Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM

FISIOLOGI DAN TEKNIK PASCAPANEN HOLTIKULTURA


Tugas ini dibuat bertujuan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Fisiologi dan Teknik Pascapanen
Holtikultura

Anggota Kelompok 4 :

1. Ni Putu Ely Kusumasari (1411305018)


2. Wahyuni Mawadatin Niklah (1411305019)
3. Komang Suteja Pramana (1411305020)
4. I Gusti Putu Angga Wira Dananjaya (1411305021)
5. I Made Surya Adnyana Putra (1411305022)

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2017
CRISPING

1. Pendahuluan

Produk pasca panen berupa sayuran daun segar sangat diperlukan oleh tubuh manusia
sebagai sumber vitamin dan mineral, namun sangat mudah mengalami kemunduran yang
dicirikan oleh terjadinya proses pelayuaan yang cepat. Banyak laporan menyebutkan bahwa
susut pascapanen relative sangat tinggi yaitu berkisar 40%-50% khusunya terjadi dinegara-
negara sedang berkembang.
Salah satu penyebab terjadinya pelayuan adalah karena adanyan proses transpirasi atau
penguapan air yang tinggi melalui bukaan-bukaan alami seperti stomata, hidatoda, dan
lentisel yang tersedia pada permukaan dari produk sayuran daun tersebut. Kadar air (85-98%)
dan rasio antara luas permukaan dengan berat yang tinggi dari produk memungkinkan laju
penguapan air berlangsung tinggi sehingga proses pelayuan dapat terjadi dengan cepat. Selain
factor internal produk, factor eksternal produk seperti suhu, kelembapan, serta kecepatan
aliran udara berpengaruh terhadap kecepatan pelayuan. Mekanisme membuka dan
menutupnya bukaan-bukaan alami pada permukaan produk seperti stomata dipengaruhi oleh
suhu produk. Pada kondisi dimana suhu poduk relative tinggi maka buka-bukaan alami
cendrung membuka dan sebaliknya pada keadaan suhunya relative rendah maka bukaan
alami mengalami penutupan.
Tingginya kandungan air produk menyebabkan tekanan uap air dalam produk selalu
dalam keadaan tinggi dan bila kelembaban udara atau tekanan uap air diudara rendah maka
akan terjadi deficit tekanan uap air yang menyebabkan perpindahan air dalam produk keudara
sekitarnya. Bila sebaliknya, tekanan uap air diluar lingkungan produk lebih tinggi maka akan
terjadi pergerakan air dari luar kedalam produk. Sangat memungkinkan untuk mendifusikan
air kedalam produk semaksimal mungkin untuk menyegarkan kembali dengan mengatur
tekanan air serta mengendalikan mekanisme membuka dan menutupnya bukaan alami,
dimana proses penyegaran ini dikenal dengan crisping.
Dalam crisping terdapat sebuah warna yaitu RGB adalah suatu model warna yang
terdiri atas 3 buah warna: merah (Red), hijau (Green), dan biru (Blue), yang ditambahkan
dengan berbagai cara untuk menghasilkan bermacam-macam warna. RGB merupakan model
warna yang bergantung kepada peranti: peranti yang berbeda akan mengenali atau
menghasilkan nilai RGB yang berbeda, karena elemen warna (seperti fosfor atau pewarna)
bervariasi dari satu produk ke produk lain, bahkan pada satu peranti setelah waktu yang lama.
RGB juga merupakan model warna aditif, yaitu ketiga berkas cahaya yang ditambahkan
bersama-sama, dengan menambahkan panjang gelombang, untuk membuat spektrum warna
akhir.
RGB juga ada kaitannya dengan CIE (Commission International de l’Eclairage) atau
International Lighting Committee adalah lembaga yang membakukan warna pada tahun
1931. CIE mula-mula menstandarkan panjang gelombang warna-warna pokok sebagai
berikut : (R : 700 nm),(G : 546.1 nm),(B : 435.8 nm). Warna-warna lain dapat dihasilkan
dengan mengkombinasikan ketiga warna pokok tersebut. Model warna yang digunakan
sebagai acuan dinamakan model RGB. RGB bukan satu-satunya warna pokok yang dapat
digunakan untuk menghasilkan kombinasi warna. Warna lain dapat juga digunakan sebagai
warna pokok (misalnya C = Cyan, M = Magenta, dan Y = Yellow). Karena itu CIE
mendefinisikan model warna dengan menggunakan warna-warna fiktif, yang dilambangkan
dengan X, Y, dan Z. Model warna tersebut dinamakan model XYZ.

2. Tujuan Praktikum
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut.
a. Memberikan pemahaman kepada mahasiswa peran penting dari bukaan alami pada
sayuran daun terhadap keluar masuknya air dalam produk.
b. Memberikan pemahaman kepada mahasiswa mekanisme keluar masuknya air dalam
produk dapat dimanfaatkan untuk melakukan proses penampakan segar kembali dari
produk sayuran daun, dikenal sebagai proses crisping.
c. Mahasiswa mampu melaksanakan prosedur crisping dalam meningkatkan mutu fisik
kesegaran dan mutu kesegaran produk sayuran berdaun.

