Anda di halaman 1dari 14

PENGUKURAN KENYAMANAN LINGKUNGAN TERNAK

SERTA PENGELOLAAN LIMBAH PETERNAKAN

LAPORAN PRAKTIKUM
MANAJEMEN LINGKUNGAN PETERNAKAN

Oleh :

Kelompok 7 B

Cranika Putri R 23010115120053


Ferlina Siska 23010115120077
Muhamad Zaki A 23010115120078
Andika 23010115120102
Muhamad Dinar A 23010115140104

PROGRAM STUDI S-1 PETERNAKAN


DEPARTEMEN PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : PENGUKURAN KENYAMANAN LINGKUNGAN


TERNAK DAN PENGELOLAAN LIMBAH
PETERNAKAN

Program Studi : S-1 PETERNAKAN

Departemen : PETERNAKAN

Fakultas : PETERNAKAN DAN PERTANIAN

Tanggal Pengesahan : April 2017

Menyetujui,
Koordinator Kelas Asisten Pembimbing
Peternakan B

Agung Husna Hidayatulloh Yola Septyana


23010114120037 23010114130146

Mengetahui,

Koordinator Umum Asisten


Manajemen Lingkungan Peternakan

Ozalia Zulfa
23010114130113
PENGUKURAN KENYAMANAN LINGKUNGAN TERNAK DAN
PENGELOLAAN LIMBAH PETERNAKAN

TUJUAN

Tujuan dari praktikum Manajemen Lingkungan Peternakan ini untuk

mengukur tingkat kenyamanan lingkungan ternak dengan menggunakan

pengukuran fisiologi lingkungan yang meliputi rataan suhu dan kelembapan

kandang menggunakan rumus THI (Temperature Humidity Index) serta dengan

menggunakan pengukuran fisiologi ternak yang meliputi rataan suhu rektal,

frekuensi nadi, frekuensi nafas yang dihitung menggunakan rumus HTC (Heat

Tolerance Coefficient) meliputi index Rhoad dan index Benezra serta tentang cara

pengelolaan limbah peternakan yang baik dan benar.

MANFAAT

Manfaat yang dapat diperoleh dari praktikum Manajemen Lingkungan

Peternakan ini adalah praktikan mampu untuk mengetahui cara menghitung

tingkat kenyamanan lingkungan pada ternak menggunakan rumus THI

(Temperature Humidity Index) dan cara menghitung keadaan fisiologi ternak yang

meliputi suhu rektal, frekuensi nadi, frekuensi nafas dan dihitung menggunakan

rumus HTC (Heat Tolerance Coefficient) yang meliputi perhitungan index Rhoad,

index Benezra dan praktikan dapat mengetahui pengelolaan dan pemanfaatan

limbah peternakan untuk di jadikan produk yang dapat digunakan dengan baik

dan bermanfaat.
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Fisiologi Lingkungan dan THI(Temperature Humidity Index)

Tabel 1. Rataan Suhu dan Kelembapan Kandang Sapi Potong


Suhu Kelembapan
Pukul
Dalam Luar Dalam Luar
-------------oC-------------- ---------------%--------------
05.00 26,20 27,00 91,00 78,33
12.00 27,40 29,33 83,00 76,00
18.00 27,77 29,67 81,33 73,33
Rata-Rata 27,12 28,67 85,11 75,89
Sumber : Data Primer Praktikum Manajemen Lingkungan Peternakan, 2017

Tabel 2. Hasil Perhitungan THI (Temperature Humidity Index)


Parameter Hasil Standar
THI 79,04a
79,90b
Sumber :
a. Data Primer Praktikum Manajemen Lingkungan Peternakan, 2017
b. Fajar dan Isroli (2015)

