Anda di halaman 1dari 20

FISIOLOGI TERNAK

“SUHU TUBUH”

LAPORAN PRAKTIKUM

Oleh :
Nama : Narendra Diaz Ramadhani
NIM : D1A020184
Kelompok : 4A
Asisten : Abra Yodha Raya

LABORATORIUM FISIOLOGI DAN REPRODUKSI TERNAK TERAPAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PETERNAKAN
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tubuh makhluk hidup memiliki suhu yang konstan, tubuh akan menyimpan panas atau
melepaskan panas agar suhu tubuh seimbang. Kemampuan untuk menyeimbangkan antara
produksi panas dan hilangnya panas dalam rangka mempertahankan suhu tubuh disebut
dengan termoregulasi. Termoregulasi sendiri dikendalikan di oleh pusat pengaturan panas yang
terletak di hipotalamus yang sangat peka terhadap suhu.
Berdasarkan kemampuan mempertahankan suhu tubuh, hewan dibagi menjadi poikiloterm
dan homoiterm. Poikiloterm adalah hewan yang suhu tubuhnya bergantung terhadap kondisi
lingkungannya, sedangkan homoiterm adalah hewan yang dapat mempertahankan suhu
tubuhnya dalam berbagai kondisi lingkungan. Kemampuan hewan dalam menjaga suhu
tubuhnya dikenal dengan termoregulasi. Pusat termoregulasi tersebut terletak di otak,
tepatnya pada hypothalamus.
Termoregulasi adalah kemampuan untuk menyeimbangkan panas dalam rangka menjaga
suhu tubuh, agar seimbang. Pusat termoregulasi berada di hipotalamus. Menjaga suhu tubuh
penting dilakukan karena jika makhluk hidup melebihi batas suhu tubuh maksimal maka akan
menyebabkan kematian. Jika suhu luar kurang dari batas suhu tubuh minimum maka akan
menyebabkan dehidrasi bahkan kematian.
1.2 Tujuan
1. Praktikan dapat mengetahui apa itu termoregulasi dan termoregulasi yang berkaitan
dengan makhluk hidup.
2. Praktikan dapat mengetahui suhu normal tubuh manusia
1.3 Waktu Dan Tempat
Praktikum Fisiologi Ternak acara “Suhu Tubuh Dan Uji Galli Mainini” dilaksanakan pada hari
Senin tanggal 03 Mei 2021 15.50 WIB - selesai, melalui daring dengan media whatsapp grup,
Google Classroom dan Youtube.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Thermoregulasi merupakan suatu proses homeostatis untuk menjaga agar suhu tubuh
suatu hewan tetap dalam keadaan stabil dengan cara mengatur dan mengontrol keseimbangan
antara banyak energi (panas) yang diproduksi dengan energi yang dilepaskan. Thermogenesis
yang terdapat pada hewan diperoleh dari hewan sendiri atau dari absorbsi panas lingkungan
(Suripto, 1998). Hewan diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan kemampuan untuk
mempertahankan suhu tubuh, yaitu poikiloterm dan homoiterm. Hewan poikiloterm yaitu
hewan yang suhu tubuhnya selalu berubah seiring dengan berubahnya suhu lingkungan.
Sementara hewan homoiterm yaitu hewan yang suhu tubuhnya selalu konstan atau tidak
berubah sekalipun suhu lingkungannya sangat berubah (Isnaeni, 2006).
Hewan poikiloterm juga dapat disebut sebagai hewan ekoiterm karena suhu tubuhnya
ditentukan dan dipengaruhi oleh suhu lingkungan eksternalnya. Homoiterm dapat disebut
endoterm karena suhu tubuhnya diatur oleh produksi panas yang terjadi dalam tubuh, tetapi
kadang kita dapat menemukan beberapa kekecualian, misalnya pada insekta. Insekta
dikelompokkan sebagai hewan ekoterm, tetapi ternyata ada beberapa insekta, misalnya lalat,
yang dapat menghasilkan tambahan panas tubuh dengan melakukan kontraksi otot (Isnaeni,
2006).
Hewan mengalami pertukaran panas dengan lingkungan sekitarnya, atau dapat dikatakan
berinteraksi panas. Interaksi tersebut dapat menguntungkan ataupun merugikan. Hewan
ternyata dapat memperoleh manfaat yang besar dari peristiwa pertukaran panas ini. Interaksi
panas tersebut ternyata dimanfaatkan oleh hewan sebagai cara untuk mengatur suhu tubuh
mereka, yaitu untuk meningkatkan dan menurunkan pelepasan panas dari tubuh, atau
sebaliknya untuk memperoleh panas. Interaksi atau pertukaran panas antara hewan dan
lingkungannya dapat terjadi melalui empat cara, yaitu konduksi, konveksi, radiasi, dan
evaporasi (Bloom dan Fawcet, 2002).
III. MATERI DAN CARA KERJA

