Anda di halaman 1dari 38

REVISI 1

Petunjuk Praktikum

FISIOLOGI PRODUKSI
J10C202

Disusun Oleh :
Dr. Ir. Diding Latipudin, M.Si.
Dr. Ir. Kurnia A. Kamil, M.Agr. Sc., M.Phil.
Dr. Ir. Elvia Hernawan, M.S.
Dr. Ir. Lovita Adriani, M.S.
Ir. An An Yulianti, M.S.
Ronnie Permana, S.Pt., M.Si.
Ir. Andi Mushawwir, S.Pt., M.P., IPM.
Novi Mayasari, S.Pt., M.Sc., Ph.D.

Laboratorium Fisiologi Ternak dan Biokimia


FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
2020
Petunjuk Praktikum

FISIOLOGI PRODUKSI
J10C202

Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

Jatinangor, Februari 2020

Mengetahui
Kepala Laboratorium Fisiologi Ternak dan Biokimia

Dr. Ir. Diding Latipudin, M.Si..


NIP. 196604201993031004

Mengesahkan

Wakil Dekan Fakultas Peternakan

Dr. Ir. Iman Hernaman, M.Si., IPU.


NIP. 196806151996011001

Petunjuk Praktikum Fisiologi Produksi | Halaman Pengesahan i


DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii

PERCOBAAN I
Temperature –Humidity Index (THI) ...................................................... 1

PERCOBAAN II
Daya Tahan Panas Ternak (DTP) ........................................................... 10

PERCOBAAN III
Laju Metabolisme
(Teknik Estimasi Laju Metabolisme :
Metode Secara Tidak Langsung Berdasarkan Konsumsi Oksigen) ....... 17

PERCOBAAN IV
Sweating Rate (SR) .............................................................................. 25

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 32

Petunjuk Praktikum Fisiologi Produksi | Daftar Isi ii


KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, telah melimpahkan
rahmat dan karunia kepada kami sehingga penyusunan petunjuk praktikum ini
dapat diselesaikan dengan baik.
Panduan ini berisi petunjuk praktikum tentang aplikasi pengukuran respon
fisiologis ternak terhadap berbagai faktor lingkungan, untuk kepentingan produksi
ternak. Banyak materi praktikum yang semestinya diberikan atau disajikan dalam
petunjuk praktikum ini, namun dengan mempertimbangkan kondisi fasilitas
Laboratorium Fisiologi Ternak dan Biokimia yang sangat terbatas, sehingga
dalam edisi ini hanya diberikan tiga materi praktikum.
Sebagai kepala laboratorium, saya sangat berharap agar para peserta Mata
Kuliah Fisiologi Produksi, dapat memanfaatkan panduan praktikum ini dengan
sebaik-baiknya. Tidak lupa juga kami menyampaikan terima kasih kepada rekan-
rekan dosen di Laboratoirum Fisiologi Ternak dan Biokimia atas gagasan dan
kerja kerasnya dalam menyusun panduan ini.
Semoga penyempurnaan materi peraktikum ini dapat terus dilakukan dari
tahun ke tahun, baik kuantitas maupun kualitas materinya. Oleh karena itu kepada
para pengguna panduan ini diharapkan dapat menyampaikan saran perbaikan
untuk menambah bobot ilmiah materi ini.

Jatinangor, Februari 2020

Kepala Laboratorium
Fisiologi Ternak dan Biokimia

Dr. Ir. Diding Latipudin, M.Si..


NIP. 196604201993031004

Petunjuk Praktikum Fisiologi Produksi | Kata Pengantar iii


PERCOBAAN I

TEMPERATURE-HUMIDITY INDEX (THI)

A. Teori Dasar

Seekor ternak selalu dihadapkan kepada dua tipe lingkungan yakni


lingkungan di luar tubuh atau "external environment" dan lingkungan di dalam
tubuh atau "internal environment". Unsur lingkungan eksterna yang tidak terlihat
antara lain suhu udara, kelembaban, radiasi panas matahari, kecepatan angin,
mikroorganisme dan lain-lain, sedangkan yang terlihat ialah pakan, pastura,
kandang, binatang lain, ektoparasit, manusia, dan lain-lain yang efeknya terhadap
ternak cukup besar. Unsur-unsur lingkungan di dalam tubuh ialah cairan tubuh
baik di dalam sel (intraselluler) maupun di luar sel (ekstraselluler) yang terkait
dengan pH, suhu tubuh, komposisi ion-ion dalam sel dan di luar sel, konsentrasi
zat-zat makanan, dan lain-lain yang sangat mudah berubah karena pengaruh
lingkungan di luar tubuh. Karena lingkungan di luar tubuh dapat mempengaruhi
lingkungan di dalam tubuh, maka bila suhu udara meningkat, suhu tubuh juga
sedikit meningkat. Namun sebagai hewan homoioterm, ternak akan berusaha
mengembalikan suhu tubuh ke asal atau ke normal, sebab semua reaksi
biokimiawi dalam tubuh akan optimal pada suhu tertentu.
Berdasarkan kemampuannya mempertahankan suhu tubuh, hewan dibagi
dua kelompok yakni hewan berdarah panas atau homoioterm dan hewan berdarah
dingin atau poikiloterm. Di antara dua kelompok di atas terdapat hewan yang
melakukan hibernasi, artinya pada periode waktu tertentu dalam satu tahun hewan
tersebut berdarah panas, namun pada waktu lain berdarah dingin. Mammalia dan
burung merupakan hewan homoioterm, namun pada saat baru lahir atau baru
menetas, kemampuan mempertahankan suhu tubuh ini rendah. Oleh karena itu pada
unggas, selama kurang lebih 30 hari harus diberi bantuan pemanasan suhu udara
sekitarnya.
Pada hewan dewasa, walaupun suhu lingkungan berfluktuasi, namun hewan-
hewan ini mampu mempertahankan suhu tubuhnya pada kondisi relatif tetap,

Percobaan I. Temperature-Humidity Index (THI) 1


khususnya suhu tubuh bagian dalam. Kemampuan mempertahankan suhu tubuh
dalam kisaran yang sempit ini, merupakan kegiatan yang sangat esensial bagi reaksi
biokimiawi dan proses fisiologis dikaitkan dengan metabolisme normal. Suhu tubuh
sesungguhnya berbeda dari tempat ke tempat di dalam tubuh, artinya suhu kulit akan
berbeda dengan suhu jantung atau limpa yang ada di dalam tubuh. Oleh karena itu
perlu dibedakan antara suhu tubuh bagian dalam (body core) dengan suhu tubuh
bagian luar (body shell) dan suhu kedua kelompok ini cukup berbeda. Kekecualian
terjadi bila mammalia tersebut sedang bergerak (exercise), menggigil (shivering)
atau diekspose pada suhu lingkungan yang sangat tinggi. Pada kondisi ini seringkali
suhu di dalam tubuh hampir sama bahkan lebih rendah dari suhu permukaan.
Hewan homoioterm secara fisiologis berhasil bertahan walaupun terjadi
perbedaan suhu tubuh di dalam dan di permukaan, agar proses metabolisme masih
dapat berlangsung dengan baik. Walaupun berhasil bertahan, namun berdasarkan
aspek produktivitas ternak, hal semacam itu sangat merugikan. Sebagai respon
terhadap perbedaan suhu permukaan dengan suhu di dalam tubuh sedikit, maka akan
terjadi penurunan konsumsi ransum, performan yang suboptimal, berkurangnya
aktivitas, mencari teduhan, bertambahnya laju pernafasan, dan beberapa tingkah laku
lain. Kesemuanya ini dilakukan melalui suatu proses yang dikenal dengan
homeostasis. Pada dasarnya terdapat 3 komponen utama yang terlibat dalam
system pengaturan suhu tubuh, yaitu : (1) sensor-reseptor suhu, (2) unit
pengontrol suhu yang mengendalikkan respon efektor, dan (3) efektor, yaitu organ
atau jaringan yang menyelenggarakan respon sebagai jawaban terhadap cekaman
suhu dingin atau panas. Kerja ketiga komponen tersebut berdasarkan mekanisme
umpan balik yang terintegrasi. Secara sederhana mekanismen tersebut dapat
digambarkan pada bagan Gambar 1.
Untuk bidang peternakan terdapat dua macam iklim yakni iklim makro
dan iklim mikro. Ke dua jenis iklim ini berpengaruh baik langsung maupun tak
langsung terhadap ternak. Dalam hal ini iklim makro yakni kombinasi unsur iklim
di udara bebas di Indonesia merupakan masalah utama, karena dapat
menimbulkan "heat stress" atau cekaman panas yang biasanya sangat
mengganggu proses produksi. Hasil penelitian di daerah subtropis pada musim

Percobaan I. Temperature-Humidity Index (THI) 2


panas menunjukkan bahwa stress panas dapat menurunkan laju konsepsi,
meningkatkan kematian embrio, menurunkan laju kebuntingan hingga mencapai
40-60% (Bucklin, dkk., 1988; Hansen dan Ealy, 1992).

Kelembaban Temperatur
Udara Lingkungan

Kulit (Reseptor Panas dan Dingin)

Efferent

Sistem Syaraf Pusat (CNS)


▪ Hypotalamus
▪ Cortex Cerebrum

Efferent

Target Organ

Kelenjar
Endokrin Sistem Otot

Respon
Effektor

Pengaturan Panas

Fisiologi Voluntair : Fisiologi Involuntair :


▪ Postur Tubuh ▪ Metabolisme neraca air dan
▪ Mencari Teduhan Mineral, Bobot Badan
▪ Intake pakan dan air ▪ Sirkulasi perifer
▪ Perubahan Postur Tubuh ▪ Perototan, pulmonary
▪ Perubahan profil hormon
▪ Ekspresi mRNA HSP, MGHCoA
Reduktase

Gambar 1. Interelasi Faktor Lingkuangan (Temperatur dan Kelembaban)


terhadap Respon Fisiologi Voluntair dan Involuntair pada
Ternak sebagai Manifestasi Pengaturan Panas

Percobaan I. Temperature-Humidity Index (THI) 3


Iklim makro ini umumnya di luar jangkauan manipulasi manusia. Namun,
iklim mikro yakni kombinasi unsur iklim yang terdapat dalam ruangan atau
kandang, selain dapat diatasi melalui pendekatan geografis, juga dalam
batas-batas tertentu masih dapat dikendalikan melalui teknologi pembuatan
kandang. Iklim makro berinteraksi dengan tanah dan vegetasi dalam eksistensi
atau penyebaran geografik jenis dan bangsa ternak sebagai seleksi alam.
Pengaruhnya dapat menciptakan variasi baru, sehingga terdapat suatu kondisi
yang sangat menunjang antar mutu genetik dengan lingkungan. Manifestasi
interaksi tersebut adalah dalam bentuk produksi baik dalam bentuk pertumbuhan
maupun hasil ternak. Implikasinya adalah bahwa setiap peningkatan mutu genetik
harus disertai dengan peningkatan teknologi lingkungan yang sesuai, termasuk di
antaranya strategi nutrisi, sistem pemeliharaan, dan teknik pengendalian kondisi
lingkungan di dalam kandang.
Apabila terhadap iklim makro kita tidak banyak dapat berbuat, maka
terhadap iklim mikro dewasa ini sudah berkembang teknologi pengendalian
kondisi lingkungan yang disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan ternak.
Namun untuk Indonesia sering kali pertimbangan sosial ekonomi tidak
mendukung pengembangan teknologi tersebut. Berbagai kandang tertutup dengan
pengendalian mikrolimat sering membawa dampak sosial ekonomi yang kurang
menguntungkan. Oleh karena itu yang banyak dikembangkan ialah pendekatan
geografis, yakni mencari wilayah yang secara klimatologis cocok untuk ternak .
Pendekatan teknologi yang kini dikembangkan ialah menciptakan suatu sistem
kandang terbuka yang diperlengkapi peralatan sederhana sehingga secara terbatas
dapat mengurangi efek negatif iklim makro. Prinsip usaha ini adalah menciptakan
kesejukan dan kenyamanan iklim kandang.
Untuk pendekatan geografis, salah satu cara adalah pemilihan lokasi yang
ketinggiannya dari permukaan laut sedemikian rupa sehingga suhu lingkungannya
mendekati kondisi yang disebut "Thermal Comfort Zone" untuk ternak tertentu.
Untuk usaha pengembangan ternak bibit unggul berasal dari daerah beriklim sejuk,
maka pendekatannya harus melalui informasi klimograf. Pendekatan lain ialah
menciptakan ternak yang dapat beradaptasi dengan lingkungan tropis dengan

Percobaan I. Temperature-Humidity Index (THI) 4


tingkat hasil optimal. Untuk ini berbagai bangsa baru untuk persilangan telah
diimpor.
Indeks stres yang dimaksud di sini ialah respons hewan terhadap iklim
yang dapat menimbulkan reaksi yang bersifat permanen. Dampak fisiologik iklim
(suhu lingkungan, kelembaban udara, radiasi matahari dan curah hujan) terhadap
ternak dapat diukur. Suhu udara dan kelembaban merupakan dua parameter
lingkungan yang dapat diukur dengan menggunakan termometer wet bulb (WB)
atau bola kering dan dry bulb (DB) atau bola basah. Berdasarkan nilai temperatur
dengan berdasarkan bola kering, serta selisih temperatur berdasarkan bola basah
dan kering, maka nilai kelembaban lingkungan dapat ditentukan.
THI telah digunakan secara luas untuk memperkirakan tingkat tekanan
panas pada sapi perah dan sapi daging (Mader dkk., 2006.; Bohmanova dkk.,
2007; Morton dkk., 2007) begitu pula Bohmanova dkk. (2007) menunjukkan
bahwa THI mampu menunjukkan prediksi yang tepat terhadap stress panas pada
sapi perah di Amerika Serikat Tenggara.

B. Tujuan Praktikum
1. Menggunakan beberapa formula THI untuk membuat grafik THI
2. Menentukan comfort zone ternak berdasarkan beberapa formula THI dan
dengan menggunakan grafik THI

C. Materi Praktikum
Dalam percobaan ini digunakan alat dan bahan sebagai berikut :
1. Thermometer bola kering/dry bulb (DB)
2. Thermometer bola basah/Wet Bulb (WB)
3. Skala kelembaban berdasarkan DB dan Selisih DB-WB
4. Kertas millimeter atau program MS. Exel minimal versi 95.
5. Kandang Percobaan dengan ternaknya

Percobaan I. Temperature-Humidity Index (THI) 5


D. Formula THI

1. THI = (1.8 × Tdb + 32) − [(0.55 − 0.0055 × RH)× (1.8 × Tdb − 26.8)]
(NRC, 1971)

2. THI = Tdb + 0.36 × Tdp + 41.2


(Yousef, 1985)

3. THI = (0.35 × Tdb + 0.65 × Twb) × 1.8 + 32


(Bianca, 1962);

4. THI = (0.55 × Tdb + 0.2 × Tdp) × 1.8 + 32 + 17.5


(NRC, 1971)

5. THI = (0.15 × Tdb + 0.85 × Twb) × 1.8 + 32


(Bianca, 1962)

6. THI = [0.4 × (Tdb + Twb)] × 1.8 + 32 + 15


(Thom, 1959)

7. THI = (Tdb + Twb) × 0.72 + 40.6


(NRC, 1971)

8. THI = (0.8 × Tdb) + [(RH/100)× (Tdb − 14.4)] + 46.4


(Mader dkk., 2006)

9. THI = Tdb + 0.36 Twb + 41.2 OC


(Johnson ,1987)

10. THI = (1.8xT db+32) – {(0,55 -0,0055 RH) ((1.8xT db+32)– 58)}
(Modifikasi Elvia Hernawan, Andi Mushawwir dan Diding Latipudin, 2012,
berdasarkan Ingraham (1987))

E. Metode
1. Membuat Grafik THI
a. Tentukan sumbu X sebagai temperature (0C) atau dan sumbu Y
sebagai Kelembaban
b. Skala minimal temperature 150C dan maksimal 400C. Gunakan tingkat
ketelitian skala 0,2, contoh 15; 15,2; 15,4 … 400C.
c. Skala minimal kelembaban 0% dan maksimal 100%, dengan ketelitian
skala 5, contoh 0, 5, 10… 100%.

Percobaan I. Temperature-Humidity Index (THI) 6


d. Gunakan formula (1), (8), dan (10) untuk membuat grafik THI
e. Disarankan mengggunakan Microsoft Office Excel untuk
mempermudah perhitungan
f. Berilah warna/atau garis berbeda masing-masing comfort zone-nya
(Berdasarkan Dr. Frank Wiersama, University of Arizona, in Tropical
Dairy Farming : Feeding Management for Small Holder Dairy Farmers
in the Humid Tropics, by John Moran, 2005: Gambar 1), dengan
ketentuan berikut :
a. < 72 : zona tidak stress
b. 72 -78 : zona stress ringan
c. 78-89 : zona stress berat
d. 89-98 : zona stress sangat berat
e. > 98 : zona sapi tidak bertahan hidup

g. Gunakan kertas millimeter atau sebaiknya dicetak (diprint) dengan


menggunakan kertas A3/A2

2. Menentukan Thermal Comfort Zone Ternak Sapi Perah dan Sapi Potong
a. Ukur temperatur dengan menggunakan thermometer bola kering (DB)
dan bola basah (WB) serta kelembaban kandang sapi perah dan sapi
potong. Lakukan pengukuran ini dibeberapa titik kandang (minimal 3
point).
b. Tempatkan thermometer DB-WB pada tiga (3) titik di dalam kandang.
Sebagai representasi untuk menentukan temperatur kandang, maka
thermometer dapat ditempatkan di ujung dan tengah kandang.
c. Tuliskan hasil pengamatan anda pada Tabel Pengamatan berikut :

Percobaan I. Temperature-Humidity Index (THI) 7


F. Tabel Pengamatan

T (0C) Bola basah (DB) T (0C) Bola basah (WB) RH (%) TR DJ LR


Pukul Titik Titik Titik Titik Titik Titik Titik Titik Titik Ternak Ternak Ternak Ternak Ternak Ternak
Rt2 Rt2 Rt2 1 2
Rt2 1 2
Rt2 1 2
Rt2
1 2 3 1 2 3 1 2 3

04.00 am
05.00 am
06.00 am
07.00 am
08.00 am
09.00 am
10.00 am
11.00 am
12.00 pm
13.00 pm
14.00 pm
15.00 pm
16.00 pm
17.00 pm
Rata-rata
TR = Temperatur Rectal (0C); DJ =Denyut Jantung (Kali/Menit); LR = Laju Respirasi (Kali/Menit)

Percobaan I. Temperature-Humidity Index (THI) 8


d. Hitunglah THI dengan menggunakan formula 1-10
e. Tunjukkan pada grafik THI bahwa perbedaan waktu (jam pengukuran)
akan menghasilkan nilai THI yang berbeda.
f. Tentukan Thermal Confort Zone berdasarkan THI hasil perhitungan
anda pada grafik THI yang anda telah buat.

Percobaan I. Temperature-Humidity Index (THI) 9


A = < 72 : zona tidak stress
B = 72 -78 : zona stress ringan
C = 78-89 : zona stress berat
D = 89-98 : zona stress sangat berat
E = > 98 : zona sapi tidak bertahan
hidup

Gambar 1. Grafik THI berdasarkan Dr. Frank Wiersama, University of Arizona,


in Tropical Dairy Farming : Feeding Management for Small Holder
Dairy Farmers in the Humid Tropics, by John Moran, 2005

Percobaan I. Temperature-Humidity Index (THI) 10


PERCOBAAN II
DAYA TAHAN PANAS TERNAK

A. Teori Dasar

Daya tahan panas ialah kemampuan tubuh hewan untuk mempertahankan


diri dari serangan panas tanpa menderita akibat dari pengaruh yang tidak
menguntungkan. Prinsip dasar pengukuran daya tahan panas seekor hewan ialah
tingkat perubahan suhu tubuh hewan tersebut, sebab pada umumnya perubahan-
perubahan fungsi fisiologik organ lainnya hanyalah usaha tubuh agar suhu tubuh
tidak terus naik. Hewan yang mudah naik suhu tubuhnya akibat meningkatnya suhu
lingkungan, dikatakan bahwa hewan tersebut rendah daya tahan panasnya. Daya
tahan panas atau lebih dikenal dengan toleransi panas (heat tolerance), sesungguhnya
sulit ditentukan, sebab keadaan panas membangkitkan berbagai gangguan pada
berbagai organ pada hewan, baik langsung maupun tidak langsung. Namun, salah
satu cara yang biasa digunakan untuk mengukur toleransi panas, ialah melihat tinggi
rendahnya reaksi organ yang dianggap paling mudah berubah akibat perubahan suhu
lingkungan yakni organ pernafasan dan pengatur suhu tubuh.
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tahan panas seekor hewan ialah
bangsa. Domba merino ternyata mampu bertahan dan berkembang di daerah dengan
suhu tinggi atau di dataran rendah untuk daerah tropis. Lain halnya dengan domba
Cheviot sangat baik bertahan pada suhu rendah atau di daerah subtropis. Dengan
demikian domba Merino lebih tinggi daya tahan panasnya daripada domba Cheviot.
Oleh karena itu pada pembentukan domba Priangan, maka salah satu bangsa yang
digunakan ialah domba Merino. Sapi potong ternyata mempunyai daya tahan panas
yang lebih tinggi daripada sapi perah bahkan dalam tipe yang sama seperti sapi
perah, maka sapi Sahiwal jauh lebih tinggi daya tahan panasnya daripada sapi
Holstein Friesian. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa faktor sex juga
mempengaruhi daya tahan panas hewan. Dari hasil beberapa penelitian diperoleh
hasil bahwa domba jantan dan domba betina yang ditempatkan di dalam ruangan
dengan suhu 40 OC, maka suhu tubuh rata-rata domba jantan adalah 40,6 OC, sedang
domba betina 39,9OC (Short, 1959). Demikian pula kondisi tubuh ternak

Percobaan II. Daya Tahan Panas Ternak 10


menunjukkan adanya perbedaan terhadap daya tahan panas. Hewan yang
mempunyai volume tubuh yang lebih besar lebih rendah daya tahan panasnya
dibandingkan dengan yang kurus ( Lubis, 1959). Hal ini erat kaitannya dengan luas
permukaan tubuh hewan tersebut, yang menunjukkan bahwa semakin kecil hewan
maka luas permukaan tubuhnya relatif lebih besar. Dengan demikian banyak panas
yang diradiasikan dari dalam tubuh. Demikian pula hewan muda lebih rendah daya
tahan panasnya daripada hewan tua. ( Terrill, 1968). Tampaknya hal ini disebabkan
organ yang berkaitan dengan pembuangan panas pada hewan dewasa sudah lebih
berkembang fungsinya daripada organ-organ tubuh hewan muda.
Untuk mengukur daya tahan panas seekor hewan, terdapat dua cara yang
lazim dipergunakan yakni : (1) metode Iberia dengan menggunakan parameter suhu
tubuh dan diukur dalam OF (Lubis, 1959), (2). metode Benezra dengan parameter
suhu tubuh diukur melalui OC dan frekuensi pernafasan (Benezra, 1953). Kelemahan
metode Benezra ialah tidak dapat digunakan pada hewan yang mempunyai
karakteristik “panting”.
Cara menetapkan toleransi panas dengan memakai rumus Rhoad disebut
metode Iberia. Hasil-hasil penyelidikan daya tahan panas menurut cara ini yang
telah dilakukan di berbagai negara, kadang-kadang menunjukkan perbedaan besar
untuk bangsa yang sama. Perbedaan HTC yang diperoleh dalam lingkungan satu
bangsa sapi antara berbagai negara itu, tampaknya disebabkan oleh perbedaan
dalam konstelasi faktor-faktor iklim di masing-masing daerah penelitian,
sekalipun suhu udara setempat adalah sama. Akan tetapi, bagaimanapun besarnya
perbedaan-perbedaan HTC yang diperoleh itu, dalam satu hal terdapat persamaan,
yakni kenyataan bahwa sapi-sapi yang berasal dari daerah tropis lebih tinggi
toleransi-panasnya dari pada bangsa-bangsa sapi dari daerah sub-tropis dan daerah
beriklim dingin. Di Indonesia beberapa penelitian HTC pada bangsa sapi dengan
memakai rumus Rhoad, dilakukan pada tahun (1958) oleh Didi Atmadilaga,
hasil-hasilnya adalah sebagai berikut:
Sapi Onggole : 95,8
Sapi Bali : 94,9
Sapi Madura : 93,0

Percobaan II. Daya Tahan Panas Ternak 11


Sapi Red Danish : 61,0
Sapi Madura x Red Danish (F1) : 70,0

Pada tahun 1953 Benezra dari Venezuela mengemukakan suatu rumus


baru untuk menentukan toleransi panas pada ternak sapi. Ia berpendapat,
bahwa metoda Iberia kurang memuaskan, oleh karena faktor respirasi sama
sekali tidak diperhitungkan dalam rumus Rhoad, sedangkan parameter
frekuensi pernafasan akan lebih sensitif. Dengan demikian data yang didapat
lebih teliti.

B. Tujuan Praktikum
1. Menentukan Heat Tolerance Coefficient (HTC) berdasarakan metode Rhoad
dan hasil modifikasi Soeharsono.
2. Menentukan Benezra Coefficient (BC) berdasarakan metode Benezra dan
hasil modifikasi Soeharsono
3. Menentukan daya tahan panas ternak berdasarakan nilai Heat Tolerance
Coefficient (HTC) dan Benezra Coefficient (BC)

C. Materi Praktikum
Alat dan Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah :
1. Thermometer air raksa atau digital
2. Steteskop
3. Vaselin
4. Ternak sapi 4 ekor (masing-masing 2 ekor dari bangsa yang berbeda)

D. Formula
1. Formula berdasarkan metode Iberia
a. Heat Tolerance Coefficient (HTC) berdasarkan Rhoad

HTC = 100 - [10 (BT - 101,0)]

BT = suhu rata-rata tubuh (Body temp.)


101,0 = suhu tubuh normal yang diukur melalui rektal, dinyatakan dengan
Fahrenheit (standard body temperature)

Percobaan II. Daya Tahan Panas Ternak 12


100,0 = Angka efisiensi yang sempurna pada 101,0o F

b. HTC, modifikasi Soeharsono (2010)

HTC = 100 – 10 ( BT1 – BTO)


BT1 = Suhu tubuh yang diukur pada hewan yang dijemur antara
pukul 9.00 – 10.00 pagi dalam keadaan cuaca cerah
BTO = Suhu yang diukur pada hewan pada jam 4.00 pagi sebelum hewan diberi
makan

Berdasarkan penetapan toleransi panas menurut Rhoad, maka sapi yang


betul-betul sempurna dissipasi panasnya akan menunjukkan HTC = 100.

2. Formula Berdasarkan Benezra


a. Benezra coefficient (BC) Berdasarkan Benezra

𝑅𝑇 𝑁𝑅
BC = +
28,33 23

BC = Benezra Coefficient
RT = Rectal Temperature
NR = Number of Respiratory Rate
38,33 = Temperatur normal sapi (standard temperature)
23 = Frekwenai pernafasan normal (standard respiratory rate)

b. Index Adapatability (IA), modifikasi BC oleh Soeharsono (2010)

𝑅𝑇1 𝑁𝑅1
IA = +
𝑅𝑇0 𝑁𝑅0

RT1 = suhu tubuh siang hari sedang dijemur (jam 11.30)


RTO = suhu tubuh pagi hari (Jam 4 – 5)
NR1 = frekuensi pernafasan siang hari sedang dijemur (jam 11.30)
NRO = frekuensi pernafasan pagi hari (Jam 4 – 5)

Menurut perhitungan dengan cara Benezra ini, toleransi panas yang optimal
jika nilai BC sama dengan 2. Semakin tinggi nilai BC semakin rendah
toleransi-panas hewan.

Percobaan II. Daya Tahan Panas Ternak 13


E. Metode
Pengukuran parameter dilakukan 2 kali dalam sehari, yaitu pagi hari
pengukuran dilakukan pada pukul 16.00-17.00 (ketika suhu lingkungan
diperkirakan paling rendah) dan pengukuran siang pukul 11.00-12.30
(ketika matahari berada tepat di atas, diperkirakan suhu lingkungan paling
tinggi). Parameter terdiri atas : suhu rektal, frekuensi pernapasan, suhu
lingkungan dan kelembaban.

1. Pengukuran suhu tubuh melalui rektal

a. Pengukuran dilakukan saat ternak sapi dalam keadaan istirahat


(tenang).
b. Ternak dalam posisi berdiri dan tenang
c. Thermometer dilumuri dengan vaselin sebelum dimasukkan ke rektal
d. Ekor sapi diangkat dengan perlahan sambil di elus-elus pad bagian
coxsae-nya, setelah tenang lalu masukkan thermometer sampai
menyentuh bagian mukosa rectum, diamkan selama 2 menit.
e. Biarkan beberapa saat sampai air raksa tidak lagi bergerak. Apabila
menggunakan thermometer digital, thermometernya akan memberi
tanda bila suhu rectal telah konstan dengan bunyi.
f. Baca temperatur pada skala thermometer, sebelum melepasnya dari
reaktal.
g. Pengukuran temperatur rektal tersebuk, sebaiknya diulangi 3-4 kali
dengan selang lima menit untuk mendapatkan rata-rata tempereratur
rektalnya.

2. Pengukuran frekuensi pernapasan :

Frekuensi pernafasan diukur ketika ternak dalam keadaan istirahat


(tenang). Sebelum menghitung frekuensi pernapasan sebaiknya amati
terlebih dahulu ternaknya, perhatikan inspirasi dan ekspirasinya sehingga
untuk menghitung 1 kali frekuensi pernapasan adalah 1 gerakan inspirasi
ditambah 1 gerakan ekspirasi. Untuk praktisnya ketika melakukan

Percobaan II. Daya Tahan Panas Ternak 14


pengukuran di lapangan dapat dilakukan dengan memperhatikan salah
satu gerak saja, apakah saat inspirasi atau ekspirasi. Frekuensi dihitung
selama 1 menit atau satuannya kali per menit.

Percobaan II. Daya Tahan Panas Ternak 15


F. Tabel Pengamatan

Umur Temperatur Rektal Frekuensi Pernafasan


No. Bangsa Jenis (0C) (kali/menit)
Ternak Ternak Kelamin
Ternak HTC* IA*
Pukul Pukul Pukul Pukul Pukul
(Bulan) 04.00 am 10.00 am 11.00 am
Rata-rata
04.00 am 11.00 am
Rata-rata

*) Gunakan formula HTC dan IA modifikasi Soeharsono (2009)

Percobaan II. Daya Tahan Panas Ternak 16


PERCOBAAN III

LAJU METABOLISME
Teknik Estimasi Laju Metabolisme :
Inderect Mehtod Berdasarkan Konsumsi Oksigen

A. Teori Dasar

Produksi panas total atau Total heat production (HE) merupakan jumlah
energi yang ditransfer dari tubuh ternak ke lingkungan dalam bentuk yang berbeda
dengan energi pembakaran atau combustible energi. Beberapa devinisi mengenai
produksi panas dikemukakan bahwa produksi panas total terdiri dari banyak
komponen, yaitu : fasting metabolism (HeE) atau metabolism basal, panas yang
berkaitan dengan aktivitas voluntary (HjE), panas dari pembentukan produk (HrE),
panas untuk pengaturan suhu tubuh (HcE), panas yang timbul dari proses
pencernaan (HdE), panas dari waste dan eksresi (HwE), dan panas dari fermentasi
(HfE). Komponen-komponen panas HrE + HdE + HwE + HfE dalam penerapannya
sering digabungkan menjadi heat increment (HiE) atau sering disebut juga dengan
specific dynamic action
Selisih antara konsumsi energi dengan energi yang tidak terpakai atau
dikeluarkan melalui feses, urin, dan gas-gas pencernaan, serta produk yang
tersimpan dalam bentuk lemak, protein, dan telur merupakan atau setara produksi
panas total, atau persamaannya dapat dituliskan melalui formula berikut:
HE = IE – (FE + UE + GE) – RE, atau
HE = ME - RE
Jumlah atau besaran produksi panas pada ternak unggas dapat dihitung
atau diperkirakan berdasarkan pengukuran konsumsi oksigen. Menurut Mc
Donald et al. (1988) serta Louw (1993) panas yang dihasikan unggas adalah hasil
dari oksidasi molekul-molekul zat makanan, termasuk produksi panas pada saaat
puasa yang diukur sebagai metabolisme basal, spesfic dynamic action dan panas
yang timbul akibat kerja otot. Karena proses oksidasi molekul zat makanan
membutuhkan oksigen dan dari proses oksidasi tersebut juga dihasilkan

Percobaan III. Laju Metabolisme 17


karbondioksida, maka Romijn dan Lokhorst (1961) mengajukan formula untuk
mengukur produksi panas pada ternak ayam sebagai berikut:
M = 3,871 O2 + 1,194 CO2
M = produksi panas (Kal/jam), O2 = konsumsi O2 (liter/jam), dan CO2 =
produksi CO2 (liter/jam). Hasil yang diperoleh dengan menggunakan formula
tersebut menurut Whittow (1976) tingkat kesalahannya bias lebih rendah dari
1,5%.
Energi yang diperoleh dari pakan yang dikonsumsi, pertama-tama akan
dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup pokok (maintenance) agar tidak terjadi
katabolisme dari jaringan-jaringan tubuh (Mc Donald et al.,1988; dan Wahyu
1992). Apabila jumlah energi yang dikonsumsi hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidupan pokok saja maka energi tersebut akan dirubah menjadi panas
untuk mempertahankan temperatur tubuh agar tetap konstan. Hal tersebut
merupakan cerminan dari keseimbangan antara panas yang dibentuk (Heat
Production) dengan panas yang dikeluarkan (Heat Loss). Kondisi demikian
dinamakan metabolisme basal (Mc Donald at al.,1988; Blem, 1998). Besarnya
kebutuhan energi untuk hidup pokok selama 24 jam diformulasikan sebagai 70,5 x
W0,75 (Brody, 1974), 70 x W0,75 (Kleiber, 1961); akan tetapi mengingat bahwa
suhu tubuh ayam relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis ternak lainnya
maka Scott et al. (1982) menyarankan untuk menggunakan 83 X W0,75, dimana
W0,75 adalah bobot metabolik.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa pelepasan panas dari tubuh
hewan dapat terjadi secara sensible (sensible heat loss) dengan melalui berbagai
cara yaitu radiasi, konveksi, dan konduksi; serta pelepasan panas secara evaporasi
baik melalui kulit maupun mekanisme respirasi. Pelepasan panas dengan cara
evaporasi dalam bentuk uap air merupakan fraksi penting dalam menilai total
pelepasan panas dari objek hidup melalui pengukuran volume udara yang
melewati chamber sejak udara dimasukkan ke dalam dan keluar dari chamber.
Ditegaskan pula bahwa evaporasi tersebut akan membawa panas dari permukaan
tubuh. Jumlah panas latent dari evaporasi tersebut adalah 0,60 Kkal/g pada suhu
0°C dan 0,57 Kkal/g pada suhu 40°C

Percobaan III. Laju Metabolisme 18


Metoda kalorimetri tidak langsung digunakan untuk mengukur produksi
panas berdasarkan jumlah oksigen atau produksi karbondioksida. Dinyatakan pula
bahwa berdasarkan penelitian Rubner (1894) membuktikan bahwa perbedaan
yang diperoleh antara metoda kalorimetri langsung dan metoda kalorimetri tidak
langsung ternyata kurang dari satu persen (1%). Prinsip yang digunakan dalam
metoda kalorimetri tidak langsung adalah bahwa metabolisme karbohidrat, lemak,
dan protein dibutuhkan sejumlah oksigen; pada saat yang sama akan diproduksi
sejumlah karbondioksida akan dilepaskan sejumlah panas (McDonald, et al.,
1988). Hal tersebut ditunjukan melalui proses oksidasi glukosa (karbohidrat) dan
tripalmitin (lemak) sebagai berikut :
C6H12O6 + 6O2 CO2 + H2O + 674 Kkal
C3H5(OOC.C15H31)3 72, 5 O2 51CO2 + 49H2O + 7653 Kkal
Terdapat dua macam model kalorimetri tidak langsung yang
dikembangkan, yaitu model sirkuit terbuka (open circuit respiration chambers)
dan model sirkuit tertutup (closed circuit respiration chambers). Pada model
sirkuit terbuka udara dialirkan ke dalam chamber respirasi yaitu ruang tempat
hewan tempat percobaan diletakkan. Jumlah konsumsi oksigen dan
karbondioksida yang diproduksi dihitung berdasarkan selisih antara volume dan
komposisi udara yang masuk dengan yang keluar dari chamber. Model tersebut
membutuhkan dukungan peralatan gas meter untuk mengukur aliran udara dan gas
analyzer untuk mengukur komposisi udara secara akurat (Kleiber, 1961; Maynard
et al., 1979; McLean dan Tobin, 1987; Bondi, 1987; McDonald et al., 1988 serta
Amrullah, 2003). Pada model sirkuit tertutup oksigen dialirkan terus menerus ke
dalam chamber respirasi dan ekspirasi dialirkan melalui bahan-bahan penyerap
untuk uap air dan karbondioksida, kemudian udara tersebut dialirkan kembali
kedalam chamber respirasi. Volume oksigen yang terkonsumsi dapat diketahui
secara volumetri dengan menggunakan gas meter, sedangkan jumlah
karbondioksida yang diproduksi dapat diukur secara gravimetri.
Pengukuran laju metabolisme pada ternak ayam sebetulnya dapat
dilakukan dengan cara yang lebih sederhana, yaitu cukup didasarkan pada hasil
pengukuran konsumsi O2 saja. Menurut Louw (1993) cara yang paling sederhana

Percobaan III. Laju Metabolisme 19


untuk mengukur konsumsi oksigen adalah dengan cara menempatkan seekor
hewan ke dalam suatu container tertutup yang telah dilengkapi dengan bahan
penyerap CO2 serta sebuah manometer (tabung U yang diisi dengan cairan). Pada
saat O2 dikonsumsi, volume udara di dalam container akan menurun dan dapat
terbaca pada manometer.

B. Tujuan Praktikum
1. Mengukur metabolisme secara tak langsung
2. Mengukur laju metabolisme dan menghitung laju metabolisme basal

C. Materi Praktikum
a. Tikus putih/Ayam
b. Timbangan
c. 1 set metabolor stoples lengkap
d. Pencatat waktu (jam/stopwatch)
e. Thermometer dan barometer
f. Vaselin
g. Sringer (Spuit)

D. Formula

Manometer dapat dikalibrasi dengan diinjeksikan udara ke dalam

kontainer tertutup dengan menggunakan syringe. Keadaan temperature dan

tekanan pada container selama pengukuran dicatat, karena volume O 2 yang

terkonsumsi harus ditransformasikan ke kondisi temperature dan tekanan

standar dengan menggunakan rumus Charles yang dikutip oleh Louw, (1993)

sebagai berikut :

𝐁𝐏𝐞𝐱𝐩 𝐱 𝟐𝟕𝟑
Volume (STP) = Vexp 𝟕𝟔𝟎 𝐗 (𝑻
𝒆𝒙𝒑 +𝟐𝟕𝟑)

Percobaan III. Laju Metabolisme 20


dimana:

STP = Standar Temperature Pressure (0°C, 760 mmHg)


Vexp = Volume 02 yang dikonsumsi
BPexp = Tekanan Barometrik (mmHg)
Texp = Temperatur (0°C)

Berdasarkan hasil pengukuran konsumsi O2 dengan menggunakan

metode diatas, maka untuk menghitung laju metabolisme atau produksi panas

tinggal mengalikannya dengan 4,825 kalori menurut Sastradipraja dkk.,

(1989) adalah tetapan yang telah disepakati bahwa untuk 1 liter oksigen yang
dikonsumsi seekor hewan menghasilkan 4,825 kalori dari oksidasi campuran

makanan, karena nilai RQ (Respirasi Quotient) dari campuran makanan

adalah sebesar 0,82. Dikemukakan pula bahwa kesalahan perhitungan jarang

mencapai 3% dengan menggunakan perhitungan diatas. Sedangkan Van

Kampen (1987) mengemukakan bahwa jika status makanan tidak diketahui,

maka diasumsikan nilai RQnya sama dengan 0,85 dan tingkat kesalahan

maksimal dari hasil perhitungan produksi panas atau laju metabolisme adalah

sebesar kira-kira 4%.

Cara lain untuk menghitung laju metabolisme atau “energi value”

(Kkal/menit) dengan tingkat kesalahan tidak lebih dari 0,5%, adalah dengan

menggunakan cara perhitungan yang diajukan oleh Durnin dan Pssmore

(1967) yang dikutip oleh Louw (1993). Adapun rumusnya adalah sebagai

berikut :

4,92 x V
Energi Value (Kkal/menit) = (20, 93)-O2e
100

dimana
V = Volume O2 yang dikonsumsi pada standar temperature pressure atau STP (0°C,
760 mmHg)
4, 92 = Energi yang dihasilkan dari pembakaran makanan per liter O2 (Kcal)
20, 93 = Kandungan O2 di udara normal (%)

Percobaan III. Laju Metabolisme 21


O2e = Persentase O2 dari udara yang dikonsumsi (%)

E. Metode :
1. Siapkan metabolor stoples
a. Lakukan tahap pemeriksaan sebagai berikut:
- Periksa dan pastikan sambungan antara selang dan tutup
stoples dalam keadaan tidak bocor.
- Hubungkan tutup stoples dengan pipa manometer
- Isi dengan 10 ml udara, sampai kaki cairan pada
manometer berubah.
- Perhatikan, bila cairan pada kaki manometer itu
kembali dalam keadaan semula berarti ada kebocoran,
segera olesi sambungan-sambungan dan tutup stoples
dengan vaselin
- Periksa dan coba kembali, sampai metabolor stoples
dapat berfungsi dengan baik.
2. Timbang tikus percobaan dan catat bobot tubuhnya ( lakukan tiga kali dan
hitung rataannya)
3. Masukkan tikus ke dalam stoples , tutup rapat-rapat (perhatikan, jangan
ada kebocoran dari bagian sambungan atau tutup stoples).
4. Tarik pendorong spiud sehingga spuid terisi dengan udara 10-20 cc,
sambungkan spuid ini dengan salah satu selang karet pada tutup stoples.
5. Perhatikan dan beri tanda permukaan cairan sebelum diisi udara.
6. Doronglah udara dalam spuid sehingga cairan di kaki manometer
menjadi terdorong ( permukaan cairan menjadi tidak sama)
7. Catat waktu, sejak permukaan cairan pada posisi tidak sama sampai
dengan cairan kembali pada posisi semula.
8. Catat suhu dan tekanan udara laboratorium saat pengukuran dilakukan.
9. Keluarkan tikus dari stoples, istirahatkan selama 15 menit, dengan tujuan
memulihkan kondisi tikus.
10. Ulangi pengukuran tersebut di atas sebanyak 2 kali. Catat waktunya.

Percobaan III. Laju Metabolisme 22


F. Tabel Pengamatan

No Uraian Nilai dan satuan

1. Bobot Tubuh 1 = ............................. g

2 = ............................ g

3 = ............................ g

Rataan : ..................... g

Temperatur Ruang (oC)

2. Volume udara yang dimasukkan = ……………….....mL

3. a.Volume Oksigen yg dikonsumsi = ……………….....mL

b.Volume Oksigen yg dikonsumsi = ……………….....%

4. Waktu yang diperlukan, sejak 1 =.........................menit


permukaan cairan tidak sama 2 =.........................menit
sampai pada posisi semula (di 3 =.........................menit
Rataan : ....................menit
ulang 3 x)

4. Laju konsumsi oksigen = …………...........mL/menit


=………………....Liter/jam
=…………………Liter/24jam

Percobaan III. Laju Metabolisme 23


5. Laju konsumsi Oksigen (STP) = ………………....Liter/Jam
= ……………....Liter/24 Jam

6. Laju metabolisme tikus =…………………Kkal/jam


=…………………Kkal/24jam

7. Laju metabolisme basal tikus =………………....Kkal/24 jam

8. Peningkatan laju metabolisme/laju = …………........... kkal.


metabolisme basal

Percobaan III. Laju Metabolisme 24


PERCOBAAN IV

LAJU PENGELUARAN KERINGAT


(Teknik Estimasi Laju Evaporasi)

A. Teori Dasar

Pada dasarnya terdapat dua cara pengeluaran air melalui kulit, yaitu (1)
pengeluaran air yang dikontrol oleh fungsi kelenjar keringat, dan (2) pengeluaran
air karena proses fisika (difusi). Dalam kisaran suhu lingkungan netral,
sejumlah air secara terus-menerus dievaporasikan dari kulit tanpa disadari dan
tidak di bawah kontrol fisiologis. Kehilangan air “insensible” ini berlangsung
dengan cara difusi, dan lajunya ditentukan oleh tinggi rendahnya perbedaan
tekanan uap air antara kulit yang bertekanan jenuh pada suhu kulit dengan suhu
udara sekitar yang memiliki tekanan uap air tidak jenuh. Hasil penelitian pada
manusia menunjukkan bahwa pada suhu lingkungan netral, pengeluaran air in
sensible ini mencapai 50 mL/jam. Sehingga dengan meningkatnya suhu kulit,
maka kehilangan air insensible melalui kulit ini akan meningkat. Akan tetapi
dengan meningkatnya suhu lingkungan, pengeluaran air insensible ini menjadi
kurang dapat diandalkan dibandingkan dengan yang dikeluarkan melalui
kelenjar keringat. Pengetahuan tentang laju pengeluaran keringat, terutama berasal
dari studi yang menggunakan hewan domestik dan juga manusia.
Telah diketahui bahwa hewan mamalia umumnya memiliki 3
macam kelenjar pada kulitnya, yaitu Kl. sebaceus, Kl. apocrinedan Kl. eccrine.
KL. SEBACEUS
Di antara ketiga kelenjar tersebut, kelenjar sebaceus adalah merupakan
kelenjar yang berhubungan langsung dengan folikel rambut, dan dimiliki hanya
oleh mamalia. Perihal unik dari Kl. sebaceus pada manusia adalah : (1). kepala
yang botak memiliki populasi Kl. sebaceus yang tertinggi di bandingkan bagian
tubuh lain; (2) kelenjar ini juga terdapat pada batas merah pada bibit atas; dan
(3) jerawat, suatu kelainan/penyakit yang berpusat pada sekitar kelenjar ini,
dan belum diperoleh informasi kehadirannya pada species primata maupun

Percobaan IV. Laju Pengeluaran Keringat 25


mamalia lainnya.
Akan tetapi, terdapat pula kelenjar sebaceus yang tidak berhubungan
dengan folikel rambut, seperti yang ditemukan pada kelopak mata, preputium,
glan panis, labia minora, anus, putting susu dan sekitarnya (areola).
Meskipun secara histologis memiliki kesamaan, akan tetapi secara
morphologis dan distribusi kelenjar ini berbeda-beda pada species yang
berbeda. Sekretanya disebut sebum dan tersusun dari lemak dan sel-sel yang
mati, dan tidak memiliki fungsi dalam regulasi suhu tubuh.
Pada kelopak mata disebut pula Kl. Meibomian, sekretanya berfungsi
lubrikasi bagi bola mata.
Pada preputium, kelenjar ini terdapat pada kedua sisi kulit (dalam dan
luar) preputium dan sekretanya keluar bersama urin. Oleh karena itu diduga
berfungsi sebagai penanda mengenali area teretori tertentu yang akan dipertahanka
atau wilayah demarkasi, dan legitimasi pimpinan kelompok hewan.
Pada kelompok hewan berteracak (artiodactila), kl. sebaceus juga
ditemukan pada metatarsal dan di antara buku-buku jari kakinya. Semua kelenjar
ini kemungkinan berperan dalam komunikasi (olfaktori-penciuman) dan
dalam teretorialiti.
Kambing pegunungan (proghorn) memiliki kl. sebaceus yang terletak di
belakang kedua tanduknya (disebut kl . ischial)
KL. APOCRINE DAN ECCRINE
Secara garis besar, kelenjar keringat dikarakterisasi sesuai dengan ukuran
dan kompleksitasnya. Kelenjar yang memiliki ukuran lebih besar, lebih
komplek, berkembang dari folikel-folikel rambut dan umumnya bermuara pada
folikel rambut adalah KL. APOCRINE atau KL. EPICRINE; sementara kelenjar
dengan ukuran lebih kecil, lebih sederhana (hanya merupakan tabung sederhana)
dan umumnya bermuara langsung pada epidermis adalah KL. ECCRINE. Kedua
kelenjar ini turut berperan dalam fungsi regulasi suhu tubuh.
Kedua kelenjar ini dimiliki oleh kebanyakan species mamalia. Kl. eccrine
diinervasi oleh serabiut syaraf cholonergis dari system syaraf symphatetis;
Kl. apocrine umumnya tidak diinervasi oleh serabut syaraf, tetapi memiliki

Percobaan IV. Laju Pengeluaran Keringat 26


kepekaan yang tinggi terhadap kadar adrenalin dalam aliran darah; pada domba
dan kambing, kelenjar ini juga di bawah kontrol system syaraf.
Pada manusia, hanya Kl.eccrine yang responsif terhadap rangsangan
panas, sementara pada kebanyakan hewan domestik kl. apocrine lebih berperan
dalam proses pengeluaran panas dengan evaporasi.
Jumlah kelenjar keringat adalah sesuai dengan jumlah folikel rambut
yang telah menjadi tetap sejak hewan dilahirkan. Sehingga meningkatnya
ukuran tubuh sejalan dengan bertambah umur hewan, jumlah kelenjar
keringat per satuan luas permukaan kulit jadi menurun. Akan tetapi, laju
produksi keringat persatuan luas tidak menurun karena dikompensasi oleh
peningkatan volume dan laju pengeluaran keringat dari setiap kelenjar.
Intensitas pengeluaran keringat berbeda-beda pada bagian tubuh yang
berbeda. Intensitas yang tinggi terdapat pada bagian leher dan rendah pada
bagian bawah ke dua sisin tubuh. Pada sapi Brahman, laju pengeluaran keringat
yang tinggi terdapat di daerah punggung.
Kontrol fisiologis pengeluaran keringat berlangsung melalui dua jalan,
yaitu :
1. melalui reflex terhadap perangsangan ke reseptor panas di kulit;
2. melalui peningkatan suhu hypothalamus.
Sekalipun reflex pengeluaran keringat dapat terjadi tanpa
peningkatan suhu pusat tubuh, akan tetapi suhu kulit yang tinggi tidak
cukup mampu menyebabkan pengeluaran keringat yang maksimal
tanpa melibatkan fungsi hypothalamus. Berdasarkan hasil penelitian pada
kuda, pada awalnya terdapat anggapan bahwa kelenjar keringat tidak secara
langsung diinervasi oleh syaraf, tetapi dikontrol oleh adrenalin dari medula
adrenal sejalan dengan perubahan aliran darah ke kulit. Pada penelitian
selanjutnya terbukti bahwa denervasi medula adrenal ternyata tidak
merubah respon pengeluaran keringat yang diinduksi oleh panas. Akhirnya
dapat dibuktikan bahwa respon pengeluaran keringat akibat cekaman panas pada
kuda adalah dikontrol oleh system syaraf sympathetis dengan adrenalin sebagai
substansi transmiternya.

Percobaan IV. Laju Pengeluaran Keringat 27


Kepentingan relatif pengeluaran keringat sebagai suatu
mekanisme pengeluaran panas tubuh adalah berbeda-beda di antara species
hewan. Anjing dan unggas yang relatif tidak memiliki kelenjar keringat,
pengeluaran panas dengan evaporasi air, relatif tidak memberikan arti yang

penting. Pada suhu lingkungan 40oC, evaporasi air maksimum pada kulit

sapi mencapai 10 gr/m2/jam, sementara evaporasi melalui mukosa saluran


pernafasan hanya 1/3 dari jumlah tersebut. Laju pengeluaran keringat pada sapi
dara Jersey, Zebu x Jersey dan Hereford bervariasi antara 28 sampai 438

gr/m2/jam.
Tabel 1. Dimensi dan kepadatan kelenjar keringat pada bagian tengah
panggul(midflank) sapi dewasa Bos indicus dan Bos taurus
Parameter Bos indicus Bos taurus
Panjang (µm) 936 724
Diameter (µm) 173 129
Volume (µm3 x 10-6) 20 - 25 8 – 12
Jumlah per m2 1507 1005

Keterangan : Carvalho, dkk. 1995.

Tabel 1 di atas memberikan petunjuk bahwa bangsa sapi asal daerah


tropika (Bos indicus) memiliki kelenjar keringat dengan dimensi lebih besar
dan lebih banyak dibandingkan bangsa sapi asal daerah subtropis (Bos taurus).

B. Tujuan Praktikum
1. Mengukur laju pengeluaran keringat (Sweating Rate = SR)
2. Membuktikan evaporasi panas melalui kelenjar keringat
3. Mengetahui hubungan temperatur dengan laju pengeluaran keringat

C. Materi Praktikum
a. Domba/kambing
b. Perforator
c. Oven

Percobaan IV. Laju Pengeluaran Keringat 28


d. Stopwatch
e. Kertas saring Whathman No. 1
f. Object glass
g. Gunting/Gillette
h. Isolasi Bening
i. Thermometer

D. Formula
𝟔𝟗𝟗𝟎
Sweating Rate (SR) =
𝒕
t = waktu yang dibutuhkan dalam detik untuk mengubah warna CCD dari
warna biru menjadi merah muda

E. Metode :
1. Pembuatan Cobalt Chloride Disc 5% (CCD 5%)
a. Kertas saring Whatman no.1 digunting membentuk lingkaran
berdiameter 5,3 mm atau menggunakan perforator (pelubang kertas)
b. Kertas whatman yang telah berbentuk lingkran dicelupkan ke dalam
larutan cobalt chloride 5 % selama 1 menit.
c. Dikeringkan pada suhu ruang selama 2 jam.
d. Kertas whatman bundar tersebut kemudian direkatkan pada objek
glass berjajar tiga dengan jarak 0,5 cm dan ditutup menggunakan
isolasi transparan.
e. Dikeringkan dalam oven selama 10-12 jam dengan temperatur 800C.
f. Pembuatan CCD 5% dapat dilakukan dua hingga satu hari sebelum
pengukuran pada ternak dilakukan.

2. Penyiapan Ternak
a. Ternak di keluarkan dari kandang
b. Catat temperatur lingkungan

Percobaan IV. Laju Pengeluaran Keringat 29


c. Gunakan gunting dan atau gillette untuk melepaskan bulu
ternaknya pada bagian lateral kanan atau kiri abdomen atau pada
bagian lateral paha.

3. Pengukuran Laju Pengeluaran Keringat dan Parameter Fisiologis


yang Terkait dengannya

a. Lepaskan isolator CCD dari dari object glass


b. Rekatkan pada bagian kulit yang telah bebas dari bulu, pada saat
bersamaan catat waktu mulai direkatkan dengan menggunakan
stopwatch
c. Catat waktu (dalam detik) yang diperlukan berubahnya CCD dari
warna biru menjadi merah muda.
d. Sambil menunggu perubahan warna CCD, praktikan yang lain
sambil mengukur denyut jantung dan laju respirasi.
e. Ukur temperatur rectal
f. Ulangi percobaan ini hingga tinga kali pada temperatur lingkungan
yang berbeda.
g. Catat data Anda dalam Tabel Pengamatan
h. Catat pula data pengamatan teman Anda pada kelompok yang lain,
agar keseluruhan data dapat dianalisis.

Percobaan IV. Laju Pengeluaran Keringat 30


Tabel Pengamatan

Periode I Periode II Periode III


(Pukul 08.00-09.00 am) (Pukul 11.00-11.30 am) (Pukul 14.00-14.45 pm)
Nomor Jenis
NO Ternak Kelamin Temp. Temp. Temp.
Rectal t SR DJ LR Rectal t SR DJ LR Rectal t SR DJ LR
(0C) (0C) (0C)

2
3

4
5

6
7

8
9

10

t = Waktu yang dibutuhkan dalam detik untuk mengubah warna CCD dari warna biru menjadi merah muda
SR = Sweating Rate
DJ = Denyut Jantung (kali/menit)
LR = Laju Respirasi (kali/menit)

Percobaan IV. Laju Pengeluaran Keringat 31


DAFTAR PUSTAKA

Amrullah I.K. 2003. Seri Beternak Mandiri : Nutrisi Ayam Pedaging., Cetakan
pertama, Lembaga Satu Gunungbudi, Bogor.

Bondi, A.A. 1987. Animal Nutrition., English ed., John Wiley & Son ltd., Great
Britain.

Bohmanova, K., Chikamune, T. 2007. Comparison of Physiological Response to


the Environments in Swamp Buffalo and Cattle under a Temperate
Condition. Dalam : H. Shimizu (Editor) Current Development and
Problems in Swamp buffalo Production. Proceeding s of the Preconference
Symposium of the 5th World Conference on Animal Production, Tsukuba.
Japan: 107 – 127.

Brody, S. 1974. Bioenergetic and Growth, Reprinted. Hafner Press, Collier-


Macmillan Canada ltd., New York.

Devi Yuliananda. 2012. Studi tentang Pertumbuhan Ayam Lokal Leher Gundul
Ditinjau dari Aspek Energetik. Disertasi. Fakultas Peternakan,
Universitas Padjadjaran, Bandung.

Kleiber, M. 1961. The Fire Of Life, an introduction to animal energetics. Jhon


Wiley and Sons, Inc., New York, London.

Louw, G. 1993. Physiological Animal Ecology. First publ., Longman Scientific


and Technical., England.

Mader, R. Hansen, P.J. dan A.D. Ealy. 2006. Effects of Heat Stress on the
Establishment and Maintenance of Pregnancy in Cattle. Dairy Science
Department, University of Florida. Gainsville, USA.

Maynard, L.A., J.K. Loosli, H.F Hintz, and R.G. Warner. 1979. Animal
Nutrition., Seventh ed., McGraw-Hill Book Company, New York, United
States of America.

McDonald P., R.A. Edwards, J.F.D. 1988. Animal Nutrition, fourth edition,
Longman Group Ltd., Essex, England.

McLean, J.A., and G. Tobin. 1987. Animal and Human Calorimetery. First publ.,
Cambridge University Press., Melbourne, Australia.

Percobaan IV. Laju Pengeluaran Keringat 32


Moran, J., 2005. : Feeding Management for Small Holder Dairy Farmers in the
Humid Tropics. University of Arizona, USA.

Sastradipradja, D., S.H.S. Sikar, R. Widjadjakusuma, T. Ungerer, A. Maad, H.


Nasution, R. Suriawinata, dan R. Hamzah. 1989. Penuntun Praktikum
Fisiologi Veteriner. Depdikbud., Dirjen. Dikti., P.A.U. Ilmu Hayat, IPB.,
Bogor.

Soeharsono. 2010. Bionomika Ternak. Widya Padjadjaran, Bandung.

Scott, M. L., M. C. Nesheim, and R. J. Young. 1982. Nutrition of The Chicken. 3


rd Ed. Published by M. L. Scott and associates. Ithaca, New York.

Van Kampen, M. 1987. Poultry and Bird in : Bioclimatology and The Adaption of
Livestock. H.D. Jhinson, ed. Elsevier Scientific Publisher, Amsterdam,
The Netherlands.

Percobaan IV. Laju Pengeluaran Keringat 33

Anda mungkin juga menyukai