Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PRAKTIKUM

FISIOLOGI HEWAN
TERMOREGULASI

Dosen Pengampu :
Dr. Retno Susilowati,M.Si
Maharani Retna Duhita, M.Sc., PhD.Med.Sc

Disusun Oleh :
Nama : Ayu Aqis Bilqisti
NIM : 19620107
Kelas : Biologi D
Asisten : Donny Candra W. P.
Tanggal: 05 oktober 2021

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK
IBRAHIM MALANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembahasan mengenai proses alam merupakan bahasan yang tidak akan ada habisnya.
Ilmuan dan para ahli akan selalu menemui proses alam yang baru dan mengejutkan.
Sebagaimana pemikiran awal bagaimana proses alami yang terjadi dalam tubuh setiap
organisme satu akan berbeda dengan organisme yang lain, ataupun memiliki kesamaan satu
sama lain, menghasilkan cabang-cabang ilmu baru yang terus diteliti dan dikembangkan
demi kemaslahatan umat manusia. Dari pemikiran tersebut terdapat satu problematika
mengenai perubahan suhu manusia terhadap lingkungan.
Perubahan suhu tubuh manusia merupakan gejalaalam yang juga dipelajari dalam ilmu
kedokteran dan kesehatan. Thermoregulasi merupakan suatu mekanisme yang terjadi pada
makhluk hidup untuk mempertahankan suhu internal agar berada dikisaran yang dapat
ditorelir. Sistem termoregulasi dikendalikan oleh hypotalamus di otak, yang berfungsi
sebagai termostat tubuh (Junaidi, 2018).
Thermoregulasi adalah suatu mekanisme makhluk hidup untuk mempertahankan suhu
internal agar berada di dalam kisaran yang dapat di tolelir. Suhu berpengaruh kepada tingkat
metabolisme. Suhu yang tinggi akan menyebabkan aktivitas molekull- molekul semakin
tinggi karena energi kinetiknya makin besar dan kemungkinan terjadinya tumbukan antara
molekul satu dengan molekul lain semakin besar pula, akan tetapi kenaikan aktivitas
metabolisme hanya akan bertambah seiring dengan kenaikan suhu hingga batas tertentu saja.
Hal ini disebabkan metabolisme di dalam tubuh diatur oleh enzim ( salah satunya) yang
memiliki suhu optimum dalam bekerja. Jika suhu lingkungan atau tubuh meningkat atau
menurun drastic, enzim- enzim tersebut dapat terdenaturasi dan kehilangan fungsinya
( Campbell, 2004).
Mekanisme termoregulasi terjadi dengan mengatur keseimbangan antara perolehan panas
dengan pelepasan panas ( Mickniley, 2017). Dalam termoregulasi dikenal adanya hewan
berdarah dingin (cold-blood animals) atau ektoderm dan hewan berdarah panas (warm-blood
animals) atau endoterm ( Grahn dan Craig, 2019).
Hewan endoterm adalah hewan yang suhu tubuhnya berasal dari produksi panas di dalam
tubuh yang merupakan hasil dari metabolisme jaringan. Suhu tubuh dipertahankan agar tetap
konstan, walaupun suhu lingkungannya selalu berubah dengan cara menyeimbangkan
perolehan dan pelepasan panas, contoh : burung dan mamalia. Hewan endoterm memiliki
rentang toleransi terhadap lingkungan yang lebih panjang dibandingkan hewan ektoterm.
Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan untuk mengatur produksi dan pelepasan panas yang
dimilikinya. Kemampuan untuk mengatur produksi dan pelepasan panas melalui mekanisme
metabolisme ini dikarenakan hewan–hewan endoterm memiliki organ sebagai pusat
pengaturnya, yakni otak khususnya hipotalamus sebagai thermostat atau pusat pengatur suhu
tubuh. Suhu konstan untuk tubuh hewan–hewan endoterm biasanya terdapat di antara 35-
40ºC. Karena kemampuannya mengatur suhu tubuh sehingga selalu konstan, maka
kelompok ini disebut hewan regulator. Dalam istilah lain kelompok hewan ini disebut juga