Sapi potong merupakan jenis ternak yang dipelihara dengan tujuan untuk

dimanfaatkan sebagai ternak penghasil daging, kondisi suhu sapi potong

berdasarkan dari data praktikum manajemen lingkungan peternakan didapatkan

hasil rataan suhu udara dalam kandang yaitu sebesar 27,12oC dan suhu rataan luar

kandang yaitu sebesar 28,67oC dimana kondisi kandang yang berada di Fakultas

Peternakan dan Pertanian cocok untuk beternak sapi potong karena sesuai dengan

standar suhu yang sesuai untuk sapi potong. Hal ini sesuai dengan pendapat

Yulianto dan Saparinto (2010) menyatakan bahwa suhu normal untuk ternak sapi

potong berkisar antara 27 – 34 oC. Sedangkan untuk kelembaban kandang dari

praktikum manajemen lingkungan peternakan didapatkan hasil kelembaban dalam

kandang sebesar 85,11% dan kelembaban luar kandang sebesar 75,89%, suhu
yang terlalu tinggi akan mengakibatkan sapi potong mengalami stres, suhu tinggi

karena keseimbangan panas yang dihasilkan dari dalam tubuh akan terganggu

bersamaan dengan meningkatnya suhu dan kelembaban lingkungan sapi potong

yang akan dapat mengakibatkan peningkatan konsumsi minum dan penurunan

konsumsi pakan yang menyebabkan tingkat produktivitas akan terganggu. Hal ini

sesuai dengan pendapat Suherman (2014) yang menyatakan bahwa penurunan

konsumsi pakan sapi potong yang disebabkan oleh suhu tinggi untuk dapat

menghindari termoregulasi dalam tubuh sehingga dapat menurunkan tingkat

produktivitas.

THI (Temperature Humidity Index) merupakan nilai yang dapat digunakan

untuk menduga tingkat kenyamanan ternak berdasarkan suhu dan kelembaban

udara yang berada di lingkungan sekitar peternakan. Hal ini sesuai dengan

pendapat Amir (2010) yang menyatakan bahwa temperature humidity index

merupakan index kelembaban panas yang dapat dilihat dari suhu dan kelembaban

lingkungan ternak atau juga dapat dilihat dari kenyamanan ternak di dalam

kandang tersebut. Nilai temperature humidity index yang didapatkan dari

praktikum menajemen lingkungan yaitu sebesar 79,04, di dalam keadaan nilai

suhu ini sapi potong mengalami stres sedang karena melebihi nilai normal. Hal ini

sesuai dengan pendapat Fajar dan Isroli (2015) yang menyatakan bahwa nilai

temperature humidity indexsapi potong mempunyai 4 zona antara lain zona putih

dengan nilai THI berada pada nilai 69 – 74 dan sapi dalam kondisi normal, zona

kuning cerah dengan nilai THI berada pada nilai 75 – 78 dan sapi dalam kondisi

stres ringan, zona kuning gelap dengan nilai THI berada pada nilai 79 – 83 dan
sapi mengalami stres sedang, dan yang terakhir yaitu zona merah dengan nilai

THI 84 – 97 dan sapi mengalami stres berat.

B. Fisiologi Ternak dan HTC (Heat Tolerance Coefficient)

Tabel 2. Rataan Suhu Rektal, Frekuensi Nadi, Frekuensi Nafas dan HTC (Heat
Tolerance Coefficient) Sapi Potong
Parameter Hasil Standar
Suhu Rektal (oC) 37,57a 38-39b
a
Frekuensi Denyut Nadi (kali/menit) 78 36-80 b
Frekuensi Nafas (kali/menit) 31,22 a 10-30 b
a
Index Rhoad 95,50 100c
Index Benezra 2,53 a 2c
Sumber :
a. Data Primer Praktikum Manajemen Lingkungan Peternakan, 2017
b. Fajar dan Isroli (2015)
c. Putera (2016)

Berdasarkan hasil praktikum diperoleh suhu rektal sapi potong ras

Peranakan Frisien Holstein (PFH) jantan sebesar 37,570C yang berada di bawah

standar suhu rektal sapi potong menandakan bahwa sapi tidak dapat

menyesuaikan suhu tubuh pada lingkungannya. Hal ini sesuai dengan pendapat

Fajar dan Isroli (2015) yang menyatakan bahwa kisaran normal suhu rektal sapi

potong yaitu sebesar 38 - 39,50C. Suhu rektal atau suhu tubuh berbeda disebabkan

oleh kondisi suhu lingkungan yang menyebabkan adanya perbedaan pada

hilangnya air tubuh akibat penguapan dan suhu tubuh dipengaruhi oleh suhu

lingkungan ternak, umur, jenis kelamin, musim, siang atau malam dan pakan. Hal

ini sesuai dengan pendapat Fernanda (2013) yang menyatakan bahwa suhu rektal

bervariasi karena dipengaruhi oleh lingkungan, umur, jenis kelamin, musim, siang

atau malam, exercise, pencernaan, pakan baik makan maupun minum.


