Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah salin disebut juga tanah garaman yaitu tanah yang mempunyai kadar
garam netral larut dalam air, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan
kebanyakan tanaman. Tanah salin biasanya ditemukan di dua tipe daerah, yakni
daerah sekitar pantai yang memiliki cekaman salinitas yang disebabkan oleh
intrusi air laut serta daerah arid dan semi arid yakni salinitas yang disebabkan
oleh evaporasi air tanah atau air permukaan (Adi, 1997).
Proses penimbunan garam mudah larut dalam tanah sehingga membentuk tanah
garaman disebut salinisasi. Salinisasi terjadi pada saat terjadi proses
penimbunan garam mudah larut dalam tanah dan pada saat yang sama jumlah
H2O yang berasal presipitasi tidak cukup untuk menetralkan jumlah H2O yang
hilang oleh evaporasi dan evapotranspirasi. Singkatnya, sewaktu air diuapkan
ke atmosfer, garam-garam tertinggal dalam tanah (Candrabarata, 2011).
Cekaman garam (salin) pada tanaman bisa mengakibatkan pertumbuhan tidak
normal. Daun kecil dan terbakar, pertumbuhan kerdil, buah tidak sempurna,
dan hasil menurun. Kadar garam yang tinggi (tanah salin) merupakan hasil dari
pembentukan mireal-mineral garam terlarut, akumulasi garam dari irigasi yang
membawa garam, intrusi air laut, sungai atau danau. Air diserap oleh akar
tanaman beserta garam larut masuk ke dalam tanamanmelalui suatu proses yang
disebut osmosis, yangmelibatkan pergerakan air dari tempat dengan konsentrasi
garam rendah ( tanah) ke tempat yang memiliki konsentrasi garam tinggi
(bagian dalam dari sel-sel akar).
Permasalahan salinitas telah meluas akhir-akhir ini. Salinitas menyebabkan
kerugian 50% produk dan penurunan rata-rata hasil panen relatif dengan
meningkatnya salinitas. Salinitas telah menganggu pertanian pada iklim arid
dan semi arid selama ribuan tahun (Steppuhn, 2013). Salinitas tanah pada
kenyataannya telah menjadi suatu masalah yang serius dalam produksi tanaman
di Indonesia.
Efek salinitas terhadap lahan pertanian, dianggap sebagai ancaman serius
terhadap penyediaan pangan dunia saat ini dan akan datang. Lebih dari 7 %
atau 77 juta ha dari total lahan di dunia (930 juta ha), dan lebih dari 20 % lahan
pertanian saat ini telah mengalami salinisasi yang sebagiannya adalah lahan
beririgasi (Munns, 2002; Hariadi et al., 2010., Gagneul et al., 2007, Sairam
and Tyagi, 2004; Maqsood, 2009; Astorga and Meléndez, 2010; Sobhanian et
al. 2010; Waditee et al., 2007). Salah satu indikasi terukur dalam menetapkan
suatu lahan mengalami ancaman dan potensi salinitas adalah nilai electric
conductivity (EC) tanah dan air irigasi. Tanah sudah mengalami salinitas jika
nilai ECe > 4 dS/m pada tanah (FAO, 2005).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Salintas Tanah
Follet et al (1981) mengklasifikasikan salinitas tanah berdasarkan hasil
pengukuran daya hantar listrik terdiri atas tiga kelompok sebagai berikut :
1.) Tanah salin dengan daya hantar listrik > 4,0 mmhos/cm, pH < 8,5 dan
Nadd < 15% dengan kondisi fisik normal. Kandungan garam larutan
dalam tanah dapat menghambat perkecambahan, penyerapan unsur hara
dan pertumbuhan tanaman.
2.) Tanah sodik dengan daya hantar listrik < 4,0 mmhos/cm, pH > 8,5 dan
Nadd > 15% dengan kondisi fisik buruk. Garam yang terlarut dalam
tanah relatip rendah, dan keadaan tanah cenderung terdispersi dan tidak
permeable terhadap air hujan dan airirigasi.
3.) Tanah salin sodik dengan daya hantar listrik > 4,0 mmhos/cm, pH < 8,5
dan Na-dd > 15%,kondisi fisiktanahumumnya terdispersi dengan
permeabilitas rendah dan sering tergenang jika diairi.

Salinisasi tanah adalah masalah yang umum dijumpai di daerah-daerah dengan


curah hujan rendah. Jika dikombinasikan dengan irigasi dan kondisi drainase
yang buruk, dapat mengakibatkan hilangnya kesuburan tanah secara permanen.
Tipe salinitas seperti ini merupakan faktor penyebab krisis kemanusiaan yang
diakibatkan oleh kekeringan.

Garam terlarut umumnya tersusun oleh sodium (Na+), kalsium (Ca2+),


magnesium (Mg2+), klor (Cl-) dan sulfat (SO42-). Magnesium sulfat (MgSO4)
dan sodium kloride (NaCl) merupakan garam terlarut yang sering dijumpai. Jika
konsentrasi garam di dalam tanah tinggi, pergerakan air dari tanah ke akar
melambat. Sementara penyerapan Na+ oleh partikel-partikel tanah akan
mengakibatkan pembengkakan dan penutupan pori-pori tanah yang
memperburuk pertukaran gas, serta dispersi material koloid tanah.

Menurut Sigalingging (1985), salinitas akan mempengaruhi sifat fisik dan kimia
tanah, yaitu 1] tekanan osmotik yang meningkat, 2] peningkatan potensi ionisasi,
3] infiltrasi tanah yang menjadi buruk, 4] kerusakan dan terganggunya struktur
tanah, 5] permeabilitas tanah yang buruk, 6] penurunan konduktivitas.

2.1.2 Salinitas Air

MenurutUSDA (1954),Salinitas air ditentukanberdasarkanempat tingkatdaya


hantar listri (EC) sebagai berikut :

1.) Salinitas rendah dengan daya hantar listrik < 250µmhos/cm. Dapat
digunakan untuk mengairi semua tanaman.
2.) Salinitas sedang dengan daya hantar listrik 250-750µmhos/cm. Dapat
digunakan untuk mengairi tanaman yang taraf kepekaannyarendah sampai
sedang.
3.) Salinitas tinggi dengan daya hantar listrik 750-2250µmhos/cm. Dapat
digunakan untuk mengairi tanaman yang toleran.
4.) Salinitas sangat tinggi dengan daya hantar listrik>2250µmhos/cm. Pada
umumnya tidak digunakan untuk mengairi tanaman.

