Anda di halaman 1dari 12

Latar Belakang

Kebutuhan akan produk peternakan sekarang ini sangat tinggi. Masyarakat Indonesia sudah mulai sadar
akan pentingnya kebutuhan protein hewani dalam mencukupi kebutuhan nutrisinya. Produk peternakan adalah
produk yang sangat primer. Sebagai contoh yaitu daging, telur susu merupakan produk yang memiliki nilai ekonomi
tinggi. Untuk saat ini banyak kalangan yang beranggapan bahwa dunia peternakan adalah dunia yang kurang
mempunyai prospek ke depan. Salah satunya adalah usaha sapi perah.
Pengembangan peternakan sapi perah di Indonesia pada dasarnya bertujuan meningkatkan produksi susu
dalam negeri untuk mengantisipasi tingginya permintaan susu. Hal tersebut memberikan peluang bagi peternak,
terutama peternakan sapi perah rakyat untuk lebih meningkatkan produksi, sehingga ketergantungan akan
susu impor dapat dikurangi. Konsekuensi logis dari keadaan tersebut, perlu ditunjang oleh perkembangan
peternakan sapi perah agar eksis dalam penyediaan produksi susu dan dapat terjaga kelangsungan hidupnya.
Ternak perah dikatakan baik apabila memiliki produksi yang sesuai dengan rata-rata atau diatas rata-rata.
Banyak hal yang mempengaruhi produksi susu dari ternak perah, baik factor internal maupun factor eksternal.
Factor internal berasal dari ternak itu sendiri seperti pengaruh kinerja organ yang bekerja. Factor eksternal berasal
dari luar ternak seperti suhu, lingkungan dan kandang. Biasanya factor eksternal ini dapat mempengaruhi kinerja
factor internal. Itulah sebabnya peternak perlu memperhatikan lingkungan di sekitar ternak. Jika kedua factor ini
memberikan pengaruh positif pada ternak maka produksi susu ternak tersebut dapat optimal, namun jika kedua
factor tersebut tidak sesuai yang seharusnya dapat menurunkan produksi yang pada akhirnya akan menyebabkan
kerugian pada peternak.

Keberlanjutan usaha sapi perah memerlukan adanya bibit, bibit yang dimaksud adalah bibit unggul yang
mudah diperoleh. Program pembibitan dilakukan dengan melaksanakan program pemuliaan (seleksi dan
persilangan) dan memperbaiki performa reproduksi. Performa reproduksi sapi perah tidak hanya tergantung pada
gen-gen yang dimiliki ternak. Keadaan lingkungan juga turut menunjang munculnya performa reproduksi secara
optomal. Pada iklim mikro yang berbeda reproduksi ternak didaerah tropis dipengaruhi oleh suhu lingkungan,
kelembaban dan pakan yang tersedia bagi ternak. Suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi serta kondisi
pakan yang buruk menghambat laju reproduksi. Laju reproduksi yang rendah akan membatasi program seleksi.

Reproduksi sangat menentukan keuntungan yang akan diperoleh usaha peternakan sapi perah, Inefisiensi
reproduksi pada sapi perah betina dapat menimbulkan berbagai kerugian seperti menurunkan produksi susu harian
dan laktasi sapi produktif, meningkatkan biaya perkawinan dan laju pengafkiran sapi betina serta memperlambat
kemajuan genetik dari sifat bernilai ekonomis. Banyak faktor mempengaruhi kinerja reproduksi individu sapi yang
sering kali sulit diidentifikasi. Bahkan dalam kondisi optimum sekalipun, proses reproduksi dapat berlangsung tidak
sempurna disebabkan kontribusi berbagai faktor, sehingga berpengaruh selama proses kebuntingan sampai anak
terlahir dengan selamat.

Permasalahan yang sering terjadi dilapangan adalah karena peternak tidak memiliki dasar yang matang
tentang reproduksi ternak. Kemampuan yang mereka miliki merupakan hasil pengamatan dan tradisi turun temurun
yang kadang memiliki kesalahan yang jsutru dapat menurunkan produksi ternak. Sehingga perlu

diperhatikan untuk meningkatkan produktifitas ternak perah dipengaruhi kondisi


fisiologi lingkungan yang meliputi suhu udara, kelembapan, radiasi
matahari yang mampu mempengaruhi kenyamanan ternak, serta kondisi fisiologi
ternak meliputi suhu tubuh, frekuensi denyut nadi dan frekuensi
respirasi. Recordingberguna untuk memberi keterangan tentang individu sapi maupun

secara keseluruhan sehingga membantu peternak dalam mengambil keputusan yang


sifatnya teknis dan ekonomis.

BABII
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sapi Perah Frisian Holstein
Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan persilangan antara sapi Friesian Holstein (FH)
dengan sapi lokal Indonesia (Affandi, 2009). Karakteristik pada sapi PFH adalahmemiliki corak belang hitam putih
atau merah putih, punggung agak melengkung ke atas, bentuk ambing seperti cawan dengan puting susu yang
kecil dan bervariasi teksturnya, pada dahi terdapat bulu putih yang berbentuk segitiga (Makin, 2011).
2.2. Fisiologi Lingkungan Sapi Perah
Faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas dari seekor ternak antara lain suhu udara, kelembapan
udara, radiasi matahari, dan kecepatan angin (Yani dan Purwanto, 2006). Kendala yang mempengaruhi
produktivitas sapi perah adalah suhu udara dan kelembapan udara (Arnold et al., 2013).
2.2.1. Suhu lingkungaan
Suhu lingkungan di daerah perkembangan sapi perah Friesian Holstein berkisar antara 5 - 15C ( Yani dan
Purwanto, 2006). Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki suhu udara 24 - 34C dan menyebabkan
penurunan kinerja sapi perah meliputi kuantitas dan kualitas susu (Arnoldet al., 2013).
2.2.2. Kelembapan
Negara tropis memiliki tingkat kelembapan udara rata-rata sebesar 60 90% (Yani et al.,2007). Tingkat suhu udara
dan kelembapan udara yang tinggi akan mengakibatkan penurunan produksi susu pada sapi peranakan Frisien
Hollstein. (Arnold et al., 2013)
2.2.3. Radiasi matahari
Ternak dengan bulu yang pendek dengan warna terang serta memiliki tekstur kulit yang halus dan
mengkilap adalah baik sekali untuk mengatasi pengaruh pancaran panas radiasi matahari (Talib et al., 2002).
Radiasi matahari adalah pemindahan panas suatu benda ke benda lain tanpa bersentuhan. Arus panas radiasi
mengalir tanpa bantuan bahan pengantar atau media dan dapat melewati ruang hampa udara. Cekaman panas
sapi FH akibat radiasi matahari bisa mencapai 77,38%. Kondisi ini terjadi mulai pukul 10.30 dan sapi FH akan
mengalami cekaman panas maksimal dari radiasi matahari tersebut pada pukul 13.00 14.00 dimana pada waktu
tersebut
nilai
intensitas
radiasi
matahari
dapat
mencapai
480
kkal/m 2/jam
(Yani et al., 2007). Dominannya warna putih pada seekor sapi FH menyebabkan pancaran radiasi yang diserap
kulit sapi FH akan lebih kecil (warna putih dapat menyerap 20% pancaran radiasi sinar matahari, dan warna hitam
bisa mencapai 98%) (Yani dan Purwanto, 2006).
2.2.4. Perkandangan sapi perah
Perkandangan merupakan kompleks tempat tinggal ternak dan pengelola yang digunakan untuk melakukan
kegiatan proses produksi ternak. Pembuatan kandang sapi perah diperlukan beberapa persyaratan yaitu : terdapat
ventilasi, memberikan kenyamanan pada sapi perah, mudah dibersihkan dan memberi kemudahan bagi pekerja
kandang dalam melakukan pekerjaannya (Soetarno, 2003). Sistem perkandangan sapi perah ada dua jenis
yaitu stanchion barn dan loose house. Stanchion barn yaitu sistem perkandangan dimana hewan diikat sehingga
gerakannya terbatas sedangkan loose house yaitu sistem perkandangan dimana hewan dibiarkan bergerak namun
dengan batas-batas tertentu (Syarif dan Bagus, 2011).
2.3. Fisiologi Ternak Sapi Perah
Suhu serta kelembapan udara merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi fisiologis sapi seperti frekuansi
nafas (Yani dan Purwanto, 2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi frekuensi nafas, meliputi jenis ternak,