sebagai kelompok homeoterm.
Sedangkan Hewan ektoterm adalah hewan yang sangat bergantung pada suhu di
lingkungan luarnya untuk meningkatkan suhu tubuhnya karena panas yang dihasilkan dari
keseluruhan sistem metabolismenya hanya sedikit, contoh ikan dan amfibia. Daya mengatur
yang dipunyainya sangat terbatas sehingga suhu tubuhnya bervariasi mengikuti suhu
lingkungannya. Hal ini menyebabkan hewan ektoterm atau poikiloterm memiliki rentang
toleransi yang rendah, dalam artian niche pokok hewan ini sempit. Ketika suhu lingkungan
tinggi, di luar batas toleransinya, hewan ektoterm akan mati sedangkan ketika suhu
lingkungan yang lebih rendah dari suhu optimumnya, aktivitasnya pun rendah dan hewan
menjadi sangat lambat, sehingga mudah bagi predatornya untuk menangkapnya. Daya
mengatur pada hewan ektoterm, bukan dari adaptasi fisiologis melainkan lebih berupa
adaptasi perilaku. Misalnya, bergerak mencari tempat yang teduh apabila hari terlalu panas
dan berjemur dipanas matahari bila hari dingin (Isnaeni, 2006).
Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an surah Al-Infithar ayat 7, yang artinya, “Yang
telah menciptakan kamu dan menyempurnakan kejadianmu serta menjadikan (susunan
tubuh)mu seimbang.” Maksud ayat tersebut adalah Allah telah menciptakan dan
menyempurnakan tubuh manusia dan semua ciptaannya seimbang serta disesuaikan dengan
kebutuhan. Kata seimbang pada ayat ini dapat juga mengarah pada termoregulasi. Hewan
mampu menjaga keseimbangan suhu yang ada di dalam tubuhnya dengan suhu yang ada di
lingkungan sekitarnya. Praktikum ini penting dilakukan agar mahasiswa mengetahui
pengaruh suhu lingkungan terhadap suhu tubuh hewan katak dan mencit.
1.2 Tujuan
Tujuan dilakukannya prakikum “Termoregulasi” ini adalah untuk mengetahui pengaruh
suhu lingkungan terhadap suhu tubuh hewan katak dan mencit.
BAB II
METODE PENELITIAN
2.1 Waktu Dan Tempat
Praktikum Fisiologi Hewan tentang “Termoregulasi” ini dilakukan pada hari Jum’at
tanggal 05 Oktober 2021 pada pukul 15.00-16.00 WIB secara online melalui platform zoom
meeting.
2.2 Alat Dan Bahan
2.2.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum “Termoregulasi” ini adalah sebagai
berikut : Termometer, Papan dan tali pengikat, Kandang hewan coba, wadah air/es batu
2.2.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum “Termoregulasi” ini adalah sebagai
berikut : Katak, Mencit, Es batu, Air panas
2.3 Langkah Kerja
Langkah-langkah yang dilakukan dalam praktikum “Termoregulasi” ini yaitu :
1. Siapkan 3 kandang hewan dari bahan plastik, buat 3 variasi suhu lingkungan
a. Suhu lingkungan suhu kamar dengan menempatkan air di dalam wadah dan
tempatkan dalam kandang
b. Suhu lingkungan dibawah suhu kamar dengan menempatkan es batu dalam wadah
dan tempatkan dalam kandang, ukur suhu kandang, usahakan suhu turun 3-4oC
dengan menambah jumlah es batu.
c. Suhu lingkungan diatas suhu kamar dengan tempatkan air panas di dalam wadah
dan tempatkan dalam kandang, usahakan suhu naik sekitar 3-4oC (dapat juga
dengan menjemur dibawah matahari)
2. Ukurlah suhu lingkungan dalam kandang
3. Siapkan katak dan mencit, masukan kedua hewan tersebut dalam kandang, diamkan
selama 10 menit pada kandang
4. Setelah 10 menit ukur suhu tubuh katak dan mencit serta suhu kandangnya
5. Buat tabel dan grafik hibungan antara suhu lingkungan dengan suhu tubuh hewan
percobaan.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
Hasil dalam praktikum ini yaitu :