3.1 Melihat Pengaruh Luar Terhadap Suhu Tubuh Katak


3.1.1 Materi
3.1.1.1 Bahan
1. Katak sawah
2. Air es
3. Minyak kelapa
4. Air panas 40oC dan 70oC
3.1.1.2 Alat
1. Papan pengikat katak
2. Tali
3.1.2 Cara Kerja
1. Air Panas 40oC
Katak diikat telentang pada papan operasi

Suhu tubuh diukur dengan memasukkan thermometer ke dalam oeshophagus

Katak dimasukkan ke dalam air panas 40°C selama 5 menit, baca lagi suhunya

2. Air Panas 70oC


Disiapkan dua buah becker glass yang sama bentuk dan volumenya, diisi dengan air
panas 70°C sama banyak

Dipasang pada masing-masing tabung sebuah thermometer dan dibaca suhu air
panas pada masing-masing tabung

Ke dalam salah satu bocker glass ditambahkan minyak kelapa secukupnya sampai
seluruh permukaan air panas tertutup rapat
Setiap menit dibaca suhu air panas pnda kedua batang tabung. Pembacaan
dilakukan sebanyak 6 kali

Buatlah grafik perubahan suhu dari kedua tabung, dengan suhu sebagai ordinat dan
waktu sebagai absis

3. Percobaan serupa dengan percobaan 2, akan tetapi disini digunakan dua buah kendi, yang
satu di cat dan yang lain tidak dicat. Masing-masing kendi diisi sir panas 70 oC (tanpa minyak
kelapa). Dibuat grafiknya.

3.2 Melihat Pengaruh Luar Terhadap Suhu Tubuh Manusia


3.2.1 Materi
3.2.1.1 Bahan
1. Probandus (manusia)
2. Air es
3.2.1.2 Alat
1. Thermometer tubuh
2. Thermometer ruang
3. Handuk kecil
4. Kipas angin
5. Gelas
3.2.2 Cara Kerja
1. Pengaruh Oral
Hg pada thermometer diturunkan dulu sampa 35°C, ujung thermometer dibersihkan
dengan kapas dan alkohol kemudian dimasukkan ke dalam rongga mulut sehingga
ujung thermorneter tersclip di bawah lidah. Mulut ditutup rapat, thermometer
dibiarkan 10 menit kemudian baca hasilnya.

Hg pada thermometer diturunkan lagi sampai 35°C, dibersihkan dengan alkohol,


diselipkan di bawah lidah kemudian probandus bernafas dengan tenang melalui
mulut, selama 5 menit dibaca hasilnya, kembalikan lagi di bawab lidah dan baca
hasilnya 5 menit kemudian

Probandus berkumur dulu dengan es selama 1 menit, thermometer dipasang di


bawah lidah, dibaca hasilnya setelah 10 menit

2. Pengaruh Axiler
Probandus duduk, axiller dikeringkan dengan handuk

Hg pada thermometer diturunkan dulu sampai 35oC, Kemudian uiungnya disisipkan


pada fossa axillaria dan pangkal lengan dihimpitkan pada tubuh.

Setelah 10 menit thermometer diambil dan dibaca

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Melihat Pengaruh Luar terhadap Suhu Tubuh Katak & Hambatan Eliminasi Panas
4.1.1 Hasil