3. Bahan dan Metode


a) Alat-alat yang digunakan :
 Waterbath/ panci,  Sendok,
 Thermometer,  Kompor,
 Timer (stopwach),  Keranjang,
 Kulkas (ruang pendingin),  Ember,
 Pastik bag,  Pisau.
 Tali,
b) Bahan-bahan yang digunakan :
 Sayur hijau
 Air
 Es

c) Prosedur Keja
1) Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2) Pilih sayuran yang akan di gunakan.
3) Potong atau pangkas bagian yang rusak secara fisik, layu fisiologi, dan busuk.
4) Tentukan jumla sampel untuk setiap unit percobaan dan ikat dengan tali raffia atau tali
lainnya.
5) Siapkan air hangat dengan menggunakan waterbath dan suhu air diatur terpisah
berturut-turut 40oC, 50oC, dan 60oC.
6) Celupkan sayuran bahan percobaan dengan dengan lama waktu 1 (satu menit).
7) Siapkan control yaitu sayuran tanpa perlakuan dan tanpa dicelupkan ke air hangat.
8) Segera celupkan sayuran yang telah dicelup ke air hangat dicelupkan kembali ke air
dingin/ air es selama 2 (dua menit).
9) Selanjutnya masukkan sayuran yang telah di rendam air es selama 2 menit di masukkan
ke plastik bag lalu di masukkan kulkas dengan suhu 50c selama 24 jam.
10) Amati mutu secara subjektif meliputi warna,tekstur, dan kenampakan visual secara
keseluruhan dengan menggunakan kreteria dan skala numeric seperti pada tabel.
Pengamatan secara objektif dilakukan terhadap bobot sayuran sebelum dan sesudah di
crisping, serta selama waktu 4 jam di ruang terbuka.
11) Setelah itu lakukan perhitungan presentase dengan rumus:
𝐵𝑏 −𝐵𝑎
PB (%) = × 100 %
𝐵𝑎

Dimana :
PB = Perubahan bobot (%)
Ba = Bobot sebelum crisping
Bb = Bobot setelah crisping
4. Hasil dan Pembahasan

a. Perubahan Bobot Sayur Hijau

Tabel 1. Pengukuran berat dari setiap tahapan proses yang diberlakukan pada sayur hijau.

Perlakuan
Tahapan
40oC 50oC 60oC Kontrol
Awal 83,515 g 89,562 g 62,469 g 65,262 g
Chilling 101,270 g 110, 006 g 75,996 g 48,159 g
4 Jam Pendiaman 89,417 g 94,138 g 66, 848 g 44,990 g

Pengamatan presentase perubahan bobot sayuran:


 Kontrol  Suhu 50oC

𝐵𝑏−𝐵𝑎 𝐵𝑏−𝐵𝑎
PB(%) = 𝑥 100% PB(%)= 𝑥 100%
𝐵𝑎 𝐵𝑎

48,159 − 65,262 110,006 − 89,562


= 𝑥 100% = 𝑥 100%
65,262 89,562
−17,103 20,444
= 𝑥 100% = 𝑥 100%
65,262 89,562

= -26,206% = 22,826%
 Suhu 40oC  Suhu 60oC

𝐵𝑏−𝐵𝑎 𝐵𝑏−𝐵𝑎
PB(%) = 𝑥 100% PB(%) = 𝑥 100%
𝐵𝑎 𝐵𝑎

101,270 − 83,515 75,996 − 62,469


= 𝑥 100% = 𝑥 100%
83,515 62,469
17,755 13,527
= 83,515 𝑥 100% = 62,469 𝑥 100%

= 21,259% = 21,653%

Pada tabel 1 dari praktikum yang telah dilakukan, dapat terlihat perbedaan perubahan
massa dari masing-masing perlakuan suhu. Rata-rata semua suhu dan sampel mendapatkan
massa yang bertambah dan naik antara 10 sampai20 gram sedangkan sayur hijau yang tidak
mendapatkan perlakuan atau sayur hijau kontrol massanya menurun. Hal ini disebabkan
karena proses crisping yang dilakukan terdiri dari dua tahapan yaitu tahap pertama,
perendaman dengan air pada suhu diatas suhu kamar tetapi dibawah suhu kritis (30-40oC),
dengan waktu perendaman tertentu. Tahap kedua adalah pendinginan pada suhu dibawah
5oC. Menurut Kays (1991), pada kondisi dimana suhu suatu bahan hasil pertanian
meningkat (lebih besar dari suhu lingkungannya) maka stomata atau lentiselnya cendrung
membuka dan sebaliknya pada keadaan suhu relatif rendah maka stomata atau lentiselnya
mengalami penutupan.
Perlakuan perendaman akan mengakibatkan suhu sayuran dan buah mengalami
peningkatan, sehingga dengan kondisi tersebut, stomata atau lentiselnya akan membuka.
Disaat yang bersamaan lebih tingginya suhu air di lingkungan luar dibandingkan dengan
suhu air dalam sayuran dan buah, mengakibatkan tekanan uap air dilingkungan pun menjadi
lebih besar dari tekanan uap dalam sayur, sehingga terjadi proses perpindahan massa (air)
dari lingkungan ke dalam sayuran dan buah melalui proses difusi. Perpindahan massa secara
difusi dari luar kedalam sayuran dan buah akan menjadi lebih optimal pada saat stomata
atau lentisel membuka, sehingga air bisa berdifusi sebanyak-banyaknya, dengan proses
inilah yang menyebabkan bobot dari kangkung meningkat.

b. Uji Organoleptik Sayur Hijau

Tabel 2. Kriteria dan skala numerik uji skor warna, tekstur, dan kualitas visual pada sayur
hijau setelah dilakukan proses chillingselama 24 jam dengan suhu 5oC.