Duttaphyrnus Sp Mus Musculus

Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah

Suhu 26°C 26°C 31°C 25°C


lingkungan
(27°C)

Air panas 29°C 33°C 33°C 31°C


(37°C)

27°C 23°C 33°C 28°C


Air es
(20°C)

3.2 Pembahasan
Hasil praktikum yang didapatkan berdasarkan data diatas, yakni Katak yang ditempatkan
pada Suhu Ruangan 27º C Sebelum di masukkan ke dalam air dia memilik suhu 26º C,
namun setelah dimasukkan ke dalam air selama 10 menit Suhu Katak tetap. Pada Katak II
Juga demikian yakni Ketika ditempatkan di suhu air panas 37ºC, sebelum di masukkan ke
dalam air dia memiliki suhu 29º C, namun setelah di masukkan ke dalam air selama 10
menit, maka suhu katak mengalami kenaikan 4ºC yaitu 33ºC. Sedangkan pada Katak III,
Ketika dia ditempatkan di suhu air es 20 ºC, suhu katak sebelum dimasukkan ke dalam air
adalah 27 ºC, dan Ketika sudah dimasukkan ke dalam air maka suhu katab mengalami
penurunan 4º C yakni 23 ºC.
Berdasarkan data yang telah dipaparkan menunjukkan bahwa suhu tubuh katak sangat
dipengaruhi oleh suhu lingkungannya. Hal tersebut dikarenakan katak merupakan hewan
Poikiloterm, yaitu hewan yang keseimbangan suhu tubuhnya sangat dipengaruhi oleh
kondisi suhu lingkungannya, Hal ini sependapat dengan Campbell ( 2004) bahwa, hewan
Poikiloterm adalah hewan yang suhu tubuhnya selalu berubah seiring dengan berubahnya
suhu lingkungan atau di sebut juga dengan hewan Ektoterm dimana suhu tubuh ditentukan
dan dipengaruhi oleh suhu lingkungan eksternal. Menurut Isnaeni (2006), hewan
poikiloterm merupakan hewan yang suhu tubuhnya selalu berubah mengikuti suhu
lingkungan sekitarnya. Hal ini diperkuat oleh Sahetapy (2013) bahwa pengaruh suhu
tersebut terjadi karena kenaikan suhu akan menaikkan metabolisme, pada umumnya hewan
poikiloterm metabolismenya dipengaruhi oleh perubahan suhu lingkungan, pada suhu
rendah metabolisme turun dan metabolisme akan meningkat pada suhu lingkungan yang
meningkat.
Menurut Bratistrom (1979) Mekanisme Termoregulasi pada hewan Ektoterm yaitu
Hewan Ektoterm tidak mampu mengatur suhu tubuhnya sendiri, dan mengandalkan suhu
lingkungan. Beberapa hewan ektoterm mengatur suhu tubuhnya dengan cara berjemur saat
matahari baru terbit sehingga terjadi peningkatan laju metabolisme untuk aktivitas dan
menghindari matahari yang sedang terik di siang hari dengan cara berteduh. Pernyataan ini
di dukung oleh Willson et, all ( Tanpa Tahun) bahwa Katak merupakan hewan yang
bertulang belakang (vertebrata) dengan suhu tubuhnya yang bergantung pada suhu
lingkungan sekitar. Hal ini berhubungan dengan jenis kulit Katak yang berkelenjar dan
licin.
Hewan coba kedua yaitu mencit yang diberikan perlakuan sama dengan katak. Percobaan
pertama menunjukkan bahwa suhu mencit sebelum dimasukkan ke dalam suhu lingkungan
31°C, sesudah dimasukkan ke dalam suhu lingkungan selama 10 menit dengan suhu
lingkungan, suhunya berubah menjadi 25°C. Percobaan kedua menunjukkan bahwa suhu
mencit sebelum dimasukkan ke dalam suhu air panas 33°C dan sesudah dimasukkan ke
dalam suhu diatas suhu kamar selama 10 menit, suhunya menjadi 31°C. Suhu mencit pada
percobaan ketiga sebelum dimasukkan ke dalam suhu air es adalah senilai 33°C sedangkan
sesudah dimasukkan ke dalam suhu air es, suhunya berubah menjadi 28°C.
Data di atas menunjukkan bahwa Mencit mampu menyesuaikan keadaan suhu
lingkungan terhadap tubuhnya, hat tersebut di karenakan Mencit merupakan Hewan dari
kelas Mamalia, dan mamalia merupakan hewan Homoioterm/ endoterm yang mana
Homoioterm merupakan hewan berdarah panas. Pada hewan Homoioterm dia dapat
mengatur suhu tubuhnya dikarenakan hewan Homoioterm mempunyai reseptor dalam
otaknya sehingga dapat mengatur suhu tubuh. Hal ini sesuai dengan Soewolo (2000) bahwa
mencit merupakan golongan hewan homoiterm yang artinya suhu tubuhnya konstan