USDA juga mengklassifikasikan air menurutnisbah jerapan Naatas empat


kelompok sebagai berikut :

1.) Air berkadar Na rendah dengan nilai nisbah jerapan Na < 10. Digunakan
untuk mengairi semua tanaman.
2.) Air berkadar Na sedang dengan nilainisbah jerapan Na antara 10-18.
Digunakan untuk mengairi tanaman pada tanah bertekstur halus atau ber
KTK tinggi.
3.) Air berkadar Na tinggi dengan nilai nisbah jerapan Na antara 18-26.
Digunakan untuk mengairi tanaman yang toleran.
4.) Air berkadar Nasangat tinggi dengan nilai nisbah jerapan Na > 26.Tidak
digunakan untuk mengairi tanaman.

Sedangkan untuk salinitas air tanah akibatintrusi air laut, Todd (1959)
mengklassifikasikan air tanah atas enam tingkat instrusi air asin yaitu :

1.) Tanpa intrusi. Nisbah Cl/(CO3+HCO3) < 0,5. Mutu air baik.
2.) Sedikit intrusi. Nisbah Cl/(CO3+HCO3) : 0,5–1,3. Mutu air cukup baik.
3.) Intrusi sedang. Nisbah Cl/(CO3+HCO3) : 1,3-2,8. Mutu air sedang.
4.) Intrusi tinggi. Nisbah Cl/(CO3+HCO3) : 2,8–6,6. Mutu air buruk.
5.) Intrusi sangat tinggi. Nisbah Cl/(CO3+HCO3) : 6,6–15,5.Mutu air sangat
jelek.
6.) Air laut. Nisbah Cl/(CO3+HCO3) : 200.

2.1.3 Pengaruh Stres Garam Pada Tanaman

Garam-garam atau Na+ yang dapat dipertukarkan akan mempengaruhi sifat-sifat


tanah jika terdapat dalam keadaan berlebihan dalam tanah. Peningkatan konsentrasi
garam terlarut di dalam tanah akan meningkatkan tekanan osmotik sehingga
menghambat penyerapan air dan unsur-unsur hara yang berlangsung melalui proses
osmosis. Jumlah air yang masuk ke dalam akar akan berkurang sehingga
mengakibatkan menipisnya jumlah persediaan air dalam tanaman. (Follet et al.,
1981).

Jika konsentrasi garam pada tanah lebih tinggi dibandingkan dengan di dalam sel-
sel akar, tanah akan menyerap air dari akardan tanaman akanlayu dan mati. Ini
merupakan prinsip dasar bagaimana salinisasi mempengaruhi produksi tanaman.
Pengaruh yang merusak dari garam pada tanaman tidak hanya disebabkan oleh daya
osmosis, tetapi juga oleh sodium (Na+) and klor (Cl-) pada konsentrasi yang
meracun tanaman. Khususnya tanaman buahbuahan dan tanaman hias dari jenis
kayu-kayuan (bougenvil, kembang sepatu, dll) sangat sensitif terhadap kadar yang
tinggi dari unsur-unsur tersebut. Demikian juga, tingginya nilai pH yang
disebabkan oleh konsentrasi sodium yang tinggi akan berakibat pada kekurangan
unsur mikro.

Kekurangan unsur Na+ dan Cl- dapat menekan pertumbuhan dan mengurangi
produksi. Dalam proses fisiologi tanaman, Na+ diduga mempengaruhi pengikatan
air oleh tanaman sehingga menyebabkan tanaman tahan terhadap kekeringan.
Sedangkan Cl- diperlukan pada reaksi fotosintetik yang berkaitan dengan produksi
oksigen.

Pengaruh stress garam pada Proses fisiologis tanaman

Salinitas atau konsentrasi garam-garam terlarut yang cukup tinggi akan


menimbulkan stres dan memberikan tekanan terhadap pertumbuhan tanaman.
Menurut Maas dan Nieman, (1978) salinitas dapat berpengaruh menghambat
pertumbuhan tanaman dengan dua cara yaitu :

1.) Dengan merusak sel-sel yang sedang tumbuh sehingga pertumbuhan


tanaman terganggu.
2.) Dengan membatasi jumlah suplai hasil-hasil metabolisme esensial bagi
pertumbuhan sel melalui pembentukan tyloses.

Tanaman yang mengalami stres garam umumnya tidak menunjukkan respon dalam
bentuk kerusakan langsung tetapi pertumbuhan yang tertekan dan perubahan secara
perlahan. Gejala pertumbuhan tanaman pada tanah dengan tingkat salinitas yang
cukup tinggi adalah pertumbuhan tidak normal seperti daun mengering di bagian
ujung dan gejala khlorosis. Tingginya konsentrasi garam mengakibatkan
menurunnya potensial air sebesar 0,05 – 0,1 Mpa. Stres garam ini berbeda dengan
stres ion yang tidak begitu menekan potensial air (Lewit, dalam Sipayung, 2006).

Secara umum, cara memahami cekaman garam pada tanaman antara lain melihat
gejala defisiensi nutrisi ataukeracunan nutrisi tanaman akibat;

1.) uptake garam berlebih dari larutan tanah, seperti sodium,


(keracunansodium),
2.) penurunan penyerapan air, dikenal sebagai cekaman air dan
3.) penurunan penyerapan unsur-unsur penting bagi tanaman khususnya
potasium.

Gejala awal munculnya kerusakan tanaman oleh salinitas adalah (a) warna daun
yang menjadi lebih gelap daripada warna normal yang hijaukebiruan, (b) ukuran
daun yang lebih kecil dan (c) batang dengan jarak tangkai daun yang lebih pendek.
Jikapermasalahannya menjadi lebih parah, daun akan (a) menjadi kuning (klorosis)
dan (b) tepi daun mati mengering terkena “burning” (terbakar, menjadi kecoklatan)
(Gambar 2).

