Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KASUS

INTOLERANSI LAKTOSA

Oleh:

dr. Dea Syafira Mahlevi

Rumah Sakit Umum Daerah Ploso Kabupaten Jombang

Program Dokter Internsip Indonesia

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus
INTOLERANSI LAKTOSA

Oleh :
dr. Dea Syafira Mahlevi

Telah disetujui oleh :

Dokter Pendamping I Dokter Pendamping II

dr. Arif Eko Pribadi dr. Meridian Geodesi, M.M

2
BAB I
PENDAHULUAN

Susu merupakan sumber nutrisi yang penting untuk pertumbuhan bayi


mammalia, termasuk manusia, yang mengandung karbohidrat, protein, lemak,
mineral dan vitamin. Laktosa yang merupakan satu-satunya karbohidrat dalam
susu mammalia, adalah disakarida yang terdiri dari gabungan 2 monosakrida yaitu
glukosa dan galaktosa (Heyman, 2006).
Laktosa hanya dibuat di sel-sel kelenjar mamma pada masa menyusui
melalui reaksi antara glukosa dan galaktosa uridin difosfat dengan bantuan lactose
synthetase.
Kadar laktosa dalam susu sangat bervariasi antara satu mammalisa dengan
yang lain. ASI mengandung 7%laktosa, sedangkan susu sapi hanya mengandung
4%. Singa laut merupakan satu-satunya mammalisa yang tidak mengandung
laktosa dalam air susunya, juga enzim untuk pemecahan laktosa (lactase).
Laktosa yang terdapat pada susu, perlu dihidrolisa menjadi glukosa dan
galaktosa terlebih dahulu supaya bisa diserap oleh dinding usus dan memasuki
peredaran darah (Ingram et al. 2009). Untuk proses hidrolisa tersebut diperlukan
ensim laktase, yang terdapat pada brush border mukosa usus halus. Adanya
defisiensi ensim tersebut akan menyebabkan kondisi yang disebut intoleransi
laktosa (Sinuhaji, 2006).
Akibat dari ketidakmampuan tersebut timbulah berbagai gejala
gastrointestinal. Istilah intoleransi laktosa digunakan sebagai suatu sindrom klinik
yang ditandai dengan nyeri perut, kembung, flatulen, diare, muntah, atau
kemerahan di sekitar anus setelah mengkonsumsi laktosa.

3
BAB II
STATUS PENDERITA

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. By. K
Usia : 20 hari
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jalan Ciliwung VI, Werungotok, Nganjuk
No.RM : 19424938
Tanggal Pemeriksaan : 25 Maret 2019

B.ANAMNESIS
: sendiri X : orang tua pasien

1. Keluhan Utama : Muntah

2. Riwayat Penyakit Sekarang :


Ibu pasien mengeluhkan anaknya muntah sebanyak 3 kali sejak tadi pagi,
muntah sesuai apa yang dimakan. Ibu pasien juga mengeluhkan anaknya sulit
BAB sejak 3 hari yang lalu disertai perut yang kembung sejak tadi pagi namun
tadi siang BAB menyemprot. Lalu setelah BAB menyemprot, pasien justru BAB
cair sebanyak ± 5 kali dan sebanyak ± 10 cc, terdapat lendir namun tidak ada
darah.

3. Riwayat Peyakit Dahulu


Pasien sering kontrol ke poli dengan keluhan yang sama

4. Riwayat Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa

5. Riwayat Pengobatan
Pasien lupa nama obatnya

4
6. Riwayat Kehamilan
Ibu pasien tidak memiliki penyakit menular maupun kronis, usia
kehamilan saat lahir 38-39 minggu.
7. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir normal pervaginam
8. Riwayat Psikososial
Pasien merupakana anak pertama
B.PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Keadaan cukup, kesadaran GCS 456, status gizi kesan baik.
2. Tanda Vital
Tensi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : 128 x/menit
Pernafasan : 32 x/menit
Suhu : 36,2oC
3. Kulit
Turgor baik, ikterik (-), sianosis (-), petechie (-)
4. Kepala
Bentuk mesocephal, luka (-)
5. Mata
Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
6. Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-).
7. Mulut
Bibir pucat (-), bibir cianosis (-), gusi berdarah (-)
8. Telinga
Tidak dilakukan pemeriksaan
9. Tenggorokan
Tidak dilakukan pemeriksaan
10. Leher
Dalam batas normal

5
11. Thoraks
Normochest, simetris, pernapasan thoracoabdominal, retraksi (-), spider nevi
(-), pulsasi infrasternalis (-), sela iga melebar (-)

Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis kuat angkat
Perkusi :batas kanan atas : ICS II PSL Dextra
batas kanan bawah : ICS IV PSL Dextra
batas kiri bawah : ICS VI MCLSinistra
batas kiri atas : ICS II PSL Sinistra
Auskultasi: Bunyi jantung I–II intensitas normal, reguler, bising jantung -
Pulmo : Inspeksi : pergerakan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler, suara tambahan (ronchi -/-)
wheezing -/-)
12. Abdomen
Inspeksi : Nampak cembung, distensi abdomen
Palpasi : supel, undulansi (-)
Perkusi : hipertimpani
Auskultasi : bising usus (+) meningkat
13. Ektremitas
Akral kedua ekstremitas teraba hangat dan kering, edem (-)
14. Sistem genetalia
Dalam batas normal.

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Lab

6
Hasil Pemeriksaan Satuan Angka Normal
Hb 4.3 gr/dl 11,7 – 15.5
Eritrosit 1.45 106/ɥL 3.8– 5.2
Leukosit 85.70 103/ ɥL 3.600 – 11.500
Hematokrit 11.8 % 35 – 45
Trombosit 15 103/ ɥL 150.000 – 400.000
MCV 81.5 fL 80 – 100
MCH 29.8 pg 26 – 34
MCHC 36.5 % 32-36
Hitung Jenis
Neutrofil 4.1 % 0–4
Limfosit 16.2 % 0–1
Monosit 48.5 % 51 – 67
Eosinofil 1.6 % 25 – 33
Basofil 29.5 % 2–5
Serum
Elektrolit
Natrium 134 mmol/L 135-147
Kalium 3.6 mmol/L 3.5-5
Kalsium Ion 1.07 mmol/L 1-1.15
Fungsi Ginjal
BUN 8 mg/dL 8-18
Kreatinin 1.22 mg/dL 0.57-1.11
Faal Hati
SGOT 28.8 U/L 5.0-34.0
SGPT 29.5 U/L 0.0-55.0
D. PEMERIKSAAN RADIOLOGI

7
BOF
Cavum abdomen distended
Bayangan gas usus meningkat
Contour ginjal tidak tampak
Psoas line kanan kiri tidak tampak
Kesimpulan : Distensi Usus

E. DIAGNOSIS
Intoleransi Laktosa
F. DIAGNOSIS BANDING
1. Alergi Susu Sapi
2. Hirschprung
G. TERAPI
Pro pasang OGT
IVFD D10 0,18 NS 400cc/24 jam dengan microbureth
Inj Cinam 3x200mg
Inj Gastridin 2x5 mg
PO: Gentamicin 1x15 mg
Protexin 1x1/2 sach
H. MONITORING DAN EDUKASI
Penjelasan mengenai penyakit intoleransi laktosa, penyebab, pengobatan,
komplikasi dan pentingnya pengobatannya
I. PROGNOSIS
Prognosis ad vitam : bonam
Prognosis ad functionam : bonam
Prognosis ad sanam : bonam

8
BAB III
PEMBAHASAN PENYAKIT

3.1 Laktosa
Laktosa, β galacotse 1,4 glukosa merupakan komposisi gula pada susu
mammalia yang unik. Laktosa merupakan disakarida yang terdiri dari glukosa dan
galaktosa (Solomons, 2002). Laktosa merupakan sumber energi yang memasok
hampir setengah dari keseluruhan kalori yag terdapat pada susu (35-45%). Selain
itu, laktosa juga diperlukan untuk absorbsi kalsium. Hasil hidrolisa laktosa yang
berupa galaktosa, adalah senyawa yang penting untuk pembentukan sebrosida.
Serebrosida ini penting untuk perkembangan fan fungsi otak. Galaktosa juga
dapat dibentuk oleh tubuh dari glukosa di hati.
Karena itu keberadaan laktosa sebagai karbohidrat utama yang terdapat di
susu mammalia, termasuk ASI, merupakan hal yang unik dan penting (Sinuhaji,
2006). Laktosa hanya dibuat di sel-sel kelenjar mamma pada masa menyusui
melalui reaksi antara glukosa dan galaktosa uridin difosfat dengan bantuan lactose
synthetase. Kadar laktosa dalam susu sangat bervariasi antara satu mammalia
dengan yang lain. ASI mengandung 7% laktosa, sedangkan susu sapi hanya
mengandung 4% (Sinuhaji, 2006).
3.2 Metabolisme Laktosa
Karbohidarat yang dimakan diserap dalam bentuk monosakarida (glukosa,
galaktosa, dan fruktosa). Karena itu laktosa harus dihidrolisa menjadi glukosa dan
galaktosa terlebih dahulu agar proses absorbsi dapat berlangsung. Hidrolisa ini
dilakukan oleh laktase (β-galactosidase), su UDP-galaktose dan glukosa sebagai
substrat.
Sintetase laktose terdiri dari 2 subunit: galactosyltransferase dan α-
lactalbumin. α-lactalbumin merupakan subunit yang meyebabkan
galactosyltransferase mengubah galaktosa menjadi glukosa. Subunit katalitik
meningkat selama kehamilan, dimana kadar αlactalbumin dipengaruhi oleh
hormon dan meningkat hanya pada akhir kehamilan ketika kadar prolaktin
meningkat (Campbell et al. 2005).

9
3.3 Intoleransi Laktosa
Intoleransi laktosa merupakan sindroma klinis yang ditandai oleh satu atau
lebih manifestasi klinis seperti sakit perut, diare, mual, kembung, produksi gas di
usus meningkat setelah konsumsi laktosa atau makanan yang mengandung
laktosa. Jumlah laktosa yang menyebabkan gejala bervariasi dari individu ke
individu, tergantung pada jumlah laktosa yang dikonsumsi, derajat defisiensi
laktosa, dan bentuk makanan yang dikonsumsi (Heyman, 2006).
Beberapa terminologi yang berkaitan dengan intoleransi laktosa antara
lain: Malabsorbsi laktosa Permasalahan fisiologis yang bermanifestasi sebagai
intoleransi laktosa dan disebabkan karena ketidakseimbangan antara jumlah
laktosa yang yang dikonsumsi dengan kapasitas laktase untuk menghidrolisa
disakarida (Heyman, 2006). Defisiensi laktase primer Tidak adanya laktase baik
secara relatif maupun absolut yang terjadi pada anak-anak pada usia yang
bervariasi pada kelompok ras tertentu dan merupakan penyebab tersering
malabsorbsi laktosa dan intoleransi laktosa.
Defisiensi laktase primer juga sering disebut hipolaktasia tipe dewasa,
laktase nonpersisten, atau defisiensi laktase herediter (Heyman, 2006). Defisiensi
laktase sekunder Defisiensi laktase yang diakibatkan oleh injuri usus kecil, seperti
pada gastroenteritis akut, diare persisten, kemoterapi kanker, atau penyebab lain
injuri pada mukosa usus halus, dan dapat terjadi pada usia berapapun, namun
lebih sering terjadi pada bayi (Heyman, 2006). Defisiensi laktase kongenital
Merupakan kelainan yang sangat jarang yang disebabkan karena mutasi pada gen
LCT. Gen LCT ini yang memberikan instruksi untuk pembuatan ensim laktase
(Madry, 2010).
3.4 Epidemiologi
Secara global, diperkirakan 65-75% penduduk dunia sebenarnya
mengalami defisiensi laktase primer dan sangat sering terjadi pada orang Asia,
Amerika Selatan, dan Afrika (Swallow 2003).
3.5 Patofisiologi
Apabila terjadi defisiensi laktase baik primer maupun sekunder, laktosa
tidak bisa dipecah menjadi bentuk yang bisa diserap, sehingga laktosa akan
menumpuk. Laktosa merupakan sumber energi yang baik untuk mikroorganisme

10
di kolon, dimana laktosa akan difermentasi oleh mikroorganisme tersebut dan
menghasilkan asam laktat, gas methan (CH4) dan hidrogen (H2). Gas yang
diproduksi tersebut memberikan perasaan tidak nyaman dan distensi usus dan
flatulensia.
Asam laktat yang diproduksi oleh mikroorganisme tersebut aktif secara
osmotik dan menarik air ke lumen usus, demikian juga laktosa yang tidak tercerna
juga menarik air sehingga menyebabkan diare. Bila cukup berat, produksi gas dan
adanya diare tadi akan menghambat penyerapan nutrisi lainnya seperti protein dan
lemak (Sinuhaji, 2006).
3.6 Gejala Klinis
Intoleransi laktosa dapat bersifat asimtomatis atau memperlihatkan
berbagai gejala klinis. Berat atau ringan gejala klinis yang diperlihatkan
tergantung dari aktivitas laktase di dalam usus halus, jumlah laktosa, cara
mengkonsumsi laktosa, waktu pengosongan lambung, waktu singgah usus, flora
kolon, dan sensitifitas kolon terhadap asidifikasi.
Gejala klinis yang diperlihatkan dapat berupa rasa mual, muntah, sakit
perut, kembung dan sering flatus. Rasa mual dan muntah merupakan salah satu
gejala yang paling sering ditemukan pada anak. Pada uji toleransi laktosa rasa
penuh di perut dan mual timbul dalam waktu 30 menit, sedangkan nyeri perut,
flatus dan diare timbul dalam waktu 1-2 jam setelah mengkonsumsi larutan
laktosa.
3.7 Diagnosis
Cara termudah mendiagnosis intoleransi laktosa adalah dengan melakukan
eliminasi diet yang mengandung laktosa. Gejala akan timbul kembali apabila
diberikan kembali diet yang mengandung laktosa.5 Diagnosis intoleransi laktosa
ditetapkan berdasarkan kombinasi dari penemuan klinis dan pemeriksaan
penunjang. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis intoleransi laktosa, yaitu :
1. Analisis Tinja
Cara ini merupakan uji diagnostik yang paling sederhana dan dapat digunakan
sebagai uji tapis. Prinsipnya adalah ditemukan asam dan bahan pereduksi dalam

11
tinja setelah minum atau makan yang mengandung laktosa. Ada 3 macam metode
yang digunakan, yaitu:
a. Metode Clinitest
Metode clinitest bersifat kualitatif karena ion H dan gula dipengaruhi
oleh kandungan air dalam tinja. Prinsip kerja metode ini berdasarkan
terjadinya reduksi ion cupri (CUSO4 ).
b.Kromatografi tinja
Pemeriksaan ini menggunakan kertas kromatografi untuk
mengidentifikasi adanya gula dalam tinja
c.pH tinja
Pada intoleransi laktosa, tinja bersifat asam dengan pH kurang dari 6
dimana terdapat bahan pereduksi lebih dari 0,5%.4,15
2. Uji toleransi laktosa
3. Pemeriksaan radiologis minum barium-laktosa
4. Ekskresi galaktosa pada urin
5. Uji hidrogen napas
6. Biopsi usus dan pengukuran aktivitas laktase
3.8 Pengobatan
Pengobatan intoleransi laktosa yang idsebabkan defisiensi lactase primer
dapat diberikan susu rendah/bebas laktosa tergantung toleransi. Ataupun
penambahan lactase/ yoghurt ke dalam susu. Pada bayi premature, pemberian ASI
dapat diteruskan karena defisiensi lactase hanya transient. Bila digunakan susu
sebaiknya kandungan karbohidratnya merupakan gabungan laktosa yag
direndahkan dan polimer glukosa. Pemberian polimer glukosa memberikan
keuntungan berupa penurunan osmolalitas dan mempercepat waktu pengosongan
lambung.
Hal yang berbeda, bila intoleransi laktosa yang disebabkan defisiensi
lactase sekunder. Pada keadaan ini ASI tetaap diberikan walau kadar laktosanya
lebih tinggi dri susu sapi. Sebab pastinya kenapaa dapat ditoleransi belum
diketahui, walau banyak kemungkinan-kemungkinan yang menjelaskan. Karena
itu ASI harus diteruskan pada bayi/anak dengan diare.

12
Intoleransi laktosa setelah serangan gastroenteritis akut, umumnya
temporer tetapi dapat berlangsung sampai 4 bulan. Karena itu wajar bila
intoleransi laktosa setelah serangan gastroenteritis akut, diberikan susu yang
diencerkan dan susu rendah atau bebas laktosa.
Beberapa penelitian adanya intoleransi laktosa setelah serangan
gastroenteritis akut, tidak menyingkirkan kemungkinan adanya cow’s milk protein
sensitive enteropathy dan intoleransi lemak. Dengan pemberian susu yang
diencerkan dibandingkan dengan pemberian susu kedelai tidak menunjukan
perbedaan yang signifikan. Karena itu bila mencret berlangsung semakin
memberat setelah pemberian susu, sebaiknya susu sihentikan dan diberikan
kembali setelah ada perbaikan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Campbell AK, Waud JP, Matthews SB. 2005. The molecular basis of lactose
intolerance. Sci. Prog. 88, 3, 157-202.
Heyman MB. 2006. Lactose ntolerance in infants, children, and adolescent. Ped. J.
118, 3, 1279.
Ingram CJ, Mulcare CA, Itan Y, Thomas MG, Swallow DM. 2009. Lactose
digestion and the evolutionary genetics of lactase persistence. Hum. Genet.
124, 6, 579-591.
Madry E, Fidler E, Walkowiak J. 2010. Lactose intolerance – current state of
knowledge. Acta Sci. Pl., Tecnol. Aliment. 9 (3), 343-350.
Sinuhaji AB. 2006. Intoleransi laktosa. Majalah kedokteran nusantara 39, 4, 424-
429.
Solomons NW. 2002. Fermentation, fermented foods and lactose intolerance. Eur.
J. Clin. Nutr. 56, Suppl 4, 50-55.
Swallow DM. 2003. Genetics of lactase persistence and lactose intolerance. Ann.
Rev. Genet. 37, 197-219.

14

Anda mungkin juga menyukai