meskipun suhu lingkungannya berubah-ubah, baik diatas suhu tubuhnya maupun dibawah
suhu tubuhnya. Hal tersebut diperkuat oleh Gunawan (2008) bahwa mamalia merupakan
hewan dari subfilum vertebrata yang berdarah panas atau yang biasa dikenal dengan
homoiterm.
Pernyataan Zahra (2020) Bahwa Kemampuan untuk mengatur produksi dan pelepasan
panas melalui mekanisme metabolisme ini dikarenakan hewan–hewan endoterm memiliki
organ sebagai pusat pengaturnya, yakni otak khususnya hipotalamus sebagai thermostat
atau pusat pengatur suhu tubuh. Terdapat dua hipotalamus, yaitu hipotalamus anterior yang
berfungsi mengatur pembuangan panas dan hipotalamus posterior yang berfungsi mengatur
upaya penyimpanan panas. Suhu konstan untuk tubuh hewan–hewan endoterm biasanya
terdapat di antara 35-40ºC. Karena kemampuannya mengatur suhu tubuh sehingga selalu
konstan, maka kelompok ini disebut hewan regulator. Misalnya golongan aves dan
mamalia, termasuk manusia. Dalam istilah lain kelompok hewan ini disebut juga sebagai
kelompok homeoterm. Hewan endoterm adalah hewan–hewan yang dapat mengatur suhu
tubuhnya sehingga selalu konstan berada pada kisaran suhu optimumnya.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan Pembahasan di atas bahwa pengaruh suhu
lingkungan terhadap suhu tubuh Katak yakni katak merupakan organisme berdarah dingin
atau Poikiloterm dikarenakan tidak memiliki thermo regulator, sehingga suhu tubuhnya
menyesuaikan terhadap suhu lingkungan. Sedangkan pada mencit dia merupakan organisme
berdarah panas atau Homoioterm dikarenakan memiliki thermo regulator yang mana Pusat
Temperatur suhu tubuh di atur oleh Hipotalamus pada otak, maka suhu tubuh terhadap
mencit dapat di atur dari dalam mencit itu sendiri, yakni jika tubuh merasa panas, ada
kecenderungan tubuh meningkatkan kehilangan panas ke lingkungan sehingga tubuh akan
terasa semakin dingin, namun bila tubuh merasa dingin, maka kecenderungannya
menurunkan kehilangan panas sehingga tubuh akan cenderung terasa semakin panas.
4.2 Saran
Sebaiknnya praktikan lebih tenang ketika melakukan prakktikum dilab agar praktikan
yang berada dizoom tidak bingung.
DAFTAR PUSTAKA
Brastistrom, Bayard. 1979. Amphibian Temperature RegulationStudies in The Fiels And
Laboratory. Amer Zoo. 19(1): 345-356
Campbell, N.A.,J.B Reece., L.G Mitchell. 2004. Biologi Edisi Kelima Jilid 3. Jakarta: Penerbit
Erlangga
Campbell, Neil A. and Jane B. Reece 2010. Biologi: Edisi Kedelapan Jilid Ketiga. Jakarta:
Erlangga
Grahn, Denis and Craig Heller. 2019. The Physiology Of Mammalian Temperature Homoestatis.
ITACCS Critical Care Monograph. 2(3).
Gunawan, A.P. dan Ibnu, M. 2008. Keanekaragaman Mammalia Besar Berdasarkan Ketinggian
Tempat di Taman Nasional Gunung Ciremai. Jurnal Biologi Indonesia. Vol. 4(5) Isnaeni,
Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius
Junaidi, Nurhikmah Sasna, dkk. 2018. Keterkaitan Fisika Dalam Pembelajaran Sistem Adaptasi
Tubuh Manusia Terhadap Perubahan Suhu. Collaborative Medical Journal (CMJ). Vol. 1,
No 3.
Micknely, Michael. David Travaks, and Frank Welssenborn. 2017. Interaction Between
Thermoregulation and Osmoregulation in Domestic Animals. Revista Brasileir de
Zootecnia. 46 (9): 783-790
Sahetapy, Jacqueline M.F. 2013. Pengaruh Perbedaan Volume Air terhadap Tingkat Konsumsi
Oksigen Ikan Nila (Oreochromis sp.). Jurnal Triton. Vol. 9(2)
Soewolo. 2000. Pengantar Praktikum Fisiologi Hewan. Gorontalo: Laboratorium Jurusan
Biologi FMIPA Universitas Negeri Gorontalo
Wilson et al. Tanpa tahun. Morfological Variation of Striped Tree Frog Polypedates leucomystax
Gravenhorst, 1829 (Anura; Rhacophoridae) in West Sumatera. Online Jurnal of Natural
Science. 4(3)
Zahra, Amira Azhari. 2020. Adaptasi Mamalia Laut Terhadap Termoregulasi Pada Lingkungan
Yang DiTinggali. Jurnal Fisika Universitas Negeri Jakarta.7(1): 52- 57

Anda mungkin juga menyukai