bangsa, individu, umur, jenis kelamin dan kondisi ternak, serta faktor eksternal antara lain lingkungan, aktivitas dan
tekanan (stress) serta suhu sekitar (Rumetor, 2003). Suhu tubuh normal sapi perah FH sekitar 38 39,5 0C
(Palulungan et al., 2013).
2.3.1. Suhu tubuh
Pengukuran temperatur tubuh dimaksudkan untuk mengetahui temperatur dalam tubuh ternak. Temperatur tubuh
akan meningkat apabila ternak tidak dapat menjaga kondisi tubuhnya melalui pernafasan dan denyut jantung pada
saat terjadi perubahan temperatur dan kelembapan lingkungan (Churng, 2002). Suhu tubuh akan meningkat
apabila ternak tidak dapat menjaga kondisi tubuhnya melalui pernafasan dan denyut jantung pada saat terjadi
perubahan temperatur dan kelembapan lingkungan (Rumetor, 2003).
2.3.2. Denyut nadi
Denyut nadi pada daerah comfort zone akan konstan tetapi apabila telah melewati batas tolerir comfort zone maka
denyut nadi akan mengalami peningkatan (Frandson, 1992). Faktor yang dapat mempengaruhi denyut nadi adalah
konsumsi pakan, umur, aktivitas otot, kebuntingan, stressdan suhu udara (Budianto, 2012). kisaran denyut jantung
normal untuk sapi perah antara 50 - 80 kali/menit. Faktor yang mempengaruhi frekuensi denyut nadi adalah suhu
lingkungan
(Suherman et al., 2013)
2.3.3. Frekuensi nafas
Fungsi lain dari pernapasan adalah membantu regulasi keasaman cairan ekstra seluler dalam tubuh, pengendalian
suhu dan pembentukan suara. Fungsi utama dari sistem pernapasan adalah untuk menyediakan oksigen untuk
darah dan mengambil karbondioksida dari dalam darah. Pernapasan terdiri atas dua proses penting yaitu proses
inspirasi yang merupakan perbesaran thorax dari paru-paru disertai masuknya udara, dan proses ekspirasi yang
merupakan penurunan dari ukuran dada disertai keluarnya udara (Frandson, 1992). Frekuensi pernafasan sapi
dalam keadaan normal berkisar 10 30 kali/menit. Perubahan frekuensi pernafasan sejalan dengan peningkatan
suhu udara, hal tersebut menyebabkan ternak meningkatkan frekuensi pernafasan untuk melepaskan panas
(Utomo et al., 2009). Faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya frekuensi nafas antara lain adalah ukuran tubuh,
umur, aktifitas ternak, suhu lingkungan, kesehatan ternak, dan posisi ternak (Nainggolan, 2013)
2.3.4. Konsumsi air minum
Konsumsi air minum untuk sapi hanya berkisar antara 30 - 40 liter per hari (Siregar, 1996). Sapi dara
mengkonsumsi air minum sebanyak 10,58-12,76% dari bobot badan pada kondisi lingungan tidak nyaman dengan
suhu lingkungan malam hari sekitar 24 oC dan siang hari 33,34 oC. Konsumsi air minum pada sapi ini dipengaruhi
oleh banyak faktor seperti suhu lingkungan, ukuran tubuh dan kelembapanlingkungan (Muljana, 1987). Konsumsi
air minum pada sapi perah pada lingkungan nyaman berkisar antara 3 - 3,5 liter/kilogram konsumsi bahan kering
dan akan meningkat dalam kondisi cekaman panas. Penurunan atau kenaikan konsumsi air minum dipengaruhi
oleh suhu lingkungan, jumlah makanan, produktivitas dan suhu tubuh. Meskipun secara umum keperluan air akan
naik, hubungan konsumsi air yang diminum oleh ternak dengan kenaikan suhu lingkungan belum tentu mengalami
kenaikan (Yani dan Purwanto, 2006).
2.3.5. Frekuensi urinasi
Urinasi merupakan suatu yang dilakukan ternak dalam mengatur proses keseimbangan tubuh yaitu dengan cara
membuang urin atau cairan yang tidak bermanfaat lagi bagi tubuh (Akoso, 2008). Sapi perah mampu berurinasi
selama 24 jam sebanyak 3 kali sampai 19 kali. Frekuensi urinasi seekor ternak dipengaruhi oleh suhu lingkungan
yang berkaitan dengan konsumsi air minum pada sapi perah (Robichaud et al., 2011).
2.3.6. Frekuensi defekasi
Standar frekuensi defekasi sapi perah selama 24 jam mengeluarkan feses sebanyak 6 sampai 8 kali dan
mengeluarkan
8%
dari
berat
badannya
(Soetarno, 2003). Frekuensi urinasi dan defekasi pada ternak dipengaruhi oleh suhu kandang, lingkungan dan