Kualitas Visual Secara


Perlakuan Warna Tekstur
Keseluruhan
40oC 5 5 5
50oC 5 5 4
60oC 4 2 2
Kontrol 3 2 2

Sayur hijau yang telah mengalami proses chillingselama 24 jam dengan suhu 5oC
dengan perlakuan 40oC menghasilkan kriteria dan skala numerik warna sebesar 5 yaitu
berwarna hijau segar dengan daun berwarna hijau segar, sedangkan kriteria dan skala
numerik tesktur sebesar 5 yaitu dengan kondisi daun yang tegar, segar, dan berisi.
Kemudian kriteria dan skala numerik kualitas visual keseluruhan sebesar 5 yaitu dengan
kondisi sangat baik, kenampakan sangat segar.
Pada sayur hijau yang diberikan perlakuan 50oC menghasilkan kriteria dan skala
numerik warna sebesar 5 yaitu berwarna hijau segar dengan daun berwarna hijau segar,
sedangkan kriteria dan skala numerik tektur sebesar 5 yaitu dengan kondisi daun yang tegar,
segar, dan berisi. Kemudian kriteria dan skala numerik kualitas visual keseluruhan sebesar 4
yaitu dengan kondisi baik.
Pada sayur hijau yang diberikan perlakuan 60oC menghasilkan kriteria dan skala
numerik warna sebesar 4 yaitu berwarna hijau dengan tekstur kurang vigor, sedangkan
kriteria dan skala numerik tektur sebesar 2 yaitu dengan kondisi daun yang layu, dapat
dikonsumsi namun tidak bisa dipasarkan. Kemudian kriteria dan skala numerik kualitas
visual keseluruhan sebesar 2 yaitu dengan kurang baik, bisa digunakan, namun tidak bisa
dipasarkan.
Sedangkan pada sayur hijau yang tidak diberikan perlakuan apapun (kontrol)
menghasilkan kriteria dan skala numerik warna sebesar 3 yaitu berwarna agak kuning,
sedangkan kriteria dan skala numerik tektur sebesar 2 yaitu dengan kondisi daun yang layu,
dapat dikonsumsi namun tidak bisa dipasarkan. Kemudian kriteria dan skala numerik
kualitas visual keseluruhan sebesar 2 yaitu dengan kurang baik, bisa digunakan, namun
tidak bisa dipasarkan.

Tabel 3. Kriteria dan skala numerik uji skor warna, tekstur, dan kualitas visual pada sayur
hijau setelah dilakukan prosesproses pendiaman selama 4 jam pada suhu ruang.

Kualitas Visual Secara


Perlakuan Warna Tekstur
Keseluruhan
40oC 4 4 4
50oC 3 3 3
60oC 4 1 1
Kontrol 2 1 1

Sedangkan sayur hijau yang telah mengalami proses chilling selama 24 jam tadi dan
juga dilakukan proses pendiaman selama 4 jam setelah dikeluarkan dari chiller pada sayur
hijau dengan perlakuan 40oC menghasilkan kriteria dan skala numerik warna sebesar 4 yaitu
berwarna hijau dengan tekstur daun kurang vigor, sedangkan kriteria dan skala numerik
tektur sebesar 4 yaitu dengan kondisi daun yang tegar dan agar pucat. Kemudian kriteria
dan skala numerik kualitas visual keseluruhan sebesar 4 yaitu dengan kondisi baik.
Pada sayur hijau yang diberikan perlakuan 50oC menghasilkan kriteria dan skala
numerik warna sebesar 3 yaitu berwarna daun berwarna kuning, sedangkan kriteria dan
skala numerik tektur sebesar 3 yaitu dengan kondisi daun agak layu. Kemudian kriteria dan
skala numerik kualitas visual keseluruhan sebesar 3 yaitu dengan kondisi biasa.
Pada sayur hijau yang diberikan perlakuan 60oC menghasilkan kriteria dan skala
numerik warna sebesar 4 yaitu berwarna hijau dengan tekstur kurang vigor, sedangkan
kriteria dan skala numerik tektur sebesar 1 yaitu dengan kondisi daun yang sangat layu,
tidak bisa digunakan. Kemudian kriteria dan skala numerik kualitas visual keseluruhan
sebesar 1 yaitu dengan kondisi tidak bisa digunakan.
Sedangkan pada sayur hijau yang tidak diberikan perlakuan apapun (kontrol)
menghasilkan kriteria dan skala numerik warna sebesar 2 yaitu daun berwarna kuning,
sedangkan kriteria dan skala numerik tektur sebesar 1 yaitu dengan kondisi daun yang
sangat layu, tidak bisa digunakan. Kemudian kriteria dan skala numerik kualitas visual
keseluruhan sebesar 1 yaitu dengan kondisi tidak bisa digunakan.
Dapat dilihat perbedaan warna, tekstur dan visual keseluruhan dari masing-masing
suhu. Suhu 50oC dan 60oC memang terbukti tidak efektif, karena sayur hijau yang
dihasilkan menjadi layu, ini karena Menurut Story & Simons (1989), secara umum suhu
45oC adalah suhu maksimum kritis bagi produk hortikultura karena mulai pada suhu
tersebut produk sangat mengalami kemunduran dimana laju respirasi turun drastis dan
cenderung menuju pada pelayuan dan kematian bila suhu ditingkatkan.