4.1.2 Pembahasan
Termoregulasi merupakan kemampuan makhluk hidup untuk menyeimbangkan
produksi dan hilangnya panas dalam rangka menjaga suhu tubuhnya. Menurut Washudi dan
Hariyanto (2016), pengaturan suhu di dalam tubuh dilakukan secara otomatis yang dikendalikan
dan berpusat di otak tepatnya pada hipotalamus. Hipotalamus terletak pada otak bagian depan
di atas otak tengah dan di bawah talamus. Purnamasari dan Santi (2017) menambahkan,
hypothalamus mempunyai banyak fungsi penting seperti pengaturan suhu tubuh, rasa lapar,
dan homeostasis.
Pengaturan suhu tubuh sangat penting untuk menunjang aktivitas sel, sehingga organ
tubuh dapat bekerja secara efektif dan efisien. Panas di dalam tubuh tidak dihasilkan secara
langsung oleh tubuh, namun tubuh akan melakukan metabolisme makanan sehingga ada
perubahan bentuk energi yang menghasilkan panas (Washudi dan Hariyanto, 2016).
Pengaturan suhu tubuh bertujuan untuk menyesuaikan antara panas yang hilang dan panas
yang dihasilkan (Sumiasih dan Budiani, 2016). Proses selama pelepasan atau penghilangan
panas disebut dengan eliminasi panas. Menurut Susanti (2012), hilangnya panas dapat terjadi
melalui konduksi, konveksi, radiasi dan evaporasi.
Pengaruh luar terhadap hambatan eliminasi panas dilakukan dengan melihat perbedaan
suhu air yang ditambahkan minyak pada kendi tanpa cat dengan suhu air tanpa minyak pada
kendi yang dicat. Air pada kendi yang dicat ternyata memiliki suhu yang lebih konstan
dibandingkan dengan pada kendi tanpa cat yang disebabkan tertutupnya pori-pori kendi bercat
sehingga pelepasan panas menjadi lambat, sedangkan pada kendi tidak bercat pori-porinya
terbuka sehingga pelepasan panas berlangsung lebih cepat. Menurut Pratama et al. (2016),
apabila pori-pori bahan semakin banyak maka konduktivitas termalnya semakin kecil.
4.2 Melihat Pengaruh Luar Terhadap Suhu Tubuh Manusia
4.2.1.Hasil

Pengukuran suhu pada mulut

Pengukuran suhu axillaris

4.2.2.Pembahasan
Suhu normal manusia adalah sekitar 36,5-37,5 oC dan dalam praktikum dilakukan 2 jenis
percobaan. Percobaan pertama yaitu dengan melakukan pengukuran suhu pada mulut
probandus. Hasilnya adalah suhu apabila mulut ditutup akan lebih tinggi daripada mulut yang
terbuka karena tidak ada sirkulasi dalam mulut dan hasil tersebut adalah suhu dalam tubuh
secara keseluruhan tanpa adanya sirkulasi udara. Hal tersebut sependapat dengan Isnaeni
(2006) yang menyatakan bahwa suhu pada mulut terbuka lebih rendah dari suhu pada mulut
tertutup karena adanya sirkulasi udara dalam mulut. Percobaan yang kedua adalah percobaan
dengan pengukuran suhu pada axillaris dan didapatkan hasil seperti pengukuran pada mulut.
Penyakit yang dapat menyerang termoregulasi ialah contohnya demam, hipotermia,
pingsan panas, kejang panas, kegawatan panas, dan kelelahan panas. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Sandi dkk (2017) bahwa kondisi lingkungan yang tidak bersahabat, menyebabkan
beberapa kelainan patologi tubuh terutama yang disebabkan oleh paparan panas dan
kelembaban udara yang tinggi di antaranya adalah pingsan panas, kejang panas, kegawatan
panas, dan kelelahan panas. Pingsan panas (heat syncope) merupakan kelainan ganggunan
pemindahan panas yang cukup serius. Gangguan ini dicirikan dengan pening dan diikuti
pingsan. Kejang panas (heat cramp) adalah jenis penyakit gangguan panas yang ditandai dengan
perasaan nyeri dan kejang pada perut, kaki, tangan dan tubuh berkeringat.
Harahap, dkk (2014) berpendapat bahwa suhu tubuh manusia akan bergantung pada
neraca keseimbangan panas yang diproduksi ataupun diabsorbsi dengan panas yang hilang.
Panas diproduksi secara terus menerus oleh tubuh sebagai hasil dari metabolisme. Proses
kehilangan panas tubuh terjadi secara terus menerus. Proses produksi serta pengeluaran panas
diatur oleh tubuh guna mempertahankan suhu inti tubuh dalam rentang 36–37,5 oC. Suhu
lingkungan lebih tinggi daripada suhu tubuh maka tubuh akan menerima panas dari lingkungan
secara konveksi, sedangkan bila suhu lingkungan lebih rendah dari suhu tubuh maka panas
tubuh akan pindah ke udara sekitar. Suhu lingkungan yang tinggi akan mempengaruhi suhu
tubuh sehingga suhu tubuh juga akan meningkat.