pakan. Frekuensi urinasi dan defekasi biasanya akan berhenti atau mencapai titik terendah ketika ternak
beristirahat dan frekuensinya akan naik ketika diwaktu makan (Embertson et al., 2009). Defekasi akan meningkat
diwaktu jamjam pemerahan dan pemberian pakan (Vaughanet al., 2014).
2.4. Anatomi Biologis Ambing
Ambing terbagi menjadi empat kuartir yang masing-masing berfungsi memproduksi susu secara mandiri (Blakely
dan Bade, 1994). Ambing sapi dibagi menjadi 4 kuartir dan masing-masing kuartir memiliki 1 putting
(Frandson et al., 2009). Ambing sapi dibagi menjadi 4 kuartir, setiap kuartir memiliki satu puting. Ambing pada
kuartir bagian kanan dan kiri dipisahkan oleh ligamentum suspensori medialis,sedangkan kuartir ambing bagian
depan (cranial) dan kuartir bagian belakang (caudal) dipisahkan oleh membran. Ambing bagian depan
menghasilkan produksi sebesar 40%, sedangakan ambing bagian belakang mampu memproduksi susu 60% untuk
setiap harinya. Ambing pada hewan ternak khususnya sapi, kaya akan produksi susu, lemak susu, dan kaya
protein dengan suplai dari darah sehingga penting bagi peternak untuk memahami cara kerja ambing (Nelson,
2010).
2.4.1. Perkembangan ambing
Pertumbuhan kelenjar susu dari lahir sampai pubertas terus mengalami perubahan, pada sapi muda pertumbuhan
system duktus terus berlangsung dan hasilnya akan terlihat pada ambing sapi dewasa, ukuran kuartir pada ambing
semakin bertambah sebagian pada kuartir belakang sampai pada timbunan jaringan lemak masingmasing menyatu menjadi satu dan bergabung pada dasar bagian ambing, berat ambing pada anak sapi dan
bergabung pada dasar bagian ambin, berat ambing apada anak sapi sampai pubertas terus meningkat
kapasitasnya (Mukhtar, 1997). Fase pregnant mare serum gonadorrophin (PMSG) merupakan salah satu fase
dimana terjadi perangsangan timbulnya birahi serta menimbulkan superovulasi pada sapi perah betina., dan
terjadinya superovulasi ini akan meningkatkan keberhasilan perkawinan. Perkembangan ambing mengalami
pertumbuhan pesat pada periode kebuntingan karena peran aktif dari korpus luteum untuk menghasilkan hormon
progesteron yang bersama-sama dengan estrogen dan laktogen plasenta mengatur pemanjangan dan
perbanyakan sistem saluran kelenjar ambing (Sutopo, 2001). Pertumbuhan ambing dimulai 4 - 5 minggu setelah
terjadi konsepsi (periode prenatal), lahir, dewasa (periode pubertas), pertumbuhan saat ternak bunting dan laktasi.
Pertumbuhan ambing pada ternak mamalia sebelum fase kebuntingan berjalan lambat, tetapi pada saat ternak
bunting pertumbuhan ambing sangat cepat dan mulai menurun pada saat laktasi (Lawrence dan Fowler, 2002).
2.4.2. Anatomi dan fisiologi ambing
Kuartir belakang merupakan bagian yang besar dan menghasilkan susu 60% dari total produksi sedangkan bagian
depan 40% dari total produksi (Sangbara, 2011). Bagian eksternal ambing antara lain medial suspensory ligament,
lateral suspensory ligament, membrane vine dan bagian internal ambing antara lain alveoli, milk ductus atau
saluran susu, gland cistern, teat cistern,otot sfingter, annular fold, dan streak canal. Gland cistern merupakan
tempat penampungan susu dari semua saluran, susu yang telah ditampung akan mengalir menuju teat
cistern melewati annular fold yang didalamnya terdapat otot sfingter sebagai penahan susu di dalam
ambing. Streak canalyang ditutupi oleh otot sfingter merupakan pintu bukaan dair teat cistern sebelum keluar
melewatiteat meatus menuju ruang bebas. Ambing merupakan suatu kelenjar kulit yang sekelilingnya tertutupi oleh
bulu, kecuali pada puting. Ambing tampak seperti kantung yang berbentuk persegi empat yang terbagi menjadi dua
bagian kiri dan kanan yang dipisahkan oleh satu lekukan yang memanjang disebut medial suspensory ligament.
Bagian ambing kanan dan kiri masing-masing dipisahkan menjadi dua bagian kuartir depan dan belakang oleh
suatu membrane yang amat tipis disebut membrane vine (Blakely dan Bade, 1994). Alveoli merupakan struktur
utama penghasil susu yang dilapisi oleh sel epitel. Susu yang dihasilkan kemudian disalurkan melalui sistem
duktus menuju sinus lactiferous dan gland cistern untuk ditampung sebelum nantinya dikeluarkan melalui puting
(Frandson et al., 2009).
2.4.3. Pembentukan dan biosintesis susu
Ambing mengandung kumpulan alveoli yang memiliki kemampuan untuk memproduksi susu. Susu yang diproduksi
alveoli akan meningkat apabila ambing dalam keadaan kosong, sebaliknya susu yang diproduksi alveoli akan