c. Total Perubahan Warna (∆E*) Sayur Hijau


Parameter yang digunakan untuk menilai sejauh mana perubahan/perbedaan nilai
Lab* yang dihasilkan. Dimana semakin besar nilai ∆E* maka semakin besar pula
perubahan/perbedaan nilai Lab* yang terjadi. Dan begitu pula sebaliknya, semakin kecil
nilai ∆E* maka semakin kecil pula perubahan/perbedaan nilai Lab* yang terjadi
(Gonydjaja, 2015).
Hasil output dari software Colorimeteruntuk ∆E* pada perlakuan kontrol merupakan
parameter yang digunakan untuk mengetahui sebaikmana hasil ∆E* pada perlakuan suhu.
Apabila ∆E* pada perlakuan suhu mendekati nilai ∆E* pada perlakuan kontrol maka dapat
dikatakan keadaan sayur kurang baik. Namun untuk mengetahui baik buruknya keadaan
sayur, tidak bisa hanya berdasarkan aplikasi yang digunakan karena aplikasi tersebut
dipengaruhi oleh faktor pencahayaan yang diberikan. Selain itu sifat penyerapan cahaya,
sifat penerusan cahaya, dan sifat pemantulan cahaya yang dimiliki bahan sangat
berpengaruh terhadap hasil warna yang didapat oleh software Colorimeter.
Tabel 4. Pengukuran warna pada sayur hijau menggunakan software Colorimeter setelah
dilakukan proses chillingselama 24 jam dengan suhu 5oC.

Color Meter
Perlakuan
∆E* Warna
40oC 42,77 Dark Green
50oC 59,86 Dark Green
60oC 73,10 Dark Green
Kontrol 53,04 Dark Green

Selisih dari nilai ∆E* pada perlakuan suhu 60oC paling tinggi dibandingkan dengan
perlakuan suhu lainnya terhadap perlakuan kontrol. Tetapi pengamatan secara visual sayur
hijau pada perlakuan suhu 60oC memiliki tekstur yang lembek dan tidak segar, hal ini
terjadi dikarenakan sayur hijau mengalami pematangan akibat suhu yang terlalu tinggi
selama proses crisping mengakibatkan warna hijau pada beberapa daun menjadi hijau tua.
Secara pengamatan visual pada sayur hijau yang tampak segar setelah proses crisping
adalah perlakuan suhu 40oC. Selisih nilai∆E* pada perlakuan suhu 40oC terhadap perlakuan
kontrol merupakan nilai tertinggi kedua. Sehingga crisping yang pada perlakuan suhu 40oC
untuk sayur hijau tepat digunakan. Hal ini disebabkan karena proses crisping yang
dilakukan terdiri dari dua tahapan yaitu tahap pertama, perendaman dengan air pada suhu
diatas suhu kamar tetapi dibawah suhu kritis (30-40oC), dengan waktu perendaman tertentu.
Tahap kedua adalah pendinginan pada suhu dibawah 5oC. Menurut Kays (1991).

Tabel 5. Pengukuran warna pada sayur hijau menggunakan software Colorimeter setelah
dilakukan proses pendiaman selama 4 jam pada suhu ruang.

Color Meter
Perlakuan
∆E* Warna
40oC 66,69 Yellow Green
50oC 56,52 Dark Green
60oC 65,05 Light Grey
Kontrol 51,09 Dark Yellow Green
Setelah 4 jam didiamkan pada suhu ruang, pengamatan dilakuakan secara visual pada
seluruh perlakuan suhu crisping terhadap sayur hijau. Nilai ∆E* pada perlakuan suhu 40oC
paling tinggi diantara perlakuan suhu yang diberikan untuk sayur hijau pada proses
crisping. Pada perlakuan suhu 40oC, sayur hijau diamati masih lebih segar dibandingkan
perlakuan suhu lainnya, namun beberapa daun sayur hijau agak layu, batang kurang tegar,
dan ada bintik kuning dibeberapa daun sayur hijau.

d. Sistem Warna Hunter Sayur Hijau

Pada sistem warna Hunter penilaian terdiri atas 3 parameter yaitu L,a, dan b. Lokasi
warna pada sistem ini ditentukan dengan koordinat L*,a*, dan b*. Notasi L*: 0 (hitam); 100
(putih) menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan
hitam. Notasi a*: warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a* positif dari 0
sampai +80 untuk warna merah dan nilai –a* (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau.
Notasi b*: warna kromatik campuran biru kuning dengan nilai +b* (positif) dari 0 sampai
+70 untuk warna kuning dan nilai –b* (negatif) dari 0 sampai -70 untuk warna biru
(Suyatma 2009).

