TERMOREGULASI
PEMBIMBING
Dr. dr. I Gusti Nyoman Darmaputra, Sp. KK(K)., FINSDV., FAADV
KELOMPOK 3
dr. Andhika Putri Perdana 2180711007
dr. Nyoman Rama Aditya Kurniawan 2180711017
dr. Lina Meylyn Shine 2180711018
dr. Prisca Angelina Kanggriani 2180711019
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2022
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jumlah Bintik Dingin dan Hangat per cm2 pada Kulit Manusia .................. 10
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2
Produksi panas merupakan produk sampingan utama dari metabolisme tubuh. Faktor-
faktor yang penting dari produksi panas adalah:
a) Kecepatan metabolisme basal semua sel tubuh
b) Laju metabolisme ekstra yang disebabkan oleh aktivitas otot, termasuk kontraksi otot
yang disebabkan karena menggigil
c) Metabolisme ekstra yang disebabkan oleh efek tiroksin (dan pada tingkat yang lebih
rendah disebabkan oleh efek hormon pertumbuhan/growth hormone dan testosteron)
pada sel
d) Metabolisme ekstra yang disebabkan oleh efek epinefrin, norepinefrin, dan stimulasi
simpatis pada sel
e) Metabolisme ekstra yang disebabkan oleh peningkatan aktivitas kimia dalam sel,
terutama ketika suhu sel meningkat
f) Metabolisme ekstra yang diperlukan untuk pencernaan, penyerapan, dan penyimpanan
makanan (efek termogenik makanan)
Sebagian besar panas tubuh dihasilkan di organ dalam, terutama pada hati, jantung, otak
dan di otot rangka selama berolahraga. Panas ini akan ditransfer dari organ dan jaringan yang
lebih dalam ke kulit, yang kemudian akan menghilang ke udara dan lingkungan sekitarnya.
Dengan demikian, hilangnya panas bergantung dari dua faktor yaitu:
1. Kecepatan panas dikonduksi dari inti tubuh yang menghasilkan panas ke kulit
2. Kecepatan panas ditransfer dari kulit ke lingkungan sekitarnya (Hall, 2016).
Gambar 2. Faktor yang mempengaruhi Suhu Tubuh (Garami & Székely, 2014)
Gambar 3. Pengaruh Temperatur Atmosfer Tinggi dan Rendah selama beberapa jam,
dalam kondisi kering, pada Suhu Tubuh Internal (Hall, 2016)
5
Sebaliknya, neuron peka dingin akan meningkatkan laju pembakaran jika suhu tubuh turun
(Hall, 2016).
Ketika area preoptik merespon panas, kulit di seluruh tubuh akan mengeluarkan banyak
keringat sedangkan pembuluh darah kulit di seluruh tubuh akan mengalami vasodilatasi.
Respon ini merupakan reaksi langsung yang menyebabkan tubuh kehilangan panas sehingga
membantu mengembalikan suhu tubuh ke kondisi normal. Sebagai tambahan, akan terjadi
hambatan produksi panas tubuh (Hall, 2016).
Meskipun sinyal yang dihasilkan oleh reseptor suhu di hipotalamus sangat kuat dalam
mengontrol suhu tubuh, reseptor di bagian tubuh lain juga memainkan peran tambahan dalam
pengaturan suhu, terutama reseptor suhu di kulit dan di beberapa jaringan spesifik dalam tubuh.
Kulit memiliki reseptor dingin dan hangat, namun reseptor dingin jumlahnya jauh lebih banyak
dibandingkan dengan reseptor hangat, yaitu sekitar 10 kali lebih banyak di berbagai bagian
kulit. Oleh karena itu, deteksi suhu perifer paling utama mendeteksi suhu dingin dan sejuk,
bukan suhu hangat (Hall, 2016).
Meskipun mekanisme molekuler untuk merasakan perubahan suhu belum dipahami secara
mendalam, studi eksperimental menunjukkan bahwa famili potensial reseptor transien kanal
kation, yang ditemukan pada neuron somatosensori dan sel epidermis, dapat memediasi sensasi
termal pada berbagai suhu kulit. Ketika kulit terasa dingin di seluruh tubuh, efek refleks
langsung/immediate akan muncul dan mulai meningkatkan suhu tubuh dalam beberapa cara:
(1) memberikan stimulus yang kuat untuk menggigil, sehingga menghasilkan peningkatan
produksi panas tubuh; (2) menghambat keluarnya keringat, jika sebelumnya sedang
berkeringat; dan (3) dengan vasokonstriksi kulit untuk mengurangi hilangnya panas tubuh dari
kulit (Hall, 2016).
Reseptor suhu tubuh bagian dalam ditemukan terutama di sumsum tulang belakang,
abdomen viscera, dan di dalam atau di sekitar vena besar pada abdomen bagian atas dan thorax.
Reseptor ini memiliki fungsi yang berbeda dengan reseptor kulit karena lebih terekspos oleh
suhu inti tubuh daripada suhu permukaan tubuh. Namun, seperti reseptor pada kulit, mereka
lebih mendeteksi suhu dingin daripada hangat. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan respon
tubuh untuk mencegah hipotermia (Hall, 2016).
Meskipun banyak sinyal sensorik suhu muncul di reseptor perifer, sinyal ini berkontribusi
pada kontrol suhu tubuh terutama melalui hipotalamus. Area hipotalamus yang distimulasi
terletak bilateral di hipotalamus posterior, kira-kira setinggi korpus mamilaris. Sinyal sensorik
suhu dari area preoptik-hipotalamus anterior juga ditransmisikan ke area hipotalamus posterior
ini. Di area ini, sinyal dari area preoptik dan sinyal dari tempat lain di tubuh digabungkan dan
6
diintegrasikan untuk mengontrol reaksi penghasil panas dan reaksi penyimpan panas tubuh
(Hall, 2016).
7
rusaknya struktur seperti paku keling kecil yang disebut desmosome. Kerusakan desmosome
dimediasi oleh enzim yang dikendalikan oleh derajat kelembaban pada lapisan stratum
korneum. Korneosit terdiri dari dinding sel protein dan matriks fibril keratin di dalamnya, yang
memperkokoh struktur kulit. Ketika direndam dalam air atau terkena kelembaban atmosfer
tingkat tinggi, korneosit dapat menyerap kelembaban dan akan menebal sebanyak 25%. Hal ini
dianggap sebagai proses yang menghaluskan permukaan kulit luar dan melindunginya dari
robekan saat basah (Yousef et al., 2020).
8
masing individu (untuk orang normal, rata-rata sekitar 17 kali dari ketebalan dermis). Lapisan
subkutan berfungsi untuk mengisolasi otot terhadap perpindahan panas konduktif ke kulit luar
serta menyimpan energi makanan untuk tubuh (Chopra et al., 2015).
2.5. Termoreseptor
Manusia dapat merasakan berbagai sensasi dingin dan hangat (termasuk rasa sakit) melalui
empat jenis organ sensorik (reseptor rasa sakit dingin, sejuk, hangat, dan rasa panas). Tingkat
stimulasi pada ujung saraf menentukan persepsi seseorang tentang intensitas sensasi termal.
Penelitian yang dilakukan oleh Tansey dan Johnson pada tahun 2015 melaporkan bahwa ketika
disentuh dengan stimulator hangat dan dingin (punctate), beberapa bintik pada kulit terasa
hangat dan/atau dingin, yang lain tidak. Setiap reseptor diaktifkan dalam kisaran tertentu
(Gambar 6). Pada suhu tinggi yang dianggap sangat panas, reseptor terhadap sensasi hangat
tidak aktif dan reseptor rasa sakit distimulasi. Hal yang sama berlaku untuk suhu dingin yang
menyakitkan. Jika stimulus hangat diterapkan pada termoreseptor dingin, tidak ada sinyal yang
dihasilkan. Termoreseptor terletak terutama di kulit dan di hipotalamus, tetapi juga ditemukan
di tempat-tempat lainnya seperti di sumsum tulang belakang, viscera perut, dan di dalam atau
di sekitar pembuluh darah besar di perut bagian atas dan thorax.
9
sekitar sepuluh kali lebih banyak reseptor dingin daripada reseptor hangat di kulit (Tansey &
Johnson, 2015; Hall, 2016). Distribusi reseptor dingin dan hangat ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah Bintik Dingin dan Hangat per cm2 pada Kulit Manusia
Body parts Cold spots (Strughold Warm spots
and Porz 1931) (Rein 1925)
Forehead 5.5–8
Nose 8 1
Lips 16–19
Other parts of face 8.5–9 1.7
Chest 9–10.2 0.3
Abdomen 8–12.5
Back 7.8
Upper arm 5–6.5
Forearm 6–7.5 0.3–0.4
Back of hand 7.4 0.5
Palm of hand 1–5 0.4
Finger dorsal 7–9 1.7
Finger volar 2–4 1.6
Thigh 4.5–5.2 0.4
Calf 4.3–5.7
Back of foot 5.6
Sole of foot 3.4
Bintik-bintik reseptor dingin lebih dominan daripada bintik-bintik reseptor hangat, dan
posisi kedalaman reseptor dingin yang lebih dangkal terhadap permukaan kulit, menunjukkan
bahwa manusia lebih sensitif terhadap bahaya dingin daripada panas (Hall, 2016).
Karakteristik dinamis dari termoreseptor menentukan sensasi termal dan respon
kenyamanan. Sebuah termoreseptor mampu melakukan banyak adaptasi. Ketika mengalami
perubahan suhu yang tiba-tiba, termoreseptor akan mengirimkan impuls pada frekuensi tinggi,
tetapi stimulasi ini menghilang dengan cepat dalam menit pertama setelah perubahan suhu, dan
kemudian semakin lebih lambat sampai mencapai tingkat yang stabil. Termoreseptor berespon
terhadap keadaan suhu stabil pada tingkat yang lebih rendah. Seseorang akan merasa jauh lebih
dingin atau lebih hangat ketika suhu kulit secara aktif turun atau naik daripada ketika keadaan
suhu tetap sama (Filingeri, 2016).
Gambar 7. Efek Suhu Kulit Absolut dan Laju Perubahan Suhu Kulit pada Sensasi
Termal
10
2.6. Peran Kulit sebagai Termoregulasi
Kulit, jaringan subkutan, dan terutama lemak dari jaringan subkutan merupakan
penyekat/isolator panas tubuh. Lemak sangat penting karena berfungsi sebagai konduksi panas
hanya sepertiganya secepat jaringan lain. Ketika tidak ada darah mengalir dari organ internal
yang dipanaskan ke kulit, sifat isolasi dari tubuh pria normal kira-kira sama dengan ¾ sifat
isolasi dari pakaian biasa. Pada wanita, isolasi ini lebih baik. Isolasi panas di bawah kulit adalah
cara yang efektif untuk menjaga suhu inti tetap normal, bahkan meski saat suhu kulit mendekati
suhu lingkungan (Hall, 2016).
Gambar 8 menunjukkan sistem vaskular pada kulit. Fungsi utama sirkulasi darah adalah
untuk memberikan nutrisi dan oksigen ke jaringan dan organ. Selain itu, sirkulasi darah juga
membantu mekanisme utama homeostasis termal, yaitu menjaga panas dalam tubuh ketika
suhu lingkungan dingin dengan mengurangi sirkulasi darah (vasokonstriksi) ke kulit atau
meningkatkan aliran panas keluar dari kulit dengan vasodilatasi jika suhu lingkungan panas
(Khonsary, 2017).
11
Kecepatan aliran darah ke pleksus vena kulit dapat bervariasi, dari hampir di atas nol
sampai 30 persen dari total curah jantung. Kecepatan aliran darah kulit yang tinggi ini
mengakibatkan panas dihantarkan dari inti tubuh ke kulit secara efisien, sedangkan penurunan
aliran darah kulit dapat menurunkan konduksi panas dari inti tubuh secara minimal. Gambar 9
menunjukkan secara kuantitatif pengaruh suhu udara lingkungan pada konduktansi panas dari
inti tubuh ke permukaan kulit lalu ke udara, yang menunjukkan perkiraan peningkatan 8x lipat
dalam konduktansi panas antara kondisi vasokonstriksi penuh dan kondisi vasodilatasi penuh.
Oleh karena itu, kulit merupakan sistem “radiator panas” yang dikendalikan secara efektif, dan
aliran darah ke kulit merupakan mekanisme yang paling efektif untuk perpindahan panas dari
inti tubuh ke kulit (Hall, 2016).
Gambar 9. Pengaruh Perubahan Suhu Lingkungan pada Konduktansi Panas dari Inti
Tubuh ke Permukaan Kulit (Hall, 2016)
Kontrol vaskular terjadi melalui sistem saraf simpatik. Ketika dirangsang pada area
hipotalamus posterior atau kulit, laju impuls saraf yang ditransfer ke perifer akan mengaktifkan
vasokonstriksi atau vasodilatasi. Kontribusi relatif terhadap kontrol sinyal dari suhu
hipotalamus (inti) dan dari suhu kulit berada dalam skala 10: 1, sehingga sistem ini mempunyai
peran penting dalam pengaturan sistem termal tubuh secara keseluruhan. Area tubuh yang
sangat terbuka, seperti jari, tangan, kaki, dan telinga, memiliki mekanisme kontrol vaskular
tambahan yang dapat memvariasikan suhu dan kehilangan panas mereka dalam berbagai
rentang. Arterio-venous anastamoses (AVAs) terletak pada area ini dalam jumlah besar. AVAs
adalah katup yang ketika terbuka, merupakan jalan pintas rute normal darah dari arteriol ke
pleksus vena. Diameter AVA adalah 20-150 μm, sekitar 20 kali lebih besar dari kapiler (1-8
μm) dan lima kali lebih besar dari arteriol (15-30 μm). Ketika tubuh panas, AVAs dirangsang
oleh saraf simpatik untuk membuka dan dengan cepat memasok darah arteri ke pleksus vena,
12
yang bertindak sebagai reservoir hangat dekat dengan permukaan kulit. Hal ini mengakibatkan
kehilangan panas melalui mekanisme konduksi yang melalui jaringan di atasnya ke lingkungan
sekitarnya (Hall, 2016).
13
melalui radiasi dan konduksi. Namun, saat suhu lingkungan lebih besar dibandingkan suhu
kulit, tubuh akan mendapatkan panas dari radiasi dan konduksi. Dalam kondisi ini, satu-
satunya cara tubuh untuk melepaskan panas adalah dengan evaporasi. Oleh karena itu,
segala sesuatu yang mencegah penguapan yang memadai ketika suhu lingkungan sekitar
lebih tinggi dibandingkan suhu kulit maka akan menyebabkan suhu tubuh internal
meningkat. Fenomena ini dapat terjadi pada manusia yang dilahirkan dengan tidak adanya
kelenjar keringat bawaan. Orang ini dapat mentolerir suhu dingin sebaik orang normal,
namun mereka dapat meninggal karena heatstroke di daerah tropis karena tanpa sistem
pendingin evaporatif, mereka tidak dapat mencegah peningkatan suhu tubuh ketika suhu
udara lebih tinggi dibandingkan suhu tubuh.
3. Konduksi (K)
Kehilangan panas secara konduksi terjadi melalui kontak langsung dengan suatu
objek. Seperti ditunjukkan pada Gambar 10, hanya beberapa menit, tubuh kehilangan
panas sekitar 3% dengan cara konduksi langsung dari permukaan tubuh ke benda padat,
seperti kursi atau tempat tidur. Kehilangan panas tubuh dengan cara konduksi ke udara,
mempunyai proporsi yang cukup besar dari kehilangan panas tubuh, yaitu sekitar 15%,
meskipun dalam kondisi normal.
Perlu diingat bahwa panas sebenarnya adalah energi kinetik dari gerakan molekuler
dan molekul kulit terus menerus mengalami gerak getar. Banyak energi dari gerakan ini
dapat ditransfer ke udara apabila udara lingkungan lebih dingin dari kulit, berlanjut dengan
meningkatnya kecepatan gerakan molekul udara. Setelah suhu udara yang berdekatan
dengan kulit sama dengan suhu kulit, tidak akan ada kehilangan panas lebih lanjut dengan
cara ini karena sudah terjadi keseimbangan jumlah panas yang terkonduksi dari udara ke
tubuh. Oleh karena itu, konduksi panas dari tubuh ke udara adalah selflimited, kecuali
udara panas bergerak menjauh dari kulit, sehingga udara baru yang tidak panas terus-
menerus bersentuhan dengan kulit, fenomena ini disebut konveksi udara.
Perolehan panas atau hilangnya panas secara konduksi dapat diartikan sebagai
transfer panas oleh aliran cepat gradien temperatur, seperti antara jaringan dan darah,
antara darah dan kulit, dan antara kulit dan lingkungan. Hal ini biasanya dikombinasikan
dengan transfer panas secara konveksi.
4. Konveksi (C)
Kehilangan panas secara konveksi merupakan hasil dari pergerakan udara. Pertama,
panas dari kulit dikonduksi ke udara dan kemudian dibawa oleh arus udara secara
konveksi. Sejumlah kecil konveksi hampir selalu terjadi di sekitar tubuh karena
14
kecenderungan udara yang berdekatan ke kulit menjadi panas. Oleh karena itu, orang
telanjang yang duduk di kamar yang nyaman tanpa pergerakan udara, sekitar 15% dari
total panas tubuhnya menghilang dengan cara konduksi ke udara dan kemudian menjauh
dari tubuh dengan cara konveksi udara.
Perolehan atau pelepasan panas secara konveksi, diartikan sebagai pertukaran panas
oleh karena pergerakan dari suatu zat cair atau gas. Komponen ini bertanggung jawab
dalam hal transfer panas ke kulit melalui aliran darah kulit dan transfer dari kulit ke
lingkungan oleh pergerakan udara atau air. Di dalam tubuh, sistem kardiovaskular
merupakan mediator utama dari transfer panas secara konveksi. Besarnya konveksi
tergantung kepada:
• Luas area permukaan tubuh
• Perbedaan temperatur
• Pergerakan zat cair atau udara
15
2.8. Mekanisme Tubuh Ketika Temperatur Tubuh Terlalu Panas
Sistem kontrol suhu tubuh manusia memiliki tiga mekanisme utama untuk mengurangi
panas tubuh ketika suhu tubuh terlampau tinggi (Hall, 2016):
a. Vasodilatasi pembuluh darah kulit
Vasodilatasi pembuluh darah secara intens terjadi pada hampir seluruh area tubuh.
Pelebaran pembuluh darah ini terjadi akibat adanya inhibisi pada pusat saraf simpatis
di hipotalamus posterior yang bertanggung jawab untuk vasokonstriksi. Vasodilatasi
total akan meningkatkan perpindahan panas ke kulit sebanyak delapan kali lipat.
b. Berkeringat
Efek peningkatan suhu tubuh sehingga tubuh berkeringat ditunjukkan oleh kurva biru
pada gambar 11, yang menunjukkan peningkatan signifikan laju evaporasi pelepasan
panas melalui keringat ketika temperatur organ inti tubuh naik di atas tingkat kritis
37°C (98,6°F). Peningkatan suhu sebesar 1°C akan menyebabkan manusia
berkeringat, mekanisme ini dapat melepas 10 kali lipat produksi panas basal tubuh.
Gambar 11. Efek dari suhu hipotalamus pada pelepasan panas tubuh melalui
evaporasi dan pada produksi panas tubuh melalui aktivitas otot dan menggigil.
Gambar ini menunjukkan level suhu yang krusial dimana pelepasan panas dimulai
dan produksi panas mencapai level stabil minimum
16
2.9. Mekanisme Tubuh Ketika Temperatur Tubuh Terlalu Dingin
Ketika suhu tubuh terlalu dingin, sistem pengaturan suhu akan melakukan mekanisme
yang berlawanan, seperti (Hall, 2016):
a. Vasokonstriksi pembuluh darah kulit
Vasokonstriksi terjadi di seluruh tubuh yang disebabkan karena adanya stimulasi pada
pusat saraf simpatis di hipotalamus posterior.
b. Piloereksi
Piloereksi artinya rambut “berdiri ke atas”. Stimulasi simpatis mengakibatkan m.
erector pili yang melekat pada folikel rambut berkontraksi sehingga membuat rambut
berdiri tegak. Mekanisme ini tidak begitu penting untuk manusia, tetapi pada binatang,
mekanisme ini berfungsi sebagai isolator udara untuk “mengunci” udara di dalam kulit
sehingga mengurangi transfer panas ke lingkungan.
c. Peningkatan termogenesis (produksi panas)
Sistem metabolisme akan meningkatkan produksi panas tubuh melalui berbagai
mekanisme antara lain menggigil, eksitasi simpatik dari produksi panas, dan sekresi
tiroksin. Primary motor center yang mengontrol reaksi menggigil terletak pada bagian
dorsomedial hipotalamus posterior, berdekatan dengan dinding ventrikel ketiga. Area
ini dihambat oleh sinyal dari heat center yang terletak di hipotalamus anterior area
preoptik dan dieksitasi oleh stimulus dingin dari kulit atau medula spinalis. Area ini
akan diaktivasi ketika suhu tubuh berada di bawah level yang seharusnya. Sinyal akan
ditransmisikan melewati traktus bilateral dekat batang otak ke kolumna lateral pada
medula spinalis dan berakhir pada neuron motor anterior. Selama proses menggigil
berlangsung, produksi panas tubuh dapat meningkat 4-5 kali dari keadaan normal.
Meningkatnya stimulus simpatis ataupun norepinefrin yang beredar dalam sirkulasi
dapat meningkatkan laju metabolisme seluler secara signifikan. Efek ini disebut
sebagai chemical thermogenesis atau nonshivering thermogenesis. Mekanisme ini
terjadi karena kemampuan baik epinefrin ataupun norepinerin untuk melakukan
fosforilasi oksidatif tidak berpasangan (uncoupled), yang mengakibatkan terjadinya
oksidasi pada makanan berlebih dan dikeluarkannya energi panas tanpa disertai
pembentukan adenosin trifosfat (ATP).
Laju termogenesis kimiawi yang terjadi pada hewan sangat dipengaruhi oleh adanya
lemak cokelat (brown fat) yang terdapat pada jaringan tubuhnya. Jenis lemak ini
banyak mengandung mitokondria khusus yang merupakan tempat terjadinya
uncoupled oxidation. Lemak cokelat sangat kaya akan saraf simpatis yang dapat
17
mengeluarkan norepinefrin yang menstimulasi mitochondrial uncoupling protein/
thermogenin dan meningkatkan termogenesis.
Pada manusia dewasa, hampir tidak didapatkan lagi adanya lemak cokelat sehingga
proses termogenesis kimia untuk meningkatkan produksi panas tidak lebih dari 10-
15%. Namun pada bayi yang masih memiliki sejumlah kecil lemak cokelat pada
daerah interskapular, proses termogenesis kimia dapat meningkatkan laju
pembentukan panas sebesar 100% yang mungkin berperan penting untuk mengatur
suhu tubuh neonatus.
Stimulus dingin yang diterima area preoptik hipotalamus anterior akan meningkatkan
produksi thyrotropin-releasing hormone oleh hipotalamus. Selanjutnya, hormon
neurosekretori ini akan menstimulasi sekresi thyroid stimulating hormone (TSH) yang
nantinya akan merangsang kelenjar tiroid untuk mensekresi hormon tiroksin.
Peningkatan hormon tiroksin akan mengaktivasi proses uncoupling protein dan
meningkatkan laju metabolisme seluler. Proses ini dapat dikategorikan sebagai
termogenesis kimiawi. Peningkatan metabolisme tidak terjadi serta merta, dibutuhkan
paparan dingin selama berminggu-minggu untuk menyebabkan kelenjar tiroid
membesar dan mencapai titik baru untuk mensekresi hormon tiroksin. Paparan dingin
terhadap hewan selama beberapa minggu dapat meningkatkan ukuran kelenjar tiroid
sebesar 20-40%. Namun pada manusia, mekanisme tiroid dalam adaptasi terhadap
dingin belum diketahui secara pasti.
18
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
Chopra, K., Calva, D., Sosin, M., Kashyap, ;, Tadisina, K., Abhishake Banda, B. ;, De, C.,
Cruz, L., Chaudhry, M. R., Legesse, T., Drachenberg, C. B., Manson, P. N., Christy, M.
R., Chopra, D., Calva, B., Manson, D., & Cowley, A. 2015. A Comprehensive
Examination of Topographic Thickness of Skin in the Human Face Cosmetic Medicine.
Aesthetic Surgery Journal, 35(8), 1007–1013. https://doi.org/10.1093/asj/sjv079
Filingeri, D. 2016. Neurophysiology of Skin Thermal Sensations. Comprehensive Physiology,
6(3), 1429. https://doi.org/10.1002/cphy.c150040
Garami, A., & Székely, M. 2014. Body temperature: Its regulation in framework of energy
balance. Temperature: Multidisciplinary Biomedical Journal, 1(1), 28.
https://doi.org/10.4161/TEMP.29060.
Hall, John E. 2016. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. 13th ed. USA: Elsevier.
Chapter 74:911-919.
Khonsary, S. 2017. Guyton and Hall: Textbook of Medical Physiology. Surgical Neurology
International, 8(1). https://doi.org/10.4103/sni.sni_327_17
Lavers, I. 2017. Exploring skin anatomy, function and site-specific treatment options. Journal
of Aesthetic Nursing, 6(4), 172–180. https://doi.org/10.12968/joan.2017.6.4.172
Osilla, E. V., Marsidi, J. L., & Sharma, S. 2021. Physiology, Temperature Regulation.
StatPearls. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507838/
Tansey, E. A., & Johnson, C. D. 2015. Recent advances in thermoregulation. Advances in
Physiology Education, 39(1), 139–148. https://doi.org/10.1152/advan.00126.2014
Yousef, H., Alhajj, M., & Sharma, S. 2020. Anatomy, Skin (Integument), Epidermis.
StatPearls Publishing.
20