Frekuensi denyut nadi sapi PFH jantan diperoleh hasil sebesar 78

kali/menit yang sesuai dengan kisaran standar dan frekuensi nafas lebih tinggi

sedikit dari standar yaitu sebesar 31,22 kali/menit. Hal ini sesuai dengan pendapat

Fajar dan Isroli (2015) yang menyatakan frekuensi nadi normal pada kisaran 36-

80 kali/menit, frekuensi nafas normal sebesar 15 - 30 kali/menit. Frekuensi nafas

merupakan cara ternak untuk mengurangi panas tubuh karena lingkungan dan

ferkuensi nafas dipengaruhi oleh ternaknya sendiri baik ukuran tubuh, umur,

aktifitas ternak maupun suhu lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat

Yuliyanti dkk. (2015) yang menyatakan bahwa frekuensi pernafasan merupakan

upaya ternak untuk mengurangi panas tubuh yang disebabkan oleh lingkungan

sekitar ternak dan frekuensi nafas dipengaruhi oleh ukuran tubuh, umur, aktifitas

fisik, suhu lingkungan, gangguan saluran pencernaan, kondisi kesehatan ternak

maupun posisi ternak tersebut.

HTC (Heat Tolerance Coefficient) merupakan koefisien toleran ternak

terhadap cekaman panas yang dapat dihitung menggunakan koefisien Rhoad dan

koefisien Benezra. Index rhoad sapi PFH jantan diperoleh hasil sebesar 95,50

yang tergolong baik karena mendekati standar yaitu 100 dan index Benezra sapi

PFH jantan sebesar 2,53 yang lebih tinggi dari standar yaitu 2 sehingga dapat

dikatakan daya tahan ternak terhadap panas rendah. Hal ini sesuai dengan

pendapat Putra (2016) yang menyatakan bahwa HTC (Heat Tolerance

Coefficient) merupakan kemampuan tubuh ternak untuk mempertahankan diri dari

cekaman panas yang dihitung dengan menggunakan koefisien Rhoad dan

koefisien Benezra serta index rhoad yang baik yaitu 100 yang merupakan angka
daya tahan ternak terhadap panas yang sempurna dan index benezra yang

sempurna adalah 2 apabila lebih dari 2 maka dikatakan bahwa daya tahan

panasnya semakin rendah. Nilai HTC dipengaruhi oleh keadaan panas lingkungan

ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Fajar dan Isroli (2015) yang menyatakan

bahwa HTC sapi dipengaruhi oleh panas lingkungan ternak.

C. Perkandangan

Tabel 1. Hasil Pengukuran Kandang Sapi Potong


Parameter Ukuran
Model Kandang Terbuka
Panjang Kandang 12,5 m
Lebar Kandang 8,5 m
Tinggi Atap 5m
Bahan Atap Asbes
Bahan Lantai Beton
Kemiringan Lantai Miring
Dinding Pembatas Besi
Lebar Selokan 35 cm
Sumber : Data Primer Praktikum Manajemen Lingkungan Peternakan, 2017

Berdasarkan praktikum pengukuran kandang sapi potong diperoleh hasil

bahwa kandang sapi potong sudah sesuai digunakan sebagai kandang sapi potong,

hal ini didukung tipe kandang terbuka, dimana tipe kadang terbuka bertujuan agar

ternak dapat mendapatkan sirkulasi udara yang lancar. Bahan atap kandang sapi

potong ini berupa asbes dengan tinggi atap 5 m, ketinggian atap sangat ideal

karena dapat mengontrol kondisi suhu dalam kandang, asbes merupakan bahan

atap yang paling baik karena tidak akan menimbulkan panas yang dapat

mengganggu kenyamanan ternak, menjaga ternak dari terik matahari dan menjaga

kehangatan sapi dimalam hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Abidin (2008) yang
menyatakan bahwa kontruksi bahan atap asbes ideal digunakan untuk mencegah

timbulnya panas yang dapat mengganggu ternak. Bahan lantai kandang sapi

potong terbuat dari beton dengan kontruksi lantai miring yang bertujuan untuk

memudahkan dalam pembersihan feses ternak, permukaan yang keras, rata dan

tidak licin akan membuat ternak merasa nyaman serta tidak berbahaya bagi

ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Yulianto (2010) yang menyatakan bahwa

permukaan lantai kandang yang keras dan tidak licin membuat rasa nyaman saat

ternak berbaring atau beristirahat.