Lab merupakan model warna yang dirancang untuk menyerupai persepsi penglihatan
manusia dengan menggunakan tiga komponen yaitu L sebagai luminance (pencahayaan)
dan a dan b sebagai dimensi warna yang berlawanan. Model warna ini dipilih karena
terbukti memberikan hasil yang lebih baik daripada model warna GRB dalam mengukur
nilai kemiripan ciri warana dalam citra. Model warna Lab juga dapat digunakan untuk
membuat koreksi keseimbangan warna yang lebih akurat dan untuk mengatur kontras
pencahayaan yang sulit dan tidak mungkin dilakukan oleh model warna GRB.

Tabel 6. Sistem warna Hunter (Lab) pada sayur hijau menggunakan software Colorimeter
setelah dilakukan proses chillingselama 24 jam dengan suhu 5oC.

Color Meter
Perlakuan
L a b
40oC 29,3 -19,4 24,5
50oC 45,6 -22,5 31,5
60oC 27,9 -23,6 63,3
Kontrol 39,3 -17,1 31,3
Pada tabel 6 perlakuan suhu crisping 40oC, 50oC, dan 60oC, serta kontrol didapat nilai
L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam
karena berada pada notasi 0-100. Nilai L paling tinggi pada perlakuan suhu 50oC sedangkan
paling rendah pada perlakuan suhu 60oC. Pada perlakuan suhu 50oC terjadi pemantulan
cahaya lampu oleh plastik yang dijadikan alas sayur hijau saat pengambilan gambar dengan
aplikasi colorimeter, hal terebut yang menyebabkan tingginya cahaya pantul yang
menghasilkan warna akromatik putih.

Untuk nilai a didapatkan negatif yang artinya perlakuan untuk kontrol dan semua
perlakuan suhu crisping menghasilkan warna hijau. Nilai warna hijau paling tinggi pada
perlakuan suhu 60oC, warna hijau yang didapat dikarenakan sayur hijau mengalami
pematangan akibat suhu yang terlalu tinggi selama proses crisping mengakibatkan warna
hijau pada beberapa daun menjadi hijau tua.

Untuk nilai b didapatkan positif yang artinya kontrol dan semua perlakuan suhu
crisping menghasilkan warna kuning. Nilai warna kuning paling tinggi pada perlakuan suhu
60oC dan paling rendah pada perlakuan suhu 40oC. Pada sayur dengan perlakuan 60oC
selain menjadikan daun matang dan beberapa berwarna hijau tua, daun sayur dibeberapa
bagian juga mengalami penguningan. Penguningan terjadi pada ujung daun yang daunnya
lebar, sedangkan daun yang kecil mengalami pematangan dan berwarna hijau tua.
Sedangkan untuk sayur hijau perlakuan suhu 40oC didapatkan hasil daun yang segar, warna
hijau yang didapat tampak seperti baru dipanen. Ini menandakan perlakuan crisping untuk
sayur hijau tepat dilakukan dengan suhu 40oC.

Tabel 7. Sistem warna Hunter(Lab) pada sayur hijau menggunakan software Colorimeter
setelah dilakukan proses pendiaman selama 4 jam pada suhu ruang.

Color Meter
Perlakuan
L a b
40oC 55,6 -14,6 33,8
50oC 43,6 -15,5 32,4
60oC 64,9 -1,5 4,2
Kontrol 41,7 -12,5 26,8
Pada tabel 7 perlakuan suhu crisping 40oC, 50oC, dan 60oC, serta kontrol didapat nilai
L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam
karena berada pada notasi 0-100. Nilai L paling tinggi pada perlakuan suhu 60oC sedangkan
paling rendah pada perlakuan kontrol. Pada perlakuan suhu 60oC terjadi pemantulan
langsung cahaya lampu oleh plastik dan lantai yang dijadikan alas sayur hijau saat
pengambilan gambar dengan aplikasi colorimeter. Cahaya memantul langsung tanpa adanya
perantara dan cahaya lampu tersebut terfoto menyebabkan tingginya cahaya pantul yang
menghasilkan warna akromatik putih.
Untuk nilai a didapatkan negatif yang artinya perlakuan untuk kontrol dan semua
perlakuan suhu crisping menghasilkan warna hijau. Nilai warna hijau paling tinggi pada
perlakuan suhu 50oC. Setelah keluar darikulkas dan didiamkan selama 4 jam pada suhu
ruang daun sayur hijau pada perlakuan suhu 50oC tetap hijau segar, hal ini disebabkan
karena suhu yang digunakan dibawah suhu kritis bahan. Pada perlakuan suhu 40oC
pengamatan yang dilakukan dengan mata tampak lebih segar dibandingkan dengan
perlakuan suhu 50oC, Hal ini disebabkan karena proses crisping yang dilakukan terdiri dari
dua tahapan yaitu tahap pertama, perendaman dengan air pada suhu diatas suhu kamar tetapi
dibawah suhu kritis (30-40oC), dengan waktu perendaman tertentu.
Untuk nilai b didapatkan positif yang artinya kontrol dan semua perlakuan suhu
crisping menghasilkan warna kuning. Nilai warna kuning paling tinggi pada perlakuan suhu
40oC dan paling rendah pada perlakuan suhu 60oC. Pada sayur dengan perlakuan 40oC
mengalami penguningan pada beberapa daun berupa bintik-bintik kuning tersebar merata.