menurun apabila ambing telah terisi penuh. Biosintesis susu yang terjadi pada ambing meliputi biosintesis protein,
lemak dan laktosa. (Rusdiana dan Sejati, 2009). Air susu pada tubuh sapi dibuat oleh kelenjar susu di dalam
ambing. Kelenjar susu tersusun dari gelembung-gelembung susu sehingga berbentuk seperti buah anggur yang
disebut alveoli. Dinding gelembung tersebut merupakan sel-sel yang menghasilkan air susu yang bahan baku
pembentuknya adalah dari darah (Sangbara, 2011). Biosintesis susu meliputi sintesis protein, sintesis lemak dan
sintesis laktosa. Bahan baku untuk sintesis protein adalah asam amino bebas, plasma protein, dan peptide.
Protein susu disintesis oleh ambing, sedangkan untuk pembentukannya merupakan dari penggabunganpenggabungan asam amino. Proses sintesis air susu terjadi pada sekretoris bagian ribosom dikontrol oleh gen-gen
yang mengandung bahan genetik (DNA). Sintesis protein susu meliputi 3 proses yaitu replikasi DNA, transkripsi
DNA menjadi RNA dan translasi RNA menjadi protein (Aisyah, 2011). Pencernaan selulosa dan hemiselulosa yang
banyak terdapat pada hijauan, paling banyak diproduksi oleh mikroba rumen adalah asam asetat dan kemudian
asam propionat. Asam asetat langsung dapat digunakan oleh kelenjar susu untuk sintesis asam lemak susu. Tiga
puluh dua persen dari asam propionat yang diproduksi di rumen digunakan untuk sintesis glukosa (Musnandar,
2011).
2.4.4. Pengeluaran susu
Pengeluaran susu merupakan suatu reflek saraf yang dihasilkan oleh berbagai rangsangan. Rangsangan yang
diberikan pada ambing, akan mendorong hormon oksitosin untuk melepaskan susu keluar dari alveolus dan
duktusduktus kecil ke dalam tiaptiap kuartir (Pujiati dan Indrianto, 2009). Rangsangan syaraf seperti gerakan
pedet menyusu, usapan, tekanan dan basuhan air hangat menyebabkan lubang puting susu terbuka sehingga air
susu dari ruang kisterna mengalir keluar (Sangbara, 2011). Rangsangan tersebut menyebabkan hormon oksitosin
dari lobus posterior kelenjar pituitary dan masuk ke aliran darah. Oksitosin mencapai ambing dalam beberapa detik
dan menyebabkan timbulnya kontraksi jaringan alveolus dan salura-saluran kecil sehingga susu akan terdorong
keluar (Blakely dan Bade, 1994).
2.5. Susu Sapi Perah
Susu sapi perah merupakan bahan pangan sumber protein yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan gizi
masyarakat karena memiliki kandungan gizi yang tinggi dan komposisi yang lengkap (Utomo dan Miranti, 2010).
Susu merupakan bahan pangan yang banyak disukai oleh masyarakat karena mempunyai kandungan nutrisi yang
sangat lengkap antara lain lemak, laktosa, protein, mineral, vitamin dan enzim (Winarso, 2008).
2.5.1. Syarat susu sapi perah
Susu sapi yang baik harus memenuhi syarat-syarat antara lain susu harus mengandung nutrisi yang lengkap dan
tidak tercemar mikroba, susu akan mengalami kerusakan karena adanya mikroba jika berada dalam suhu kamar
lebih dari 4 jam (Wardyaningrum, 2011). Susu dianggap berkulalitas baik apabila di dalam susu tersebut memiliki
kandungan gizi yang proporsinya seimbang dan mudah dicerna (Legowo et al., 2009).
2.5.2. Komponen susu
Kandungan vitamin dalam susu adalah sebesar 2 mg/100 (Nurliyani, 2003). Komponen susu terdiri dari air, lemak,
protein, laktosa, SNF (Solid Non Fat) atau bahan kering tanpa lemak danTotal Solid (TSL) (Winarso, 2008). Kadar
air dalam susu sebesar 87,5%, tingginya kadar air dalam susu terjadi karena air merupakan medium dispersersi
lemak dan komponen yang larut dalam air susu, Komponen susu dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pakan,
umur sapi, iklim dan waktu pemerahan (Utomo dan Miranti 2010). Komposisi susu terdiri dari 3,7% lemak susu,
4,9% laktosa dan 3,5% protein (Prasetya, 2012).
2.5.3. Berat jenis susu
Berat jenis susu berbanding terbalik degan jumlah kadar lemak susu, jika kadar lemak susu tinggi maka berat jenis
susu semakin rendah, begitu juga apabila kadar lemak susu rendah maka berat jenis susu meningkat (Mardalena,
2008). Berat Jenis susu segar standar adalah sebesar 1,028 (Miskiyah, 2011). Tingginya TS (Total Solid) dan
lemak yang terkandung dalam susu maka akan semakin tinggi kualitas susu tersebut. Kualitas susu dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti pakan, lingkungan, ternak, dan umur ternak (Nurhadi, 2010). Susu yang telah

mengalami penyimpanan maka mengalami fermentasi secara anaerob. Bakteri dalam susu akan menggunakan
laktosa dan kasein untukfermentsi menghasilkan asam laktat. Semakin lama penyimpanan semakin banyak asam
laktat yang terbentuk dan kandunga laktosa dalam susu semakin menurun (Sawitri, 2012). Semakin lama
penyimpanan susu, maka berat jenis susu semakin meningkat (Ismanto et al., 2013).
2.6. Recording
Recording merupakan sistem pencatatan yang efisien karena pencatatan dapat dilakukan dengan lebih sederhana
tetapi cukup akurat untuk digunakan dalam pendugaan kurva produksi ataupun nilai pemuliaan (Indrijani dan
Anang, 2002). Recording terutama dilakukan pada peternakan besar harus diarahkan kepada seleksi berdasarkan
nilai pemuliaan ternak agar kemajuan genetiknya lebih cepat dan terkontrol (Nena, 2005).
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Fisiologi Lingkungan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa salah satu faktor penentu kuantitas dan
kualitas produksi susu pada sapi perah adalah lingkungan. Faktor fisiologi lingkungan dalam hal ini meliputi suhu
udara, tingkat kelembapan pada udara, dan radiasi matahari. Menurut Yani dan Purwanto (2006) faktor lingkungan
yang mempengaruhi produktivitas sapi perah meliputi suhu udara, kelembapan udara, radiasi matahari, dan
kecepatan angin. Ditambah pendapat Arnold (2013) bahwa salah satu kendala yang mempengaruhi produktivitas
sapi perah adalah suhu udara dan kelembapan udara.
4.1.1. Suhu lingkungan
Berdasarkan Tabel 1. diperoleh bahwa suhu lingkungan mikro sebesar 26,6C dan suhu makro sebesar 26,5C.
Suhu lingkungan merupakan tingkat derajat panas yang diterima oleh tubuh hewan ternak, dalam hal ini adalah
sapi PFH. Suhu mikro adalah besarnya suhu yang berada di dalam kandang, sedangkan suhu makro adalah
besarnya suhu yang berada di lingkungan luar kandang. Tingginya tingkat suhu udara ini akan mengurangi kinerja
sapi karena menyebabkan cekaman panas yang akan berimbas pada penurunan jumlah produksinya. Hal ini
sesuai dengan pendapat Yani dan Purwanto (2006) bahwa temperatur suhu di daerah asal sapi perah Friesian
holstein adalah 5 - 15C. Ditambahkan pendapat dari Arnold et al. (2013) bahwa Indonesia merupakan negara
tropis yang memiliki suhu udara 24 - 34C dan menyebabkan penurunan kinerja sapi perah meliputi kuantitas dan
kualitas susu.
4.1.2. Kelembapan
Berdasarkan Tabel 1. diperoleh hasil bahwa kelembapan udara merupakan besarnya uap air yang ada di udara
bebas. Tingginya kelembapan udara menyebabkan terjadinya cekaman panas pada hewan ternak dalam hal ini
adalah sapi jenis PFH. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa rata-rata kelembapan
udara mikro dan makro adalah 73,9% dan 75%. Hal ini sesuai dengan pendapat Yani et al. (2007) bahwa negara
tropis memiliki tingkat kelembapan udara sebesar 60 90%. Tingkat kelembapan yang tinggi akan mempengaruhi
produktivitas sapi PFH. Hal ini sesuai dengan Arnold et al. (2013) bahwa tingkat suhu udara dan kelembapan
udara yang tinggi akan mengakibatkan penurunan produksi susu pada sapi PFH.
4.1.3. Radiasi matahari
Berdasarkan Tabel 1. diperoleh radiasi matahari tertinggi terjadi pada pukul 12.00 WIB yaitu sebesar 405,14 Kcal m 2
jam-1. Sapi FH sudah mengalami cekaman panas pada kondisi ini, radiasi matahari secara langsung terhadap
sapi perah FH yang mengakibatkan sapi tidak nyaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Yani et al. (2007) yang
menyatakan bahwa cekaman panas sapi FH akibat radiasi matahari bisa mencapai 77,38%. Kondisi ini terjadi
mulai pukul 10.30 dan sapi FH akan mengalami cekaman panas maksimal dari radiasi matahari tersebut pada
pukul 13.00 14.00 dimana pada waktu tersebut nilai intensitas radiasi matahari dapat mencapai 480 kkal/m 2/jam.
Talib et al. (2002) mengatakan bahwa ternak dengan bulu yang pendek dengan warna terang serta memiliki tekstur
kulit yang halus dan mengkilap adalah baik sekali untuk mengatasi pengaruh pancaran panas radiasi matahari.