V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.1.1 Melihat Pengaruh Luar terhadap Suhu Tubuh Katak & Hambatan Eliminasi Panas
1. Panas di dalam tubuh tidak dihasilkan secara langsung oleh tubuh, namun tubuh akan
melakukan metabolisme makanan sehingga ada perubahan bentuk energi yang
menghasilkan panas (Washudi dan Hariyanto, 2016). Air pada kendi yang dicat ternyata
memiliki suhu yang lebih konstan dibandingkan dengan pada kendi tanpa cat yang
disebabkan tertutupnya pori-pori kendi bercat sehingga pelepasan panas menjadi
lambat, sedangkan pada kendi tidak bercat pori-porinya terbuka sehingga pelepasan
panas berlangsung lebih cepat.
5.1.2 Melihat Pengaruh Luar Terhadap Suhu Tubuh Manusia
1. Hasilnya adalah suhu apabila mulut ditutup akan lebih tinggi daripada mulut yang
terbuka karena tidak ada sirkulasi dalam mulut dan hasil tersebut adalah suhu dalam
tubuh secara keseluruhan tanpa adanya sirkulasi udara. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Sandi dkk (2017) bahwa kondisi lingkungan yang tidak bersahabat,
menyebabkan beberapa kelainan patologi tubuh terutama yang disebabkan oleh
paparan panas dan kelembaban udara yang tinggi di antaranya adalah pingsan panas,
kejang panas, kegawatan panas, dan kelelahan panas.
5.2 Saran
Semoga pandemic ini cepat berakhir agar kami para praktikan tidak terus”an terbebani
dengan tugas” yang bahkan tidak kami mengerti

DAFTAR PUSTAKA
Bloom dan Fawcet. 2002. Bahan Ajar Histologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Harahap, A.M., Rudi K. Kadarsah, dan E. Oktaliansah. 2014. Angka Kejadian Hipotermia dan
Lama Perawatan di Ruang Pemulihan pada Pasien Geriatri Pascaoperasi Elektif Bulan
Oktober 2011 Maret 2012 di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. JAP 2 (1): 36-44.
Isnaeni, Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius.
Pratama, N., D. Djamas, and Y. Darvina. 2016. Pengaruh variasi ukuran partikel terhadap nilai
konduktivitas termal papan partikel tongkol jagung. Pillar of Physic 7(1):25- 32.
Purnamasari, R., and D. R. Santi. 2017. Fisiologi Hewan. Program Studi Arsitektur Uin Sunan
Ampel, Surabaya.
Sandi, I.N., I.G. Ariyasa, I.W. Teresna, dan K. Ashadi. 2017. Pengaruh Kelembaban Relatif
Terhadap Perubahan Suhu Tubuh Latihan. Sport and Fitness Journal 5 (1): 103- 109.
Sumiasih, N. I., dan N. I. Budiani. 2016. Biologi Dasar dan Biologi Perkembangan. Pusat
Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Jakarta.
Susanti, N. 2012. Efektifitas Kompres dingin dan hangat pada penatalaksanaan demam. Saintis
1(1):55-64.
Washudi., and T. Hariyanto. 2016. Biomedik (Anatomi, Fisiologi, Biokimia, Fisika, Biologi). Pusat
Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Jakarta.

FISIOLOGI TERNAK
“UJI GALLI MAININI”
LAPORAN PRAKTIKUM

Oleh :
Nama : Narendra Diaz Ramadhani
NIM : D1A020184
Kelompok : 4A
Asisten : Abra Yodha Raya