Perbandingan dengan Sayur Bayam

a. Perubahan Bobot Sayur Bayam

Tabel 8. Pengukuran berat dari setiap tahapan proses yang diberlakukan pada sayur bayam.

Perlakuan
Tahapan
40oC 50oC 60oC Kontrol
Awal 78,077 g 81,086 g 94,545 g 75,343 g
Chilling 88,231 g 96,013 g 123,62 g 42,435 g
4 Jam Pendiaman 68,643 g 70,777 g 88,868 g 38,050 g
Pengamatan presentase perubahan bobot sayuran:
 Kontrol  Suhu 50oC

𝐵𝑏−𝐵𝑎 𝐵𝑏−𝐵𝑎
PB(%) = 𝑥 100% PB(%) = 𝑥 100%
𝐵𝑎 𝐵𝑎

43,435−75,343 96,013−81,086
= 𝑋 100% = 𝑋 100%
75,343 81,086

−31,908 14,927
= 𝑥 100% = 81,086 𝑥 100%
75,343

= - 42,350 % = 18,40 %

 Suhu 40oC  Suhu 60oC

𝐵𝑏−𝐵𝑎 𝐵𝑏−𝐵𝑎
PB(%) = 𝑥 100% PB(%) = 𝑥 100%
𝐵𝑎 𝐵𝑎

88,231−78,077 123,622−94,545
= 𝑋 100% = 𝑋 100%
78,077 94,545

10,154 129,077
= 78,077 𝑥 100% = 𝑥 100%
94,545

= 13,005 % = 30,75 %

Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat terlihat perbedaan perubahan bobot dari
masing-masing suhu (Tabel 8).hampir seluruh perlakuan mengalami penurunan bobt. Hal
ini disebabkan karena Proses crisping yang dilakukan terdiri dari dua tahapan yaitu tahap
pertama, perendaman dengan air pada suhu diatas suhu kamar tetapi dibawah suhu kritis
(40,50 – 60 oC), dengan waktu perendaman tertentu. Tahap kedua adalah pendinginan pada
suhu dibawah 10oC. Menurut Kays (1991), pada kondisi dimana suhu suatu bahan hasil
pertanian meningkat (lebih besar dari suhu lingkungannya) maka stomata atau lentiselnya
cendrung membuka dan sebaliknya pada keadaan suhu relatif rendah maka stomata atau
lentiselnya mengalami penutupan. Perlakuan perendaman akan mengakibatkan suhu
sayuran dan buah mengalami peningkatan, sehingga dengan kondisi tersebut, stomata atau
lentiselnya akan membuka. Disaat yang bersamaan lebih tingginya suhu air di lingkungan
luar dibandingkan dengan suhu air dalam sayuran dan buah, mengakibatkan tekanan uap air
dilingkungan pun menjadi lebih besar dari tekanan uap dalam sayur, sehingga terjadi proses
perpindahan massa (air) dari lingkungan ke dalam sayuran dan buah melalui proses difusi.
Perpindahan massa secara difusi dari luar kedalam sayuran dan buah akan menjadi lebih
optimal pada saat stomata atau lentisel membuka, sehingga air bisa berdifusi sebanyak-
banyaknya, dengan proses inilah yang menyebabkan bobot dari kangkung meningkat.

b. Uji Organoleptik Sayur Bayam

Tabel 9. Kriteria dan skala numerik uji skor warna, tekstur, dan kualitas visual pada sayur
bayam setelah dilakukan proses chillingselama 24 jam dengan suhu 5oC.

Kualitas Visual Secara


Perlakuan Warna Tekstur
Keseluruhan
40oC 5 5 5
50oC 4 4 4
60oC 3 2 2
Kontrol 2 2 2

