FISIOLOGI HEWAN
TERMOREGULASI
Dosen Pengampu :
Dr. Retno Susilowati,M.Si
Maharani Retna Duhita, M.Sc., PhD.Med.Sc
Disusun Oleh :
Nama : Ayu Aqis Bilqisti
NIM : 19620107
Kelas : Biologi D
Asisten : Donny Candra W. P.
Tanggal: 05 oktober 2021
3.2 Pembahasan
Hasil praktikum yang didapatkan berdasarkan data diatas, yakni Katak yang ditempatkan
pada Suhu Ruangan 27º C Sebelum di masukkan ke dalam air dia memilik suhu 26º C,
namun setelah dimasukkan ke dalam air selama 10 menit Suhu Katak tetap. Pada Katak II
Juga demikian yakni Ketika ditempatkan di suhu air panas 37ºC, sebelum di masukkan ke
dalam air dia memiliki suhu 29º C, namun setelah di masukkan ke dalam air selama 10
menit, maka suhu katak mengalami kenaikan 4ºC yaitu 33ºC. Sedangkan pada Katak III,
Ketika dia ditempatkan di suhu air es 20 ºC, suhu katak sebelum dimasukkan ke dalam air
adalah 27 ºC, dan Ketika sudah dimasukkan ke dalam air maka suhu katab mengalami
penurunan 4º C yakni 23 ºC.
Berdasarkan data yang telah dipaparkan menunjukkan bahwa suhu tubuh katak sangat
dipengaruhi oleh suhu lingkungannya. Hal tersebut dikarenakan katak merupakan hewan
Poikiloterm, yaitu hewan yang keseimbangan suhu tubuhnya sangat dipengaruhi oleh
kondisi suhu lingkungannya, Hal ini sependapat dengan Campbell ( 2004) bahwa, hewan
Poikiloterm adalah hewan yang suhu tubuhnya selalu berubah seiring dengan berubahnya
suhu lingkungan atau di sebut juga dengan hewan Ektoterm dimana suhu tubuh ditentukan
dan dipengaruhi oleh suhu lingkungan eksternal. Menurut Isnaeni (2006), hewan
poikiloterm merupakan hewan yang suhu tubuhnya selalu berubah mengikuti suhu
lingkungan sekitarnya. Hal ini diperkuat oleh Sahetapy (2013) bahwa pengaruh suhu
tersebut terjadi karena kenaikan suhu akan menaikkan metabolisme, pada umumnya hewan
poikiloterm metabolismenya dipengaruhi oleh perubahan suhu lingkungan, pada suhu
rendah metabolisme turun dan metabolisme akan meningkat pada suhu lingkungan yang
meningkat.
Menurut Bratistrom (1979) Mekanisme Termoregulasi pada hewan Ektoterm yaitu
Hewan Ektoterm tidak mampu mengatur suhu tubuhnya sendiri, dan mengandalkan suhu
lingkungan. Beberapa hewan ektoterm mengatur suhu tubuhnya dengan cara berjemur saat
matahari baru terbit sehingga terjadi peningkatan laju metabolisme untuk aktivitas dan
menghindari matahari yang sedang terik di siang hari dengan cara berteduh. Pernyataan ini
di dukung oleh Willson et, all ( Tanpa Tahun) bahwa Katak merupakan hewan yang
bertulang belakang (vertebrata) dengan suhu tubuhnya yang bergantung pada suhu
lingkungan sekitar. Hal ini berhubungan dengan jenis kulit Katak yang berkelenjar dan
licin.
Hewan coba kedua yaitu mencit yang diberikan perlakuan sama dengan katak. Percobaan
pertama menunjukkan bahwa suhu mencit sebelum dimasukkan ke dalam suhu lingkungan
31°C, sesudah dimasukkan ke dalam suhu lingkungan selama 10 menit dengan suhu
lingkungan, suhunya berubah menjadi 25°C. Percobaan kedua menunjukkan bahwa suhu
mencit sebelum dimasukkan ke dalam suhu air panas 33°C dan sesudah dimasukkan ke
dalam suhu diatas suhu kamar selama 10 menit, suhunya menjadi 31°C. Suhu mencit pada
percobaan ketiga sebelum dimasukkan ke dalam suhu air es adalah senilai 33°C sedangkan
sesudah dimasukkan ke dalam suhu air es, suhunya berubah menjadi 28°C.
Data di atas menunjukkan bahwa Mencit mampu menyesuaikan keadaan suhu
lingkungan terhadap tubuhnya, hat tersebut di karenakan Mencit merupakan Hewan dari
kelas Mamalia, dan mamalia merupakan hewan Homoioterm/ endoterm yang mana
Homoioterm merupakan hewan berdarah panas. Pada hewan Homoioterm dia dapat
mengatur suhu tubuhnya dikarenakan hewan Homoioterm mempunyai reseptor dalam
otaknya sehingga dapat mengatur suhu tubuh. Hal ini sesuai dengan Soewolo (2000) bahwa
mencit merupakan golongan hewan homoiterm yang artinya suhu tubuhnya konstan
meskipun suhu lingkungannya berubah-ubah, baik diatas suhu tubuhnya maupun dibawah
suhu tubuhnya. Hal tersebut diperkuat oleh Gunawan (2008) bahwa mamalia merupakan
hewan dari subfilum vertebrata yang berdarah panas atau yang biasa dikenal dengan
homoiterm.