LABORATORIUM FISIOLOGI DAN REPRODUKSI TERNAK TERAPAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PETERNAKAN
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Ketersediaan daging di Indonesia rupanya masih belum cukup. Hal tersebut ditandai
dengan adanya daging impor terus menerus yang dilakukan oleh pemerintah. Hal tersebut bisa
terjadi lantaran rendahnya produktivitas ternak sapi potong di Indonesia (rendahnya tingkat
kelahiran, lambat beranak, jarang beranak panjang, tingkat kematian pedet tinggi, dan
perbaikan genetik lambat). Kebuntingan adalah keadaan saat janin atau fetus sedang
berkembang pada uterus hewan betina.
Periode kebuntingan adalah interval waktu dari terjadinya fertilisasi hingga terjadinya
melahirkan. Tahap kebuntingan yaitu fertilisasi, perkembangan membran fetus, dan
pertumbuhan fetus. Karena kebutuhan daging sapi yang terus meningkat, maka harus ada
upaya dalam memantau kebuntingan ternak.
Uji kebuntingan dini perlu dilakukan supaya perhatian terhadap ternak lebih baik. Sehingga
menghasilkan pedet yang baik untuk dikonsumsi. Deteksi kebuntingan dini pada sapi induk ini
dapat meningkatkan efisiensi reproduksi pada ternak sehingga sapi dapat dikawinkan kembali.
I.2 Tujuan
1. Mengetahui kandungan urine wanita hamil
I.3 Waktu dan Tempat
Praktikum “UJI KEBUNTINGAN” dilaksanakan di Jakarta secara daring melalui via
Whatsapp group dan Google meet pada tanggal 3 Mei 2021 pada jam 17.00 – selesai.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Periode kebuntingan adalah waktu atau jarak antara perkawinan yang subur sampai
dengan kelahiran normal (Arman, 2011). Periode kebuntingan dimulai dengan pembuahan dan
berakhir dengan dilahirkannya anak yang hidup. Perkembangan anak dalam kandungan
berlangsung terus –menerus, namun kebuntingan dinyatakan terdiri dari tiga tahap yaitu,
periode ovum, periode embrio, dan periode fetus (Ismudiono dkk., 2010).
Palpasi rektal adalah metode diagnosa kebuntingan yang dapat dilakukan dengan tepat
pada ternak besar seperti kuda, kerbau dan sapi. Deteksi kebuntingan secara dini dengan teknik
palpasi rektak dan USG dapat digunakan yakni eksplorasi rektak adalah palpasi/meraba uterus
melalui dinding rektum (anus) untuk meraba apakah terjadi pembesaran yang terjadi selama
kebuntungan atau adanya membran fetus maupun fetus (Syaiful dkk., 2018).
Ultrasonografi (USG) digunakan oleh dokter spesialis kandungan untuk memperkirakan
usia kandungan dan memperkirakan hari persalinan. Dunia kedokteran secara luas, alat USG
digunakan sebagai alat bantu untuk melakukan diagnosa atas bagian tubuh yang terbangun dari
cairan (Andiron dkk., 2019). Wanita hamil muda, darah dalam tubuhnya mengandung hormon
Human Clolonic Gonadotropin (HCG) yang berfungsi mempertahankan kehamilan sebelum
plasenta terbentuk. Pengaruh HCG selain mempertahankan kehamilan juga dapat merangsang
spermatogenesis dan ovulasi (Sarmanu, 2017).

III. MATERI DAN CARA KERJA


III.1 Materi
III.1.1 Bahan
1. Katak Jantan
2. Urin wanita hamil
III.1.2 Alat
1. Mikroskop
2. Becker glass
3. Spuit
4. Cover glass
5. Objek glass
6. Pipet pasteur
7. Lidi kapas
8. Stopwatch
9. Tempat katak
III.2 Cara Kerja
Disediakan beberapa ekor katak jantan dewasa

Dirangsang menggunakan lidi kapas pada bagiun kloakanya, kemudian jika keluar
sesuatu, maka letakkan cairan tersebut pada objek glass.

Diperikasa cairan tersebut mengandung sperma atau tidak. Jika mengandung sperma
maka katak tidak bisa digunakan untuk praktikum. Jika tidak mengandung sperma
maka

Disiapkan 3 ml urin wanita hamil dengan menggunakan spuit


Disuntikan urin tersebut secara sub catan (di bawah kulit) dengan cara mencubit
atau menarik kulit katak kemudian disuntikan.