Sayur bayam yang telah mengalami proses chillingselama 24 jam dengan suhu 5oC
dengan perlakuan 40oC menghasilkan kriteria dan skala numerik warna sebesar 5 yaitu
berwarna hijau segar dengan daun berwarna hijau segar, sedangkan kriteria dan skala
numerik tesktur sebesar 5 yaitu dengan kondisi daun yang tegar, segar, dan berisi.
Kemudian kriteria dan skala numerik kualitas visual keseluruhan sebesar 5 yaitu dengan
kondisi sangat baik, kenampakan sangat segar.
Pada sayur bayam yang diberikan perlakuan 50oC menghasilkan kriteria dan skala
numerik warna sebesar 4 yaitu berwarna hijau dengan tekstur kurang vigor, sedangkan
kriteria dan skala numerik tektur sebesar 4 yaitu dengan kondisi daun yang tegar dan agak
pucat. Kemudian kriteria dan skala numerik kualitas visual keseluruhan sebesar 4 yaitu
dengan kondisi baik.
Pada sayur bayam yang diberikan perlakuan 60oC menghasilkan kriteria dan skala
numerik warna sebesar 3 yaitu daun berwarna kuning, sedangkan kriteria dan skala numerik
tektur sebesar 2 yaitu dengan kondisi daun yang layu, dapat dikonsumsi namun tidak bisa
dipasarkan. Kemudian kriteria dan skala numerik kualitas visual keseluruhan sebesar 2 yaitu
dengan kurang baik, bisa digunakan, namun tidak bisa dipasarkan.
Sedangkan pada sayur bayam yang tidak diberikan perlakuan apapun (kontrol)
menghasilkan kriteria dan skala numerik warna sebesar 2 yaitu daun berwarna kuning,
sedangkan kriteria dan skala numerik tektur sebesar 2 yaitu dengan kondisi daun yang layu,
dapat dikonsumsi namun tidak bisa dipasarkan. Kemudian kriteria dan skala numerik
kualitas visual keseluruhan sebesar 2 yaitu dengan kurang baik, bisa digunakan, namun
tidak bisa dipasarkan.

Tabel 10. Kriteria dan skala numerik uji skor warna, tekstur, dan kualitas visual pada sayur
bayam setelah dilakukan prosesproses pendiaman selama 4 jam pada suhu ruang.

Kualitas Visual Secara


Perlakuan Warna Tekstur
Keseluruhan
40oC 4 3 3
50oC 3 3 3
60oC 3 2 1
Kontrol 1 1 1

Sedangkan sayur bayam yang telah mengalami proses chilling selama 24 jam tadi dan
juga dilakukan proses pendiaman selama 4 jam setelah dikeluarkan dari chiller pada sayur
hijau dengan perlakuan 40oC menghasilkan kriteria dan skala numerik warna sebesar 4 yaitu
berwarna hijau dengan tekstur daun kurang vigor, sedangkan kriteria dan skala numerik
tektur sebesar 3 yaitu dengan kondisi daun agak layu. Kemudian kriteria dan skala numerik
kualitas visual keseluruhan sebesar 3 yaitu dengan kondisi biasa (bisa dipasarkan namun
terbatas)
Pada sayur bayam yang diberikan perlakuan 50oC menghasilkan kriteria dan skala
numerik warna sebesar 3 yaitu berwarna daun berwarna kuning, sedangkan kriteria dan
skala numerik tektur sebesar 3 yaitu dengan kondisi daun agak layu. Kemudian kriteria dan
skala numerik kualitas visual keseluruhan sebesar 3 yaitu dengan kondisi biasa.
Pada sayur bayam yang diberikan perlakuan 60oC menghasilkan kriteria dan skala
numerik warna sebesar 3 yaitu daun berwarna kuning, sedangkan kriteria dan skala numerik
tektur sebesar 2 yaitu dengan kondisi daun yang layu dan lembek. Kemudian kriteria dan
skala numerik kualitas visual keseluruhan sebesar 1 yaitu dengan kondisi tidak bisa
digunakan.
Sedangkan pada sayur bayam yang tidak diberikan perlakuan apapun (kontrol)
menghasilkan kriteria dan skala numerik warna sebesar 1 yaitu daun berwarna kuning layu
dan mulai mengalami pembusukan, sedangkan kriteria dan skala numerik tektur sebesar 1
yaitu dengan kondisi daun yang sangat layu, tidak bisa digunakan. Kemudian kriteria dan
skala numerik kualitas visual keseluruhan sebesar 1 yaitu dengan kondisi tidak bisa
digunakan.
Pada tabel 9 dan tabel 10 dapat dilihat perbedaan warna, tekstur dan visual
keseluruhan dari masing-masing suhu. Menurut Story & Simons (1989), secara umum suhu
45C adalah suhu maksimum kritis bagi produk hortikultura karena mulai pada suhu tersebut
produk sangat mengalami kemunduran dimana laju respirasi turun drastis dan cenderung
menuju pada pelayuan dan kematian bila suhu ditingkatkan.

c. Total Perubahan Warna (∆E*) Sayur Bayam

Tabel 11. Pengukuran warna pada sayur bayam menggunakan software Colorimeter setelah
dilakukan proses chillingselama 24 jam dengan suhu 5oC.

Color Meter
Perlakuan
∆E* Warna
40oC 63,46 Dark Green
50oC 64,51 Green
60oC 53,38 Dark Green
Kontrol 26,13 Dark Green

Selisih dari nilai ∆E* pada perlakuan suhu 50oC paling tinggi dibandingkan dengan
perlakuan suhu lainnya terhadap perlakuan kontrol. Bila diamati secara visual sayur bayam
pada proses crisping perlakuan suhu 40oC dan 50oC sama-sama terlihat segar, tetapi bila
dicermati dengan baik perlakuan suhu 40oC tampak daun bayam lebih hijau dibandingkan
dengan perlakuan suhu 50oC. Selisih nilai∆E* pada perlakuan suhu 40oC terhadap
perlakuan kontrol merupakan nilai tertinggi kedua. Sehingga crisping yang pada perlakuan
suhu 40oC untuk sayur bayam tepat digunakan. Hal ini disebabkan karena pada
proses crisping dilakukan perendaman dengan air pada suhu diatas suhu kamar tetapi
dibawah suhu kritis (30-40oC), dengan waktu perendaman tertentu.
Tabel 12. Pengukuran warna pada sayur bayam menggunakan software Colorimeter setelah
dilakukan proses pendiaman selama 4 jam pada suhu ruang.