Salinitas tidak ditentukan oleh garam Na Cl saja tetapi oleh berbagai jenis garam
yang berpengaruh dan menimbulkan stres pada tanaman. Garamgaram yang
menimbulkan stres tanaman antara lain ialah NaCl, NaSO4, CaCl2, MgSO4,
MgCl2 yang terlarut dalam air (Sipayung, 2006).
Stres akibat kelebihan Na+ dapat mempengaruhi beberapa proses fisiologi dari
mulai perkecambahan sampai pertumbuhan tanaman (Fallah, 2006).

Toleranasi tanaman akan cekaman garam

Tiap jenis tanaman mempunyai kepekaan tersendiri akan salinitas tanah. Jika
kondisi salinitas tanah tinggi, hanya beberapa tanaman tolearn yanag mampu
bertahan hidup. Tingkat sensitivitas tanaman terhadap kadar garam bervariasi.
Jenis tanaman dengan toleransi terhadap garam yang paling rendah adalah tomat,
bawang bombai terhadap garam dan selada. Pada tingkat ekstrim yang lain adalah
halophytes, yang paling sering dijumpai di rawa-rawa bergaram, daerah pantai, dan
lingkungan bergaram lainnya.

Toleransi tanaman terhadap salinitas adalah beragam dengan spektrum yang luas
diantara spesies tanaman mulai dari yang peka hingga yang cukup toleran. Follet et
al, (1981 dalam Sipayung, 2006) mengajukan lima tingkat pengaruh salinitas tanah
terhadap tanaman, mulai dari tingkat non-salin hingga tingkat salinitas yang sangat
tinggi, seperti diberikan pada Tabel 1.

Jenis tanaman dengan toleransi terhadap garam yang paling rendah adalah
tomat, bawang bombai terhadap garam dan selada.Pada tingkat ekstrim yang lain
adalah halophytes, yang paling sering dijumpai di rawa-rawa bergaram, daerah
pantai, dan lingkungan bergaram lainnya.

Kelebihan NaCl atau garam lain dapat mengancam tumbuhan karena dua alasan.
Pertama, dengan cara menurunkan potensial air larutan tanah, garam dapat
menyebabkan kekurangan air pada tumbuhan meskipun tanah tersebut mengandung
banyak sekali air. Hal ini karena potensial air lingkungan yang lebih negatif
dibandingkan dengan potensial air jaringan akar, sehingga air akan kehilangan air,
bukan menyerapnya. Kedua, pada tanah bergaram, natrium dan ion-ion tertentu
lainnya dapat menjadi racun bagi tumbuhan jika konsentrasinya relative tinggi.
Membran sel akar yang selektif permeabel akan menghambat pengambilan
sebagian besar ion yang berbahaya, akan tetapi hal ini akan memperburuk
permasalahan pengambilan air dari tanah yang kaya akan zat terlarut (Campbell,
2003).
Salinitas menekan proses pertumbuhan tanaman dengan efek yang menghambat
pembesaran dan pembelahan sel, produksi protein serta penambahan biomass
tanaman. Tanaman yang mengalami stres garam umumnya tidak menunjukkan
respon dalam bentuk kerusakan langsung tetapi pertumbuhan yang tertekan dan
perubahan secara perlahan. Gejala pertumbuhan tanaman pada tanah dengan tingkat
salinitas yang cukup tinggi adalah pertumbuhan yang tidak normal seperti daun
mengering di bagian ujung dan gejala khlorosis. Gejala ini timbul karena
konsentrasi garam terlarut yang tinggi menyebabkan menurunnya potensial larutan
tanah sehingga tanaman kekurangan air. Sifat fisik tanah juga terpengaruh antara
lain bentuk struktur, daya pegang air dan permeabilitas tanah.

Pertumbuhan sel tanaman pada tanah salin memperlihatkan struktur yang tidak
normal. Penyimpangan yang terjadi meliputi kehilangan integritas membran,
kerusakan lamella, kekacauan organel sel, dan akumulasi Kalsium Oksalat dalam
sitoplasma, vakuola, dinding sel dan ruang antar sel. Kerusakan struktur ini akan
mengganggu transportasi air dan mineral hara dalam jaringan tanaman (Maas dan
Nieman, dalam Sipayung, 2006). Banyak tumbuhan dapat berespon terhadap
salinitas tanah yang memadai dengan cara menghasilkan zat terlarut kompatibel,
yaitu senyawa organic yang menjaga potensial air larutan tanah, tanpa menerima
garam dalam jumlah yang dapat menjadi racun. Namun demikian, sebagian besar
tanaman tidak dapat bertahan hidup menghadapi cekaman garam dalam jangka
waktu yang lama kecuali pada tanaman halofit, yaitu tumbuhan yang toleran
terhadap garam dengan adaptasi khusus seperti kelenjar garam, yang memompa
garam keluar dari tubuh melewati epidermis daun (Campbell, 2003).

Ketika terjadi cekaman salinitas, tanaman bereaksi dalam beragam cara untuk
menghadapi perubahan yang berpotensi merusak. Salah satu hasil dari tekanan
tersebut adalah adanya akumulasi reactive oxygen species (ROS) dalam tanaman,
dimana hal tersebut dapat menghancurkan tanaman dan berakibat pada
berkurangnya produktivitas tanaman. ROS berdampak pada fungsi seluler, seperti
kerusakan pada asam nukleat atau oksidasi protein tanaman yang penting.

Sementara irigasi tanaman pertanian sangat meningkatkan produktivitas, jika


penggunaannya tidak tepat dan tidak efisien akan membuang-buang air irigasi,
mencemari water level dan ground water, menurunkan produktivitas dan mengubah
ekologi tanah yang sangat luas. Kontaminasi pasokan air irigasi menimbulkan
risiko kesehatan dan meningkatkan biaya penggunaan air untuk domestik dan
industri secara drastis. Water level dan groundwater di banyak daerah sedang
terkontaminasi oleh garam, pupuk, herbisida dan pestisida. Polutan ini juga
menurunkankepentingan rekreasidan nilai estetika permukaan air.