Dikembalikan katak pada tempatnys, ditunggu hingga 30 menit untuk dapat melihat
reaksinya. Setelah 30 menit, maka:

Dirangsang lagi katak pada bagian kloaka menggunakan lidi kapas. Lihat adanya
cairan yang keluar

Diamati cairan yang keluar terschut dengan menggunakan mikroskop

Hasil Positif : Bila pada urin katak ditemukan adanya spema. Hasil negative: Bila pada
urin katak tidak ditemukan adanya sperma,

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Uji Kebuntingan Dini atau Uji Galli Mainini


IV.1.1 Hasil
Uji galli mainini menggunakan katak jantan dan urin wanita hamil. Urin wanita hamil
tersebut dimasukkan kedalam kulit katak hingga ada cairan yang keluar. Hasil Positif yaitu
apabila pada urin katak ditemukan adanya spema. Hasil negative yaitu apabila pada urin katak
tidak ditemukan adanya sperma.
IV.1.2 Pembahasan
Periode berkembangnya fetus ada tiga yaitu, berkembangnya fetus, menebalnya
membran fetus, dan partus ( kelahiran). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Arman (2011)
yang menyatakan bahwa periode kebuntingan adalah waktu atau jarak antara perkawinan yang
subur sampai dengan kelahiran normal. Hal tersebut dijelaskan kembali dan sejalan dengan
pendapat Ismudiono dkk. (2010) yang menyatakan bahwa periode kebuntingan dimulai dengan
pembuahan dan berakhir dengan dilahirkannya anak yang hidup. Perkembangan anak dalam
kandungan berlangsung terus –menerus, namun kebuntingan dinyatakan terdiri dari tiga tahap
yaitu, periode ovum, periode embrio, dan periode fetus.
Palpasi rektal merupakan perabaan pada dinding rektum pada ternak besar. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Syaiful dkk. (2018) yang menyatakan bahwa palpasi rektal adalah
metode diagnosa kebuntingan yang dapat dilakukan dengan tepat pada ternak besar seperti
kuda, kerbau dan sapi. Deteksi kebuntingan secara dini dengan teknik palpasi rektak dan USG
dapat digunakan yakni eksplorasi rektak 56 adalah palpasi/meraba uterus melalui dinding
rektum (anus) untuk meraba apakah terjadi pembesaran yang terjadi selama kebuntungan atau
adanya membran fetus maupun fetus.
USG merupakan pengujian untuk melihat rongga abdomen (perut) dan perubahan cornua
uteri. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Andiron dkk. (2019) yang menyatakan bahwa dalam
kasus kehamilan, Ultrasonografi (USG) digunakan oleh dokter spesialis kandungan untuk
memperkirakan usia kandungan dan memperkirakan hari persalinan. Dunia kedokteran secara
luas, alat USG digunakan sebagai alat bantu untuk melakukan diagnosa atas bagian tubuh yang
terbangun dari cairan.
V. PENUTUP

V.1. Kesimpulan
V.1.1. Uji Kebuntingan Dini atau Uji Galli Mainini
1. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Arman (2011) yang menyatakan bahwa periode
kebuntingan adalah waktu atau jarak antara perkawinan yang subur sampai dengan
kelahiran normal. Deteksi kebuntingan secara dini dengan teknik palpasi rektak dan USG
dapat digunakan yakni eksplorasi rektak 56 adalah palpasi/meraba uterus melalui
dinding rektum (anus) untuk meraba apakah terjadi pembesaran yang terjadi selama
kebuntungan atau adanya membran fetus maupun fetus.
5.2 Saran
Semoga pandemic ini cepat berakhir agar kami para praktikan tidak terus”an terbebani
dengan tugas” yang bahkan tidak kami mengerti

DAFTAR PUSTAKA

Andiron, Tommy, dan Ginting, G. 2019. Peningkatan kualitas citra ultrasonografi (USG) dengan
menggunakan metode gaussian filter. Jurnal Pelita Informatika, 18(1): 121-126
Arman, C. 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi lama kebuntingan pada sapi hissar
Sumbawa. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan: 236-241.
Ismudiono, Srianto, Pudji, Anwar, H., Samik, Safitri, E. 2010. Buku Ajar Fisiologi Reproduksi pada
Ternak. Airlangga University Press. Surabaya
Syaiful, Lismanto, F., Agustin, F., Ningrat, R., dan Afrizal. 2018. Pengembangan sapi potong
melalui penerapan teknologi deteksi kebuntingan dini dan inovasi pakan ramah
lingkungan pada kelompok tani di langgam, pasaman barat. Jurnal Hilirisasi, 1(4): 138-
149

Anda mungkin juga menyukai