Kandang sapi potong sudah nyaman untuk digunakan karena terdapat dinding

pembatas berbahan besi yang bertujuan untuk memisahkan ternak satu dengan

ternak yang lain agar dalam pemberian pakan lebih efektif dan efisien. Kandang

sapi potong dilengkapi selokan dengan lebar 35 cm yang digunakan sebagai

tempat saluran pembuangan feses, urin dan saluran pembuangan air dari bekas

pemandian sapi potong. Kandang sapi potong yang diukur dari segi luas kandang

kurang ideal karena ukurannya dibawah standardengan panjang 12,5 m dan lebar

8,5 m sehingga luas dari kandang sapi potong 106,25 m2, kandang yang kurang

luas mengakibatkan ternak kurang leluasa untuk bergerak dan menghambat

peternak untuk melakukan sanitasi. Luas kandang yang kurang dari ukuran

standar mengakibatkan sirkulasi udara terganggu dan sapi potong tidak dapat

bergerak dengan bebas. Sirkulasi udara yang kurang baik secara terus menerus

dapat menyebabkan gangguan fisiologis kesehatan, sapi menjadi tercekam panas

karena sapi merasa tidak nyaman dengan kondisi lingkungan yang dapat

menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas. Hal ini sesuai dengan pendapat


Yuliana (2015) yang menyatakan bahwa standar panjang kandang yang ideal

mencapai 19,45 m dan lebar 13,55 m, luas kandang yang kurang dari nilai standar

maka akan menimbulkan cekaman panas pada ternak karena sikulasi udara yang

tidak lancar.

D. Pengelolaan Limbah

Tabel 4. Sumber Limbah di Kandang Sapi Potong


Jenis limbah Pengelolaan yang sudah dilakukan
Urine Dialirkan atau dibuang
Feses Biogas
Sisa Pakan Pupuk
Sumber : Data Primer Praktikum Manajemen Lingkungan Peternakan, 2017

Limbah peternakan adalah hasil sisa atau hasil buangan pada proses

produksi usaha peternakan. Limbah perternakan dibedakan menjadi dua yaitu

limbah padat dan cair. Limbah padat (feses) dimanfaatkan menjadi pupuk kompos

dan biogas limbah cair urin sapi dapat dimanfaatkan sebagai pupuk cair. Menurut

Swastike dkk. (2015) yang menyatakan bahwa pupuk kompos dekomposisi

bahan–bahan organik atau proses perombakan senyawa yang komplek menjadi

senyawa yang sederhana dengan bantuan mikroorganisme dan bahan utama bisa

didapatkan dari feses dan urin sapi serta bahan seperti serbuk gergaji atau sekam,

jerami padi dll, yang didekomposisi dengan bahan pemacu mikroorganisme dalam

tanah. Hal ini didukung oleh pendapat Saputra dkk. (2010) yang menyatakan

bahwa feses pada sapi dapat digunakan untuk biogas secara maksimal dengan

penambahan ampas tebu. Limbah peternakan jika tidak dilakukan pengolahan atau

daur ulang akan menyebabkan pencemaran lingkungan seperti jika urin hanya
dibuang atau dialirkan akan mencemari sumber air yang ada disekitar usaha

peternakan tersebut, feses dari hasil usaha peternakan merupakan penghasil metan

terbesar yang akan menyebabkan dalam mempercepat dan memperbesar efek

rumah kaca jika tidak didaur ulang kembali. Efek rumah kaca akan berdampak

pada peningkatan suhu di bumi sehingga ternak juga akan dapat terkena dampak

karena proses homeostasis pada tubuh ternak akan terganggu seiring kenaikan

suhu lingkungan sekitar usaha peternakan. Menurut Chadwick dkk. (2011) sektor

peternakan khususnya ternak ruminansia merupakan penyumbang gas metana di

atmosfer. Limbah peternakan berkontribusi menyumbangkan gas metana (CH4)

sebesar 12% - 41% dari total sektor pertanian. Philippe dan Nicks (2014)

menambahkan bahwa gas metana dihasilkan dari degradasi bahan organik pada

feses secara anaerob oleh bakteri.