Campuran garam dan air segar mengurangi potensi kegunaan dari total persediaan
air. Penggunaan air tercemar untuk irigasi membatasi potensi produksi tanaman,
serta berpotensi membahayakan kesehatan makanan konsumen.

Mekanisme Toleransi Tanaman

Mekanisme toleransi tanaman terhadap garam dapat dilihat dalam dua bentuk
adaptasi yaitu dengan mekanisme morfologi dan mekanisme fisiologi.
Mekanismetoleransi yang paling jelas adalah dengan adaptasi morfologi.

Mekanisme Morfologi

Bentuk adaptasi morfologi dan anatomi yang dapat diturunkan dan unik dapat
ditemukan pada halofita yang mengalami evolusi melalui seleksi alami pada
kawasan pantai dan rawa-rawa asin. Salinitas menyebabkan perubahan struktur
yang memperbaiki keseimbangan air tanaman sehingga potensial air dalam
tanaman dapat mempertahankan turgor dan seluruh proses biokimia untuk
pertumbuhan dan aktivitas yang normal. Perubahan struktur mencakup ukuran daun
yang lebih kecil, stomata yang lebih kecil per satuan luas daun, peningkatan
sukulensi, penebalan kutikula dan lapisan lilin pada permukaan daun, serta
lignifikansi akar yang lebih awal (Harjadi dan Yahya, 1988).

Ukuran daun yang lebih kecil sangat penting untuk mempertahankan turgor.
Sedangkan lignifikansi akar diperlukan untuk penyesuaian osmose yang sangat
penting untuk memelihara turgor yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman dan
aktivitas normal. Respon perubahan struktural dapat beragam pada berbagai jenis
tanaman dan tipe salinitas. Salinitas klorida umumnya menambah sukulensi pada
banyak spesies tanaman. Sukulensi terjadi dengan meningkatnya konsentrasi SO4.
Dengan adaptasi struktural ini konduksi air akan berkurang dan mungkin akan
menurunkan kehilangan air pada transpirasi. Namun pertumbuhan akar yang
terekspos pada lingkungan salin biasanya kurang terpengaruh dibandingkan dengan
pertumbuhan tajuk atau buah. Hal ini diduga terjadi akibat perbaikan keseimbangan
dengan mempertahankan kemampuan menyerap air.

Mekanisme Fisiologi

Bentuk adaptasi dengan mekanisme fisiologi terdapat dalam beberapa bentuk,


antara lain sebagai berikut :

1.) Osmoregulasi (pengaturan potensial osmosis)