Pernyataan Zahra (2020) Bahwa Kemampuan untuk mengatur produksi dan pelepasan
panas melalui mekanisme metabolisme ini dikarenakan hewan–hewan endoterm memiliki
organ sebagai pusat pengaturnya, yakni otak khususnya hipotalamus sebagai thermostat
atau pusat pengatur suhu tubuh. Terdapat dua hipotalamus, yaitu hipotalamus anterior yang
berfungsi mengatur pembuangan panas dan hipotalamus posterior yang berfungsi mengatur
upaya penyimpanan panas. Suhu konstan untuk tubuh hewan–hewan endoterm biasanya
terdapat di antara 35-40ºC. Karena kemampuannya mengatur suhu tubuh sehingga selalu
konstan, maka kelompok ini disebut hewan regulator. Misalnya golongan aves dan
mamalia, termasuk manusia. Dalam istilah lain kelompok hewan ini disebut juga sebagai
kelompok homeoterm. Hewan endoterm adalah hewan–hewan yang dapat mengatur suhu
tubuhnya sehingga selalu konstan berada pada kisaran suhu optimumnya.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan Pembahasan di atas bahwa pengaruh suhu
lingkungan terhadap suhu tubuh Katak yakni katak merupakan organisme berdarah dingin
atau Poikiloterm dikarenakan tidak memiliki thermo regulator, sehingga suhu tubuhnya
menyesuaikan terhadap suhu lingkungan. Sedangkan pada mencit dia merupakan organisme
berdarah panas atau Homoioterm dikarenakan memiliki thermo regulator yang mana Pusat
Temperatur suhu tubuh di atur oleh Hipotalamus pada otak, maka suhu tubuh terhadap
mencit dapat di atur dari dalam mencit itu sendiri, yakni jika tubuh merasa panas, ada
kecenderungan tubuh meningkatkan kehilangan panas ke lingkungan sehingga tubuh akan
terasa semakin dingin, namun bila tubuh merasa dingin, maka kecenderungannya
menurunkan kehilangan panas sehingga tubuh akan cenderung terasa semakin panas.
4.2 Saran
Sebaiknnya praktikan lebih tenang ketika melakukan prakktikum dilab agar praktikan
yang berada dizoom tidak bingung.
DAFTAR PUSTAKA
Brastistrom, Bayard. 1979. Amphibian Temperature RegulationStudies in The Fiels And
Laboratory. Amer Zoo. 19(1): 345-356
Campbell, N.A.,J.B Reece., L.G Mitchell. 2004. Biologi Edisi Kelima Jilid 3. Jakarta: Penerbit
Erlangga
Campbell, Neil A. and Jane B. Reece 2010. Biologi: Edisi Kedelapan Jilid Ketiga. Jakarta:
Erlangga
Grahn, Denis and Craig Heller. 2019. The Physiology Of Mammalian Temperature Homoestatis.
ITACCS Critical Care Monograph. 2(3).
Gunawan, A.P. dan Ibnu, M. 2008. Keanekaragaman Mammalia Besar Berdasarkan Ketinggian
Tempat di Taman Nasional Gunung Ciremai. Jurnal Biologi Indonesia. Vol. 4(5) Isnaeni,
Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius
Junaidi, Nurhikmah Sasna, dkk. 2018. Keterkaitan Fisika Dalam Pembelajaran Sistem Adaptasi
Tubuh Manusia Terhadap Perubahan Suhu. Collaborative Medical Journal (CMJ). Vol. 1,
No 3.
Micknely, Michael. David Travaks, and Frank Welssenborn. 2017. Interaction Between
Thermoregulation and Osmoregulation in Domestic Animals. Revista Brasileir de
Zootecnia. 46 (9): 783-790
Sahetapy, Jacqueline M.F. 2013. Pengaruh Perbedaan Volume Air terhadap Tingkat Konsumsi
Oksigen Ikan Nila (Oreochromis sp.). Jurnal Triton. Vol. 9(2)
Soewolo. 2000. Pengantar Praktikum Fisiologi Hewan. Gorontalo: Laboratorium Jurusan
Biologi FMIPA Universitas Negeri Gorontalo
Wilson et al. Tanpa tahun. Morfological Variation of Striped Tree Frog Polypedates leucomystax
Gravenhorst, 1829 (Anura; Rhacophoridae) in West Sumatera. Online Jurnal of Natural
Science. 4(3)
Zahra, Amira Azhari. 2020. Adaptasi Mamalia Laut Terhadap Termoregulasi Pada Lingkungan
Yang DiTinggali. Jurnal Fisika Universitas Negeri Jakarta.7(1): 52- 57