Ditambahkan oleh Yani dan Purwanto (2006) yang menyatakan bahwa dominannya warna putih pada seekor sapi
FH menyebabkan pancaran radiasi yang diserap kulit sapi FH akan lebih kecil (warna putih menyerap 20%
pancaran radiasi sinar matahari, dan warna hitam bisa mencapai 98%).

4.1.4. Perkandangan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan sistem perkandangan di Fakultas Peternakan dan Pertanian,
Universitas Diponegoro, Semarang dilihat dari aspek-aspek perkandangan sudah termasuk dalam kategori baik
namun perlu ditingkatkan sanitasinya. Perkandangan merupakan suatu lokasi atau lahan khusus yang
diperuntukkan sebagai sentra kegiatan peternakan yang didalamnya terdiri atas bangunan utama (kandang),
bangunan penunjang seperti gudang pakan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan pakan ternak selama
dalam jangka waktu tertentu, kandang isolasi yang berfungsi untuk memisahkan ternak yang sehat dengan ternak
yang sakit sehingga ternak yang sehat tidak mudah tertular penyakit, dan perlengkapan lainnya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Soetarno (2003) yang menyatakan bahwa perkandangan merupakan kompleks tempat tinggal
ternak dan pengelola yang digunakan untuk melakukan kegiatan proses produksi ternak. Dalam pembuatan
kandang sapi perah diperlukan beberapa persyaratan yaitu : terdapat ventilasi, memberikan kenyamanan pada sapi
perah, mudah dibersihkan dan memberi kemudahan bagi pekerja kandang dalam melakukan pekerjaannya.
Ditambahkan oleh pendapat Syarif dan Bagus (2011) yang menyatakan bahwa sistem perkandangan sapi perah
ada dua jenis yaitu stanchion barndan loose house. Stanchion barn yaitu sistem perkandangan dimana hewan
diikat sehingga gerakannya terbatas sedangkan loose house yaitu sistem perkandangan dimana hewan dibiarkan
bergerak namun dengan batas-batas tertentu.
4.2. Fisiologi Ternak
Pengamatan fisiologi ternak sapi perah meliputi pengukuran suhu tubuh, denyut nadi dan frekuensi nafas.
Menurut Yani dan Purwanto (2006) kisaran suhu tubuh normal pada sapi FH adalah 38,5 39,6 0C dengan suhu
kritis 400C, kisaran normal denyut nadi 60 - 70 kali/menit danrata- rata frekuensi nafas tiap menit dalam keadaan
istirahat adalah 20 kali. Rumetor (2003) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi fisiologis
ternak, meliputi jenis ternak, bangsa, individu, umur, jenis kelamin dan kondisi ternak, serta faktor eksternal antara
lain lingkungan, aktivitas dan tekanan (stress) serta suhu sekitar.

4.2.1. Suhu tubuh


Berdasarkan Tabel 3. diperoleh rata-rata suhu tubuh 38,55 0C. Hal tersebut sesuai standar normal yang
dikemukakan oleh Palulungan et al. (2013) yang menyatakan bahwa suhu tubuh normal sapi perah FH sekitar 38
39,50C. Hal ini menandakan bahwa indikasi stres panas yang dialami oleh sapi perah belum parah, kemungkinan
stres panas tersebut telah cukup diantisipasi dengan sistem pengurangan panas oleh tubuh ternak. Churng (2002)
menyatakan bahwa beberapa upaya pengurangan panas yang dapat dilakukan oleh sapi perah antara lain
berteduh, mengurangi konsumsi pakan, memperbanyak minum, peningkatan frekuensi respirasi, meningkatkan
produksi saliva dan keringat, serta mengeluarkan urin. Pengukuran temperatur tubuh dimaksudkan untuk
mengetahui temperatur dalam tubuh ternak. Rumetor (2003) menyatakan bahwa temperatur tubuh akan
meningkat apabila ternak tidak dapat menjaga kondisi tubuhnya melalui pernafasan dan denyut jantung pada saat
terjadi perubahan temperatur dan kelembapan lingkungan.
4.2.2. Denyut nadi
Rerata denyut nadi adalah sebesar 60,8 kali/menit. Hasil ini masih tergolong dalam kondisi normal. Hal ini sesuai
dengan pendapat Suherman et al. (2013) bahwa kisaran denyut nadi normal untuk sapi perah antara 50 - 80
kali/menit, faktor yang mempengaruhi frekuensi denyut nadi adalah suhu lingkungan. Menurut
Budianto (2012) faktor yang dapat mempengaruhi denyut nadi adalah konsumsi pakan, umur, aktivitas otot,
kebuntingan, stress dan suhu udara.
4.2.3. Frekuensi nafas

Rerata frekuensi nafas adalah sebesar 36,9 kali/menit. Hasil ini menunjukan indikasi tidak normal dalam
pemeliharaan sapi PFH. Hal ini sesuai dengan pendapat Utomo et al. (2009) yang menyatakan bahwa frekuensi
pernafasan sapi dalam keadaan normal berkisar 10 30 kali/menit. Perubahan frekuensi pernafasan sejalan
dengan peningkatan suhu udara, hal tersebut menyebabkan ternak meningkatkan frekuensi pernafasan untuk
melepaskan panas. Menurut Nainggolan (2013) faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya frekuensi nafas antara
lain adalah ukuran tubuh, umur, aktifitas ternak, suhu lingkungan, kesehatan ternak, dan posisi ternak.
4.2.4. Konsumsi air minum
Berdasarkan Tabel 4. diperoleh hasil bahwa jumlah konsumsi air minum selama pemeliharaan satu hari adalah
sebesar 22,1 liter. Jumlah konsumsi air minum menunjukan nilai konsumsi air tergolong rendah. Jumlah konsumsi
air dipengaruhi oleh faktor temperatur lingkungan dan cekaman yang terjadi pada ternak, penurunan atau kenaikan
konsumsi air minum dipengaruhi oleh suhu lingkungan, jumlah makanan, produktivitas dan suhu tubuh. Sapi perah
meningkatkan konsumsi air minum saat suhu lingkungan berada di atas suhu nyaman tubunya, sedangkan ketika
suhu lingkungan berada di bawah suhu nyaman maka konsumsi air minum akan mengalami penurunan. Konsumsi
air minum akan menentukan produksi susu sapi perah. Siregar (1996) menyatakan bahwa konsumsi air minum
untuk sapi hanya berkisar antara 30 - 40 liter per hari. Ditambahkan Muljana (1987) menyatakan bahwa
kelembapan udara, suhu lingkungan dan ukuran tubuh sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya jumlah
konsumsi air minum pada sapi perah.
4.2.5. Frekuensi urinasi dan defekasi
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa frekuensi urinasi selama 24 jam sebanyak 9
kali, frekuensi urinasi selama 24 jam adalah normal karena dipengaruhi oleh lingkungan dan banyaknya air yang
diminum oleh ternak tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Robichaud et al. (2011) menyatakan bahwa sapi
perah mampu berurinasi selama 24 jam sebanyak 3 kali sampai 19 kali. Frekuensi urinasi dipengaruhi oleh suhu
lingkungan yang berkaitan dengan konsumsi air minum pada sapi perah. Emberston et al. (2009) yang
menyatakan bahwa hewan ternak frekuensi urinasi dan defekasi dipengaruhi oleh suhu kandang, lingkungan dan
pakan, biasanya frekuensi dan defekasi akan berhenti atau mencapai titik terendah ketika ternak beristirahat dan
frekuensinya akan naik ketika waktu makan.
Frekuensi defekasi selama 24 jam terjadi 11 kali defekasi, frekuensi defekasi tersebut adalah normal karena
standar defekasi normal yaitu 3 18 kali dalam sehari. Hal ini dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan pemberian
pakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Robichaud et al. (2011) yang menyatakan bahwa frekuensi defekasi
selama 24 jam pada sapi perah terjadi sebanyak 3 sampai 18 kali dalam sehari, frekuensi defekasi yang lebih
rendah dari normal disebabkan karena suhu lingkungan yang cukup tinggi sehingga ternak akan banyak minum.
menurut
pendapat
Vaughan et al. (2014) yang menyatakan bahwa defekasi akan meningkat diwaktu jamjam pemerahan dan
pemberian pakan.
4.3. Anatomi Biologis Ambing
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil bahwa anatomi ambing terdiri dari anatomi
eksterior dan interior. Anatomi eksterior ambing terdiri dari outer wall, medial suspensory ligament, lateral
suspensory ligament, membrane vine, bulu, dan puting. Anatomi interior ambing terdiri dari alveoli, gland cistern,
teat cistern, annular fold dan teat meatus.
Ilustrasi 2. Bagian-bagian Eksterior Ambing
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil bahwa ambing terbagi menjadi 4 kuartir. Kuartir
kanan dan kiri dibatasi oleh medial suspensory ligament yang membagi kuartir kanan dan kiri menjadi simetris
sehingga mampu memproduksi susu dengan optimal. Kuartir depan dan belakang dibatasi oleh membrane
vine. Lateral suspensory ligament berfungsi untuk menjaga keseimbangan ambing dan menjaga ambing agar
ambing tetap menempel padaambdomen. Bagian terluar dari ambing terdapat outer wall yang berfungsi melindungi
ambing sehingga ambing teta terlindungi,seluruh bagian terluar ambing tertutup oleh bulu kecuali pada bagian
putingnya. Bulu tersebut berfungsi untuk pengaturan suhu ambing dan proteksi terhadap bakteri yang masuk ke

ambing, sehingga tidak terdapat mikroba yang masuk ke dalam ambing melalui puting yang dapat mengakibatkan
penurunan kualitas susu yang di produksi dan dapat mengakibatkan penyakit mastitis pada sapi perah. Bagian luar
juga terdapat puting atau biasa disebut teat meatus yang berfungsi sebagai saluran pengeluaran susu setelah
susu ditampung pada teat cistern. Hal ini sesuai dengan pendapat Blakely dan Bade (1994) yang menyatakan
bahwa ambing terbagi menjadi empat kuartir yang masing-masing berfungsi memproduksi susu secara mandiri.
Sangbara (2011) menambahkan bahwa ambing sapi perah terbagi menjadi dua bagian yaitu ambing kiri dan
ambing kanan yang oleh membrane yang tebal yang disebut medial suspensory ligament. Ambing kiri dan kanan
masing-masing terbagi menjadi dua kuartir yaitu kuartir depan dan kuartir belakang yang setiap kuartir mempunyai
satu puting susu.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil bahwa bagian-bagian interior ambing terdiri dari
alveoli, lumen, myoepithel, gland cistern, teat cistern, annular fold, streak canal dan teat meatus. Alveoli berfungsi
sebagai struktur utama penghasil susu, kumpulan dari alveoli disebut lobulus, dan lobulus yang bersatu disebut
lobus. Lumen berfungsi sebagai tempat awal penampungan susu, setelah ditampung pada lumen susu kemudian
ditampung pada gland cistern,dan sebelum dikeluarkan melalui puting susu terakhir ditampung pada teat
cistern.Myoepithel berfungsi untuk menyerap nutrisi dari darah menuju sel sekretoris ambing. Annular foldmengatur
terbuka dan tertutupnya teat meatus sebagai tempat keluarnya susu. Hal ini sesuai dengan pendapat Blakely dan
Bade (1994) yang menyatakan bahwa susu disekresikan oleh unit sekretoris yang disebut alveoli, alveoli terdiri dari
suatu lapis dalam sel-sel epitel yang menyelubungi suatu rongga yang disebut lumen. Sel epitel menyerap zat-zat
darah dan mensintesisnya menjadi susu.
Pembentukan susu dan biosintesis susu pada ambing diproduksi di alveoli oleh kelenjar susu. Hal ini sesuai
dengan pendapat Rusdiana dan Sejati (2009) yang menyatakan bahwa di dalam ambing terdapat kumpulan alveoli
yang memiliki kemampuan untuk memproduksi susu. Susu yang diproduksi alveoli akan meningkat apabila ambing
dalam keadaan kosong, sebaliknya susu yang diproduksi alveoli akan menurun apabila ambing telah terisi penuh.
Biosintesis susu yang terjadi pada ambing meliputi biosintesis protein, lemak dan laktosa. Hal ini sesuai dengan
pendapat Aisyah (2011) yang menyatakan biosintesis susu meliputi sintesis protein, sintesis lemak dan sintesis
laktosa. Bahan baku untuk sintesis protein adalah asam amino bebas, plasma protein, dan peptide. Protein susu
disintesis oleh ambing, sedangkan untuk pembentukannya merupakan dari penggabungan-penggabungan asam
amino. Proses sintesis air susu terjadi pada sekretoris bagian ribosom dikontrol oleh gen-gen yang mengandung
bahan genetik (DNA). Sintesis protein meliputi 3 proses yaitu replikasi DNA, transkripsi DNA menjadi RNA dan
translasi RNA menjadi protein. Musnandar (2011) menambahkan pencernaan selulosa dan hemiselulosa yang
banyak terdapat pada hijauan, paling banyak diproduksi oleh mikroba rumen adalah asam asetat dan kemudian
asam propionat. Asam asetat langsung dapat digunakan oleh kelenjar susu untuk sintesis asam lemak susu. Tiga
puluh dua persen dari asam propionat yang diproduksi di rumen digunakan untuk sintesis glukosa.
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan

Fisiologi lingkungan akan berpengaruh pada fisiologi ternak. Lingkungan yang panas membuat ternak tidak
nyaman sehingga mempengaruhi keadaan fisiologisnya yang berpengaruh terhadap produksi susu baik kualitas
maupun kuantitasnya. Aspek lain selain fisiologi lingkungan dan fisiologi ternak, perkandangan yang baik akan
memberikan kenyamanan bagi ternak sehingga produktivitas ternak dapat maksimal. Berat jenis susu menentukan
kualitas baik buruknya susu.
5.2. Saran
Praktikum yang dilakukan seharusnya preparat ambing yang digunakan diperbanyak sehingga praktikan dapat
lebih mengerti tentang anatomi ambing, sanitasi kandang perlu ditingkatakan lagi, agar produksi sapi perah dapat
meningkat. Waktu praktikum di laboratorium diperpanjang sehingga materi anatomi biologis ambing dan berat jenis
susu dapat tersampaikan seluruhnya.
DAFTAR PUSTAKA

Affandi, A. A. 2009. Pengaruh umur terhadap heat tolerance coeefficient dan pertambahan bobot

badan dengan pemberian pakan serat kasar rendah pada sapi PFH jantan (Peranakan Friesian Hollstain jantan).
Universitas Brawijaya, Malang. (Skripsi).
Aisyah, S. 2011. Tingkat produksi susu dan kesehatan sapi perah dengan pemberian Aloe barbadensis miller. J.
GAMMA 7 (1):50 - 60.
Akoso, B.T. 2008. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.
Anderson, B. E. 1983. Temperature Regulation and Environmental Physiology. In: Dukes Physiology of Domestic
Animal. 10th ed. M. J. Swenson (Ed). Cornell Univ. Press. P. 719 - 726.
Arnold, J. Palulungan, Adiarto, dan Tetik Hartatik. 2013. Pengaruh Kombinasi Pengkabutan dan Kipas Angin
Terhadap Kondisi Fisiologis Sapi Perah Peranakan Friesian Holland. J. Buletin Peternakan 37 (3): 189 197.
Blakely, J dan Bade, D. H. 1994. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh
Ir. Bambang Srigondo, MSc dan Dr. drh. Soedarsono, MS).
Budianto, A. 2012. Respon Pertumbuhan Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) Jantan Terhadap Pemberian
Berbagai Aras Ampas Bir dalam Pakan Konsentrat. Universitas Diponegoro, Semarang. (Tesis)
Churng-faung lee. 2002. Feeding management and strategies for lactating dairy cows under heat stress.
International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute
(TLRI-COA) August 26th 31th, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.
Dewan Standarisasi Nasional. 1998. SNI 01.,.3141. Metode Pengujian Susu Segar. Badan Standarisasi
Nasional. Jakarta. Dalam Utomo, B dan Miranti, D. P. 2010. Tampilan produksi susu sapi perah yang mendapat
perbaikan manajeman pemeliharaan. Caraka Tani. 25 (1) : 55-67.
Embertson, M. N. M., P. H. Robinson, J. G. Fadel and F. M. Mitloehner. 2009.Effects of shade and sprinklers
on performance, behavior, physiology,and the environment of heifers. J. Dairy Sci. 92 : 506 517.
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi ke-4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
(Diterjemahkan oleh Bambang Srigandono dan Praseno K)
Frandson, R. D., W. L. Wilke and A. D. Fails. 2009. Anatomy and Physiology of Farm Animals.Wiley-Blckwell,
Lowa.
Indrijani, H dan Anang, A. 2002. Evaluasi genetic produksi susu pada sapi perah dengan model regresi tetap. J.
Ilmu Ternak. 1 : 45 - 50
Ismanto, Toto., S. Utami dan H. A. Suratim. 2013. Pengaruh lama penyimpanan dalam refrigator terhadap
viskositas susu kambing pasteurisasi. J. Ilmiah Peterakan. 1 (1) : 69 - 78.
Lawrence T.L.J. and Fowler. V. R. 2002. Growth of Farm Animals. CABI Publishing. Oxfordshire.
Legowo, A. M., Kusrahayu dan Mulyani, Sri. 2009. Ilmu dan Teknologi Susu. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang.
Makin, M. 2011. Tata Laksana Peternakan Sapi Perah. Graha Ilmu, Yogyakarta.

10

Mardalena, 2008. Pengaruh wakru pemerahan dan tingkat laktasi terhadap kualitas susu sapi perah peranakan
Fries
Holstein.
J.
Ilmiah
Ilmu-ilmu
Peternakan
11(3) : 107 111.
Miskiyah. 2011. Kajian standar nasional Indonesia susu cair di Indonesia. J. Standarisasi 13 (1): 88 - 98
Mukhtar, A. 1997. Ilmu Produksi Ternak Perah. Universitas Sebelas Maret Press, Surakarta.
Muljana, B. A. 1987. Pemeliharaan dan Kegunaan Ternak Perah. Aneka Ilmu, Semarang.
Musnandar, E. 2011. Efisiensi energi pada sapi perah Holstein yang diberi berbagai imbangan rumput dan
konsentrat. J. Penelitian Universitas Jambi Seri Sains 13 (2): 53 - 58.

Nainggolan, Y. D. A. 2013. Studi Eksploratif Upaya Kesehatan Sapi Potong Peranakan Ongole (PO) oleh Peternak
Di Kecamatan Halongonan Kabupaten Padang Lawas Utara Sumatera Utara. Institut Pertanian Bogor. (Skripsi).
Nena, H. 2005 Pendugaan nilai pemuliaan produksi susu sapi Fries Holland berdasarkan catatan bulan tunggal
kumulatif di Taurus Dairy Farm. J. Ilmu Ternak 5 (2) : 80 87.
Nelson, M. G. 2010. The Complete Guide to Smallscale Farming: EverythingYou Need to Know about Raising
Beef and Dairy Cattle, Rabbits, Ducks,and Other Small Animals. Atlantic Publishing Company, Florida
Nurliyani. 2003. Komposisi kimia dan profil protein susu kuda pada SDS page ( Sodium Dodecyl
Sulfate Polyacrylamide Gel Electrophoresis) J. Buletin Peternakan 27 (2) : 86 93.
Nurhadi, M. 2010. Dimensi sosiologis dalam upaya meningkatkan kualitas susu sapi perah (Studi Kasus di KUD
Jatinom,
Kabupaten
Klaten).
Jurnal
Sosiologi.
25 (2): 79 90.
.
Palulungan, J. A., Adiarto dan Hartatik. T. 2013. Pengaruh kombinasi pengkabutan dan kipas angin terhadap
kondisi fisiologis sapi perah Peranakan Friesian Holstein. Buletin Peternakan. 37 (3) : 189 197.
Prasetya H. 2012. Prospek Cerah Beternak Sapi Perah. Pustaka Baru Press. Sleman Yogyakarta:
Pujiati, S. R. dan T. H. Indrianto. 2009. Perbedaan kandungan bakteriologis susu segar ditinjau dari pemakaian
desinfektan dan tanpa desinfektan pada ambing sapi sebelum pemerahan. J. IKESMA 5 (1) : 31 - 45
Robichaud, M.V., A. M. de Passill, D. Pellerin and J. Rushen. 2011. When and where do dairy cows defecate
and urinate. J. Dairy Sci. 94:4889 4896.
Rumetor, S.D. 2003. Stres Panas Pada Sapi Perah Laktasi. Makalah Falsafah Sains. Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rusdiana, S dan W. K. Sejati. 2009. Upaya pengembangan agribisnis sapi perah dan peningkatan produksi susu
melalui pemberdayaan koperasi susu. J. Forum Penelitian Agro Ekonomi 27(1): 43 51.
Sangbara, Y. 2011. Pengaruh Periode Laktasi Terhadap Produksi Susu Pada Sapi Perah Fries Holland di
Kabupaten Enrekang. Universitas Hasanuddin, Makasar. (Skripsi)
Sawitri M.E. 2012. Kajian konsentrasi kefir grain dan lama simpan dalam refrigerator terhadap kualitas kimiawi
kefir rendah lemak. Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan. 2 (1): 89 - 99.
Siregar, S. B. 1996. Konsep Peraturan Makanan Ternak Tentang Standar Makanan Sapi Perah. Usaha Angkasa,
Bandung.

11

Soetarno, T. 2003.
Yogyakarta.

Manajemen Budidaya Sapi Perah.

Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada,

Suherman, D., B. P.Purwanto., W. Manalu dan Permana. 2013. Simulasi artificial network untuk menentukan suhu
kritis pada sapi perah Fries Hollamd berdasarkan respon fisiologis. J. ITV 18 (1): 70 - 80.
Supriyati. 2008. Pengaruh suplementasi probiotik dalam peningkatan produksi dan kualitas susu sapi perah di
tingkat peternak. Prosiding Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. Puslitbangnak
bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia. Jakarta.
Sutopo. 2001. Pengaruh Pemberian PMSG Terhadap Pertumbuhan Ambing Ban Prqeiiukse Susu Pada Sapi Perah.
Universitas Diponegoro, Semarang. (Tesis)
Syarif dan H. Bagus. 2011. Beternak dan Bisnis Sapi Perah. PT. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Talib, C. H., T. Sugiarti and A. R. Siregar. 2002. Friesian Holstein and their adaptability to the tropical environment
in Indonesia. International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock
Research Institute (TLRI-COA) August 26th 31th, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.
Utomo. B., D. P. Miranti., dan G. C. Intan. 2009. Kajian Termoregulasi Sapi Perah Periode Laktasi dengan Introduksi
Teknologi Peningkatan Kualitas Pakan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 263 268.
Utomo, B dan D. P. Miranti. 2010. Tampilan produksi susu sapi perah yang mendapat perbaikan manajeman
pemeliharaan. Caraka Tani. 25 (1): 55 - 67.
Vaughan Alison, Anne Marie de Passill, Joseph Stookey, and Jeffrey Rushen. 2014. Urination and defecation by
group-housed dairy calves. J. DairySci. 97: 1 7
Wardyaningrum, D. 2011. Tingkat kognisi tentang konsumsi susu pada ibu peternak sapi perah Lembang Jawa
Barat. J. Al Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial. 1 (1) : 19 26.
Winarso, D. 2008. Hubungan kualitas susu dengan keragaman genetik dan prevalensi mastitis subklinis di daerah
jalur susu Malang sampai Pasuruan. J. Sain Vet. 26 (2): 58 - 65.
Yani, A. dan Purwanto. B., P. 2006. Pengaruh iklim mikro terhadap respons fisiologis sapi peranakan friesian
Holstein dan modifikasi lingkungan untuk meningkatkan produktivitasnya. J. Media Peternakan 29 (1): 35 46.
Yani, A., Suhardiyanto., H. Hasbullah dan B. P. Purwanto. 2007. Analisis dan simulasi distribusi suhu udara pada
kandang sapi perah menggunakan Computational Fluid Dinamics (CFD). J. Media Peternakan 3 (3): 218 228.

12

Anda mungkin juga menyukai