula, seperti fruktosa atau derivatnya, dan
gliserol berfungsi untuk melindungi membran dan enzim dari denaturasi
akibat suhu yang sangat dingin, seperti lalat dari Alaska yaitu
Rhabdophaga strobiloides, yang dapat bertahan hingga suhu -60 oC serta
dapat untuk menghambat pembentukan kristal es di dalam sel untuk
mencegah kerusakan membran. Hal ini diilakukan dengan cara
menambahkan glikoprotein antibeku ke dalam tubuh dimana glikoprotein
adalah molekul polimer dari sejumlah monomer yang tersusun atas
tripeptida yang terikat pada derivat galaktosamin.

Pelepasan Panas pada Kendi.  Proses pelepasan panas


menggunakan kendi dilakukan dua perlakuan, yaitu dengan dicat dan
tidak dicat. Kendi-kendi tersebut diisi dengan air panas dan dicatat suhu
awal setiap lima menit serta dilakukan sebanyak enam kali. Hasill
praktikum dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Proses pelepasan panas pada kendi

Suhu ( C) o

Kendi
Awal I II III IV V VI
Bercat 70 69 65 63 58 55 54
Tidak Bercat 65 62 58 53 50 49 49
Berdasarkan data pada tabel di atas menunjukkan bahwa suhu awal
dalam kedua kendi yaitu sebesar 70°C untuk kendi bercat dan 65°C untuk
kendi yang tidak dicat. Pengukuran suhu pada 5 menit pertama diperoleh
suhu kendi bercat sebesar 69°C dan kendi tidak bercat sebesar 62°C.
Pengukuran suhu pada 5 menit kedua diperoleh suhu kendi bercat
sebesar 65°C dan kendi tidak bercat sebesar 58°C. Pengukuran suhu
pada 5 menit ketiga diperoleh suhu kendi bercat sebesar 63°C dan kendi
tidak bercat sebesar 53°C. Pengukuran suhu pada 5 menit keempat
diperoleh suhu kendi bercat sebesar 58°C dan kendi tidak bercat sebesar
50°C. Pengukuran suhu pada 5 menit kelima diperoleh suhu kendi bercat
sebesar 55°C dan kendi tidak bercat sebesar 49°C. Pengukuran suhu
pada 5 menit terakhir diperoleh suhu kendi bercat sebesar 54°C dan kendi
tidak bercat sebesar 49°C.

Berdasarkan hasil percobaan, diperoleh hasil bahwa pelepasan


panas pada kendi yang tidak dicat lebih cepat daripada kendi yang dicat.
Hal tersebut dikarenakan perlakuan pengecatan menyebabkan pelepasan
panas terhambat dan panas terperangkap dalam kendi. Kendi yang tidak
bercat permukaan pori-porinya tidak tertutup sehingga suhunya lebih
cepat menurun. Proses pelepasan panas pada kendi ini termasuk dalam
proses evaporasi karena panas yang berupa gas keluar melalui pori-pori
dinding kendi. Proses pelepasan panas sendiri meliputi konduksi,
konveksi, radiasi, dan evaporasi. Martini (2001) menyatakan bahwa
semakin banyak pori-pori dalam luas kontak permukaan dan semakin
tinggi perbedaan suhu antara sistem dengan lingkungan, maka proses
konveksi dan evaporasi semakin cepat. Lestari et al. (2014) menyatakan
bahwa radiasi merupakan perpindahan panas dalam bentuk gelombang
elektromagnetik ke permukaan benda lain. Cara untuk menurunkan
hilangnya radiasi adalah dengan dilakukannya kontak kulit dengan kulit
(skin to skin). Konduksi merupakan perpindahan panas dari molekul tubuh
suatu benda atau dari kontak langsung yang bersentuhuan dengan tubuh.
Benda mempunyai konduktivitas thermal atau kemampuan mengalirkan
panas tertentu yang berbeda-beda sehingga dapat menghantarkan panas.
Konveksi merupakan proses perpindahan panas dari molekul tubuh yang
disebabkan karena perpindahan udara. Evaporasi adalah kehilangan
panas dengan cara penguapan suhu tubuh untuk menyesuaikan suhu
lingkungan.  Faktor yang mempengaruhi perbedaan kecepatan dalam
kasus ini yaitu luas permukaan kendi dan suhu lingkungan sekitar. Martini
(2001) menyatakan bahwa proses konveksi dan evaporasi dapat
berlangsung semakin cepat apabila banyak pori-pori dan perbedaan suhu
dengan lingkungan tinggi.  Isnaeni (2006) menyatakan bahwa proses
pelepasan panas dipengaruhi oleh luas permukaan benda, perbedaan
suhu awal, dan konduktivitas panas dari benda. Hasil praktikum sudah
sesuai dengan literatur.
Mekanisme thermoregulasi berdasarkan hasil praktikum terbagi
menjadi dua, yaitu dingin dan panas. Mekanisme thermoregulasi pada
suhu dingin dimulai ketika rangsangan suhu dingin diterima oleh reseptor
suhu atau saraf aferen yang kemudian merangsang hipotalamus untuk
merangsang Tirotrophine releasing hormone (TRH). TRH akan
merangsang hipofisis anterior untuk meningkatkan produksi Thyroid
stimulating hormone (TSH). TSH akan menyebabkan peningkatan tiroksin
untuk meningkatkan proses metabolisme dan akan terjadi vasokonstriksi
atau penyimpanan panas. Mekanisme thermoregulasi pada suhu panas
dimulai ketika rangsangan suhu panas diterima oleh reseptor suhu atau
saraf aferen yang kemudian akan merangsang hipotalamus untuk
mengurangi produksi Tirotrophine releasing hormone (TRH). TRH akan
merangsang hipofisis anterior untuk mengurangi produksi Thyroid
stimulating hormone (TSH) sehingga produksi tiroksin akan menurun dan
metabolisme juga menurun kemudian terjadi vasodilatasi atau pelepasan
panas. Manurung et al. (2017) menyatakan bahwa hormon tiroid, yaitu
TSH dan TRH mempengaruhi efek metabolik thermoregulasi. Sitanggang
et al. (2021) menyatakan bahwa pusat thermoregulasi yang terletak di
otak menjaga suhu tubuh dengan mengontrol penyempitan
(vasokonstriksi) dan pelebaran (vasodilatasi) pembuluh darah.
Gambar 1. Skema thermoregulasi
(Sari dan Ariningpraja, 2021)
Berdasarkan hasil praktikum, bentuk regulasi suhu terdiri atas tiga
macam, yaitu thermolisis, thermogenesis, dan penyimpanan panas.
Presicce (2017) menyatakan bahwa pelepasan energi panas dari tubuh ke
lingkungan dengan proses konduksi, konveksi, evaporasi, dan radiasi.
Radiasi adalah proses pelepasan panas tanpa melalui zat perantara atau
inframerah. Konduksi adalah proses pelepasan panas melalui perantara
benda padat. Konveksi adalah proses pelepasan panas melalui perantara
zat cair dan udara. Evaporasi adalah proses pelepasan panas dengan
penguapan. Konduksi bertanggung jawab dalam transfer panas dari suatu
bahan ke bahan lain sehingga panas mencapai permukaan luar kulit dan
dilepaskan ke lingkungan luar melalui transfer dari bagian dalam tubuh
dan melewati jaringan yang berdekatan. Proses konduksi tersebut apabila
digabungkan dengan konveksi maka akan terjadi pelepasan panas.
Konveksi adalah perpindahan panas dengan perantara udara, gas, atau
cairan yang melintasi permukaan benda yang dipanaskan. Hewan hidup di
lingkungan terbuka sehingga udara mengalir secara terus-menerus di atas
kulit hewan sehingga molekul udara bersentuhan dengan kulit dan
memungkinkan terjadi pelepasan panas. Patton et al. (2019) menyatakan
bahwa evaporasi air adalah metode pelepasan panas dari tubuh, terutama
kulit. Penguapan atau evaporasi sangat penting pada suhu lingkungan
yang tinggi. Evaporasi menyumbang setengah dari kehilangan panas.
Radiasi adalah transfer panas dari permukaan objek ke objek lain tanpa
kontak. Radiasi panas dari permukaan tubuh terjadi ketika temperatur
objek lain lebih dingin daripada kulit dan sebaliknya.
Thermogenesis atau pembentukan panas mencakup non-shivering,
peningkatan aktivitas otot, dan peningkatan aktivitas metabolisme. Non-
shivering atau lipolisis adalah penyesuaian tubuh terhadap suhu dingin
dengan memecah lemak. Peningkatan aktivitas otot dilakukan dengan
menggigil ketika suhu dingin, sedangkan peningkatan aktivitas
metabolisme dengan memecah nutrien selain lemak. McCann et al. (2018)
menyatakan bahwa ketika dihadapkan dengan kedinginan yang drastis,
gelombang simpatis memulai thermogenesis non-shivering dan lipolisis.
Lipolisis lemak coklat selama thermogenesis non-shivering menghasilkan
keton yang menghasilkan asidosis metabolik dan diuresis osmotik untuk
menghasilkan panas. Pramestiyani et al. (2022) menyatakan bahwa
menggigil adalah respons tubuh terhadap suhu dingin dengan kontraksi
otot yang tidak teratur dan menghasilkan panas. Sugiono et al. (2018)
menyatakan bahwa produksi panas ditentukan oleh aktivitas metabolisme
tubuh. Peningkatan metabolisme juga dipengaruhi oleh otot-otot aktif yang
membakar nutrisi untuk aktivitas mekanis tubuh, sebagian energi
dilepaskan keluar tubuh dan disimpan dalam bentuk panas. Menggigil
untuk menghasilkan panas tambahan yang digunakan untuk
meningkatkan laju metabolisme dan produksi panas.
Penyimpanan panas dilakukan dengan vasokontriksi, insulasi, dan
rete mirable. Vasokonstriksi adalah adaptasi dengan pembuluh darah
menjauhi kulit agar pembuluh darah tidak terpengaruh suhu. Insulasi
adalah penyimpanan panas melalui rambut dan bulu atau lemak subkutan.
Rete mirabile adalah perpindahan panas dari pembuluh vena menuju
pembuluh arteri. Imani dan Vale (2022) menyatakan bahwa vasokonstriksi
adalah penyempitan diameter pembuluh darah untuk mengurangi
kehilangan panas dengan darah melewati permukaan kulit organisme dan
mengikuti jalur yang berbeda untuk kembali ke jantung. Campbell et al.
(2000) menyatakan bahwa insulasi adalah penyimpanan panas oleh
lemak, rambut, atau bulu. Swanson (2015) menyatakan bahwa rete
mirabile adalah jarring yang luar biasa yang merupakan komponen sistem
peredaran darah dan penjabaran dari arteri karotis dekat dasar
hipotalamus. Hasil praktikum sesuai dengan literatur.
Berdasarkan praktikum, terdapat 2 penyakit yang berkaitan dengan
thermoregulasi yaitu hipotermi dan heat stress. Hipotermi adalah kondisi
dimana pergeseran temperatur dari suhu nyaman ternak atau cekaman
dingin. Hardisman (2014) menyatakan bahwa hipotermi didefinisikan bila
suhu inti tubuh menurun hingga 35°C atau dapat lebih rendah lagi.
Menurut Setiati (2014), hipotermi disebabkan oleh lepasnya panas karena
konduksi, konveksi, radiasi atau evaporasi. Local cold injury dan frostbite
timbul karena hipotermi menyebabkan penurunan viskositas darah dan
kerusakan intraseluler (intracellular injury). Jika ternak terkena hipotermi
makan akan terjadi perubahan pada tingkah laku ternak tersebut.
Penanganan dari hipoptermi ini dapat dilakukan dengan menaikkan
radiovaskular dan respiratory serta ternak dapat dihindari dari suhu
rendah.
Heat stress merupakan kondisi penyakit yang disebabkan oleh suhu
lingkungan dan kelembaban yang tinggi.  Sahna (2019) menyatakan
bahwa heat stress merupakan kondisi maksimal tubuh manusia menerima
paparan panas dari berbagai aktivitas, seperti tingginya kelembaban
udara dan radiasi matahari serta pajanan langsung dengan aktivitas
maupun benda yang mengeluarkan panas. Heat stress dapat terjadi
akibat hormon kortisol naik sebab hormon tersebut adalah hormon yang
dapat menghasilkan energi. Anjani et al. (2013) menyatakan bahwa heat
stress juga dapat menyebabkan gangguan fisiologi seperti peningkatan
denyut jantung, kelelahan, dehidrasi, peningkatan temperatur kulit, serta
peningkatan suhu inti tubuh. Penanganan dari penyakit Heat stress ini
dapat dilakukan dengan membuat regulasi kandang menjadi kandang
close house, dimana suhu dan kelembapan dari kandang tersebut akan
diatur dan dijaga agar terus konstan atau tidak berubah-ubah sehingga
tidak menyebabkan ternak menjadi stress.
Kesimpulan

Berdasarkan praktikum dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki


suhu tubuh yang cenderung konstan meskipun suhu di lingkungan
berubah-ubah, yaitu kisaran antara 36,2°C sampai 37,3°C, sehingga
manusia disebut sebagai homoiterm, sedangkan katak memiliki suhu
tubuh yang berubah-ubah sesuai dengan suhu di lingkungan sekitarnya,
sehingga katak disebut poikiloterm. Proses pelepasan panas terdapat
empat macam, yaitu radiasi, konduksi, konveksi, dan evaporasi. Kendi
yang tidak bercat pelepasan panasnya lebih cepat daripada kendi yang
bercat dikarenakan pori-pori pada kendi yang tidak bercat tidak tertutup
oleh cat. Pelepasan panas tersebut terjadi secara konveksi dan evaporasi
(penguapan).
Daftar Pustaka

Anjani, S., E. Mahawati, dan E. Hartini. 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan


dengan Keluhan Subyektif pada Pekerja yang Terpajan Tekanan Panas
(Heat Stress) di Pengasapan Ikan Industri Rumah Tangga Kelurahan
Ketapang Kecamatan Kendal. Universitas Dian Nuswantoro. Semarang.
Azhari, F. 2020. Pengaruh Perubahan Suhu Harian Terhadap Molting Lobster
Hijau Pasir. Doctoral dissertation. Universitas Gadjah Mada.
Campbell, N.A., J.B. Reece, dan L.G. Mitchell. 2000. Biologi Edisi Kelima Jilid III.
Erlangga. Jakarta.
Campbell, N.A., J.B. Reece, dan L.G. Mitchell. 2004. Biologi Edisi Lima Jilid Tiga.
Erlangga. Jakarta.
Fauzi, Z. A. 2013. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Suhu Tubuh Pekerja
Pabrik Tahu di Kecamatan Ciptat Tahun 2013. Skripsi. UIN Syarif
Hidayatullah. Jakarta.
Goenarso, D. 2005. Fisiologi Hewan. Universitas Terbuka. Jakarta.
Guyton, A dan J. Hall. 2012. Fisiologi Kedokteran. 11th edition. EGC. Jakarta.
Hardisman. 2014. Gawat Darurat Medis Praktis. Gosyen Publishing. Yogyakarta.
Harlan, S.L., A.J. Brazel, L. Prashad, W.L. Stefanov, dan L. Larsen. 2006.
Neighborhood Microclimates and Vulnerability to Heat Stress. Social
Science & Medicine. 63(11): 2847-2863.
Imam, A. dan Kusmiyati, K. 2016. Perbandingan antara Frekwensi Denyut
Jantung Katak (Rana sp.) dengan Frekwensi Denyut Jantung Mencit (Mus
musculus) Berdasarkan Ruang Jantung. Biota: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu
Hayati. 126-131.
Imani, N. dan B. Vale. 2022. Heating with Wolves, Cooling with Cacti. CRC
Press. Florida.
Indra, E. K. 2007. Adaptasi Fisiologi Tubuh Terhadap Lingkungan. Fakultas Ilmu
Keolahragaan. Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.
Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Lestari, S. A., C. Septiwi, dan N. Iswati. 2014. Pengaruh perawatan metode
Kanguru atau Kangaroomother care terhadap stabilitas suhu tubuh bayi
berat lahir rendah di ruang peristi RSUD Kebumen. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Keperawatan. 10(3): 133-136.
Manurung, N., R. Manurung, dan C.M.T. Bolon. 2021. Asuhan Keperawatan
Sistem Endokrin Dilengkapi Mind Mapping dan Asuhan Keperawatan
Nanda Nic Noc. Deepublish. Yogyakarta.
Martini. 2001. Fundamental of Anatomy and Physiology 4th ed. Prentice Hall
International Inc. New Jersey.
Marwanto, Z., dan M. Erlina. 2011. Perbedaan tekanan darah sebelum dan
sesudah paparan heat stress pada pekerja perusahaan industri
alumunium Yogyakarta. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia.
3(8): 31-37.
McCann, M.E., C. Greco, dan K. Matthes. 2018. Essentials of Anesthesia for
Infants and Neonates. Cambridge University Press. Cambridge.
Nusi, D.T., V. R. Danes, dan M. E. Moningka. 2013. Perbandingan suhu tubuh
berdasarkan pengukuran menggunakan termometer air raksa dan
termometer digital pada penderita demam di rumah sakit umum Kandou
Manado. E-Biomedik, 1(1): 190-196.
Patton, K.T., G.A. Thibodeau, dan A. Hutton. 2019. Anatomy and Physiology:
Adapted International Edition. Elsevier. Amsterdam.
Pramestiyani, M., Y. Wardhani, N. Sulung, Adriani, T.P. Wahyuni, S. Oktavia, W.
Safitri, N.C. Lestari, dan F.A. Iriani. 2022. Anatomi Fisiologi. Global
Eksekutif Teknologi. Padang.
Presicce, G.A. 2017. Reproduction and Production of Water Buffaloes (Bubalus
bubalis) Around the World. Bentham Science Publishers. Sharjah.
Purnawan, I., S. U. Arif, dan A. Sidik. 2015. Pengaruh terapi mandi uap terhadap
respon fisiologis stres penderita hipertensi. Jurnal Keperawatan
Soedirman. 10(1): 60-65.
Sahna, S. A. 2019. Hubungan Heat Stress dengan Fatigue Pada Pekerja
Pengelasan di PT. Adhi Persada Gedung (APG) Bekasi. Doctoral
Dissertation. Universitas Binawan. Jakarta.
Santoso, P. 2009. Fisiologi Hewan. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Andalas. Padang.
Sari, E.K. dan R.T. Ariningpraja. 2021. Demam: Mengenal Demam & Aspek
Perawatannya. UB Press. Malang.
Setiati S., I. Alwi, A.W. Sudoyo, B. Stiyohadi, dan A.F. Syam. 2014. Buku Ajar
Ilmu Penyakit dalam Jilid I. Interna Publishing. Jakarta.
Sitanggang, Y.F., R.M. Sihombing, D. Koerniawan, P.S. Tahulending, C. Febrina,
D.H. Purba, B.A. Saputra, D.Y.S. Rahayu, V. Paula, L. Pranata, dan Y.
Siswadi. 2021. Keperawatan Gerontik. Yayasan Kita Menulis. Medan.
Sugiono, W.W. Putro, dan S.I.K. Sari. 2018. Ergonomi untuk Pemula (Prinsip
Dasa & Aplikasi). UB Press. Malang.
Swanson, L.W. 2015. Neuroanatomical Terminology: A Lexicon of Classical
Origins and Historical Foundation. Oxford University Press. New York.
Taslim, S., D.M. Parapari, dan A. Shafaghat. 2015. Urban design guidelines to
mitigate urban heat island (UHI) effects in hot-dry cities. Jurnal Teknologi.
74(4): 119-124.
Wafa, I.Y. 2013. Kajian Jenis dan Ekologi Kupu-Kupu di Taman Wisata ALam
Gunung Baung Kecamatan Purwodadi Kabupaten Pasuruan. Doctoral
dissertation. Universitas Negeri Malang.
Wahyudi, A. 2018. Pengaruh variasi suhu ruang inkubasi terhadap waktu
pertumbuhan Rhizopus oligosporus pada pembuatan tempe kedelai.
Jurnal Teknik Kimia. 3(1): 37-38.

Anda mungkin juga menyukai