LAPORAN PRAKTIKUM
MANAJEMEN LINGKUNGAN PETERNAKAN
Oleh :
Kelompok 7 B
Departemen : PETERNAKAN
Menyetujui,
Koordinator Kelas Asisten Pembimbing
Peternakan B
Mengetahui,
Ozalia Zulfa
23010114130113
PENGUKURAN KENYAMANAN LINGKUNGAN TERNAK DAN
PENGELOLAAN LIMBAH PETERNAKAN
TUJUAN
frekuensi nadi, frekuensi nafas yang dihitung menggunakan rumus HTC (Heat
Tolerance Coefficient) meliputi index Rhoad dan index Benezra serta tentang cara
MANFAAT
(Temperature Humidity Index) dan cara menghitung keadaan fisiologi ternak yang
meliputi suhu rektal, frekuensi nadi, frekuensi nafas dan dihitung menggunakan
rumus HTC (Heat Tolerance Coefficient) yang meliputi perhitungan index Rhoad,
limbah peternakan untuk di jadikan produk yang dapat digunakan dengan baik
dan bermanfaat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sapi potong merupakan jenis ternak yang dipelihara dengan tujuan untuk
hasil rataan suhu udara dalam kandang yaitu sebesar 27,12oC dan suhu rataan luar
kandang yaitu sebesar 28,67oC dimana kondisi kandang yang berada di Fakultas
Peternakan dan Pertanian cocok untuk beternak sapi potong karena sesuai dengan
standar suhu yang sesuai untuk sapi potong. Hal ini sesuai dengan pendapat
Yulianto dan Saparinto (2010) menyatakan bahwa suhu normal untuk ternak sapi
kandang sebesar 85,11% dan kelembaban luar kandang sebesar 75,89%, suhu
yang terlalu tinggi akan mengakibatkan sapi potong mengalami stres, suhu tinggi
karena keseimbangan panas yang dihasilkan dari dalam tubuh akan terganggu
konsumsi pakan yang menyebabkan tingkat produktivitas akan terganggu. Hal ini
konsumsi pakan sapi potong yang disebabkan oleh suhu tinggi untuk dapat
produktivitas.
udara yang berada di lingkungan sekitar peternakan. Hal ini sesuai dengan
merupakan index kelembaban panas yang dapat dilihat dari suhu dan kelembaban
lingkungan ternak atau juga dapat dilihat dari kenyamanan ternak di dalam
suhu ini sapi potong mengalami stres sedang karena melebihi nilai normal. Hal ini
sesuai dengan pendapat Fajar dan Isroli (2015) yang menyatakan bahwa nilai
temperature humidity indexsapi potong mempunyai 4 zona antara lain zona putih
dengan nilai THI berada pada nilai 69 – 74 dan sapi dalam kondisi normal, zona
kuning cerah dengan nilai THI berada pada nilai 75 – 78 dan sapi dalam kondisi
stres ringan, zona kuning gelap dengan nilai THI berada pada nilai 79 – 83 dan
sapi mengalami stres sedang, dan yang terakhir yaitu zona merah dengan nilai
Tabel 2. Rataan Suhu Rektal, Frekuensi Nadi, Frekuensi Nafas dan HTC (Heat
Tolerance Coefficient) Sapi Potong
Parameter Hasil Standar
Suhu Rektal (oC) 37,57a 38-39b
a
Frekuensi Denyut Nadi (kali/menit) 78 36-80 b
Frekuensi Nafas (kali/menit) 31,22 a 10-30 b
a
Index Rhoad 95,50 100c
Index Benezra 2,53 a 2c
Sumber :
a. Data Primer Praktikum Manajemen Lingkungan Peternakan, 2017
b. Fajar dan Isroli (2015)
c. Putera (2016)
Peranakan Frisien Holstein (PFH) jantan sebesar 37,570C yang berada di bawah
standar suhu rektal sapi potong menandakan bahwa sapi tidak dapat
menyesuaikan suhu tubuh pada lingkungannya. Hal ini sesuai dengan pendapat
Fajar dan Isroli (2015) yang menyatakan bahwa kisaran normal suhu rektal sapi
potong yaitu sebesar 38 - 39,50C. Suhu rektal atau suhu tubuh berbeda disebabkan
hilangnya air tubuh akibat penguapan dan suhu tubuh dipengaruhi oleh suhu
lingkungan ternak, umur, jenis kelamin, musim, siang atau malam dan pakan. Hal
ini sesuai dengan pendapat Fernanda (2013) yang menyatakan bahwa suhu rektal
bervariasi karena dipengaruhi oleh lingkungan, umur, jenis kelamin, musim, siang
kali/menit yang sesuai dengan kisaran standar dan frekuensi nafas lebih tinggi
sedikit dari standar yaitu sebesar 31,22 kali/menit. Hal ini sesuai dengan pendapat
Fajar dan Isroli (2015) yang menyatakan frekuensi nadi normal pada kisaran 36-
merupakan cara ternak untuk mengurangi panas tubuh karena lingkungan dan
ferkuensi nafas dipengaruhi oleh ternaknya sendiri baik ukuran tubuh, umur,
aktifitas ternak maupun suhu lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat
upaya ternak untuk mengurangi panas tubuh yang disebabkan oleh lingkungan
sekitar ternak dan frekuensi nafas dipengaruhi oleh ukuran tubuh, umur, aktifitas
terhadap cekaman panas yang dapat dihitung menggunakan koefisien Rhoad dan
koefisien Benezra. Index rhoad sapi PFH jantan diperoleh hasil sebesar 95,50
yang tergolong baik karena mendekati standar yaitu 100 dan index Benezra sapi
PFH jantan sebesar 2,53 yang lebih tinggi dari standar yaitu 2 sehingga dapat
dikatakan daya tahan ternak terhadap panas rendah. Hal ini sesuai dengan
koefisien Benezra serta index rhoad yang baik yaitu 100 yang merupakan angka
daya tahan ternak terhadap panas yang sempurna dan index benezra yang
sempurna adalah 2 apabila lebih dari 2 maka dikatakan bahwa daya tahan
panasnya semakin rendah. Nilai HTC dipengaruhi oleh keadaan panas lingkungan
ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Fajar dan Isroli (2015) yang menyatakan
C. Perkandangan
bahwa kandang sapi potong sudah sesuai digunakan sebagai kandang sapi potong,
hal ini didukung tipe kandang terbuka, dimana tipe kadang terbuka bertujuan agar
ternak dapat mendapatkan sirkulasi udara yang lancar. Bahan atap kandang sapi
potong ini berupa asbes dengan tinggi atap 5 m, ketinggian atap sangat ideal
karena dapat mengontrol kondisi suhu dalam kandang, asbes merupakan bahan
atap yang paling baik karena tidak akan menimbulkan panas yang dapat
mengganggu kenyamanan ternak, menjaga ternak dari terik matahari dan menjaga
kehangatan sapi dimalam hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Abidin (2008) yang
menyatakan bahwa kontruksi bahan atap asbes ideal digunakan untuk mencegah
timbulnya panas yang dapat mengganggu ternak. Bahan lantai kandang sapi
potong terbuat dari beton dengan kontruksi lantai miring yang bertujuan untuk
memudahkan dalam pembersihan feses ternak, permukaan yang keras, rata dan
tidak licin akan membuat ternak merasa nyaman serta tidak berbahaya bagi
ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Yulianto (2010) yang menyatakan bahwa
permukaan lantai kandang yang keras dan tidak licin membuat rasa nyaman saat
Kandang sapi potong sudah nyaman untuk digunakan karena terdapat dinding
pembatas berbahan besi yang bertujuan untuk memisahkan ternak satu dengan
ternak yang lain agar dalam pemberian pakan lebih efektif dan efisien. Kandang
tempat saluran pembuangan feses, urin dan saluran pembuangan air dari bekas
pemandian sapi potong. Kandang sapi potong yang diukur dari segi luas kandang
kurang ideal karena ukurannya dibawah standardengan panjang 12,5 m dan lebar
8,5 m sehingga luas dari kandang sapi potong 106,25 m2, kandang yang kurang
peternak untuk melakukan sanitasi. Luas kandang yang kurang dari ukuran
standar mengakibatkan sirkulasi udara terganggu dan sapi potong tidak dapat
bergerak dengan bebas. Sirkulasi udara yang kurang baik secara terus menerus
karena sapi merasa tidak nyaman dengan kondisi lingkungan yang dapat
mencapai 19,45 m dan lebar 13,55 m, luas kandang yang kurang dari nilai standar
maka akan menimbulkan cekaman panas pada ternak karena sikulasi udara yang
tidak lancar.
D. Pengelolaan Limbah
Limbah peternakan adalah hasil sisa atau hasil buangan pada proses
limbah padat dan cair. Limbah padat (feses) dimanfaatkan menjadi pupuk kompos
dan biogas limbah cair urin sapi dapat dimanfaatkan sebagai pupuk cair. Menurut
senyawa yang sederhana dengan bantuan mikroorganisme dan bahan utama bisa
didapatkan dari feses dan urin sapi serta bahan seperti serbuk gergaji atau sekam,
jerami padi dll, yang didekomposisi dengan bahan pemacu mikroorganisme dalam
tanah. Hal ini didukung oleh pendapat Saputra dkk. (2010) yang menyatakan
bahwa feses pada sapi dapat digunakan untuk biogas secara maksimal dengan
penambahan ampas tebu. Limbah peternakan jika tidak dilakukan pengolahan atau
daur ulang akan menyebabkan pencemaran lingkungan seperti jika urin hanya
dibuang atau dialirkan akan mencemari sumber air yang ada disekitar usaha
peternakan tersebut, feses dari hasil usaha peternakan merupakan penghasil metan
rumah kaca jika tidak didaur ulang kembali. Efek rumah kaca akan berdampak
pada peningkatan suhu di bumi sehingga ternak juga akan dapat terkena dampak
karena proses homeostasis pada tubuh ternak akan terganggu seiring kenaikan
suhu lingkungan sekitar usaha peternakan. Menurut Chadwick dkk. (2011) sektor
sebesar 12% - 41% dari total sektor pertanian. Philippe dan Nicks (2014)
menambahkan bahwa gas metana dihasilkan dari degradasi bahan organik pada
A. Simpulan
lingkungan kandang dalam keadaan tidak normal karena ternak mengalami stres
sedang. Suhu rektal di bawah standar yang menandakan ternak dalam keadaan
tidak sehat, frekuensi nadi dan nafas normal menandakan keadaan ternak optimal
karena dalam keadaan normal, hal tersebut menandakan ternak dalam kondisi
tidak stres. Berdasarkan perhitungan HTC indeks rhoad mendekati standar dan
indeks benezra tinggi tersebut menandakan bahwa ternak tidak tahan terhadap
yang dapat menganggu lingkungan misalnya peningkatan gas metan dan amonia.
B. Saran
limbah menjadi biogas harus memperhatikan tata cara yang benar sesuai standar
pengolahan limbah.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, A. 2010. Sistem termoregulasi dan tingkah laku sapi pada ransum yang
berbeda. Fakultas peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. [Skripsi].
Fajar, M. Y. dan Isroli, 2015. Perbedaan responsiologis dan daya tahan panas sapi
potong dan perah di UPT. PT HMT JEMBER. Prosiding Seminar
Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan.(Seri III), Purwokerto.
591 – 596.
Putra. 2016. Identifikasi daya tahan panas sapi pasundan di BPPT Cijeungjing
Kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis. E-journals. 5(4): 1-8.
Suherman, D. 2014. Efek tvaktu pemberian pakan dan level energi terhadap
cekaman berdasarkan suhu rektal dan kulit Sapi dara Fries Holland. J.
Sain Peternakan. 9(2): l17-l29.
Yulianti, N., Erwanto dan Siswanto. 2015. Proporsi pemberian ransum yang
berbeda pada pagi, siang dan malam terhadap respon fisiologi dan
produksi sapi peranakan simental. J. Ilmiah Peternakan Terpadu. 3 (2):
70-77.
Yulianto. P dan Cahyo. S. 2010. Pembesaran Sapi Potong Secara Intensif. Penebar
Swadaya. Jakarta.