Tanaman yang toleran terhadap salinitas dapat melakukan penyesuaian
dengan menurunkan potensial osmosis tanpa kehilangan turgor. Laju
penyesuaian ini relatip tergantung pada spesies tanaman. Penyesuaian
dilakukan dengan penyerapan ataupun dengan pengakumulasian ion-ion
dan sintetis solutesolute organik di dalamsel. Dua cara ini dapat bekerja
secara bersamaan walaupun mekanisme yang lebih dominan dapat beragam
diantara berbagai spesies tanaman (Maas dan Nieman, 1978 dalam Basri,
H., 1991).
Osmoregulasi pada kebanyakan tanaman melibatkan sintetis dan akumulasi
solute organik yang cukup untuk menurunkan potensial osmotik sel dan
meningkatkan tekanan turgor yang diperlukan bagi pertumbuhan. Senyawa-
senyawa organik berbobot molekul rendah yang sepadan dengan aktivitas
metabolik dalam sitoplasma seperti asam-asam organik, asamasam amino
dan senyawa gula nampaknya disintesis sebagai respon langsung terhadap
menurunnya potensial air eksternal. Senyawa-senyawa tersebut juga
melindungi enzim-enzim terhadap penghambatan atau penonaktipan pada
aktivitas air internal yang rendah. Osmotika organik yang utama dalam
tanaman glikofita tingkat tinggi ternyata asam-asam organik dan senyawa-
senyawa gula. Asam malat paling sering menyeimbangkan pengambilan
kation yang lebih. Dalam tanaman halofita, oksalat adalah asam organik
yang menyeimbangkan akibat kelebihan kation. Demikian juga pada
beberapatanaman lainnya, akumulasi sukrosa yang berkontribusi terhadap
penyesuaian osmotika merupakan respon terhadap salinitas (Harjadi dan
Yahya, 1988).
2.) Kompartementasi dan Sekresi Garam
Proses-proses metabolisme dari halofita biasanya dapat toleran terhadap
garam. Kemampuan mengatur konsentrasi garam dalam sitoplasma melalui
transpor membran dan kompartementasi merupakan aspek terpenting bagi
toleransi garam. Kondisi in vivo menjaga enzim terhadap penonaktipan oleh
garam dengan memompakan garam ke luar dari sitoplasma. Garam
disimpan dalam vakuola, diakumulasi dalam organelorganel atau diekskresi
ke luar tanaman. Banyak halofita dan beberapa glikofita telah
mengembangkan struktur yang disebut gland garam dari daun dan batang.
Dengan mendesak ion-ion beracun dalam visicle untuk keperluan
penyesuaian osmotik tanpa menghambat metabolisme, sel tanaman menjadi
dapat toleran terhadap jumlah garam yang lebih besar. Dalam beberapa hal,
daun halofita dan glikofita berkayu merupakan bentuk kompartementasi
yang dapat digugurkan untuk mencegah translokasi garam ke dalam
jaringan yang lebih sehat. Penyesuaian osmotik dan keseimbangan garam
dalam tanaman terus menerus berubah responnya terhadap lingkungan, dan
merupakan inang faktor-faktor internal yang mencakup potensial air,
pertumbuhan dan differensiasi, metabolisme mineral dan hormon.
Faktor–faktor yang mempengaruhi mekanisme pengendali meliputi :
1.) Penyerapan ion secara selektif oleh akar
2.) Transport ion-ion yang dibedakan ke tajuk
3.) Ekstrusi garam secara aktif dari akar dan struktur khusus tanaman
4.) Translokasi ion dan solute lainnya ke dalam berbagai organ dan
kompartemen-kompartemen sel.
3.) Integritas Membran:
Sistem membran semi permeableyang membungkus sel, organel dan
kompartemen-kompartemen adalah struktur yang paling penting untuk
mengatur kadar ion sel.
Semua tanaman yang mengalami banyak tekanan sepanjang siklus hidup
mereka. Tergantung pada jenis tanaman dan sumber stres, tanaman akan
merespon dengan cara yang berbeda. Ketika tingkat toleransi tertentu
tercapai, pada akhirnya tanaman akan mati. Ketika tanaman yang dimaksud
adalah tanaman tanaman, kemudian masalah muncul. Dua faktor
lingkungan utama yang saat ini mengurangi produktivitas tanaman adalah
kekeringan dan salinitas (Serrano, 1999). Kondisi ini menyebabkan reaksi
yang sama pada tumbuhan air akibat stres. Sebagai contoh, penyakit dan
serangga menurunkan kehilangan hasil panen biasanya kurang dari 10 %,
tetapi masalah lingkungan yang parah dapat bertanggung jawab dengan
pengurangan hasil 65% (Serrano, 1999). Ada kendala global pada pasokan
air tawar, dan hal ini telah menimbulkan gelombang minat menggunakan
kembali air (Shannon dan Grieve, 1999). Namun, dalam banyak kasus nilai
air telah menurun karena air asin. stres Garam dapat menjadi tantangan
besar untuk tanaman. Ini membatasi pertanian di seluruh dunia, terutama
pada lahan irigasi (Rausch, 1996). Untuk petani, toleransi tanaman terhadap
sayuran garam adalah penting karena mempunyai nilai ekonomis tinggi
(Shannon dan Grieve, 1999).
BAB III
PEMBAHASAN
Pengelolaan tanaman
Pendekatan yang paling murah dan aman untuk budidaya di lahan salin
adalah memilih tanaman yang toleran atau semi toleran, terutama untuk fase
perkembangan bibit atau fase perkecambahan karena umumnya tanaman
sensitif pada fase pertumbuhan. Suasana salin di pesemaian atau daerah
perakaran akan mengurangi laju perkecambahan.
Tanaman yang toleran terhadap garam mungkin dapat menjadi pilihan
praktis selama proses rehabilitasi. Namun demikian, perlu dipertimbangkan
bahwa memperkenalkan tanaman baru tidaklah mudah. Evaluasi secara
teliti menyangkut kemampuan adaptasi, pasar dan hambatan-hambatan
teknis harus dihindarkan, dan saran dari para ahli sangat dibutuhkan.
Identitas dan analisis morfologi, fisiologi serta genetika ketahanan terhadap
cekaman salinitas akan memberikan kontribusi nilai jangka panjang dalam
penyediaan, pengembangan dan manipulai tanaman-tanaman yang toleran
terhadap cekaman salinitas di Indonesia.untuk keperluan masa-masa yang
akan datang lahan-lahan ekstensifikasi pertanian dihadapkan kepada
masalah pemanfaatan lahan-lahan marjinal seperti tanah salin.
Pengelolaan tanah
Pengaturan bedengan dan model tanam
Pengelolaan tanah dapat dilaksanakan dengan mencegah terjadinya
akumulasi garam (salt) pada daerah perakaran, yaitu dengan mengatur
gundukan barisan tanaman. Salah satu cara dengan double row bed pada
tanah yang tingkat salintasnya tidak terlalu tinggi. Dengan cara single row
bed maka akan terjadi akumulasi garam di daerah perakaran. Penggunaan
irigasi sprinkler pada saat pre-emergen dapat mencegah akumulasi garam
atau dengan spesial furrow (Rhodes dan Loveday, 1996).
Penggunaan bahan kimia dan amelioran
Penggunaan bahan-bahan kimia, seperti kapur, dapat memperbaiki
perkembangan bibit tanaman, memperbaiki kualitas air yang masuk dan
disimpan, meningkatkan pencucian garam-garam terlarut, mengurangi
biaya pengolahan tanah.
Gypsum menggantikan ion sodium dalam tanah dengan kalsium, dan
sebagai akibatnya secara aktif membuang sodium dan meningkatkan
perkolasi tanah. Pilihanini dapat diaplikasikan hanya ketika pH tanah lebih
tinggi dari 8,5 (misalnya tanah sodik) dan jika cara mekanis sederhana tidak
efektif menghancurkan lapisan padat liat/debu. Gypsum yang tersedia di
Surabaya sekitar Rp 50.000.-per/50 kg. Jika dosis 6 ton per hektar maka
kebutuhan gypsum per hektar 6x 20xRp. 50.000=Rp. 6.000.000, Bahan
amelioran lainnya yang dapat digunakan adalah pupuk organik, baik berupa
pupuk kandang, pupuk hijau, maupun kompos dari bahan sisasisa tanaman
dan gulma. Tujuan pemberian bahan amelioran ini adalah untuk
menyeimbangkan hara terutama terhadap ratio antara Na, Ca dan Mg atau
menurunkan nilai ESP dari tanah.
Catatan :Pupuk kimia BUKAN solusinya
Pupuk tidak menyelesaikan masalah salinitas tanah. Pupuk hanya sebagi
sumber nutrisi tanaman dan tidak dapat membuang garam dari tanah. Akan
tetapi pupuk organik dan pemulsaan dapat membantu menurunkan salinitas
tanah dengan memperbaiki struktur tanah dan dengan demikian juga
perkolasi-nya.
Drainase yang baik
Drainase yang baik sama pentingnya dengan air bersih untuk mencuci
secara efektif garam dari suatu lahan. Kecuali jika daya serap alami tanah
dan kondisi drainase yang baik memungkinkan terjadinya perkolasi air dan
drainase dari lahan. Memperbaiki kondisi drainase permukaan dengan cara
menggali saluran di lahan sawah adalah alternatif yang efektif. Untuk
tanaman-tanaman lahan kering bernilai ekonomi yang ditanaman dalam
kondisi basah, pembuatan bedengan sangat direkomendasikan untuk
menjamin kodisi yang paling cocok bagiakar tanaman.
Menghancurkan lapisan liat/debu atau dengan pencampuran
Satu pilihan yang efektif untuk mempercepat pencucian garam adalah
menghancurkan lapisan permukaan dengan pengolahan tanah, baik dengan
atau tanpa mencampur bagian permukaan tersebut dengan tanah di
bawahnya.
Untuk lahan kering, hal ini akan meningkatkan perkolasi.
Untuk lahan sawah, pencampuran akan secara aktif melepaskan garam ke
dalam air, yang kemudian harus dibuang dengan cara penggelontoran
permukaan.
Pada kawasan sawah tadah-hujan, ini dapat dilakukan selama musim
kemarau ketika tanah lebih keras dan pekerjaannya menjadi lebih
mudah, antara lain untuk membantu proses pencucian pada saat musim
hujan berikutnya mulai. Tanaman yang toleran terhadap garam mungkin
dapat menjadi pilihan praktis selama proses rehabilitasi. Berikut ini
adalah daftar singkat dari tanaman-tanaman yang toleran terhadap garam.
Namun demikian, perlu dipertimbangkan bahwa memperkenalkan
tanaman baru tidaklah mudah. Evaluasi secara teliti menyangkut
kemampuan adaptasi, pasar dan hambatan-hambatan teknis harus
dihindarkan, dan saran dari para ahli sangat dibutuhkan.
Mengeruk lapisan permukaan (endapan)
Kerjaan ini tidak praktis dan mahal. Pengerukan lapisan liat/debu di
permukaan adalah sesuatu yang menarik sebagai cara tercepat untuk
membuang garam. Namun perlu dipikirkan, bahwa hanya 1 cm endapan per
hektar sama dengan 100 meter kubik. Satu meter kubik kurang lebih sekitar
15 gerobak dorong (wheel barrows) penuh, dan standar muatan truk besar
adalah 8 sampai 10 ton. Dalam hal ini, keuntungan secara ekonomis sudah
harus dikalkulasikan terlebih dahulu. Sebagai tambahan, lahan harus
disiapkan dengan hati-hati agar tidak terjadi intrusi air garam dari lahan di
sekitarnya. Pengerukan tanah yang bergaram secara layak juga merupakan
masalah; penimbunan kawasan pantai mungkin efektif dilihat dari segi
salinitas, tetapi membawa resiko lain bagi lingkungan.
2. Pengelolaan air
Pada daerah-dareah dengan intensitas curah hujan yang tinggi, pencucian
terhadap konsentrasi garam yang tinggi dapat dilaksanakan mengandalkan
jumlah curah hujan tersebut. Hal terbukti dari laporan Balai Penelitian
Tanah (Balit Tanah) bahwa pada awal terjadinya tsunami EC 40,97 dS/m
dan setelah 7-8 bulan telah turun menjadi sekitar 5,5 dS/m, hal ini merupa-
kan cara pencucian yang sangat efektif.
Cara lainnya dengan menggunakan air dari sungai-sungai yang airnya tidak
salin. Air yang berasal dari sungai yang tawar dapat mengencerkan air asin.
Untuk daerah persawahan, pembuatan parit-parit kelililing dan mengisinya
dengan air hujan atau air sungai akan dapat mengencerkan air asin yang
masuk.
Kebutuhan utama dalam pengelolaan air untuk mengendalikan salinitas,
antara lain: frekuensi irigasi, kecukupan pencucian, drainase, serta kontrol
kedalaman air tanah. Keseluruhan pengelolaan air adalah untuk menjaga
keseimbangan antara air irigasi dengan evapotranspirasi, yang disesuaikan
dengan kebutuhan air oleh tanaman serta menurunkan kadar garam yang ada
di daerah perakaran tanaman. Dengan pendekatan yang tepat, yaitu
pemilihan varietas yang toleran, pencucian salinitas tanah dan pemberian
bahan-bahan amelioran, maka budidaya tanaman sayuran dan serealia dapat
dilaksanakan pada lahan-lahan bergaram.
Pencucian dengan air bersih untuk desalinisasi
Air bersih adalah satu-satunya unsur penting untuk desalinisasi. Tabel
berikut ini memperlihatkan jumlah air infiltrasi yang dibutuhkan untuk
pencucian (catatan: BUKAN HUJAN, karena sebagian di antaranya hilang
melalui evaporasi, yang dapat mencapai 1.500 mm per tahun di wilayah ini,
dan/atau aliran permukaan) yang dibutuhkan untuk dapat mencapai EC(e)
di bawah 4 dari nilai-nilai EC(e) sebelumnya. Pastikan bahwa air tersebut
benar-benar melewati zona perakaran untuk melaksanakan fungsinya.
Sebagai tambahan, beberapa wilayah di pantai timur pada kenyataannya
cukup kering, sehinggadibutuhkan pendekatan yang lebih teliti.
Selain penggunaan air bersih, teknik-teknik baru yang perlu dikembangkan
dan dilaksanakan adalah untuk mengurangi penggunaan air yang berlebihan
dan menghemat pasokan air yang terbatas dan cara yang lebih efektif.
Efisiensi irigasi perlu ditingkatkan dengan penerapan strategi manajemen
yang tepat, sistem dan praktek-praktek dan melalui pendidikan dan
pelatihan. Penggunaan kembali air limbah, termasuk penggunaan air dan
drainase air tanah dangkal garam untuk produksi tanaman, harus membuat
komponen integral dari pengelolaan air irigasi, konservasi air dan program
perlindungan lingkungan. Salinitas efektif tindakan pengendalian harus
dilaksanakan untuk mempertahankan irigasi pertanian dan untuk mencegah
pencemaran sumber daya air yang terkait. Langkah-langkah tersebut harus
dipilih dengan pengakuan atas proses-proses alam yang beroperasi dalam
irigasi, sistem geohydrologi, pertanian, dan pemahaman tentang bagaimana
mereka mempengaruhi kualitas air tanah dan sumber daya serta produksi
tanaman.
Penggunaan Sumber-sumber air bersih
Dalam konteks kualitas, ‘air bersih’ diartikan sebagai air dengan daya hantar
listrik rendah, dan memiliki nilai EC yang kurang dari 0,5 mS/cm. Air yang
memiliki nilaisampai 2,0 mS/cm juga masih dapat digunakan, tetapi
pengaruh pencuciannya akanlebih rendah. Untuk mengujinya, celupkan
elektroda (EC meter) ke dalam air tanpatanah. Air hujan adalah yang ideal,
karena nilai EC-nya hampir 0.
Hati-hati menggunakansumberairyang EC-nya > 2.5 mS/cm, karena akan
menjadikan EC tanah dua kali lipatnya. Air dari sumur bor mungkin lebih
dapatdigunakan, tetapi air tersebut lebih dibutuhkan untuk konsumsi
manusia (air minum)selain juga biaya pemompaannya yang lebih mahal.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Study Kasus

Pada prinsipnya, setiap tumbuhan memiliki kisaran tertentu terhadap factor


lingkungannya. Prinsip tersebut dinyatakan sebagai Hukum Toleransi
Shelford, yang berbunyi “Setiap organisme mempunyai suatu minimum dan
maksimum ekologis, yang merupakan batas bawah dan batas atas dari
kisaran toleransi organism itu terhadap kondisi factor lingkungannya”
(Dharmawan, 2005). Kondisi di atas ataupun di bawah batas kisaran
toleransi itu, makhluk hidup akan mengalami stress fisiologis. Pada kondisi
stress fisiologis ini, populasi akan menurun. Apabila kondisi stress ini terus
berlangsung dalam waktu yang lama dan telah mencapai batas toleransi
kelulushidupan, maka organism tersebut akan mati.

Tanaman Padi

Pada kenyataannya, penelitian tentang salinitas dalam produksi padi masih jarang.
Walaupun tidak ada laporan tentang padi lokal yang bertahan saat tsunami di
Indonesia, pada berbagai daerah terutama di lahan rawa pinggir pantai dimana tanah
dipengaruhi oleh air laut (seperti daerah pasang-surut), pertumbuhan dan hasil
gabah beberapa varietas padi cukup baik, walaupun tanah bersifat salin dan asam.

Beberapa uji adaptasi menunjukkan bahwa beberapa varietas padi lebih mampu
beradaptasi/toleran terhadap salinitas dibandingkan yang lainnya. Pengujian di
Aceh Besar–NAD pada lahan terkena tsunami menunjukkan bahwa beberapa
varietas dari lahan pasang-surut toleran terhadap salinitas pada stadia vegetatif,
yaitu Mendawak, Krueng Aceh, Seilalan, Banyu Asin dan Cisadane, dan mereka
juga respon terhadap drainase dan pemupukan. Dari uji adaptasi yang dilakukan di
ParigiPelabuhan Ratu (lahan yang dipengaruhi air pasang di pantai selatan Jawa
Barat) Kapuas, Lambur dan suatu varietas lokal, berikut beberapa galur dari IRRI
(International Rice Research Institute) digolongkan toleran terhadap salinitas pada
stadia vegetatif. Namun evaluasi lebih jauh dari varietasvarietas ini dalam hal
toleransi terhadap salinitas memerlukan data yang lebih akurat.

Bagi pengembangan tanaman padi di NAD pasca tsunami, usaha-usaha perbaikan


berikut dapat dilakukan: 1) gunakan varietas padi tahan salin; 2) siapkan fasilitas
drainase untuk mencucikelebihan garam-garam dan 3) pengelolaan nutrisi tanaman
yang baik, termasuk hara mikro.

Tanaman padi yang mengalami stress garam pertumbuhannya akan terhambat,


dikarenakan kadar garam yang tinggi dapat mereduksi tinggi tanaman, kadar
klorofil dan kadar kalium “shoot”., dan Meningkatkan kadar natrium pada batang
tanaman. Pemberian Putresin pada tanaman yang mengalami stress garam dapat
meningkatkan perkembangan tanaman. Putresin memiliki kemampuan untuk
meningkatkan pertumbuhan, kadar klorofil, produksi bulir dan kadar kalium
“shoot” tanaman padi yang tumbuh pada kondisi stress garam. Tanaman padi
merupakan tanaman yang tolerannya sedang terhadap stress garam.

Menurut Brinkman and Singh (1982) gejala keracunan garam pada tanaman padi
berupa terhambatnya pertumbuhan, berkurangnya anakan, ujung-ujung daun
bewarna keputihan dan sering terlihat bagian-bagian yang khlorosis pada daun, dan
walaupun tanaman padi tergolong tanaman yang tolerannya sedang, pada nilai EC
sebesar 6-10 dS m-1 penurunan hasil gabah mencapai 50%. Lebih jauh, Dobermann
and Fairhurst (2000) menyimpulkan bahwa padi relatif lebih toleran terhadap
salinitas saat perkecambahan, tapi tanaman bisa dipengaruhi saat pindah tanam,
bibit masih muda, dan pembungaan.

Pengaruh lebih jauh terhadap tanaman padi adalah: 1) berkurangnya kecepatan


perkecambahan; 2) berkurangnya tinggi tanaman dan jumlah anakan;
3)pertumbuhan akar jelek; 4) sterilitas biji meningkat; 5) kurangnya bobot 1000
gabah dan kandungan protein total dalam biji karena penyerapan Na yang
berlebihan; dan 6) berkurangnya penambatan N2 secara biologi dan lambatnya
mineralisasi tanah. Menurut Mengel and Kirkby (1979), pengaruh merusak dari
salinitas sering juga tergantung pada stadia pertumbuhan tanaman. Bagi
kebanyakan jenis tanaman stadia bibit adalah sangat peka terhadap salinitas. Pada
umumnya tanaman serealia, hasil biji kurang dipengaruhi dibanding jerami. Tapi
pada padi sebaliknya yang terjadi; tanaman padi paling peka pada stadia berbunga
dan pembentukan biji.

Tingkatan stressgaram dapat mempengaruhitanaman secara berbeda. Untuk padi,


salinitas tanah Ece ~ 4 dS/mdipertimbangkan salinitas sedang , namun jika Ece > 8
dS/mmenjadi tinggi. untukpH 8.8-9.2 dipertimbangkan sebagai non-stress
sedangkan pH antara9.3–9.7sebagai stressmoderate dan setara dengan atau lebih
besar dari 9.8sebagai stress lebih berat. (pH1:2 adalahpHlarutan dengan satu bagian
tanah dan 2 bagian air destilasi).

Kondisi stressgaram sangat tinggi membunuh tanaman namun


kondisimoderatehingga rendah mempengaruhi kecepatan pertumbuhan tanaman
yang diwujudkan dalam gejala yang dapat diasosiaikan dengan morphologi,
physiologi, atau biochemical.
Terdapat beberapa jenis tumbuhan yang mampu hidup dengan baik pada habitat
dengan tingkat salinitas tinggi, dan disebut sebagai halofit. Tumbuhan tersebut
teradaptasi terhadap konsentrasi garam yang tinggi melalui beberapa mekanisme.
Suatu gen ketahanan salinitas telah berhasil di-introduksikan dari tumbuhan halofit,
Atriplex gmelini, ke varietas padi yang peka salinitas (varietas Kinuhikari dari
Jepang) membentuk padi transgenik yang lebih tahan salin (Masaru et al. 2002).

Tanaman serealia

Sebagian besar tanaman serealia seperti padi, jagung, kedelai, kacang tanah, serta
kacang-kacangan lainnya memberikan reaksi bervariasi dari semi toleran sampai
sensitif. Tanaman serealia yang toleran terhadap salinitas adalah barley (Maas
1984, Jumberi 2002). Tanaman serealia yang memberikan reaksi semi toleran
adalah kedelai, shorgum dan gandum; sedangkan padi, kacang tanah, jagung,
kacang tunggak memberikan reaksi semi sensitif (Maas 1984). Bahkan hasil
penelitian Jumberi (2002), jagung (sweet corn) varietas Meter Bantam bereaksi
sensitif pada tanah salin-sodik (ESP = 6,6 dan EC = 4,1 dan pH = 7,6). Varietas
padi lokal Palas di Kalimantan Selatan menunjukkan reaksi semi toleran, sedangkan
varietas Bayar Pahit dan Siam Unus peka terhadap salinitas (Waluyo 2005).

Batas ambang setiap tanaman palawija, adalah: barley 8 dS/m, jagung 1,7 dS/m,
kacang tanah 3,2 dS/m, kacang tunggak 4,9 dS/m, gandum 6,0 dS/m, kedelai 5,0
dS/m (Francois dan Maas, 1985). Umumnya, tanaman palawija peka pada stadia
perkecambahan sampai 3 minggu setelah tanam (Cramer, 1996). Jika EC tanah
sekitar 5,5 dS/m bila tanpa penerapan teknologi maka tanaman serealia yang bisa
diusahakan menjadi sangat terbatas, yaitu barley, gandum dan kemungkinan kedelai
serta kacang tunggak.

Daftar tanaman yang memiliki toleransi tinggi/sedang terhadap garam

Tanaman sayuran
Respon tanaman sayuran terhadap tingkat salinitas tanah juga berbeda. Tanaman
sayuran yang toleran terhadap salinitas adalah asparagus, sedangkan yang sensitif
(peka) adalah kacang buncis (Maas, 1984). Batas ambang dari beberapa tanaman
sayuran antara lain: buncis 1,0 dS/m, kubis 1,8 dS/m,jagung Manis 1,7 dS/m,
mentimun 2,5 dS/m, seledri 1,8 dS/m, Lettuce 1,3 dS/m, bawang merah 1,2 dS/m,
bayam 2,0 dS/m, tomat 2,5 dS/m, kentang 1,7 dS/m dan lombok 1,5 dS/m (Francois
dan Maas, 1985). Data tersebut menunjukkan bahwa tanaman sayuran umumnya
peka terhadap salinitas.

Jagung

Jagung mempunyai tingkat toleransi pada Ec sekitar 1.7 mS/cm. Hasil uji coba
tanaman jagung lokal dan EC air salin antara 0-3.6 mS/cm menunjukkan bahwa
jagung madura mempunyai tingkat toleransi paling rendah dibanding Pasuruan dan
Probolinggo. Namun jagung madura mempunyai nilai ambang sekitar 1,8

Tanaman Kedelai

Percobaan : Penambahan garam NaCl 70, 80, 90, dan 100 mM pada media basal
yang ditanami 10 galur Kedelai. Gejala pertumbuhansecara visual, persentase
perkecambahan, rasio berat basah/berat kering dan persentase kematian tunas
apikal. Hasil: galur yang toleran garam adalah Wilis, Malabar dan Sindoro, galur
sensitif adalah Lumut, Yellow Biloxy, Si Cinang dan Sriyono, sedangkan yang
sedang adalah Genjah Jepang, Lokan, dan Tidar.

Tabel 1. Pengaruh peningkatan konsentrasi NaCl terhadap rasio BB/BK tunas dan
akar 10 galur kedelai

Sampel tanah diambil pada bulan Juli 2009 dari lahan pekarangan petani desa
Sawohan, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo pada kedalaman 0-20 cm. Jenis
tanah tersebut diklasifikasi sebagai tanah salin rendah karena pH<8, SAR < 15 dan
Na-dd rendah. C-organik rendah, dan basa-basa dapat ditukar tergolong sedang
(Tabel 1). Nilai EC tanah sebesar 0.25 mS/cm tergolong klas salinitas rendah, dan
aman bagi prtumbuhan tanaman. pH mendekati netral ideal untuk pertumbuhan
tanaman. Nilai SAR tanah adalah 1,55, didapat dari turunan rumus:SAR = Na/√
(Ca+Mg)/2. Nilia ini merupakan nilai yang tidak bermasalah bagi tanaman, karena
kandungan Na-dd lebih rendah dari kadar membahayakan tanaman pada umumnya.
Nilai C/N ratio didapat dengan membagi niali N-total dengan Corganik total,
nilainya sebesear 8,79 dan tergolong agak rendah dari standar C/N tanah ideal yaitu
sekitar 12-15. Hal ini menunjukkan kalau cazdanagn C-organik rendah, sehingga
perlu selalu menambahkan bahan organik lagi ke dalam tanah jika digunakan untuk
budidaya.

Anda mungkin juga menyukai