Anda di halaman 1dari 4

Aflatoksikosis pada Manusia

(Wu, 2010)
Aflatoksikosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh aflatoksin. Aflatoksikosis yang terjadi pada
manusia dapat disebabkan karena mengkonsumsi bahan pangan yang mengandung aflatoksin
diantaranya yaitu biji kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai, pistacio, atau bunga matahari),
rempah-rempah (seperti ketumbar, jahe, lada, serta kunyit), dan serealia (seperti gandum, padi,
sorgum, dan jagung). Aflatoksin juga dapat dijumpai pada susu yang dihasilkan hewan ternak yang
memakan produk yang terinfestasi kapang tersebut serta produk olahannya seperti keju, yoghurt dan
mentega. Selain itu, aflatoksikosis juga terjadi jika memakan daging, hati dan telur ternak yang
memakan pakan yang mengandung aflatoksin serta udang yang mengandung aflatoksin.
AFB1 memiliki efek toksik yang paling tinggi diantara keempat jenis aflatoksin (AFB1, AFB2,
AFG1, AFG2) karena bersifat karsinogenik, hepatatoksik, mutagenik, tremogenik dan sitotoksik.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan aflatoksin sebagai karsinogenik gol 1A. Selain bersifat
hepatotoksik dan mutagenik, aflatoksin juga bersifat immunosupresif yang dapat menurunkan sistem
kekebalan tubuh. Efeknya bersifat kumulatif sehingga tidak dapat dirasakan dalam waktu singkat.
Selain itu, kontaminasi pada makanan tidak mudah terdeteksi kecuali dengan melakukan analisa
laboratorium.
Toksisitas dari mikotoksin (aflatoksin) dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: 1.) dosis atau
jumlah mikotoksin yang dikonsumsi; 2.) rute pemaparan; 3.) lamanya pemaparan; 4.) spesies; 5.)
umur; 6.) jenis kelamin; 7.) status fisiologis, kesehatan dan gizi; dan 8.) efek sinergis dari berbagai
mikotoksin yang secara bersamaan terdapat pada tumbuhan/bahan pangan.

Aflatoksikosis akut relatif jarang terjadi. Aflatoksikosis akut terjadi jika mengkonsumsi makanan
yang mengandung aflatoksin dalam jumlah banyak. Hal menyebabkan terjadinya perlemakan di hati
sehingga hati menjadi pucat, gangguan pembekuan darah secara normal menyebabkan terjadinya
hemoragi, penurunan total protein serum pada hati, aflatoksin terakumulasi di dalam darah dan
menuju ke saluran gastrointestinal, glomerular nefritis, dan kongesti paru-paru serta juga
menimbulkan efek mematikan. Aflatoksikosis kronis terjadi ketika mengkonsumsi makanan yang
mengandung aflatoksin dalam jumlah sedikit dengan jangka waktu yang lama. Menyebabkan kongesti
hati sampai hemoragi dan terbentuk zona nekrosa, proliferasi sel parenkim hati dan sel epitel saluran
empedu, kongesti ginjal serta kadang-kadang enteritis hemoragi. Ketika dikonsumsi dalam jumlah
rendah mengakibatkan gangguan sistem imun dan menjadi resisten.
Hasil penelitian pada hewan coba mencit dan tikus menunjuk bahwa aflatoksin B1 dapat menginduksi
terjadinya karsinogenesis pada hati (karsinoma hati/kangker hati). Pada manusia kontaminasi
aflatoksin B1 pada pangan yang dikonsumsi juga menunjukkan efek yang sama. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa 80 dari 81 orang pasien (66 orang pria dan 15 orang wanita) menderita kanker
hati karena mengkonsumsi oncom, tempe, kacang goreng, bumbu kacang, kecap dan ikan asin. AFB1,
AFG1, dan AFM1 terdeteksi pada contoh hati dari 58% pasien tersebut dengan konsentrasi di atas 400
g/kg.
Aflatoksin B1 berpotensi terjadinya mutasi gen (mutagenik) dimana organ hati menjadi target utama
dari toksin ini. Aflatoksin yang masuk dalam sistem metabolisme tubuh memiliki sifat toksik bagi
tubuh. Toksin ini akan mengalami proses biotransformasi atau bioaktifasi oleh CYP450 dengan
munculnya AFB1-8-9-epoksida yang lebih reaktif dan radikal. Bentuk ini akan berikatan dengan asam
dioksinukleat (DNA) menyebabkan terjadinya perubahan dari GC menjadi TA sehingga terjadi mutasi
subsekuen di koding gen yaitu di onkogen P53. Aflatoksin yang berikatan dengan DNA menyebabkan
terjadinya penghambatan aktifitas polimerase DNA sehingga menginduksi terjadinya mutasi gen.
Menurut penelitian yang dilakukan di Gambian (Afrika Barat), menunjukkan bahwa kontaminasi
aflatoksin pada anak-anak akan menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan. Selain itu juga
kontaminasi aflatoksin pada masa kehamilan dapat memicu terjadinya gangguan perkembangan janin
(teratogenik).
Seperti halnya zat racun lain, aflatoksin mengalami proses detoksifikasi yang terjadi di dalam hati
untuk dikeluarkan dari tubuh. Sebelum diekskresi zat tersebut akan mengalami proses hidroksilasi dan
setelah itu dikonyungasikan dengan glukuronat atau sulfat dalam membentuk zat yang lebih polar
sehingga dapat dikeluarkan dari tubuh melalui saluran pencernaan. Proses ini sejajar dengan proses
detoksifikasi dari berbagai zat racun yang memasuki tubuh binatang ataupun manusia. Enzim yang
berperan dalam proses hidroksilasi ini ialah Mixed Function Oxidase yang bekerjanya memerlukan

pertolongan NADPH dan oksigen sebagai donor H dan O. Produk dari aflatoksin yang sudah
dikonyugasikan dengan glukuronat ataupun sulfat tersebut kemudian dikeluarkan melalui saluran
pencernaan mungkin bersama-sama campuran empedu. Tetapi di dalam pencernaan ada berbagai
macam mikroorganisme yang dapat memisahkan glukuronat ataupun sulfat dari aflatoksin sehingga
sebagian derifat aflatoksin dapat terserap kembali. Proses penyerapan kembali dan pengeluaran lagi
aflatoksin sebagai penyebab kerusakan hati dan karsinoma hati. Selain itu, aflatoksin B1 diaktifkan
oleh enzim-enzim mikrosomal hati membentuk suatu hasil metabolisme yang bersifat mutagenik dan
mempunyai aktivitas karsinogenik yaitu 2,3-eposida yang merupakan penyebab utama kanker
(karsinoma hati).

Pencegahan Aflatoksikosis pada Manusia


Keberadaan mikotoksin dalam bahan pangan atau pakan sangat dipengaruhi oleh faktor yang
tidak bisa terkontrol (uncontrollable) seperti halnya kondisi iklim. Stres atau tekanan terhadap
temperatur menjadi penyebab utama tumbuhnya kapang pada hasil panen bebijian, sementara
temperatur dan kelembaban yang tinggi menjadi penyebab utama tumbuhnya kapang selama
penyimpanan hasil panen. Namun kadar mikotoksin (aflatoksin) dalam bahan pangan atau pakan
dapat ditekan melalui tindakan berikut ini:
1. Penerapan cara penanganan pra panen dan paska panen serta persiapan pengolahan yang baik
misalnya pencucian, pengeringan dan penyimpanan pada suhu rendah dan kering.
2. Mencegah tumbuhnya kapang pada komoditas pertanian melalui penerapan Good
Agricultural Practices (GAP) atau Good Manufacturing Practices (GMP).
3. Kontrol regulatori
FAO, WHO dan UNICEF telah menetapkan bahwa safe level kandungan aflatoksin dalam
bahan pangan adalah maksimum 30 ppb (part perbillion atau ug/kg) untuk aflatoksin B1.
Beberapa negara Ada yang mengikuti anjuran WHO misalnya India. FDA (Food Drug
Administration) di Amerika Serikat menetapkan kadar aflatoksin maksimum yang dibolehkan
pada kacang tanah 15 ppb sedang pada makanan lain dan makanan ternak 20 ppb, di Swedia
kadar aflatoksin maksimum yang dibolehkan pada bahan makanan 5 ppb untuk aflatoksin
total sedangkan pada makanan ternak kadar yang dibolehkan 600 ppb aflatoksin B1. Di
Indonesia, berdasarkan keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor
HK.00.05.1.4057 tanggal 9 September 2004, batas maksimum kandungan aflatoksin B1 dan

aflatoksin total pada produk olahan jagung dan kacang tanah masing-masing adalah 20 ppb
dan 35 ppb. Sementara itu Codex Alimentarius Commission pada tahun 2003 menentukan
batas maksimum kandungan aflatoksin total pada kacang tanah yang akan diproses sebesar 15
ppb. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan keamanan pangan di Indonesia masih jauh di
bawah negara-negara maju.
4. Strategi detoksifikasi dari aflatoksin
Beberapa cara telah dicoba untuk menghilangkan daya racun (detoksifikasi) aflatoksin dari
bahan pangan, baik secara fisik mencakup radiasi, pemanasan, dan ekstraksi aflatoksin dari
bahan pangan. Metode kimia mencakup perlakuan dengan asam, basa, oksidator dan dengan
bisulfit. Metode biologi mencakup fermentasi dengan kapang dan pembuatan oncom, tempe
serta percobaan-percobaan dengan mikroba lain termasuk bakteri dan protozoa.

Sumber :
Wu F, Khlangwiset P. 2010. Health economic impacts and cost-effectiveness of aflatoxin
reduction strategies in Africa: Case studies in biocontrol and postharvest interventions. Food
Additives & Contaminants 27: 496-509.
Fadhilah, Debby. 2015 . Aflatoksikosis pada Manusia .
http://ilmuveteriner.com/aflatoksikosis-pada-manusia/. Diakses 25 September
2015.
Fadhilah, Debby. 2015 . Pencegahan Aflatoksitosis pada Manusia.
http://ilmuveteriner.com/pencegahan-aflatoksikosis-pada-manusia/ . diakses
25 September 2015

Anda mungkin juga menyukai