Anda di halaman 1dari 7

PENGARUH TINGKAT PEMBERIAN KONSENTRAT YANG MENGANDUNG

UREA, KAPUR, DAN UBI KAYU TERHADAP KONSENTRASI NNH3, VFA, DAN
KECERNAAN SECARA IN VITRO

Ni Putu Putri Wijayanti1, I Gusti Lanang Oka Cakra2, dan I Gede Mahardika2
1
Mahasiswa Program Magister Ilmu Peternakan Universitas Udayana, Denpasar
2
Dosen Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi NNH3, VFA, kecernaan bahan
kering dan bahan organik secara in vitro yang diberi hijauan dan konsentrat yang mengandung
urea, kapur, dan ubi kayu. Pada penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL)
dengan 4 kali ulangan dan 4 perlakuan yaitu: (A) konsentrat 75% dan hijauan 25% (rumput raja
60% + gamal 40%); (B) konsentrat 60% dan hijauan 40% (rumput raja 60% + gamal 40%); (C):
konsentrat 45% dan hijauan 55% (rumput raja 60% + gamal 40%); dan (D): konsentrat 30% dan
hijauan 70% (rumput raja 60% + gamal 40%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi
NNH3 tertinggi diperoleh pada perlakuan A yaitu 13,60 mM. Konsentrasi VFA tertinggi
diperoleh pada perlakuan C yaitu 118,40 mM. Koefisien cerna bahan kering dan bahan organik
tertinggi diperoleh pada perlakuan A masing-masing yaitu 59,71 dan 60,27%. Dapat disimpulkan
bahwa pemberian konsentrat yang mengandung urea, kapur, dan ubi kayu dari 30-75% tidak
berpengaruh terhadap konsentrasi NNH3 dan VFA dimana secara statistik menunjukkan tidak
berbeda nyata (P>0,05) pada semua perlakuan. Semakin tinggi pemberian konsentrat maka akan
meningkatkan koefisien cerna bahan kering dan bahan organik.

Kata kunci: urea, kapur, ubi kayu, in vitro

1
PENDAHULUAN
Penggunaan suplemen urea sudah banyak digunakan dalam formulasi ransum
ruminansia di Indonesia. Suplemen urea merupakan sumber protein kasar yang ekonomis dan
dapat meningkatkan efisiensi konversi pakan (Galina et al., 2000; Ortiz et al., 2001; Loest et
al., 2001). Namun demikian, dalam penggunaannya harus berhati-hati dan harus
memperhatikan persyaratan tertentu agar tidak menimbulkan permasalahan misalnya
keracunan karena terlalu tinggi kadar amonia di dalam rumen.
Kadar amonia yang tinggi disebabkan urea yang ditambahkan dalam formulasi
ransum mengalami hidrolisis yang sangat cepat menjadi amonia di dalam rumen. Kecepatan
pelepasan amonia dari nitrogen bukan protein seperti urea, jauh lebih besar daripada
kecepatan penggunaan amonia oleh mikroba rumen, sehingga bila dosisnya berlebihan dalam
ransum, dalam waktu singkat kadar amonia dapat mencapai level toksik yang ditandai dengan
tremor, salivasi yang berlebihan, bernapas terengah-engah, kembung dan tetani (Stanton dan
Whittier, 2006). Huntington et al. (2006) melaporkan bahwa urea dihidrolisis dengan cepat
dalam rumen dan puncak produksi amonianya dicapai pada 1 jam setelah pemberian urea.
Teknik perlambatan pelepasan amonia dari hidrolisis urea di rumen dipandang lebih efisien,
dan aman karena dapat mencegah keracunan amonia (Galo et al., 2003).
Cherdthong et al. (2011) menyatakan bahwa penambahan campuran urea-CaSO4
dalam konsentrat mengandung ubi kayu 70% dapat meningkatkan ekologi rumen dan
pembentukan mikrobial protein pada sapi pedaging. Penggunaan urea dalam ransum perlu
disertai dengan penggunaan sumber energi (sumber karbohidrat) yang mudah larut atau
tersedia di dalam rumen, karena untuk mensintesa protein mikroba yang optimal diperlukan
keseimbangan antara energi (VFA/Volatile Fatty Acid) dan nitrogen dalam bentuk NNH3.
Hasil penelitian Gerpacio et al. (1979), kandungan pati ubi kayu (48,49%) lebih tinggi dari
pada pati jagung (45,35%). Ini menunjukkan bahwa ubi kayu dapat dijadikan bahan sumber
energi yang potensial.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak, Fakultas Peternakan,


Universitas Udayana selama 3 bulan. Rancangan penelitian menggunakan rancangan acak
lengkap (RAL) masing-masing 4 kali ulangan dan 4 perlakuan, yaitu Perlakuan A: konsentrat
75% dan hijauan 25% (Rumput Raja 60% + Gamal 40%); Perlakuan B: konsentrat 60% dan
hijauan 40% (Rumput Raja 60% + Gamal 40%); Perlakuan C: konsentrat 45% dan hijauan
55% (Rumput Raja 60% + Gamal 40%); dan Perlakuan D: konsentrat 30% dan hijauan 70%
(Rumput Raja 60% + Gamal 40%). Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah
konsentrasi NNH3, VFA, koefisien cerna bahan kering (KCBK), dan koefisien cerna bahan
organik (KCBO).
Pengambilan cairan rumen dilakukan 4 jam setelah pemberian pakan berupa
konsentrat dan hijauan dengan menggunakan pompa penyedot mekanik. Adapun cara
pengambilan cairan rumen adalah sebagai berikut: terlebih dahulu disiapkan alat-alat berupa
selang plastik dengan ukuran 3/8 mm dengan panjang 250 cm, selang yang lebih besar
dengan ukuran ½ mm sepanjang 40 cm, pompa penyedot mekanik, erlenmeyer berceret, botol
kapasitas 500 ml, botol sampel, dan saringan. Pompa penyedot dirangkai dengan erlenmeyer
dan dari erlenmeyer dipasang selang ukuran 5/14” yang akan masuk ke mulut kambing.
Ujung selang plastik dimasukkan kedalam mulut kambing hingga mencapai retikulorumen
dengan dilindungi selang yang lebih besar untuk mencegah gigitan giginya. Selanjutnya
pompa penyedot ditarik berulang-ulang sehingga cairan rumen tersedot keluar dan langsung
ditampung dalam erlenmeyer berceret. Setelah diperoleh cairan rumen yang cukup,
penyedotan dihentikan dan selang plastik ditarik keluar. Cairan rumen yang diperoleh

2
dimasukkan ke dalam termos yang telah diisi dengan air panas sehingga mencapai suhu 39 oC
kemudian segera dibawa ke laboratorium untuk diuji.
Fermentasi in vitro dilakukan dengan metode Minson dan McLeod Method (1972)
yang dimodifikasi sesuai dengan waktu inkubasinya. Cara kerja sebagai berikut : sampel
yang telah halus dimasukkan ke dalam tabung in vitro sebanyak 0,2500 g dan ditambah 25 ml
cairan rumen buffer McDougall dengan kondisi 40oC, selanjutnya diinkubasikan dalam
shakerbath dengan suhu 40oC selama 48 jam dan setiap 12 jam digoyangkan dan dikeluarkan
anginnya. Setelah 48 jam, dikeluarkan dan dicentrifuse pada 3500 rpm selama 10 menit.
Substrat akan terpisah menjadi endapan dibagian bawah dan supernatan yang bening berada
dibagian atas. Supernatan diambil untuk analisis NNH3, VFA total dan pH. Substrat yang
tersisa digunakan untuk analisis kecernaan bahan kering (BK) dan bahan organik (BO).
Residu hasil sentrifuse pada kecepatan 3500 rpm selama 10 menit ditambahkan 25 ml larutan
pepsin 1: 10.000 dengan konsentrasi 0,2% dalam HCl 0,1 N, kemudian diinkubasikan lagi
selama 48 jam. Selanjutnya dilakukan hal yang sama seperti prosedur diatas sampai
pencucian. Setelah pencucian terakhir, dipindahkan secara kuantitatif residu ke dalam cawan
yang telah diketahui bobot kosongnya. Diuapkan dalam forced draught oven suhu 70oC
sampai kering ± 12 jam dan dipindahkan ke oven bahan kering suhu 105oC selama 9 jam,
didinginkan dalam desikator dan timbang. Kemudian dilanjutkan pembakaran ke dalam tanur
sampai sampai diperoleh bobot abu. Sebagai blanko adalah residu fermentasi tanpa substrat.
Pengukuran koefisien cerna bahan kering (KCBK) dan koefisien cerna bahan organik
(KCBO) dapat menggunakan rumus:

BK sampel (g)- [BK residu (g)- BK blanko (g)]


% KCBK= ×100%
BK sampel (g)
BO sampel (g)- [BO residu (g)- BO blanko (g)]
% KCBO= ×100%
BO sampel (g)

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila diantara perlakuan
terdapat hasil yang berbeda nyata (P<0,05) kemudian dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda
dari Duncan (Steel dan Torrie, 1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsentrasi NNH3
Kadar NNH3 perlakuan A, B, C, dan D berturut-turut adalah 13,60; 13,20; 12,78; dan
11,50 mM dan secara statistik dari keempat perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05). Hasil ini
masih berada dalam kisaran normal untuk mendukung pertumbuhan bakteri secara optimal.
Kisaran optimum NNH3 dalam rumen berkisar antara 85-300 mg/l atau 6-21 mM (McDonald
et al., 1988). Menurut Sutardi (1980) dan Mehrez et al. (1977) bahwa konsentrasi amonia
yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen maksimal adalah 4-12 mM.
Hasil NNH3 tertinggi diperoleh pada perlakuan A hal ini terjadi karena pemberian
konsentrat pada perlakuan A paling tinggi dari perlakuan lainnya yaitu sebanyak 75%
sehingga konsentrasi NNH3 meningkat. Peningkatan protein (termasuk NPN) dalam ransum
akan mengakibatkan protease yang berasal dari mikroba rumen menjadi meningkat, sehingga
akan meningkatkan proses perombakan protein menjadi asam amino dan amonia (NNH3).
Kemudian, produk NNH3 ini akan digunakan kembali oleh mikroba rumen, sehingga
perkembangan mikroba rumen juga menjadi meningkat. Soepranianondo (2005) menyatakan
bahwa kandungan protein yang meningkat dalam ransum akan meningkatkan kandungan
NNH3 rumen karena 60% protein pakan akan diubah menjadi amonia N, sedangkan 40%

3
akan diteruskan ke abomasum dan usus halus untuk dicerna dan diabsorbsi dan sebagian lagi
dibuang ke feses.
Produksi amonia dipengaruhi oleh waktu setelah makan dan umumnya produksi
maksimum dicapai pada 2-4 jam setelah pemberian pakan yang bergantung kepada sumber
protein yang digunakan dan mudah tidaknya protein tersebut didegradasi. Pengukuran NNH3
in vitro dapat digunakan untuk mengestimasi degradasi protein dan kegunaannya oleh
mikroba. Konsentrasi NNH3 yang tinggi dapat menunjukkan proses degradasi protein pakan
lebih cepat daripada proses pembentukan protein mikroba, sehingga amonia yang dihasilkan
terakumulasi dalam rumen (McDonald et al., 1988).

Tabel 1. Pengaruh Pemberian Konsentrat yang Mengandung Urea, Kapur, dan Ubi Kayu
terhadap Konsentrasi NNH3, VFA, KCBK, dan KCBO secara In Vitro
Perlakuan1)
Peubah SEM2)
A B C D
NNH3 (mM) 13,60a3) 13,20a 12,78a 11,50a 1,55
a a a
VFA Total (mM) 101,81 89,92 118,40 89,16a 15,70
KCBK (%) 59,71a 56,38ab 54,13b 52,74b 1,18
a ab bc
KCBO (%) 60,27 56,83 53,58 52,41c 1,23
Keterangan :
1. Perlakuan A : konsentrat 75% dan hijauan 25% (rumput raja 60% + gamal 40%)
Perlakuan B : konsentrat 60% dan hijauan 40% (rumput raja 60% + gamal 40%)
Perlakuan C : konsentrat 45% dan hijauan 55% (rumput raja 60% + gamal 40%)
Perlakuan D : konsentrat 30% dan hijauan 70% (rumput raja 60% + gamal 40%)
2. SEM (Standard Error of The Treatment Mean)
3. Angka yang diikuti huruf superskrip yang tidak sama pada baris yang sama, berbeda nyata
(P<0,05).

Konsentrasi VFA
Konsentrasi Volatile Fatty Acids (VFA) pada perlakuan A, B, C, dan D dapat dilihat
pada tabel 1 dan secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Konsentrasi VFA untuk
pertumbuhan mikroba yang optimal berkisar antara 70-150 mM dan besarnya
dipengaruhi oleh jenis pakan yang diberikan (McDonald et al., 1988). Sutardi (1979)
menyatakan bahwa kadar VFA pada fermentasi yang normal berkisar antara 80-160 mM, jadi
pada semua perlakuan kadar VFA masih berada dalam kisaran normal.
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kadar VFA pada semua perlakuan tidak berbeda
nyata (P>0,05). Hal ini terjadi karena variasi dari konsentrasi VFA dipengaruhi antara
lain oleh adanya perbedaan kandungan karbohidrat dan protein dari hijauan pakan,
selain itu adanya peningkatan mikroba dapat meningkatkan aktivitas fermentasi sehingga
mempengaruhi konsentrasi VFA (Charles, 2008). Produksi VFA cairan rumen dipengaruhi
oleh sumber energi (Bampidis dan Robinson, 2006). Dalam rumen, karbohidrat hampir
sepenuhnya difermentasi menjadi VFA sehingga memasok sumber energi bagi pertumbuhan
mikroba rumen (Bergman, 1990). Church dan Pond (1988) menjelaskan bahwa pada
fermentasi di dalam rumen terjadi proses pencernaan hidrolitik zat monomer-monomer
fermentatif (fermentasi karbohidrat) yang dilanjutkan dengan proses katabolisme menjadi
VFA. Tillman et al. (1998) menyatakan bahwa kandungan VFA akan meningkat seiring
dengan meningkatnya protein pakan dan sumber NPN.
Peningkatan jumlah VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut
difermentasi oleh mikroba rumen (karbohidrat dan protein terlarut). Jika protein dalam
pakan memiliki kelarutan yang tinggi, maka protein tersebut akan mengalami fermentasi
dalam rumen dan menghasilkan VFA dan amonia. Di lain pihak, jika protein dalam

4
pakan memiliki tingkat kelarutan rendah, maka protein tersebut relatif tidak mengalami
perubahan ketika melalui rumen (by pass) (Widiawati dan Thalib, 2008).

Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dan Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO)
Koefisien cerna bahan kering (KCBK) tertinggi pada perlakuan A adalah 59,71%.
Pada perlakuan B 5,58% lebih rendah dari perlakuan A tetapi secara statistik tidak berbeda
nyata (P>0,05). Pada perlakuan B, C, dan D secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05)
dimana perlakuan B, C, dan D berturut-turut 56,38%; 54,13%; dan 52,74% (Tabel 1). Hasil
perhitungan koefisien cerna bahan kering pada perlakuan C dan D berbeda nyata (P<0,05)
dengan perlakuan A dimana perlakuan C dan D berturut-turut 9,35% dan 11,67% lebih
rendah dari perlakuan A.
Menurut Anggorodi (1995) faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan
kering adalah suhu, laju perjalanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik dari pakan, dan
pengaruh dari perbandingan dengan zat lainnya dari bahan pakan. Ditambahkan oleh Tillman
et al. (1998) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan suatu
bahan pakan adalah komposisi kimia bahan, penyiapan pakan (pemotongan, penggilingan,
pemasakan, dan lain-lain), umur ternak, dan jumlah ransum. Rataan koefisien cerna bahan
kering (Tabel 1) terendah diperoleh pada perlakuan D yaitu 52,74% hal ini terjadi karena
serat kasar pada pelakuan D cukup tinggi (20,96%) sehingga menyulitkan mikroba rumen
untuk melakukan degradasi secara maksimal (McDonald et al., 1988).
Kecernaan bahan kering merupakan salah satu indikator untuk menentukan
kualitas ransum. Semakin tinggi kecernaan bahan kering maka semakin tinggi pula peluang
nutrisi yang dapat dimanfaatkan ternak untuk pertumbuhannya. Seperti halnya kecernaan
bahan kering, kecernaan bahan organik atau KCBO juga dapat dijadikan tolok ukur dalam
menilai kualitas ransum. Tillman et al. (1998) menyatakan bahwa sebagian besar bahan
organik merupakan komponen bahan kering. Jika koefisien cerna bahan kering sama, maka
koefisien cerna bahan organiknya juga sama.
Hasil perhitungan koefisien cerna bahan organik (KCBO) pada perlakuan A tidak
berbeda nyata (P>0,05) dengan perlakuan B dimana perlakuan A lebih tinggi 6,05% dari
perlakuan B. Perlakuan A berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan C dan D. Perlakuan C
dan D masing-masing adalah 11,10% dan 13,04% lebih rendah dari perlakuan A. Perlakuan C
dan D secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) dimana perlakuan D lebih rendah 2,18%
dari perlakuan C. Perlakuan B dan C secara statistik menunjukkan tidak berbeda nyata
(P>0,05) dimana perlakuan B lebih tinggi 6,07% dari perlakuan C. Dari hasil perhitungan
pada kambing perlakuan B berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan D, dimana perlakuan D
7,78% lebih rendah dari perlakuan B.
Rataan koefisien cerna bahan organik (Tabel 1) tertinggi diperoleh perlakuan A yaitu
60,27% dimana pada perlakuan A pemberian konsentratnya mencapai 75%. Pemberian
konsentrat yang tinggi akan mengaktifkan mikrobia rumen sehingga meningkatkan
jumlah bakteri proteolitik dan naiknya deaminasi yang mengakibatkan meningkatnya
nilai kecernaan bahan organik (Jayanegara et al., 2006).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Peningkatan pemberian konsentrat yang mengandung urea, kapur, dan ubi kayu dari
30% sampai 75% tidak berpengaruh terhadap konsentrasi NNH3 dan VFA yang
secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05).

5
2. Semakin tinggi pemberian konsentrat yang mengandung urea, kapur, dan ubi kayu
akan meningkatkan kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik
(KCBO).

Saran
Dalam penelitian ini, pemberian konsentrat yang mengandung urea, kapur, dan ubi kayu
dapat diberikan hingga mencapai 3% dan tidak menunjukkan gejala keracunan. Perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pemberian konsentrat yang mengandung urea, kapur,
dan ubi kayu secara in vivo.

DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi. 1995. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Bampidis, V.A. and P.H. Robinson. 2006. Citrus by Products as Ruminant Feeds: A review.
Anim. Feed Sci. Technol.128: 175-217.
Bergman, E.N. 1990. Energy Contributions of Volatile Fatty Acids from the Gastrointestinal
Tract in Various Species. Physiol. Rev.70: 567-590.
Charles, 2008. Pengaruh Belerang Sebagai Pupuk Terhadap Kualitas Hijauan Pakan
Ternak. [cited 2014 March 13]. Available from: URL:
http://www.damandiri.or.id/file/charlesipbbab2.pdf.
Cherdthong, A., M. Wanapat, and C. Wachirapakorn. 2011. Influence of Urea Calcium
Mixture Supplementation on Ruminal Fermentation Characteristic of Beef Cattle Fed
on Concentrates Containing High Level of Cassava Chips and Rice Straw. Anim. Feed
Sci. Technol. 163:43-51.
Church, D.C. and W.G. Pond. 1988. Basic Animal Nutrition and Feeding. 3th Ed. John Wiley
and Sons. New York, Chichester, Brisbane, Toronto, Singapore.
Galina, M.A., C.M. Guerrero, G. Serrano, R. Morales, and G. Haenlein. 2000. Effect of
Complex Catalytic Supplementation with Nonprotein Nitrogen on Ruminal Ecosystem
of Growing Goats Pasturing Shrub land in Mexico. Small Rum. Res. 36:33-42.
Galo, E., S.M. Emanuele, C.J. Sniffen, J.H. White, and J.R.Knapp. 2003. Effects of a
Polymer-Coated Urea Product on Nitrogen Metabolism in Lactating Holstein Dairy
Cattle. J. Dairy Sci. 86:2154-2162.
Gerpacio, A.L., F.Sd. Pascual, L.J. Querubin, C.I. Mercado, and C.T. Bechayda. 1979.
Evaluation of Tuber Meal as Energy Sources. IV. The Effect of Varying Energy/Protein
Rations on the Feeding Value of Broiler Rations Containing Tannia (Xanthosema sp.)
and Pongapong (Amorphophallus companulatus) Meals. Phil. J. Vet. Animal Sci. V
(1):1-13.
Huntington, G.B., D.L.Harmon, N.B.Kristensen, K.C.Hanson, and J.W. Spears. 2006. Effects
of a Slow-Release Urea Source on Absorption of Ammonia and Endogenous
Production of Urea by Cattle. Anim. Feed Sci. Technol. 130:225-241.
Jayanegara, A., A. S. Tjakradidjaja, dan T. Sutardi. 2006. Fermentabilitas dan Kecernaan In
Vitro Ransum Limbah Agroindustri yang Disuplementasi Kromium Organik dan
Anorganik. Media Peternakan. 29(2): 54-62.
Loest, C.A., E.C. Titgemeyer, J.S. Drouillard, B.D. Lambert, and A.M. Trater. 2001. Urea
and Biuret as Nonprotein Nitrogen Sources in Cooked Molasses Blocks for Steers Fed
Prairie Hay. Anim. Feed Sci. Technol. 94:115-126.
McDonald, P., R.A. Edward, dan J.F.D. Greenhalgh. 1988. Animal Nutrition. 4th Edition.
New York: Longman Scientific and Technical.
Mehrez, Z., E.R. Ørskov and P. Mc Donald. 1977. Rate of Rumen Fermentation in Relation
to Ammonia Concentration. J. Natur. 38: 127.

6
Minson, D.J. and M.N. Mc Leod. 1972. The In Vitro Technique. Its Modification for
Estimating Digestibility of Large Number of Tropical Pasture Sample. Division of
Tropical Pasture Technical Paper. Australia: No. 8 Common Welth Scientific and
Industrial Research Organization.
Ortiz, R.M.A., G.F.W. Haenlein, and M. Galina. 2001. Effect on Feed Intake and Body
Weight Gain When Substituting Maize with Sugarcane in Diet for Zebu Steers
Complemented with Slow Release Urea Supplements. Int. J. Anim. Sci. 16:239-245.
Soepranianondo, K. 2005. Dampak Isi Rumen Sapi sebagai Substitusi Rumput Raja terhadap
Produk Metabolik pada Kambing Peranakan Etawa. Media Kedok. Hewan. 21: 94-96.
Stanton, T.L. and J. Whittier. 2006. Urea and NPN for Cattle and Sheep. [cited 2012 Jan 15].
Available from: URL: http://www.ext.colostate.edu/Pubs/ livestk/01608.html
Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. (Bambang Sumantri,
Pentj). Jakarta: Gramedia.
Sutardi, T. 1979. Ketahanan Protein Bahan Makanan terhadap Degradasi oleh Mikroba
Rumen dan Manfaatnya Bagi Peningkatan Produktivitas Ternak. Prosiding Seminar
Penelitian dan Penunjang Peternakan, LPP. Bogor. Buku 2. Hal. 91-103.
Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, dan S. Lebdosoekojo.
1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Widiawati, Y. dan A. Thalib. 2008. Comparasi of Fermentation Kinetics (In Vitro) of Grass
and Shurb Legume Leaveas: The Pattern of Gas Production, Organic Matter
Degradation, pH and NH3 Production. [cited 2014 March 13]. Available from: URL:
http://balitnak.litbang.deptan.go.i/index.php?option=comcontent&task=view&id=72&
Itemid=56.

Anda mungkin juga menyukai