Color Meter
Perlakuan
∆E* Warna
40oC 59,19 Dark Green
50oC 46,14 Dark Green
60oC 45,54 Dark Yellow Green
Kontrol 40,56 Dark Green

Setelah 4 jam didiamkan pada suhu ruang, pengamatan dilakuakan secara visual pada
seluruh perlakuan suhu crisping terhadap sayur bayam. Nilai ∆E* pada perlakuan suhu 40oC
paling tinggi diantara perlakuan suhu yang diberikan untuk sayur bayam pada proses
crisping. Pada perlakuan suhu 40oC, sayur bayam diamati masih lebih segar dibandingkan
perlakuan suhu lainnya, namun beberapa daun sayur bayam layu, batang kurang tegar, dan
ada bintik kuning di daun sayur bayam.

d. Sistem Warna Hunter Sayur Bayam

Tabel 13. Sistem warna Hunter(Lab) pada sayur bayam menggunakan software Colorimeter
setelah dilakukan proses chillingselama 24 jam dengan suhu 5oC.

Color Meter
Perlakuan
L a b
40oC 44,6 -26,9 36,2
50oC 51,4 -23,2 31,3
60oC 19,4 -12,0 48,3
Kontrol 18,3 -9,9 15,8

Pada tabel 13 perlakuan suhu crisping 40oC, 50oC, dan 60oC, serta kontrol didapat
nilai L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan
hitam karena berada pada notasi 0-100. Nilai L paling tinggi pada perlakuan suhu 50oC
sedangkan paling rendah pada perlakuan kontrol. Pada perlakuan suhu 50oC terjadi
pemantulan cahaya lampu oleh plastik yang dijadikan alas sayur bayam saat pengambilan
gambar dengan aplikasi colorimeter, hal terebut yang menyebabkan tingginya cahaya pantul
yang menghasilkan warna akromatik putih.
Untuk nilai a didapatkan negatif yang artinya perlakuan untuk kontrol dan semua
perlakuan suhu crisping menghasilkan warna hijau. Nilai warna hijau paling tinggi pada
perlakuan suhu 40oC, warna hijau yang didapat dikarenakan tepatnya penggunaan suhu
crisping 40oC untuk sayur berdaun.
Untuk nilai b didapatkan positif yang artinya kontrol dan semua perlakuan suhu
crisping menghasilkan warna kuning. Nilai warna kuning paling tinggi pada perlakuan suhu
60oC. Pada sayur dengan perlakuan suhu 60oC penguningan terjadi pada batang sayur, hal
tersebut diakibatkan oleh suhu yang terlalu panas menyebabkan kematangan pada sayur
bayam. Selain itu tingginya kadar air yang dikandung oleh sayur bayam pada perlakuan
suhu 60oC mengakibatkan warna sayur tampak cokelat kekuningan bila diamati dengan
mata.

Tabel 14. Sistem warna Hunter(Lab) pada sayur bayam menggunakan software Colorimeter
setelah dilakukan proses pendiaman selama 4 jam pada suhu ruang.

Color Meter
Perlakuan
L a b
40oC 19,8 -15,2 51,5
50oC 30,2 -19,0 29,2
60oC 35,7 -11,2 26,0
Kontrol 30,2 -13,1 23,6

Pada tabel 14 perlakuan suhu crisping 40oC, 50oC, dan 60oC, serta kontrol didapat
nilai L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan
hitam karena berada pada notasi 0-100. Nilai L paling tinggi pada perlakuan suhu 60oC
sedangkan paling rendah pada perlakuan suhu 40oC. Pada perlakuan suhu 60oC terjadi
pemantulan cahaya lampu oleh plastik yang dijadikan alas sayur hijau saat pengambilan
gambar dengan aplikasi colorimeter. Cahaya memantul langsung tanpa adanya perantara
dan cahaya lampu tersebut terfoto menyebabkan tingginya cahaya pantul yang
menghasilkan warna akromatik putih.
Untuk nilai a didapatkan negatif yang artinya perlakuan untuk kontrol dan semua
perlakuan suhu crisping menghasilkan warna hijau. Nilai warna hijau paling tinggi pada
perlakuan suhu 50oC. Setelah keluar darikulkas dan didiamkan selama 4 jam pada suhu
ruang daun sayur bayam pada perlakuan suhu 50oC tetap hijau segar, hal ini disebabkan
karena suhu yang digunakan dibawah suhu kritis bahan.
Untuk nilai b didapatkan positif yang artinya kontrol dan semua perlakuan suhu
crisping menghasilkan warna kuning. Nilai warna kuning paling tinggi pada perlakuan suhu
40oC dan paling rendah pada perlakuan kontrol. Pada sayur dengan perlakuan 40oC
mengalami penguningan pada beberapa daun berupa bintik-bintik kuning tersebar merata.

6. Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai