Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PRAKTIKUM

FISIOLOGI DAN TEKNOLOGI PASCAPANEN

ACARA IV
PENGARUH PELAYUAN DAGING TERHADAP KUALITAS FISIK
DAGING

KELOMPOK 6
Penanggung Jawab:
Laila Sausan El Islami (A1F016070)

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Daging segar merupakan daging yang telah mengalami perubahan fisik dan

kimia setelah proses pemotongan tetapi belum mengalami pengolahan lebih lanjut

seperti pembekuan, penggaraman (curing), pengasapan (smoking) dan lain

sebagainya.

Bahan pangan hasil hewani pada umumnya tidak mempunyai daya tahan

atau daya simpan yang lama terutama apabila bahan tersebut dalam keadaan

segar, pada umunya bersifat lunak tidak tahan pada tekanan dan hambatan tetapi

merupakan sumber protein dan lemak. Sifat daging segar ini sangat penting

diketahuai oleh penjual daging, pengusaha dalam pengolahan daging dan

konsumen sifat-sifat yang perlu diketahuai terutama diantaranya adalah PH

daging, daya mengikat air (DIA), susut masak dan keempukan.

Penanngnana yang salah di dalam pengelolaan daging segar akan

berdampak pada kualitas dan kuantitas daging. Daging yang akan dikirim baik itu

luar daerah maunpun ekspor/impor mendapat penanganan khusus seperti

pengawetan menggunakan pembekuan. Pembekuan ini bertujauan untuk

mencegah bakteri/ mikroba masuk di dalam daging.

Daging yang dikonsumsi diharapkan mempunyai kualitas serta layak untuk

dikonsumsi. Adapun parameter yang dijadikan tolak ukur untuk mengetahui

kualitas dari daging yakni : warna, daya ikat air, pH, keempukan , susut masak,

aroma dll. Komponen-komponen tersebut mempunyai hubungan satu sama


lainnya. Namun yang menjadi objek pengamatan disini adalah empat komponen

saja meskipun pada dasarnya semua komponen tersebut penting untuk kita

ketahui.

Semua komponen di atas, saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama

lainnya. Jika PH tinggi maka akan terjadi penaikan tingkat keempukan serta daya

ikat air sebaliknya susut masak mengalami penurunan.

B. Tujuan

Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelayuan daging terhadap


kualitas fisik daging.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Daging adalah salah satu komoditi pertanian yang dibutuhkan untuk

memenuhi kebutuhan tubuh akan zat gizi protein, dimana protein daging

mengandung susunan asam amino yang lengkap (Muchtadi et al. 2010). Menurut

Food and Drug Administration, pengertian daging adalah bagian tubuh yang

berasal dari ternak sapi, babi, atau domba yang dalam keadaan sehat dan cukup

umur untuk dipotong, tetapi hanya terbatas pada bagian muskulus yang berserat,

yaitu yang berasal dari muskulus skeletal atau lidah, diafragma, jantung dan

esofagus, tidak termasuk bibir, moncong, telinga, dengan atau tanpa lemak yang

menyertainya, serta bagian-bagian dari tulang, urat, urat syaraf, dan pembuluh-

pembuluh darah. Istilah daging umumnya dibedakan dari karkas. Perbedaannya

yaitu daging sudah tidak mengandung tulang, sedangkan karkas adalah daging

yang masih menempel pada tulang atau kerangkanya. Pengertian karkas itu

sendiri adalah bagian tubuh hewan yang telah disembelih, utuh, atau dibelah

sepanjang tulang belakang, dimana hanya kepala, kaki, kulit, organ bagian dalam

(jeroan), dan ekor yang dipisahkan (Muchtadi et al. 2010).

Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan

gizi. Selain mutu proteinnya yang tinggi, daging mengandung asam amino

esensial yang lengkap dan seimbang serta beberapa jenis mineral dan vitamin.

Daging merupakan protein hewani yang lebih mudah dicerna dibanding dengan

protein nabati. Bagian yang terpenting yang menjadi acuan konsumen dalam

pemilihan daging adalah sifat fisik. Sifat fisik dalam hal ini antara lain warna,
keempukan, tekstur, kekenyalan dan kebasahan. Sifat fisik memegang peranan

penting dalam proses pengolahan dikarenakan sifat fisik menentu-kan kualitas

serta jenis olahan yang akan dibuat. Sifat fisik sangat dipengaruhi oleh faktor-

faktor sebelum pemotongan dan setelah pemotongan. Faktor penting sebelum

pemotongan adalah perlakuan istirahat yang dapat menentukan tingkat cekaman

(stress) pada ternak (Komariah et al. 2009).

Daging tersusun oleh beberapa komponen yaitu otot, jaringan ikat, jaringan

epitel, jaringan-jaringan saraf, pembuluh darah dan lemak. Namun, komponen

penyusun utama dari daging yaitu otot (Soeparno 2005). Daging hewan terdiri

dari komponen-komponen fisik berupa kulit, jaringan otot, jaringan lemak,

jaringan ikat, tulang, pembuluh darah, dan syaraf. Pada karkas, jaringan yang

tampak adalah jaringan otot, jaringan lemak, dan jaringan ikat.

Jaringan otot merupakan jaringan dengan komponen terbesar, yaitu 35-65%

pada karkadsdan 35-40% pada hewan hidup. Terdiri dari jaringan otot lurik

(menempel pada rangka), jaringan otot polos (pada dinding jeroan), dan jaringan

otot spesial (pada dinding jantung). Jaringan otot rangka merupakan bagian

terpenting dari karkas, terkelompok dalam suatu jaringan yang disebut epimisium.

Setiap otot tersusun dari “bundel otot” yang disebut perimisium, yang terdiri atas

serabut otot (muscle fiber). Ukuran perimisium bervariasi, bila sapi diberi pangan

berupa biji-bijian berkualitas baik, perimisiumnya akan kecil. Serabut otot terdiri

dari miofibril-miofibril yang dikelilingi oleh sarkoplasma dan dilindungi

sarkolema. Miofibril terdiri dari serabut-serabut yang lebih halus, disebut


miofilamen. Miofilamen itu sendiri terdiri dari filamen aktin (tipis) dan filamen

miosin (tebal) yang berperan dalam proses kontraksi dan relaksasi otot.

Menurut Aberle et al. (2001), ternak yang tidak diistirahatkan akan meng-

hasilkan daging yang berwarna gelap, bertekstur keras, kering, memiliki nilai pH

tinggi dan daya mengikat air tinggi. Faktor penting setelah pemotongan yang

berpengaruh pada kualitas daging adalah pelayuan. Pelayuan daging akan

berpengaruh pada keempukan, flavor dan daya mengikat air. Faktor-faktor

tersebut sangat berkaitan dengan waktu postmortem atau waktu setelah

pemotongan. Setelah rigor mortis selesai, daging sapi menjadi lebih empuk.

Penyimpanan daging dalam alat pendingin dikenal dengan istilah pelayuan.

Peningkatan keempukan saat pelayuan disebabkan oleh perubahan enzimatis

dalam otot. Peningkatan keempukan daging sapi berlanjut kira-kira 7-10 hari

setelah ternak dipotong pada penyimpanan suhu sekitar 35°F. Pemanasan daging

pada suhu tinggi tidak akan mengempukkan daging dan menyebabkan off-

flavor/kehilangan aroma.

Pelayuan dilakukan antara proses pendinginan dan pembekuan (freezing).

Tujuan pelayuan adalah untuk memberi kesempatan terhadap berlangsungnya

reaksi-reaksi kimiawi di dalam daging, sehingga daging akan memiliki mutu yang

optimum, karena daging memiliki keempukan yang sangat baik, serta memiliki

cita rasa dan aroma yang lebih baik. Selama pelayuan (aging/conditioning) terjadi

proses post rigor yang menyebabkan peningkatan aktivitas enzim proteolitik yang

menyebabkan peningkatan keempukan dan cira rasa (flavor) daging. Pelayuan

pada daging sapi dapat dilakukan pada temperatur 4 ºC selama 12 hari atau pada
temperatur kamar (29 ºC) selama 8 – 12 jam, selama proses tersebut terjadi

perubahan secara sempurna dari otot menjadi daging (Lukman et al. 2007).

Pada fase rigor mortis jaringan otot menjadi keras dan kaku. Fase ini sangat

tergantung pada kondisi penyimpanan. Penyimpanan pada suhu rendah dapat

menyebabkan fase rigor mortis berlangsung cukup lama. Sedangkan fase

pascarigor adalah fase pembentukan aroma, pada fase ini daging kembali menjadi

lunak dan empuk karena daya ikat air dalam otot kembali meningkat. Lama

pelayuan daging berhubungan dengan selesainya proses rigor mortis (proses

kekakuan daging), dalam hal ini apabila proses rigor mortis belum selesai dan

daging terlanjur dibekukan maka akan menurunkan kualitas daging atau daging

mengalami proses cold-shortening (pengkerutan dingin) ataupun thaw rigor

(kekakuan akibat pencairan daging) pada saat thawing sehingga akan

menghasilkan daging yang tidak empuk (alot) (Abustam, 2009).


III. METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan

1. Ikan

2. Daging

3. Nampan styrofoam

4. Timbangan

5. Hardness tester

6. Pisau

7. Talenan

8. Freezer

9. Baskom

10. Plastik vacuum

11. Vacuum sealer

12. Penutup saji

B. Prosedur Kerja

Kontrol

Ditimbang bahan dan diletakan di atas nampan styrofoam yang telah diketahui
beratnya, lalu diamati bau,warna,dan kekerasan

Disimpan pada suhu kamar.


Diamati sifat sensoris dan susut bobotnya

Pelayuan 18 jam
Ditimbang bahan dan diletakan di atas nampan styrofoam yang telah diketahui
beratnya.

Disimpan dalam freezer pada titik beku selama 18 jam

Diamati sifat sensoris dan susut bobotnya

Pelayuan 24 jam
Ditimbang bahan dan diletakan di atas nampan styrofoam yang telah diketahui
beratnya.

Disimpan dalam freezer pada titik beku selama 24 jam

Diamati sifat sensoris dan susut bobotnya


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Daging

Perlakuan Kontrol
Bau Warna Kekerasan Hadrness
(kg/cm2)

Sebelum Khas daging Merah Agak keras 0,9


Penyimpanan segar kecoklatan

Setelah Sangat busuk Cokelat Tidak keras 1,4


Penyimpanan

Perlakuan Pelayuan 18 jam


Bau Warna Kekerasan Hadrness
(kg/cm2)

Sebelum Khas daging Merah Sangat keras 0,3


Penyimpanan segar

Setelah Khas daging Merah Agak keras 2,4


Penyimpanan segar

Perlakuan Pelayuan 24 jam


Bau Warna Kekerasan Hadrness
(kg/cm2)

Sebelum Khas daging Merah Agak keras 0,3


Penyimpanan segar kecoklatan
Setelah Sedikit khas Coklat Tidak keras 0,7
Penyimpanan

Keterangan :

Bau: Warna daging: Tekstur:

1: Khas daging segar 1: Merah 1:Sangat keras

2: Agak khas 2: Merak kecoklatan 2: Keras

3: Sedikit khas 3: Coklat 3: Agak keras

4: Sangat busuk 4: Coklat kehitaman 4: Tidak keras

5: Sangat busuk 5: Hitam 5: Sangat tidak keras

1. Susut Bobot

Perlakuan Kontrol Pelayuan 18 jam Pelayuan 24 jam


Berat Berat Susut Berat Berat Susut Berat Berat Susut
awal akhir bobot awal akhir bobot awal akhir bobot
(g) (g) (%) (g) (g) (%) (g) (g) (%)

Sebelum 50 50 0 50 50 0 50 50 0
Penyimpanan

Setelah 50 46 8 50 51 -2 50 51 -2
Penyimpanan

Penghitungan susut bobot :

1. Susut bobot pelayuan kontrol

a. Susut bobot kontrol sebelum penyimpanan

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟


Susut bobot = x 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙
50−50
= x 100 %
50

0
= 50 x 100 %

=0

b. Susut bobot kontrol sesudah penyimpanan

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟


Susut bobot = x 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙

50−46
= x 100 %
50

4
= 50 x 100 %

= 0,08 x 100 %

=8%

2. Susut bobot pelayuan freezing 18 jam

a. Susut bobot pelayuan 18 jam sebelum penyimpanan

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟


Susut bobot = x 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙

50−50
= x 100 %
50

0
= 50 x 100 %

=0

b. Susut bobot pelayuan freezing 18 jm sesudah penyimpanan

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟


Susut bobot = x 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙

50−51
= x 100 %
50

−1
= 50 x 100 %

= - 0,02 x 100 %
= -2 %

3. Susut bobot pelayuan freezing 24 jam

a. Susut bobot pelayuan 24 jam sebelum penyimpanan

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟


Susut bobot = x 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙

50−50
= x 100 %
50

0
= x 100 %
50

=0

b. Susut bobot pelayuan freezing 24 jam sesudah penyimpanan

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟


Susut bobot = x 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙

50−51
= x 100 %
50

−1
= 50 x 100 %

= - 0,02 x 100 %

= -2 %
B. Pembahasan

Pada pembahasan praktikum kali ini akan membahas pengaruh pelayuan

daging terhadap kualitas fisik daging sapi dimulai dengan menimbang daging dan

meletakannya di atas styrofoam. Kemudian daging disimpan di dalam kulkas,

disisi lain dilakukan pula daging yang diletakkan pada suhu kamar sebagai

pembanding.

Karakteristik fisik daging dapat dilihat dari aroma/bau, warna, dan tekstur.

Pada perlakuan kontrol (suhu ruang) Aroma yag diperoleh dari daging sapi

sebelum penyimpanan adalah aroma khas daging sapi tetapi setelah dilakukan

penyimpanan di suhu ruang (kontrol) aroma daging sapi berubah menjadi sangat

busuk. . Menurut komariah (2008), daging yang segar memiliki aroma khas.

Apabila daging sudah rusak akan tercium bau yang tidak sedap. Bau ini

dikarenakan adanya aktivitas mikroba, reaksi kimia, atau kombinasi keduanya.

Kebusukan akan kerusakan yang terjadi pada daging ditandai oleh terbentuknya

senyawa-senyawa berbau busuk seperti amonia, H2S, indol, dan amin, yang

merupakan hasil pemecahan protein oleh mikroorganisme. Seluruh senyawa

tersebut dihasilkan oleh reaksi-reaksi kimia yang menyebabkan ransiditas

oksidatif lemak dan menghasilkan aldehida, asam–asam lemak bebas dan keton

yang selanjutnya menyebabkan bau. Terjadinya proses tersebut sangat

dipengaruhi oleh ada tidaknya oksigen dan kontak daging dengan oksigen. Selain

penyebab tersebut bau pada daging juga disebebkan oleh faktor internal seperti

spesies, umur, pH perubahan selama penyimpangan, serta faktor ekstrinsik yang

meliputi pemerosesan dan makanan.


Warna yang diperoleh dari daging sapi sebelum penyimpanan adalah

merah kecoklatan, tetapi setelah dilakukan penyimpanan di suhu ruang (kontrol)

warna daging sapi berubah cokelat. Menurut literatur, perubahan warna daging

dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya oksigen di mana daging yang

kontak langsung dengan udara, mioglobin dan oksigen dalam daging akan

bereaksi membentuk ferrousoxymioglobin (OxyMb) sehingga daging akan

berwarna merah cerah. Apabila waktu kontak antara mioglobin dengan oksigen

berlangsung lama, maka akan terjadi oksidasi membentuk ferricmetmyoglobin

(MetMb), sehingga daging berwarna coklat dan tidak menarik.

Kekerasan yang diperoleh pada daging sapi sebelum penyimpanan adalah

agak keras, tetapi setelah dilakukan penyimpanan di suhu ruang (kontrol)

kekerasan daging sapi berubah menjadi tidak keras hal ini dikarenakan oleh

semakin lama daging disimpan dalam suhu ruang maka semakin banyak bakteri

yang terkandung didalamnya, sehingga dapat memecah struktur dari tekstur

daging tersebut. Perubahan tekstur yang menjadi lebih lembek dan berlendir

karena banyaknya bakteri yang terkandung selama penyimpanan suhu ruang

sehingga mempengaruhi tekstur daging sapi tersebut.

Hardness yang diperoleh pada daging sapi sebelum di simpan adalah 0,9

kg/cm2 , tetapi setelah dilakukan penyimpanan di suhu ruang (kontrol) hardness

daging sapi meningkat menjadi 1,4 kg/cm2 hal ini menandakan bahwa kekerasan

daging semakin lembek, karena semakin tinggi hardness semakin menurun

tekstur daging.
Pada penyimpanan dengan pelayuan 18 jam aroma/bau yang diperoleh dari

daging sapi sebelum penyimpanan adalah khas daging segar dan setelah dilakukan

penyimpanan dengan pelayuan 18 jam aroma/bau daging masih tetap khas daging

segar hal ini disebabkan karena

Warna yang diperoleh dari daging sapi sebelum penyimpanan dengan

pelayuan 18 jam adalah merah kecoklatan tetapi setelah dilakukan penyimpanan

dengan pelayan 18 jam warna daging sapi berubah menjadi merah hal ini

dikarenakan kadar mioglobin yang tinggi dalam daging mempengaruhi derajat

warna merah daging. Kadar mioglobin ini bervariasi menurut spesies, umur, jenis

kelamin, jenis otot dan aktivitas fisik. kandungan mioglobin ini menyebabkan

warna daging sapi terlihat lebih merah

Kekerasan yang diperoleh pada daging sapi sebelum penyimpanan dengan

pelayuan 18 jam adalah sangat keras, tetapi setelah dilakukan penyimpanan

dengan pelayuan 18 jam tingkat kekerasan daging sapi berubah menjadi agak

keras hal ini disebabkan karena menurut Tobing (2012), tekstur daging dari seekor

ternak dipengaruhi oleh ikatan serabut otot (faskuli) yang terbungkus perimisium

kasar dan lembut. Ukuran tekstur ditentukan oleh jumlah serabut otot, ukuran dan

jumlah perimisium pembungkus. Tekstur otot menunjukkan ukuran ikatan-ikatan

serabut otot yang dibatasi oleh jaringan ikat yang membagi otot secara

longitudinal. Menurut Komariah (2008), secara fisik daging yang baik akan

terlihat lebih elastis, sedikit kaku, dan tidak lembek. Pada daging terdapat

perbedaan ketegaran antara daging yang sudah mengalami pelayuan dengan

daging yang tidak mengalami pelayuan. Dalam proses pelayuan terjadi proses
setting up yaitu penambahan ketegaran yang menyebabkan daging menjadi lebih

kaku dan kenyal jika diraba.pada pelayuan 18 jam ada kesalahan karena tidak

dilakukan thawing jadi data belum valid

Hardness daging sapi sebelum penyimpanan pelayuan 18 jam adalah 0,3

kg/cm2 , tetapi setelah dilakukan penyimpanan dengan pelayuan 18 jam hardness

daging sapi berubah menjadi 2,4 kg/cm2, Hal ini menandakan bahwa tingkat

kekerasan daging semakin lembek atau tidak keras. Karena semakin tinggi tingkat

hardness daging sapi semakin menurun kualitas tekstur daging.

Pada penyimpanan dengan pelayuan 24 jam aroma/bau yang diperoleh dari daging

sapi sebelum penyimpanan adalah khas daging segar, tetapi setelah dilakukan

penyimpanan dengan pelayuan selama 24 jam aroma/bau daging sapi berubah

menjadi sedikit khas hal ini dikarenakan oleh Aktifitas mikroba selama

penyimpanan yang mengakibatkan terjadinya dekomposisi senyawa kimia yang

dikandung daging, khususnya protein akan dipecah menjadi senyawa yang lebih

sederhana dan apabila proses ini berlanjut terus akan menghasilkan senyawa yang

berbau busuk, seperti indol, skatol, merkaptan, amin-amin dan H2S (White, 1972;

Frazier dan Westhoff, 1981)

Warna yang diperoleh dari daging sapi sebelum penyimpanan dengan

pelayuan 24 jam adalah merah kecoklatan, tetapi setelah dilakukan penyimpanan

dengan pelayuan 24 jam warna daging sapi berubah menjadi cokelat, Timbulnya

warna coklat ini menandakan daging telah terlalu lama terkena udara bebas

sehingga mengalami proses oksidasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi

konsentrasi mioglobin adalah spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, pakan,


cekaman (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen. Warna daging sapi

normal adalah merah cerah. Hal ini disebabkan karena kandungan mioglobin pada

daging sapi yang baru dipotong berwarna merah ungu dan akan berubah menjadi

lebih terang jika daging dibiarkan terkena oksigen. Tingkat kecerahan warna

ditentukan oleh tebalnya oksimioglobin di permukaan atau daerah oksigen.

Bagian ini lebih banyak terjadi pada suhu rendah dan lebih kecil pada suhu tinggi.

Oleh karena itu, daging menjadi lebih gelap bila disimpan dalam lemari pendingin

karena meningkatnya oksigen dalam daging.

Kekerasan pada daging sapi sebelum penyimpanan adalah agak keras, tetapi

setelah dilakukan penyimpanan dengan pelayuan 24 jam kekerasan daging sapi

berubah mejadi tidak keras hal ini disebabkan Selama pelayuan, terjadi aktivitas

enzim yang mampu menguraikan tenunan ikat daging dan terjadi perubahan-

perubahan pada protein intra dan ekstra seluler sehingga proses autolisis pada

daging, sehingga menjadi lebih dapat mengikat air, bersifat lebih empuk, dan

memiliki flavor yang lebih kuat.

Hardness yang diperoleh sebelum penyimpanan dengan pelayuan adala 0,3

kg/cm2 , tetapi setelah dilakukan penyimpanan dengan pelayuan 24 jam hardness

daging meningkat menjadi 0,7 kg/cm2 hal ini meandakan bahwa tingkat kekerasan

daging sapi semakin lembek atau tidak keras. Karena semakin tinggi hardness

daging sapi semakin menurun kualitas tekstur daging.

Pada penyimpanan suhu dingin, warna daging sapi menjadi merah

kehitam-hitaman. Perubahan warna ini menunjukkan bahwa daging mengalami

chiilling injury yakni kerusakan akibat pendinginan. Kerusakan dingin ini dapat
menurunkan mutu produk dan memperpendek masa simpan. Perubahan warna

pada daging terjadi karena pigmen pada daging yaitu mioglobin mengalami

oksidasi. Aroma bau amis pada daging berkurang setelah disimpan dalam suhu

ruang selama satu hari, namun aroma bau amis tersebut menjadi semakin

menyengat ketika pendinginan setelah enam hari. Bau amis pada daging

disebabkan oleh bakteri yang terkandung pada daging. Semakin lama daging

disimpan di dalam pendingin maka kesegarannya semakin berkurang. Tekstur

daging sebelum pennyimpanan adalah kenyal dan lunak , setelah penyimpanan

dalam suhu ruang berubah menjadi agak keras. Hal ini disebabkan oleh daging

yang kehilangan air karena pH dalam lemari es rendah. Akibatnya, terjadi

pengerutan/layu, pengeringan, pengerasan, susut bobot dan lain-lain dan mudah

sekali melepaskan bau atau menyerap bau dari dan / ke lingkungannya

(Tjahjadi,2011)

Susut bobot

Pada perlakuan kontrol sebelum penyimpanan diperoleh berat awal dan

berat akhir yang sama yaitu 50 gr, tetapi setelah dilakukan penyimpanan pada

suhu ruang terjadi penyusutan berat menjadi 46 gr dngan susut bobot 8% .

Penurunan bobot tersebut terjadi dikarenakan daging kontak langsung dengan

udara, sehingga terjadi respirasi yang menyebabkan air menguap. Penurunan

bobot tersebut juga menyebabkan susut bobot meningkat.

Pada perlakuan sebelum penyimpanan dengan pelayuan 18 jam dan 24 jam

di peroleh berat awal dan berat akhir 50 gr, tetapi setelah dilakukan penyimpanan

dengan pelayuan 18 jam dan 24 jam diperoleh berat 51 gr dengan susut bobo -2.
Susut bobot merupakan perbedaan (selisih) bobot awal dengan bobot akhir

setelah dimasak. Hasil pengujian susut masak daging menunjukkan bahwa daya

mengikat air daging segar lebih besar dari pada nilai susut masak daging beku.

Hal ini dapat terjadi karena daya mengikat air daging beku lebih tinggi dari pada

daging segar. Semakin tinggi daya mengikat air daging semakin sedikit cairan

yang keluar dari dagiing tersebut. Hal ini mengakibatkan massa dari daging yang

berkurang juga sedikit. Penurunan nilai daya mengikat air juga dapat

meningkatkan nilai susut masak (Jamhari, 2000). Menurut Soeparno (1994),

menyatakan bahwa pada umumnya nilai susut masak daging sapi bervariasi antara

1,5–54,5% dengan kisaran 15–40%. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa

susut masak dari daging petama dan daging kedua, tidak memunjukkan hasil yang

jauh berbeda karena berasal dari ternak yang sama. Beliau juga mengatakan

bahwa susut masak dipengaruhi panjang serabut otot. Semakin panjang serabut

otot suatu daging, maka susut masak semakin rendah, demikian sebaliknya,

semakin pendek serabut otot suatu daging, maka susut masak semakin besar.

Susut masak juga dipengaruhi oleh umur dan bangsa ternak.


V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Karakteristik fisik daging sapi dapat dilihat dari aroma, warna, dan

teksturnya. Aroma daging sapi yang segar adalah wangi khas daging sapi dan

tidak berbau busuk. warna daging sapi yang baik adalah merah, warna merah pada

daging sapi dipengaruhi oleh mioglobin, semakin lama daging disimpan semakin

gelap pula warnanya. Tekstur daging sapi dipengaruhi oleh faktor antemortem

seperti genetik dan termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur,

managemen, jenis kelamin dan stres. Semakin halus teksturnya, maka daging

menjadi empuk.

B. Saran

ketelitian perlu ditingkatkan mengingat pada beberapa praktikum yang telah

dilakukan masih saja ada kesalahan/ketidaksesuaian hasil praktikum dengan

literatur yang ada.


DAFTAR PUSTAKA

Komariah*, Sri Rahayu, dan Sarjito .2009. SIFAT FISIK DAGING SAPI,
KERBAU DAN DOMBA PADA LAMA POSTMORTEM YANG
BERBEDA. Buletin Peternakan Vol. 33(3): 183-189, Oktober 2009.

Aberle, E.D., J.C. Forrest, H.B. Hendrick, M.D. Judge dan R.A. Merkel. 2001.
Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Co., San Fransisco.

Bredahl, L and C. S. Poulsen. 2002. Perception of pork and modern pig breeding
among Danish consumers. Project Paper No.01/02. ISSN 09072101. The
Aarhus School of Business (MAPP). New York.

Soeparno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta :Gramedia.

Muchtadi, dkk. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan CV. Alfabeta. Bogor.

Abustam, E. 2009. Konversi Otot Menjadi Daging.

Lukman DW, Sanjaya AW, Sudarwanto M, Soejoedono RR, Purnawarman


Latif H. 2007. Higiene Pangan. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor.

Usmiati Sri, 2010, Keempukan daging, apa dan bagaimana mendapat daging yang
empuk, Balai penelitian dan pengembangan pasca panen pertanian, Vol.32
No.4

Suryati Tati, Isnafia Irma, Arief, Korelasi dan kategori keempukan daging
bedasarkan hasil pengujian menggunakan alat dan panelis, Fakultas
peternakan IPB, Vol 10.No 3
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai