Anda di halaman 1dari 6

TUGAS

TOKSIKODINAMIKA SENYAWA XENOBIOTIK

Disusun untuk memenuhi tugas toksikologi


Dosen Pengampu : Ahmad Yani M.SC

Disusun Oleh

Kelompok 1

Alfina Nur Hidayah P27903122193


Amalia Rizqi Ilahi P27903122194
Amanda Fitriyani P27903122195
Nabila Apriyanti P27903122219
Nabila Azzahra Putri P27903122220

Teknologi Laboratorium Medis

Poltekkes Kesehatan Banten

2024
A. Aflatoksin
Adalah metabolit yang dihasilkan oleh strain jamur toksigenik, terutama
Aspergillus flavus dan A. parasiticus, yang tumbuh di tanah, jerami, tumbuhan yang
membusuk, dan biji-bijian. Aflatoksin diproduksi oleh aksi jamur selama produksi
pangan, panen, penyimpanan, dan pengolahan. Paparan aflatoksin dari makanan dapat
menyebabkan efek toksik dan karsinogenik yang parah pada manusia dan hewan.
Toksisitas aflatoksin dapat menyebabkan Mual, Menguningnya kulit dan sklera (ikterus),
Gatal, Muntah Berdarah, Sakit perut, Kelesuan, Busung, Kejang, Koma, Kematian .
Paparan jangka panjang juga menyebabkan berbagai komplikasi seperti terhambatnya
pertumbuhan, Imunosupresi,

Karsinoma hepatoseluler (penurunan berat badan, massa perut, anoreksia,


muntah, mual, pendarahan, psikosis, dll.), Paparan aflatoksin pada ibu dikaitkan dengan
lebih tingginya kejadian kelahiran prematur dan keguguran jangka panjang. Beberapa
metode populer untuk mendeteksi paparan aflatoksin dalam makanan dan pakan adalah:
 Kromatografi lapis tipis (TLC) [25]
 Kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC)
 Kromatografi cair-spektroskopi massa (LCMS)
 Uji sorben imun terkait-enzim (ELISA)

B. Bisphenol A (BPA)
Toksikodinamika dari senyawa xenobiotik bisphenol A (BPA) merujuk pada
interaksi senyawa tersebut dengan target biologis di dalam tubuh dan dampak
fisiologisnya. BPA, yang merupakan senyawa kimia yang banyak digunakan dalam
produksi plastik polikarbonat dan resin epoksi, telah menjadi perhatian karena potensinya
sebagai endokrin disruptor. Berikut adalah beberapa aspek toksikodinamika BPA:
1. Interferensi Hormon: BPA dapat mengganggu sistem endokrin dengan berperan
sebagai zat endokrin disruptor. Senyawa ini dapat berinteraksi dengan reseptor
hormon estrogen, yang menyebabkan efek mirip estrogen di dalam tubuh.
2. Efek pada Reproduksi: BPA dapat memengaruhi sistem reproduksi dengan
memengaruhi perkembangan organ reproduksi dan fungsi hormonal terkait
reproduksi. Efek ini dapat terjadi pada tingkat eksposisi yang rendah.
3. Pengaruh pada Sistem Saraf: Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa BPA
dapat memengaruhi perkembangan sistem saraf, terutama pada fase
perkembangan prenatal dan neonatal.
4. Dampak pada Kesehatan Metabolik: BPA telah dikaitkan dengan potensi
peningkatan risiko gangguan metabolik, seperti obesitas dan resistensi insulin.
5. Paparan Pada Janin: Paparan prenatal terhadap BPA telah dikaitkan dengan
berbagai efek pada janin, termasuk perubahan pada sistem reproduksi dan
perkembangan neurobehavioral.
6. Paparan Pada Bayi dan Anak-anak: Bayi dan anak-anak mungkin lebih rentan
terhadap efek BPA karena perkembangan sistem mereka yang masih berlangsung.
7. Keterlibatan pada Penyakit Kronis: BPA telah dihubungkan dengan potensi
peningkatan risiko penyakit kronis seperti kanker, meskipun bukti ini masih terus
diperdebatkan.

C. Insektisida
Insektisida dapat diartikan sebagai pembunuh hama yang dikhususkan pada
serangga. Jenis insektisida beragam sesuai dengan bahan aktif yang dikandungnya,
seperti jenis organofosfat, organoklorin, karbamat, dan pyretroid. Organoklorin
merupakan senyawa yang terdiri dari atom karbon, khlor dan hidrogen yang terkadang
terdapat oksigen dengan formula umum CxHyClz.

Insektisida organoklorin adalah jenis insektisida yang sangat persisten di


lingkungan sehingga pemakaiannya sudah banyak dilarang. Penelitian yang dilakukan
oleh Van Hoi (2009), menyebutkan bahwa ditemukan banyak sekali dampak negatif yang
diberikan pestisida termasuk insektisida golongan organoklorin bukan hanya kepada
lingkungan tetapi juga terhadap kesehatan masyarakat di sekitar area pertanian sehingga
melalui penelitiannya penggunaan pestisida di Vietnam dilarang penggunaannya oleh
pemerintah Vietnam. Begitu pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Kuchler (1996)
yang menemukan bahwa sumber residu pestisida ditemukan dengan konsentrasi terbesar
justru dari daerah bekas pertanian setelah menggunakan pestisida. hal ini menunjukkan
akumulasi pestisida di lingkungan akibat sifat persistennya.

Sebuah studi di Zambia, Africa menunjukkan bahaya penggunaan pestisida yang


bukan hanya terhadap lingkungan tapi juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat dan
manajemen suatu pemerintahan negara berkembang, sehingga perlu dibuat suatu
peraturan tegas dan bersifat internasional untuk mengurangi resiko bahaya pestisida di
suatu daerah (Gilbreath 2000). Insektisida organoklorin merupakan senyawa organik
yang bersifat lipofilik sehingga mudah sekali untuk meresap melalui kulit yang terpapar
dan terakumulasi di jaringan lemak di bawah kulit. Insektisida organoklorin juga dikenal
sebagai hormone disruptor, yang artinya pengganggu fungsi kerja sistem penghasil
hormon di dalam tubuh. Organoklorin akan mengganggu fungsi kerja suatu hormon
tertentu sehingga menimbulkan efek penurunan kesehatan manusia yang terpapar.
Beberapa penelitian membuktikan adanya hubungan antara riwayat paparan oleh
pestisida golongan organoklorin dengan gangguan fungsi tiroid.
Penelitian Nagayama (2004), membuktikan bahwa riwayat paparan terhadap
pestisida organoklorin pada ibu hamil merupakan faktor risiko terjadinya hipotiroidisme
kongenital. Penelitian yang dilakukan oleh Freire (2011) menyebutkan bahwa pajanan
organoklorin pada tubuh laki-laki menunjukkan hasil adanya peningkatan kadar TSH
dalam darah. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Meeker (2011) dan
McKinlay (2008) yang menyatakan bahwa pengaruh insektidisida organoklorin di dalam
tubuh manusia yang terpajan berupa gangguan sistem kerja kelenjar tiroid. Kedua
penelitian ini menggunakan data pengukuran kadar TSH dalam darah yang ditunjukkan
dengan adanya peningkatan kadar TSH yang menyebabkan penurunan kadar T3 dan T4.

D. Aspartam
Aspartam merupakan pemanis sintetis non-karbohidrat, aspartyl-phenylalanine-1-
methyl ester, atau merupakan bentuk metil ester yang terdapat pada peptida dua asam
amino yaitu berupa asam amino asam aspartat dan asam amino essensial fenilalanina.
Aspartam akan dipecah menjadi metanol yang berisiko menjadi racun pada tubuh jika
kadarnya melebihi batas normal. Adapun sejumlah efek gangguan kesehatan yang terjadi
apabila mengkonsumsi aspartam secara berlebihan, yaitu
1. Meningkatkan Berat Badan
Bahaya aspartam bagi kesehatan tubuh jika dikonsumsi berlebihan adalah
berisiko mengganggu metabolisme di dalam tubuh yang memicu peningkatan
berat badan. Selain itu, makanan yang mengandung aspartam sering kali
terbuat dari bahan lain yang memiliki kalori tinggi. Jika makanan tersebut
dikonsumsi melebihi batas wajar, hal ini dapat menaikkan berat badan hingga
menyebabkan obesitas.

2. Memperburuk Migrain
Saat diolah di dalam tubuh, aspartam dapat menghasilkan produk
sampingan berupa glutamat. Apabila kadar glutamat melebihi batas normal,
kondisi tersebut berisiko menyebabkan sakit kepala serta memperburuk gejala
migrain.

3. Memicu Gangguan Perilaku


Konsumsi aspartam secara berlebihan diketahui dapat memicu gangguan
perilaku. Aspartam mengandung asam aspartat dan fenilalanin yang akan
diubah menjadi metanol, di mana senyawa-senyawa tersebut dapat
memengaruhi fungsi kognitif, suasana hati, aktivitas motorik, pola tidur, serta
nafsu makan seseorang.
4. Memicu Komplikasi Fenilketonuria
Fenilketonuria adalah kelainan genetik yang menyebabkan penderitanya
tidak mampu mengurai fenilalanin dengan baik.Maka dari itu, penderita
fenilketonuria perlu menghindari konsumsi produk yang mengandung
fenilalanin, seperti aspartam, karena berisiko menimbulkan berbagai
komplikasi, salah satunya adalah kerusakan otak.

5. Meningkatkan Risiko Diabetes


Salah satu gangguan kesehatan yang menjadi dampak negatif dari
aspartam adalah diabetes. Meski kerap digunakan sebagai pengganti gula
untuk penderita diabetes, konsumsi aspartam secara berlebihan justru dapat
meningkatkan kadar gula darah yang memicu terjadinya kerusakan pankreas.
Akibatnya, produksi hormon insulin dalam tubuh menjadi terganggu sehingga
berisiko menyebabkan diabetes.

6. Meningkatkan Risiko Penyakit Alzheimer


Metanol merupakan hasil metabolisme aspartam yang berisiko
meningkatkan kadar radikal bebas sehingga turut memicu kerusakan sel-sel di
dalam tubuh, termasuk sel pada sistem saraf. Karena itu, aspartam yang
dikonsumsi secara berlebihan dan dalam jangka panjang dapat memperburuk
kerusakan sistem saraf yang meningkatkan risiko penyakit degeneratif
progresif, salah satunya adalah penyakit alzheimer.

7. Meningkatkan Risiko Kanker


Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan pada jurnal PLOS Medicine
(2022), konsumsi pemanis buatan, terutama aspartam dan acesulfame-K
secara berlebihan berpotensi meningkatkan risiko terjadinya penyakit kanker,
seperti kanker payudara dan kanker darah. Namun, masih diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dampak konsumsi aspartam terhadap
risiko penyakit kanker.

E. Formalin
Formalin merupakan senyawa cair bernama formaldehid. Mengandung 37%
formaldehid dalam pelarut air dan 10% methanol. Formaldehid bersifat larut dalam air,
etanol, serta etil dieter, tidak berwara dan memiliki bau menyengat. Formaldehid
umumnya mudah larut karena memiliki berat molekul yang kecil.
Formalin dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui proses inhalasi, penelanan,
dan paparan langsung pada kulit. Paparan kontaminasi formali dengan jumlah atau
konsentrasi yang tinnggi dalam jangka waktu yang panjang akan menimbulkan reaksi
kimia yang dapat menyebabka kerusakan organ tubuh khususnya pada sel dan juga
jaringan hati. Produksi Reactive Oxygen Species (ROS) yang berlebihan oleh formalin
dapat menyebabkan kerusakan pada hepatosit sehingga tubuh mengalami penurunan
antioksidan alami, seperti superoxide dismutase (SOD) dan glutation (GSH).

Formalin juga dapat menyebabkan peningkatan produksi malondialdehid (MDA)


dan nitrooksid (NO) yang menjadi parameter dari terjadinya peurunan aktivitas
antioksidan enzimatis dan terjadinya kerusakan oksidatif pada jarinan hati.
Ketidakseimbangan kadar ROS denngan antioksidan dalam tubuh disebut dengan stress
oksidatif yang dapat menyebabkan reaksi peroksidasi lipid yang mampu memicu
terjadinya kerusakan hingga kematian pada sel tubuh.

F. Dioksin
Merupakan sekelompok senyawa kimia yang merupakan polutan lingkungan
persisten (POPs). Paparan dioksin tingkat tinggi pada manusia dalam jangka pendek
dapat menyebabkan lesi kulit, seperti chloracne dan kulit menjadi gelap, serta perubahan
fungsi hati.Paparan jangka panjang dikaitkan dengan gangguan sistem kekebalan tubuh,
perkembangan sistem saraf, sistem endokrin dan fungsi reproduksi.

Begitu dioksin masuk ke dalam tubuh, mereka bertahan lama karena stabilitas
kimianya dan kemampuannya untuk diserap oleh jaringan lemak, yang kemudian
disimpan di dalam tubuh.Waktu paruhnya di dalam tubuh diperkirakan 7 sampai 11
tahun.Di lingkungan, dioksin cenderung terakumulasi dalam rantai makanan.Semakin
tinggi suatu hewan dalam rantai makanan, semakin tinggi pula konsentrasi dioksinnya.

Nama kimia dioksin adalah 2,3,7,8-tetrachlorodibenzo para dioxin (TCDD).


Nama dioksin sering digunakan untuk keluarga dibenzo para dioksin poliklorinasi
(PCDD) dan dibenzofuran poliklorinasi (PCDF) yang terkait secara struktural dan
kimia .Bifenil poliklorinasi (PCB) mirip dioksin tertentu dengan sifat toksik serupa juga
termasuk dalam istilah dioksin. Sekitar 419 jenis senyawa terkait dioksin telah
diidentifikasi namun hanya sekitar 30 di antaranya yang dianggap memiliki toksisitas
signifikan, dengan TCDD sebagai yang paling beracun.

Anda mungkin juga menyukai