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa THI udara pada

lingkungan kandang dalam keadaan tidak normal karena ternak mengalami stres

sedang. Suhu rektal di bawah standar yang menandakan ternak dalam keadaan

tidak sehat, frekuensi nadi dan nafas normal menandakan keadaan ternak optimal

karena dalam keadaan normal, hal tersebut menandakan ternak dalam kondisi

tidak stres. Berdasarkan perhitungan HTC indeks rhoad mendekati standar dan

indeks benezra tinggi tersebut menandakan bahwa ternak tidak tahan terhadap

panas. Serta dalam pengelolaan limbah dapat digunakan untuk memproduksi


biogas dan pupuk. Keterkaitan antara fisiologi lingkungan, fisiologi ternak dan

pengelolaan limbah adalah jika fisiologi lingkungan dan fisiologi ternak

terganggu akan mengakibatkan peningkatan ternak dalam memproduksi limbah

yang dapat menganggu lingkungan misalnya peningkatan gas metan dan amonia.

B. Saran

Sebaiknya untuk memperoleh produktivitas ternak yang optimal harus

memperhatikan fisiologi lingkungan dan fisiologi ternak serta seharusnya dalam

mengoptimalkan pengelolaan limbah harus optimal, semisal dalam pengolahan

limbah menjadi biogas harus memperhatikan tata cara yang benar sesuai standar

pengolahan limbah.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin. Z. 2008. Penggemukan Sapi Potong. PT Agromedia Pustaka. Jakarta.

Amir, A. 2010. Sistem termoregulasi dan tingkah laku sapi pada ransum yang
berbeda. Fakultas peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. [Skripsi].

Chadwick, D., S. Sommer, R. Thorman, D. Fangueiro, L. Cardenas, B. Amon, &


T. Misselbrook. 2011.Manure management : Implications for greenhouse
gas emissions. Anim Feed Sci Technol no.18.

Fajar, M. Y. dan Isroli, 2015. Perbedaan responsiologis dan daya tahan panas sapi
potong dan perah di UPT. PT HMT JEMBER. Prosiding Seminar
Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan.(Seri III), Purwokerto.
591 – 596.

Fernanda, A. 2013. Respon fisiologi kambing Boerawa jantan di dataran rendah


dan dataran tinggi. Fakultas peternkan universitas lampung, bandar
lampung. [Skripsi].
Philippe, F. X. & B. Nicks. 2014. Review on greenhouse gas emissions from pig
houses : Production of carbondioxide, methane and nitrous oxide by
animals and manure. Agri, Eco and Env 199 e10-e25.

Putra. 2016. Identifikasi daya tahan panas sapi pasundan di BPPT Cijeungjing
Kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis. E-journals. 5(4): 1-8.
Suherman, D. 2014. Efek tvaktu pemberian pakan dan level energi terhadap
cekaman berdasarkan suhu rektal dan kulit Sapi dara Fries Holland. J.
Sain Peternakan. 9(2): l17-l29.

Swastike, W. Eka dan H. Sutrisno. 2015. Penerapan teknologi pengolahan limbah


ternak feses dan urin sebagai usaha pembentukan wirausaha kampus di
jatikuwung mini farm universitas sebelas maret. Prosiding Seminar
Nasional 4th UNS SME’s Summit & Awards 2015.

Yuliana. A. Hartono. M. Surhayati. S. 2015.Repeat breeder pada sapi bali di


kabupaten pringsewu. J. Ilmiah Peternakan Terpadu.Fakultas Peternakan
Universitas Lampung. 3(2): 42-47.

Yulianti, N., Erwanto dan Siswanto. 2015. Proporsi pemberian ransum yang
berbeda pada pagi, siang dan malam terhadap respon fisiologi dan
produksi sapi peranakan simental. J. Ilmiah Peternakan Terpadu. 3 (2):
70-77.
Yulianto. P dan Cahyo. S. 2010. Pembesaran Sapi Potong Secara Intensif. Penebar
Swadaya. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai