Anda di halaman 1dari 72

LAPORAN KASUS

ANEMIA GRAVIS

Disusun oleh :
dr. Dea Syafira Mahlevi

Pembimbing :
dr. Rastita, SpPD

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

PERIODE : FEBRUARI 2019-2020

RSUD PLOSO

JOMBANG

2019
BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO

Pada hari ini tanggal 16 mei 2019 telah dipresentasikan portofolio oleh:
Nama Peserta : dr. Dea Syafira Mahlevi
Dengan judul/topik : Anemia Gravis
Nama Pendamping : dr. Arif Eko Pribadi
Nama Wahana : RSUD PLOSO JOMBANG

No. Nama Peserta Presentasi Tanda Tangan


1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Pendamping

( )
Catatan : Halaman protofolio ini sebaiknya disalin~sinar (fotokopi) karena anda akan
membuat sejumlah laporan yang sekaligus merupakan catatan untuk bekal dan
berpraktik nantinya
HALAMAN PENGESAHAN

Anemia Gravis

Oleh :
dr. Dea Syafira Mahlevi

Telah disetujui oleh :

Dokter Pendamping I Dokter Pendamping II

dr. Arif Eko Pribadi dr. Meridian Geodesi, M.M

Kepala SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Ploso

dr. Rastita, SpPD


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………… i
BERITA ACARA PORTOFOLIO………………………………... ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………….. iii
DAFTAR ISI……………………………………………………… 4
BAB I PENDAHULUAN………………………………………… 5
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………. 7
A. Definisi Anemia Gravis……………………………………….. 7
B. Fisiologi Eritrosit……………………………………………… 8
C. Etiologi dan Klasifikasi Anemia………………………………. 18
D. Patofisiologi Anemia Gravis………………………………….. 22
E. Gambaran Klinis………………………………………………. 27
F. Penatalaksanaan medis………………………………………… 32
G. Komplikasi……………………………………………………. 48
H. Prognosis……………………………………………………… 42
BAB III PENUTUP………………………………………………. 57
A. Kesimpulan……………………………………………………. 57
LAPORAN KASUS……………………………………………… 59
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………. 69
BAB I

PENDAHULUAN

Anemia adalah suatu masalah kesehatan global yang terjadi pada


negara berkembang maupun negara maju, dapat terjadi pada seluruh fase
kehidupan, namun paling sering terjadi pada wanita hamil dan anak-anak.
Anemia merupakan salah satu indikator buruknya nutrisi dan status
kesehatan seseorang. Anemia dapat meningkatkan risiko mortalitas ibu dan
anak, menghambat perkembangan kognitif dan psikologis anak, dan
menurunkan produktifitas seseorang. Anemia, didefinisikan sebagai
konsentrasi hemoglobin darah rendah, telah terbukti menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang mempengaruhi negara-negara berpenghasilan
rendah, menengah dan tinggi dan memiliki konsekuensi kesehatan yang
merugikan yang signifikan, serta dampak buruk pada perkembangan sosial
dan ekonomi. (World Health Organization, 2014)

Penyebab anemia lainnya termasuk defisiensi mikronutrien lain


(misalnya folat, riboflavin, vitamin A dan B12), infeksi akut dan kronis
(misalnya malaria, kanker, TBC dan HIV), dan kelainan bawaan atau
didapat yang memengaruhi sintesis hemoglobin, produksi sel darah merah
atau kelangsungan hidup sel darah merah (misalnya hemoglobinopati)
Anemia akibat defisiensi besi mempengaruhi perkembangan kognitif dan
motorik, menyebabkan kelelahan dan produktivitas rendah dan, ketika
terjadi pada kehamilan, dapat dikaitkan dengan berat badan lahir rendah dan
peningkatan risiko kematian ibu dan perinatal Di daerah berkembang,
kematian ibu dan bayi baru lahir bertanggung jawab atas 3,0 juta kematian
pada 2013 dan merupakan kontributor penting bagi kematian global secara
keseluruhan Diperkirakan lebih lanjut bahwa 90.000 kematian pada kedua
jenis kelamin dan semua kelompok umur disebabkan oleh anemia defisiensi
besi saja Strategi apa pun yang diterapkan untuk mencegah atau mengobati
anemia harus disesuaikan dengan kondisi setempat, dengan
mempertimbangkan etiologi spesifik dan prevalensi anemia dalam pengturan
tertentu dan kelompok populasi. (World Health Organization, 2014)

Anemia dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu usia, jenis kelamin,
dan populasi. Diagnosis anemia ditegakkan berdasarkan temuan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan
dengan gejala klinis yang sering tidak khas. Suatu anemia gravis dikatakan
bila konsentrasi Hb ≤ 7 g/dL selama 3 bulan berturut-turut atau lebih.
Anemia gravis dapat dikarenakan kanker, malaria, thalassemia mayor,
defisiensi besi, leukemia, dan infeksi cacing. (World Health Organization,
2014)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi anemia gravis

Anemia gravis didefinisikan sebagai penurunan massa sel darah


merah (RBC). Fungsi sel darah merah adalah untuk mengirimkan
oksigen dari paru ke jaringan dan karbon dioksida dari jaringan ke paru-
paru. Ini dilakukan dengan menggunakan hemoglobin (Hb), protein
tetramer yang terdiri dari heme dan globin. Pada anemia, penurunan
jumlah sel darah merah yang mengangkut oksigen dan karbon dioksida
merusak kemampuan tubuh untuk pertukaran gas. Penurunan ini dapat
disebabkan oleh kehilangan darah, peningkatan destruksi sel darah
merah (hemolisis), atau penurunan produksi sel darah merah.
Anemia adalah penyakit darah yang sering ditemukan. Beberapa
anemia memiliki penyakit dasarnya. Anemia bisa diklasifikasikan
berdasarkan bentuk atau morfologi sel darah merah, etiologi yang
mendasari, dan penampakan klinis. Penyebab anemia yang paling sering
adalah perdarahan yang berlebihan, rusaknya sel darah merah secara
berlebihan hemolisis atau kekurangan pembentukan sel darah merah
( hematopoiesis yang tidak efektif). Seorang pasien dikatakan anemia gravis
apabilabila konsentrasi hemoglobin (Hb) nya kurang dari 7 g/ dL selama 3
bulan beruturut-turut. (World Health Organization, 2014)
B. Fisiologi Eritrosit

Eritrosit (sel darah merah) dihasilkan pertama kali di dalam kantong


kuning saat embrio pada minggu-minggu pertama. Setiap milliliter darah
mengandung sekitar 5 milyar eritrosit, sehingga secara klinis kadar
eritrosit dilaporkan sebagai 5 juta sel/mm.2 Eritrosit adalah sel berbentuk
piringan bikonkaf dengan diameter 8μm, ketebalan 2 μm di tepi luar, dan
ketebalan 1 μm di bagian tengah. Bentuk bikonkaf akan menghasilkan
luas permukaan yang lebih besar untuk difusi oksigen menembus
membrane dibandingkan dengan bentuk sel bulat dengan volume yang
sama. Tipisnya sel memungkinkan oksigen cepat berdifusi antara bagian
paling dalam sel dan eksterior sel. Ciri anatomik terpenting yang
memungkinkan eritrosit mengangkut oksigen adalah adanya hemoglobin
di dalamnya. Molekul hemoglobin memiliki dua bagian :


a. Globin, yaitu suatu protein yang terbentuk dari empat rantai


polipeptida yang sangat berlipat-lipat.

b. Gugus heme, yaitu empat gugus non protein yang mengandung
besi yang masing-masing berikatan dengan salah satu
polipeptida. Masing-masing dari keempat atom besi dapat
berikatan secara reversible dengan satu molekul oksigen. Oleh
karena itu, satu molekul hemoglobin dapat mengambil empat
molekul oksigen di paru. Sekitar 98,5% oksigen di dalam darah
terikat ke hemoglobin. Berikut ini struktur molekul hemoglobin
:
Gambar 2.2. Struktur molekul hemoglobin2

Selain mengangkut oksigen, hemoglobin juga dapat berikatan dengan


:

a. Karbon dioksida (CO2). 
Hemoglobin membantu mengangkut


gas ini dari sel jaringan kembali ke 
paru. 


b. Bagian hidrogen asam (H+) dari asam karbonat terionisasi. Zat


ini dihasilkan di tingkat jaringan dari karbon dioksida.
Hemoglobin menyangga asam ini sehingga asam ini tidak
banyak menyebabkan perubahan pH darah.

c. Karbon monoksida (CO).
Gas ini dalam keadaan normal tidak


terdapat di dalam darah, tetapi jika terhirup maka gas ini
cenderung menempati bagian hemoglobin yang berikatan
dengan oksigen sehingga terjadi keracunan CO.

d. Nitrat oksida (NO)
Di paru, NO yang bersifat vasodilator


berikatan dengan hemoglobin. NO ini dibebaskan di jaringan,
tempat zat ini melemaskan dan melebarkan arteriol local.
Vasodilatasi ini membantu menjamin bahwa darah kaya
oksigen dapat mengalir lancar dan juga membantu

menstabilkan tekanan darah.2

Oleh sebab itu, hemoglobin berperan besar dalam transport


oksigen, sekaligus memberi kontribusi signifikan pada transport
karbon dioksida dan kemampuan darah menyangga pH. Selain itu,
dengan mengangkut vasodilatornya sendiri, hemoglobin membantu

menyalurkan oksigen yang dibawanya.2

Untuk memaksimalkan kandungan hemoglobin, satu eritrosit


dipenuhi oleh lebih dari 250 juta molekul hemoglobin, menyingkirkan
hampIr semua organel yang lain. Sel darah merah tidak mengandung
nucleus, organel, atau ribosom. Selama perkembangan sel, struktur-
struktur ini dikeluarkan untuk menyediakan ruang lebih banyak bagi
hemoglobin. (Sherwood L , 2011)

Selama perkembangan intra uterus, eritrosit mula-mula


dibentuk oleh yolk sac dan kemudian oleh hati dan limpa, sampai
sumsum tulang terbentuk dan mengambil alih produksi eritrosit secara
eksklusif. Pada anak-anak, sebagian besar tulang terisi oleh sumsum
tulang merah yang mampu memproduksi sel darah. Namun, seiring
pertambahan usia, sumsum tulang kuning yang tidak mampu
melakukan eritropoiesis perlahan-lahan menggantikan sumsum merah,
yang tersisa hanya di beberapa tempat, seperti sternum, iga, dan
ujung-ujung proksimal tulang panjang di ekstremitas. (Sherwood L ,
2011)
Berikut ini tahapan pembentukan eritrosit di dalam sumsum
tulang :

Gambar 2.3. Tahapan pembentukan eritrosit2

Di dalam sumsum merah terdapat pluripotent stem cell yang


belum berdiferensiasi, yang kemudian secara terus-menerus
membelah diri dan berdiferensiasi untuk menghasilkan semua jenis sel
darah. Myeloid stem cell adalah stem cell yang telah berdiferensiasi
sebagian yang akan berkembang menjadi eritrosit dan beberapa jenis
sel darah lainnya. Eritroblas merupakan sel yang masih memiliki
nucleus dan organel-organel sel. Retikulosit merupakan eritrosit
imatur yang masih mengandung organel remnants. Eritrosit matur
sudah tidak memiliki nucleus maupun organel, dan kemudian akan
dilepaskan ke dalam kapiler yang menembus sumsum tulang.
(Sherwood L , 2011)

Gambar berikut ini menunjukkan regulasi eritropoiesis yang


diperankan oleh eritropoietin :
Gambar 2.4. Regulasi pembentukan eritrosit2

Pada keadaan penurunan perfusi oksigen ke ginjal, misalnya


pada hipoksia atau proses hemolisis, maka ginjal akan terangsang
untuk mengeluarkan eritropoietin ke dalam darah, sehingga terjadi
eritropoiesis di sumsum tulang. Eritropoietin akan merangsang
maturasi dan proliferasi eritrosit. Peningkatan aktivitas eritropoietik
ini meningkatkan jumlah eritrosit di dalam darah, sehingga kapasitas
darah mengangkut oksigen meningkat dan penyaluran oksigen ke
jaringan kembali normal. Jika penyaluran oksigen ke Ginjal telah
kembali normal, maka sekresi eritropoietin akan dihentikan sampai
dibutuhkan kembali. Dengan mekanisme ini, produksi eritrosit dalam
keadaan normal disesuaikan dengan kerusakan atau kehilangan sel-sel
tersebut, sehingga kemampuan darah mengangkut oksigen relatif
konstan. Pada kehilangan eritrosit yang berlebihan, misalnya pada
perdarahan atau kerusakan abnormal eritrosit muda dalam darah, laju
eritropoiesis dapat meningkat menjadi lebih dari enam kali lipat nilai
normal. (Sherwood L , 2011)
Siklus hidup sel darah merah dijelaskan pada gambar berikut:

Gambar 2.5. Siklus hidup eritrosit2

Setelah dibentuk dan di sumsum tulang, sel darah merah akan


dikeluarkan menuju aliran darah. Tanpa DNA dan RNA, eritrosit
tidak dapat membentuk protein untuk memperbaiki sel, tumbuh, dan
membelah atau memperbarui enzim-enzimnya. Eritrosit hanya
bertahan hidup selama sekitar 120 hari, dengan kecepatan
penghancuran rata-rata dua hingga tiga juta sel per detik. (Sherwood L ,
2011)

Seiring dengan proses penuaan, membrane plasma eritrosit


yang tidak dapat diperbaiki akan menjadi rapuh dan mudah pecah
sewaktu sel terjepit melewati titik- titik penyempitan di dalam system
vaskular. Sebagian besar eritrosit tua dihancurkan di limpa, karena
jaringan kapiler organ ini yang sempit dan berkelok-kelok merusak
sel-sel rapuh ini. Sel darah merah dari sirkulasi akan keluar melalui
arteriol di pulpa limpa, kemudian melalui pori-pori kecil akan
memasuki sinus limpa. Di dalam sinus limpa inilah eritrosit
dihancurkan, kemudian fragmen selnya difagosit oleh makrofag yang
ada di sumsum tulang, nodus limfoid, limpa, dan hati. Heme yang
dihasilkan pada proses hemolisis akan diubah menjadi bilirubin,
sedangkan zat besi akan digunakan kembali untuk pembentukan
hemoglobin (Sherwood L , 2011)

Sekitar dua pertiga zat besi yang ada di dalam tubuh terkandung
di dalam hemoglobin. Seperempatnya ada dalam bentuk zat besi
simpanan (ferritin, hemosiderin), dan sisanya sebagai zat besi
fungsional (mioglobin dan enzim-enzim yang mengandung besi).
Tubuh akan kehilangan zat besi sebesar 1-2 mg/hari. Penyerapan zat
besi di usus terutama terjadi di duodenum dan bervariasi jumlahnya
tergantung kebutuhan tubuh. Tubuh akan menyerap 3-15 persen zat
besi dari makanan, dan dapat meningkat hingga 25 persen pada
defisiensi zat besi. Konsumsi zat besi minimum yang
direkomendasikan paling sedikit adalah 10-20 mg/hari. (Sherwood L ,
2011)
Berikut ini proses absorpsi, penyimpanan, dan daur ulang zat
besi di dalam tubuh :

Gambar 2.6. Absorpsi, penyimpanan, dan daur ulang zat besi

Zat besi diabsorpsi dari duodenum dari makanan, terutama dari


hemoglobin dan mioglobin pada daging dan ikan. Zat besi tersebut

sebagian besar dalam bentuk Fe2+, yang akan langsung diabsorpsi

dalam bentuk heme- Fe2+. Setelah memasuki sel mukosa, enzim

heme oksigenase akan melepaskan heme dan Fe2+, kemudian Fe2+


akan dioksidasi menjadi Fe3+. Bentuk tersebut dapat tetap berada di

dalam sel mukosa dalam bentuk ferritin-Fe3+ untuk kemudian


dikembalikan lagi ke lumen usus pada saat regenerasi sel, atau dapat
pula masuk ke sirkulasi darah. (Sherwood L , 2011)

Zat besi yang tidak terikat dengan heme hanya dapat diabsorpsi

oleh sel mukosa usus dalam bentuk Fe2+, sehingga Fe3+ yang tidak

terikat heme harus terlebih dahulu direduksi menjadi Fe2+ oleh enzim
ferri reduktase dan askorbat yang berada di permukaan sel mukosa

usus. Kemudian Fe2+ diabsorpsi melalui proses transport aktif

sekunder, yaitu melalui protein simport Fe2+-H+. Dalam proses ini,


pH kimus yang rendah berperan penting untuk meningkatkan kadar

H+ sehingga transport Fe2+ ke dalam sel mukosa meningkat, serta


untuk memisahkan zat besi dari kompleks makanan di usus. (Sherwood
L , 2011)

Penyerapan zat besi ke dalam aliran darah diregulasi oleh


mukosa usus. Ketika terjadi defisiensi zat besi, aconitase (protein
regulasi zat besi) yang berada di sitosol akan berikatan dengan
ferritin-mRNA, sehingga terjadi inhibisi translasi ferritin. Maka,

jumlah Fe2+ yang dapat memasuki aliran darah akan meningkat.2

Fe2+ di dalam darah dioksidasi oleh ceruroplasmin menjadi

Fe3+ yang kemudian berikatan dengan apotransferin, yaitu suatu


protein yang berperan dalam transport zat besi di dalam plasma, dan
membentuk transferin. Transferin akan mengalami endositosis oleh
eritroblas dan sel-sel hepar melalui reseptor transferin. Setelah zat besi
diabsorpsi oleh sel, maka apotransferin akan terlepas dari zat besi
sehingga memiliki kemampuan kembali untuk mengikat zat besi dari
usus dan makrofag. (Sherwood L , 2011)

Feritin merupakan salah satu bentuk terbanyak dari zat besi

simpanan di dalam tubuh, dan mengandung hingga 4500 ion Fe 3+,


sehingga dapat menyediakan zat besi secara cepat bagi tubuh (sekitar
600 mg zat besi), dimana kemampuan hemosiderin dalam
menyediakan zat besi jauh lebih lambat (sekitar 250 mg zat besIdi
dalam makrofag di hepar dan sumsum tulang). Hb-Fe dan heme-Fe
dikeluarkan dari eritroblas yang rusak dan sel darah merah yang
mengalami hemolisis, kemudian berikatan dengan haptoglobin dan
hemopexin, lalu difagosit oleh makrofag di sumsum tulang, hepar, dan
limpa, kemudian 97 persen zat besi akan digunakan kembali.
(Sherwood L , 2011)

Vitamin B12 (kobalamin) dan asam folat juga dibutuhkan


dalam proses eritropoiesis, terutama berperan dalam sintesis DNA.
Berikut ini peran zat-zat tersebut dalam proses eritropoiesis :
Gambar 2.7. Peran asam folat dan vitamin B12 dalam eritropoiesis

C. Etiologi Dan Klasifikasi Anemia

Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan :

A.Etiopatogenesis

1. Gangguan pembentukan eritrosit di sumsum tulang Kekurangan


bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi 12
b. Anemia defisiensi asam folat 

c. Anemia defisiensi vitamin B12 

2. Gangguan penggunaan besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemiasideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang

a. Anemia aplastik

b. Anemiamieloplastik 


c. Anemia pada keganasan hematologi 


d. Anemiadiseritropoietik 
 Anemia pada sindrom


mielodisplastik 


4. Anemia akibat kekurangan eritropoietin


a. Anemiahemoragik
1. Anemia pasca perdarahan akut 

2. Anemia akibat perdarahan kronik
b. Anemiahemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit
(membranopati) 

b. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati)
c. Gangguan hemoglobin
(hemoglobinopati)
 Thalassemia
 Hemoglobinopati struktural : HbS,
HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
a. Anemia hemolitik autoimun 

b. Anemia hemolitik mikroangiopati 


Gambaran morfologik (melalui indeks eritrosit atau hapusan


darah tepi)

A. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH


<27pg Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl
dan MCH 27-34 pg 

B. Anemia makrositer bila MVC > 95 fl 


Penggabungan penggunaan klasifikasi etiopatogenesis dan


morfologi akan sangat menolong dalam mengetahui penyebab anemia.

Berikut ini klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi :3

1. Anemia hipokromik mikrositer

. Anemia Defisiensi Besi 



. Thalasemia Mayor 


. Anemia akibat Penyakit Kronik 


. Anemia Sideroblastik 


2. Anemia normokromik normositer

. Anemia pasca perdarahan akut 


. Anemia aplastik 


. Anemia hemolitik didapat 


. Anemia akibat penyakit kronik

. Anemia pada gagal ginjal kronik 


. Anemia pada sindrom mielodisplastik 


. Anemia pada keganasan hematologik 


3. Anemia makrositer

a) Bentuk megaloblastik

. Anemia defisiensi asam folat 


. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia


pernisiosa


b) Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik 

2. Anemia pada hipotiroidisme 

3. Anemia pada sindrom mielodisplastik ( Bakta I.
M, 2014)

Pembagian anemia berdasarkan gambaran sel darah merah :


D. Patofisiologi Anemia Gravis

a. Sicklecellanemia

Sickle cell anemia adalah gangguan hemolitik darah yang


bersifat resesif autosomal dan kronik dengan tekanan oksigen
darah rendah sehingga mengakibatkan eritrosit berbentuk bulan
sabit. Sickle cell anemia ditandai dengan adanya hemoglobin
abnormal yaitu hemoglobin S. Dalam tereduksi hemoglobin S
mempunyai kelarutan dan bentuk molekul yang khas yang
menyebabkan perubahan bentuk eritrosit seperti bulan sabit. Sel
yang berubah bentuk ini juga dengan cepat dihancurkan oleh sel-
sel fagosit sehingga dalam jangka panjang terjadilah anemia.
(Goodman ,2016)

b. Thalassemia Mayor 


Thalassemia Mayor merupakan penyakit herediter yang


disebabkan menurunnya kecepatan sintesis rantai alfa atau beta
pada hemoglobin. Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai
9,5 g/dl tidak melebihi 15 g/dl. Dengan kedaan ini akan
memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan
tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan
dan perkembangan penderita. 
Pada beta thalasemia mayor
terdapat defisien parsial atau total sintesis rantai betha molekul
hemoglobin. Sebagai akibatnya terdapat kompensasi berupa
peningkatanan sintesis rantai alpha, sementara produksi rantai
gamma tetap aktif sehingga akan menghasilkan pembentukan
hemoglobin yang tidak sempurna (cacat). Rantai polipeptida yang
tidak seimbang ini sangat tidak stabil dan ketika terurai akan
merusak sel darah merah (hemolisis) sehingga terjadi anemia
gravis. Untuk mengimbangi proses hemolisis, sumsum tulang akan
membentuk eritrosit dengan jumlah yang sangat berlimpah kecuali
jika fungsi sumsum tulang disupresi melalui terapi transfusi.
(Goodman ,2016)

c. Penderita Kanker 


Terjadinya anemia pada penderita kanker (tumor ganas), dapat


disebabkan karena aktivitas sistem imun tubuh dan sistem
inflamasi yang ditandai dengan peningkatan beberapa petanda
sistem imun seperti interferon, Tumor Necrosis Factor (TNF) dan
interleukin yang semuanya disebut sitokin, dan dapat juga
disebabkan oleh kanker sendiri. (Goodman ,2016)

d. Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi terjadi bila jumlah zat besi yang


diabsorpsi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh atau
terjadinya kehilangan zat besi yang berlebihan dari tubuh. Hal ini
bisa diakibatkan oleh kurangnya pemasukan zat besi, berkurangnya
sediaan zat dalam makanan, meningkatnya kebutuhan akan zat besi
atau kehilangan darah yang kronis.

Defisiensi zat besi terjadi jika kecepatan kehilangan atau


penggunaan elemen tersebut melampaui kecepatan asimilasinya.
Walaupun pada kebanyakan negara berkembang anemia akibat
kurangnya zat besi dalam diet dapat terjadi, tetapi ditemukan
penyebab paling sering kejadian anemia pada negara berkembang
adalah akibat kehilangan besi dari tubuh seringnya diakibatkan
kehilangan darah melalui saluran cerna atau saluran kemih.

Bila besi terus berkurang, eritropoiesis akan semakin terganggu,


sehingga kadar hemoglobin menurun diikuti penurunan jumlah
eritrosit. Akibatnya terjadi anemia hipokrom mikrositer. Pada saat
ini, terjadi pula kekurangan besi di epitel, kuku, dan beberapa
enzim sehingga menimbulkan berbagai gejala. (Goodman, 2016)

e. Leukemia

Leukemia adalah penyakit akibat terjadinya proliferasi


sel leukosit yang abnormal dan ganas serta sering disertai
adanya leukosit jumlah berlebihan yang dapat menyebabkan

terjadinya anemia dan trombositopenia 17. Leukemia adalah


keganasan hematologik akibat proses neoplastik yang disertai
gangguan differensiasi (maturation arrest) pada berbagai
tingkatan sel induk hemopoetik sehingga terjadi ekspansif
progresif dari kelompok sel ganas tersebut dalam sumsum
tulang. Pada leukemia terjadi proliferasi dari salah satu sel yang
memproduksi sel darah yang ganas. Sel yang ganas tersebut
menginfiltrasi sumsum tulang dengan menyebabkan kegagalan
fungsi tulang normal dalam proses hematopoetik normal

sehingga menimbulkan gejala anemia gravis18

f. Infeksi Cacing 


Infeksi cacing tambang khususnya Necator americanus dan


Ancylostoma duodenale adalah penyebab tersering anemia. Habitat
cacing ini berada dalam usus manusia. Selain mengisap darah,
cacing tambang juga menyebabkan perdarahan pada luka tempat
bekas tempat isapan. Infeksi oleh cacing tambang menyebabkan
kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga penderita
mengalami anemia.
Kehilangan zat besi secara patologis paling
sering terjadi akibat perdarahan saluran cerna. Prosesnya sering
tiba-tiba. Perdarahan akibat cacing tambang dan Schistosoma
merupakan penyebab tertinggi terjadinya perdarahan saluran cerna
dan seterusnya mengakibatkan anemia defisiensi besi. 


g. Sferositosis herediter (SH) 



Sferositosis herediter (SH) merupakan salah satu jenis anemia
hemolitik turunan yang disebabkan oleh kerusakan pada membran
eritrosit. Kerusakan terjadi sebagai akibat defek molekular pada
satu atau lebih protein sitoskleletal sel darah merah yang terdiri
dari spektrin, ankirin, band 3 protein, dan protein. Defek pada
beberapa protein skeletal membran yang berbeda dapat
menyebabkan sferositosis herediter; semua ini secara primer atau
sekunder akan menimbulkan defisiensi spektrin yaitu protein
struktur (meshwork) yang berkaitan dengan membran internal sel
darah merah. Sel darah merah yang kurang mengandung spektrin
memiliki membran yang tidak stabil dan mudah terfragmentasi
secara spontan. Berkurangnya luas permukaan yang ditimbulkan
menyebabkan sel darah merah tersebut berbentuk sferoid; sferosit
semacam ini memiliki fleksibilitas membran yang berkurang dan
terperangkap serta dihancurkan dalam korda limpa. 
( Goodman,
2007)

h. Anemia Aplastik 

Anemia aplastik adalah suatu kegagalan anatomi dan fisiologi
dari sumsum tulang yang mengarah pada suatu penurunan nyata
atau tidak adanya unsur pembentuk darah dalam sumsum. Hal ini
khas dengan 
penurunan produksi eritrosit akibat pergantian dari
unsur produksi eritrosit dalam sumsum oleh jaringan lemak
hiposeluler. Penurunan sel darah merah (hemoglobin)
menyebabkan penurunan jumlah oksigen yang dikirim ke jaringan,
seningga menimbulkan gejala-gejala anemia. ( Young NS, 2014)
Patofisiologi dari anemia aplastik biasanya disebabkan oleh dua
hal yaitu kerusakan pada sel induk pluripoten yaitu sel yang
mampu berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel-sel darah
yang terletak di sumsum tulang dan karena kerusakan pada
microenvironment. Gangguan pada sel induk pluripoten ini
menjadi penyebab utama terjadinya anemia aplastik. Sel induk
pluripoten yang mengalami gangguan gagal membentuk atau
berkembang menjadi sel-sel darah yang baru. Umumnya hal ini
dikarenakan kurangnya jumlah sel induk pluripoten ataupun karena
fungsinya yang menurun. ( Young NS, 2014)

E. Gambaran Klinis

Adaptasi utama terhadap anemia terjadi dalam sistem


kardiovaskular (dengan peningkatan volume sekuncup dan
takikardi) dan pada kurva disosiasi O2 hemoglobin. Pada beberapa
penderita anemia gravis, mungkin tidak terdapat gejala atau tanda,
sedangkan pasien lain yang menderita anemia ringan mungkin
mengalami kelemahan berat

a) Gejala

Jika pasien memang bergejala, biasanya gejalanya adalah


nafas pendek, khususnya pada saat olahraga, kelemahan, letargi,
palpitasi dan sakit kepala. Pada pasien berusia tua, mungkin
ditemukan gejala gagal jantung, angina pektoris, kaludikasio
intermiten, atau kebingunagan (konfusi). Gangguan penglihatan
akibat pendarahan retina dapat mempersulit anemia yang sangat
berat, khususnya yang awitannya cepat. (Effendy, S. 2014)
b) Tanda

Tanda-tanda dapat dibedakan menjadi tanda umum dan


khusus. Tanda umum meliputi kepucatan membran mukosa yang
timbul bila kadar hemoglobin kurang dari 9-10 g/dL. Sebaliknya,
warna kulit bukan tanda yang dapat diandalkan. Sirkulasi yang
hiperdinamik dapat menunjukkan takikardia, nadi kuat,
kardiomegali, dan bising jantung aliran sistolik khususnya pada
apeks. Gambaran gagal jantung kongesti mungkin ditemukan,
khususnya pada orang tua. Perdarahan retina jarang ditemukan.
Tanda spesifik dikaitkan dengan jenis anemia tertentu, misalnya
koilonikia dengan defisiensi besi, ikterus dengan anemia hemolitik
atau megaloblastik, ulkus tungkai dengan anemia sel sabit dan
anemia hemolitik lainnya, deformitas tulang dengan talasemia
mayor dan anemia hemolitik kongenital lain yang berat. (Effendy,
S. 2014)

c) Gambar Darah Tepi

Sickle cell anemia

Gambar 1. Bentuk sel sabit eritrosit yang abnormal


Gambar 2. Eritrosit penderita malaria, menunjukkan eritrosit
yang diinvasi P. falciparum

1A : gambar skematik P. falciparum bentuk cincin (ring forms),


double dots dan marginal (applique)

1B : ring forms

1C : double dots dan double infection

1D : multiple infection (Kathleen B. 2008)


 Thalassemia Mayor

Gambar 3. Abnormalitas (bizzare) sel darah merah,


poikilositosis (bentuk eritrosit bermacam-macam) berat,
hipokromi (eritosit tampak pucat), mikrositosis (ukuran eritrosit

lebih kecil), sel target, basofil Stippling dan eritrosit berinti9


 Anemia defisiensi besi

Gambar 4. Anemia defisiensi besi. Anisokromasia.


Adanya peningkatan variabilitas warna dari hipokrom dan
normokrom dan terdapat poikilosit yang memanjang 

 Leukimia

Gambar 5. Leukemia linfositik akut (LLA). Jumlah


limfosit dan 
neutrofil yang lebih banyak dari jumlah normal

 Sferositosis herediter

Gambar 6. Eritrosit berbentuk sferoid. Sperosit adalah


eritrosit yang berbentuk lebih bulat, lebih kecil dan lebih tebal
dari eritrosit normal (Kathleen B. 2008)
F. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan medis anemia gravis ditentukan berdasarkan


penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Berikut beberapa
pengobatan anemia dengan berbagai indikasi.


1. Farmakologi
a. Pemberian Erythropoietin Stimulating Agents (ESAs)
b. Fereous Sulfate 

besi sulfat adalah 325 mg (65 mg zat besi) secara oral
tiga kali sehari, dosis yang lebih rendah (misalnya, 15-20 mg
zat besi setiap hari) mungkin sama efektif dan menyebabkan
lebih sedikit efek samping. Untuk meningkatkan
penyerapan, pasien harus menghindari teh dan kopi dan
dapat mengonsumsi vitamin C (500 unit) dengan pil zat besi
sekali sehari. Jika ferro sulfat memiliki efek samping yang
tidak dapat diterima, ferrous gluconate, 325 mg setiap hari
(35 mg unsur besi) adalah alternatif yang memungkinkan
bagi pasien yang tidak dapat mentoleransi ferrous sulfate.
c. Pemberian vitamin C
d. Pemberian albendazol atau mebendazol (Goddard AF, 2011)


2. Transfusi 


Transfusi harus dilakukan pada pasien yang secara aktif


mengalami pendarahan dan untuk pasien dengan anemia gravis.
Transfusi adalah paliatif dan tidak boleh digunakan sebagai
pengganti untuk terapi tertentu. Pada 
penyakit kronis yang
berhubungan dengan anemia gravis, erythropoietin dapat
membantu dalam mencegah atau mengurangi transfusi .

Produk darah yang dibutuhkan untuk tranfusi biasanya


dikumpulkan pertama dalam Whole blood dengan antikoagulan
yang bermacam-macam. Kebanyakan darah yang didonasikan
akan diproses menjadi beberapa komponen yaitu PRC (Packed
Red Cell), platelet dan FFP (Fresh Frozen Plasma) atau
cryoprecipitate. Whole blood pertama-tama akan dipisahkan
menjadi PRC dan plasma yang kaya akan trombosit dengan
sentrifugasi lambat. Plasma yang kaya akan platelet tersebut
nantinya akan disentrifugasi dengan kecepatan tinggi untuk
mendapatkan satu unit rdanom donor (RD) platelets dan satu
unit FFP. Cryoprecipitate diproduksi dengan mencairkan FFP
untuk mengendapkan protein yang berada dalam plasma yang
nantinya akan dipisahkan dengan sentrifugasi. Teknologi
apharesis selanjutnya akan digunakan untuk membuat 6 unit
RD platelets yang dikenal dengan SDAP (Single Donor
Apharesis Platelets) yang mengdanung lebih sedikit leukosit
daripada RD platelet yang belum di-apharesis. Derivat plasma
seperti albumin, intravenous immunoglobulin, antitrombin dan
faktor koagulasi juga diproduksi dengan apharesis dari FFP
(Dzieczkowski dan Danerson, 2012).

2.1 Darah Utuh (Whole blood)

Darah utuh berisi sel darah merah, leukosit, trombosit


dan plasma.Satu unit kantong darah lengkap berisi 450 mL
darah dan 63 mL antikoagulan. Di Indonesia satu kantong darah
utuh berisi 250 mL darah dengan 37 mL antikoagulan. Suhu
disimpan antara 2-60C dan lama simpan darah lengkap ini
tergantung dari antikoagulan yang dipakai pada kantong darah;
pada pemakaian sitrat fosfat dekstrose (CPD) lama simpan
adalah 21 hari, sedangkan dengan CPD adenin (CPDA) 35 hari
. (Dzieczkowski dan Danerson, 2012).

Saat ini pemakaian darah lengkap sudah kurang


dianjurkan. Namun masih digunakan untuk kehilangan darah
akut misalnya karena ruda paksa atau perdarahan
gastrointestinal dan uterus yang berat. Pada transfusi darah
setelah kehilangan darah akut lebih dianjurkan penggunaan
pack red cells (PRC) yang ditambah elektrolit sebagai
pengganti darah lengkap. Hal ini bertujuan untuk menghemat
plasma demi penggunaan klinis yang lain (Dzieczkowski dan
Danerson, 2012).

Darah lengkap ada 3 macam, yaitu :

a. Darah segar

Darah yang baru diambil dari donor sampai 6 jam


sesudah pengambilan. Keuntungan pemakaian darah segar
ialah faktor pembekuannya masih lengkap termasuk faktor labil
(V dan VIII) dan fungsi eritrosit masih relatif baik.
Kerugiannya sulit diperoleh dalam waktu yang tepat karena
untuk pemeriksaan golongan, reaksi silang dan transportasi
diperlukan waktu lebih dari 4 jam dan resiko penularan
penyakit relatif banyak.
b. Darah Baru

Darah yang disimpan antara 6 jam sampai 6 hari sesudah


diambil dari donor. Faktor pembekuan disini sudah hampir
habis, dan juga dapat terjadi peningkatan kadar kalium, amonia,
dan asam laktat.

c. Darah Simpan
Darah yang disimpan lebih dari 6 hari. Keuntungannya
mudah tersedia setiap saat, bahaya penularan lues dan
sitomegalovirus hilang. Sedang kerugiaannya ialah faktor
pembekuan terutama faktor V dan VIII sudah berkurang.
Kemampuan transportasi oksigen oleh eritrosit menurun yang
disebabkan karena afinitas Hb. Resiko infeksi dari pemberian
darah whole blood adalah dapat menularkan agen infeksi yang
terdapat di sel atau plasma yang tidak terdeteksi ketika skrining
rutin TTI (transfusion-transmissable infection) seperti, HIV,
hepatitis B dan C, sifilis, malaria (Surgenor,et al., 2001)

2.1.1 Dosis dan Cara Pemberian


Dosis tergantung keadaan klinis pasien. Pada orang
dewasa 1 unit darah lengkap akan meningkatkan Hb sekitar 1
g/dL atau hematokrit 3-4%. Pada anak-anak darah lengkap 8
mL/kg akan meningkatkan Hb sekitar 1 g/dL. Pemberian darah
lengkap sebaiknya melalui filter darah dengan kecepatan
tetesan tergantung keadaan klinis pasien, namun setiap unitnya
sebaiknya diberikan dalam ≤4 jam (Setyohadi, 2006).
Pemberian transfusi darah lengkap dimulai dalam kurun waktu
30 menit setelah dikeluarkan dari tempat penyimpanan dan
diberikan ≤ 4 jam, buang unit darah bila melebihi 4 jam.
Kecepatan pemberian transfusi whole blood pada pasien
pediatri adalah 2-5 mL/kgBB/jam (WHO, 2017).
Kecepatan pemberian darah utuh pada penderita
hemovolemia adalah satu liter dalam 2-3 jam setelah
sebelumnya diberikan cairan elektrolit pengganti perdarahan.
Jika transfusi perlu lebih cepat lagi, pantaulah dengan teliti
kenaikan Tekanan Vena Sentral (CVP) untuk menghindari
overload. (Stoelting R, 2003).
2.2 Darah Merah Endap (Packed Red Cell)
Packed red blood cell (PRC) adalah sel darah merah
yang sebagian besar plasma nya sudah dihilangkan. PRC
mengdanung konsentrasi Hemoglobin (Hb) sekitar 20g/100 mL
(tidak kurang dari 45 gr per unit), dan hematokrit 55-75%.
Jumlah satu unit sekitar 150-200 mL dan mempunyai waktu
simpan di bank darah selama ±42 hari. PRC dibuat dari WBC
yang berukuran 450-500 mL melalui proses sentrifugasi. Selain
proses sentrifugasi, proses reduksi leukosit dan washing atau
pembersihan plasma lebih lanjut dapat dilakukan untuk PRC.
PRC sebaiknya disimpan pada suhu antara +2oC sampai +6oC
pada kulkas pendingin yang sudah disetujui oleh bank darah
yang dipasang monitor suhu dan alarm (American Society of
Hematology, 2012).
2.2.1 Dosis dan Cara Pemberian
Transfusi PRC dapat diinisiasi pada psien dengan anemia
simptomatis (Hb <8 g/dL dengan takikardi). Pasien dengan
anemia asimptomatis dengan anemia kronis (e.g. talasemia,
anemia aplastik) sebaiknya diterapkan batas yang lebih rendah
untuk memulai transfusi sekitar 5,5 g/dL (Muller, 2015).
Transfusi PRC harus dipertimbangkan pada pasien
dengan Hb>8 g/dL yang mempunyai kemungkinan besar
mengalami penurunan Hb dan membutuhkan terapi pada 1-2
minggu ke depan (e.g. pasien yang menerima kemoterapi dosis
tinggi yang akan dipulangkan dari RS) (Pediatric Hematology
Oncology Journal, 2012).
Pencocokan silang lebih lanjut sebaiknya dilakukan pada
pasien yang sudah mengalami transfusi berulang kali selama
hidupnya. Contoh pasien ini adalah pasien dengan sickle cell
disease, thalassemia, dan anemia aplastik (Pediatric
Hematology Oncology Journal, 2012).
Transfusi sebanyak 10cc/kg akan meningkatkan Hb 2.5-
3.0 g/dl dengan dosis pemberian 4 x BB (kg) x (target Hb- Hb
sekarang). Pada pasien dengan BB> 20 kg, voulme transfusi
harus dibulatkan mendekatkan jumlah unit PRC. Volume satu
unit PRC berkisar antara 240-360 cc
Pada pasien tanpa komplikasi, transfusi PRC harus
diberikan dalam waktu 2-3 jam. Pada pasien dengan anemia
yang muncul dengan perlahan dan Hb<5 g/dL, transfusi PRC
harus diberikan perlahan (2 ml/kg/jam) sampai jumlah Hb yang
diinginkan tercapai. Penggunaan diuretik dan transfusi tukar
harus dipertimbangkan pada pasien dengan tdana-tdana gagal
jantung (American Society of Hematology, 2012).
Transfusi PRC harus selalu dilakukan menggunakan
transfusi set stdanar dengan filter (diameter pori-pori berukuran
170–230 µm dan jangan menggunakan transfusi set yang tidak
menggunakan filter. Transfusi dua pak darah atau lebih harus
diberikan berurutan dan tidak bersamaan. Transfusi harus
diberikan menggunakan akses vena yang eksklusif, obat dan
bahan infus lain tidak boleh dicampurkan dengan PRC atau
diberikan bersamaan melalui tempat akses yang sama. Untuk
pasien yang menggunakan kateter vena sentral, pemberian PRC
tidak boleh bersamaan dengan larutan parenteral lainnya
melalui lubang yang sama (Muller et al., 2015).
2.3 Trombocyte Concentrate(TC)
2.3.1 Trombosit
Trombosit atau platelet berbentuk cakram kecil dengan
diameter 1-4 µm. Trombosit dibentuk di sumsum tulang dan
megakariosit, yaitu sel yang sangat besar dalam susunan
hematopoetik dalam sumsum. Megakariosit pecah menjadi
trombosit kecil baik di sumsum tulang atau segera setelah
memasuki darah, khususnya ketika memasuki kapiler (Guyton
dan Hall, 2014). Regulator pembentuk trombosit utama adalah
trombopoetin yang dihasilkan oleh hati. Trombopoetin
meningkatkan jumlah dan kecepatan pematangan megakariosit
melalui reseptor c-MPL. Trombosit juga memiliki reseptor c-
MPL untuk trombopoetin dan menyingkirkannya dari sirkulasi.
Karena itu, kadarnya tinggi pada trombositopenia akibat aplasia
sumsum tulang tetapi rendah pada pasien yang jumlah
trombositnya tinggi (Hoffbrdan AP dan Moss PHA, 2013).
Usia normal trombosit dalam darah yaitu 8 sampai 12
hari (Ganon WF, 2002). Di dalam sitoplasma terdapat protein
penting yang disebut faktor stabilisasi fibrin, dan faktor
pertumbuhan yang menyebabkan penggdanaan dan
pertumbuhan sel endotel pembuluh darah, dan fibroblas,
sehingga menimbulkan perbaikan dinding pembuluh darah
yang rusak (Guyton dan Hall, 2014).
Pemberian Transfusi TC dialakukan untuk pasien dengan
perdarahan Karenatrombositopenia dan defek fungsi platelet.
Selain itu transfusi TC juga diindikasikan untuk mencegah
perdarahan karena trombositopenia seperti pada kagagalan
sumsum tulang (WHO, 2017).\
Kontraindikasi dari pemberian transfusi TC adalah
Thrombotic Thrombocytopenic Purpura (TTP), sebagai
profilaksis perdarahan pada pasien bedah kcuali diketahui
memiliki defisiensi platelet yang signifikan pra-operasi,
Idiopatic autoimmune thrombocytopenic purpura, Disseminates
Intravascular Coagulation (DIC) yang tidak diobati,
trombositopenia yang berhubungan dengan septikemia hingga
pengobatan dimulai atau dalam kasus hipersplenisme (WHO,
2017) dan Heparin Induced Thrombocytopenia (HIT) (NHS,
2014).
2.3.2 Dosis dan Cara Pemberian
Satu kantong TC yang ditransfusikan dianggap dapat
meningkatkan kadar trombosit 5.000-10,000/mL. Sedangkan
untuk pasien dewasa dengan berat badan 60-70 Kg, 1 unit
platelet (dari 4-6 donor) mengandung 240x109/L trombosit
dapat miningkatkan trombosit sebesar 20-40 x 109/L.
Peningkatan trombosit kurang efektif jika terdapat
kondisi seperti splenomegali, DIC, dan sepsis (WHO, 2017).
Setelah pooling, TC harus segera diinfuskan umumnya dalam
waktu 4 jam karena resiko prolliferasi bakteri. TC tidak boleh
didinginkan sebelum diinfuskan karena dapat mengurangi
fungsi trombosit. Prosedur transfusi TC menggunakan blood set
standar dan harus diinfuskan dalam waktu 30 menit (WHO,
2017). Respon terhadap transfusi trombosit sangat terpengaruh
dengan adanya demam, sepsis, splenomegali, Perdarahan hebat,
koagulopati konsumtif, HLA Alloimunisasi dan pengobatan
dengan obat tertentu (misalnya Amfoterisin B) (Cable R, et
al.,2007). Komplikasi yang terjadi seperti pada transfusi TC
seperti Febrile non-haemolytic dan reaksi alergi yang tidak
jarang, terutama pada pasien yang menerima banyak transfusi
(WHO, 2017).
2.4. Fresh Frozen Plasma
Fresh Frozen Plasma adalah plasma yang melalui proses
apharesis atau dari Whole blood dan telah disimpan selama 8
jam. FFP berisi semua faktor koagulasi yang stabil maupun
labil dan protein plasma (fibrinogen, antitrombin, dan albumin).
Plasma dipisahkan dari darah utuh dalam 6 jam sejak donasi
dan dibekukan dalam suhu -25oC atau lebih dingin. Satu unit
FFP dapat berisi 180-300 mL plasma darah. Produk darah
turunan dari FFP dapat berupa cryoprecipitate plasma dan
cryosupernatant plasma yang berisi beberapa faktor koagulasi
tertentu saja (WHO, 2017; Wong et al., 2007; Hillyer, 2007).
2.4.1 Dosis dan Cara Pemberian
Dosis inisial dari untuk tranfusi FFP adalah 15 mL/kgBB
pada anak maupun dewasa. FFP untuk koreksi warfarin
diperbolehkan bila tidak ada PCC dengan dosis 150-300 mL
yang didahului dengan pemberian Vitamin K 5-10 mg IV. FFP
juga hanya diberikan apabila INR = 1,5 dan adanya perdarahan
pada organ vital yang dapat membahayakan nyawa (WHO,
2002; Norfolk, 2013; Tran et al., 2013). Pada defisiensi faktor
koagulasi yang bersifat congenital, FFP diberikan dengan dosis
yang berbeda-beda bergantung pada faktor koagulasi yang
diperlukan. Pemberian dosis FFP untuk tiap defisiensi faktor
koagulasi dapat dilihat pada tabel 2.5.

Tabel 2.5.Penggunaan Fresh Frozen Plasma pada


Defisiensi Faktor Koagulasi Kongenital. PCC = Protrombin
Complex Concentrate yang berisi FII, FVII, FIX dan FX;
FII= Factor II (Hillyer et al., 2007).
Half-life
Faktor Defisiensi (jam) Dosis FFP Terapi Alternatif
Protrombin (F 15-20 mL/kg, diikuti 3-
II) 72 6 Plasma exchange
mL/kg tiap 12-24 jam dengan FFP, PCC
15-20 mL/kg, diikuti 3-
Faktor V 36 6 Plasma exchange
mL/kg tiap 12-24 jam dengan FFP, PCC
Faktor VII 3-6
15-20 mL/kg, diikuti 5-
- Perdarahan 10 F VII concentrates
mayor mL/kg tiap 6-12 jam
5-10 mL/kg tiap 8-12
- Perdarahan jam
minor
15-20 mL/kg, diikuti 3-
Faktor X 40 6 PCC
mL/kg tiap 24 jam
15-20 mL/kg, diikuti 3-
Faktor XI 80 6 Cryosupernatan
mL/kg tiap 12 jam
Faktor XIII 9 hari 3-6 mL/kg tiap 4-6 Cryoprecipitate
Minggu FXIII concentrate

Kompatibilitas ABO harus diperhatikan saat memberikan


FFP untuk menghindari reisko hemolisis pada resepien. Infus set
yang digunakan adalah set tranfusi darah yang stdanar dan dikerjakan
secepat mungkin setelah dicairkan. Faktor koagulasi yang labil sangat
cepat tedegadrasi sehingga harus ditranfusikan 6 jam setelah dicairkan
(WHO, 2017).

3. Transplantasi Sumsum Tulang dan Stem Sel 


Kedua metode ini telah dipakai oleh pasien dengan


leukimia, lymphoma, Hodgkin disease, multiple myeloma,
myelofibrosis dan penyakit aplastik. Harapan hidup pada pasien
ini meningkat, dan kelainan hematologi membaik. Alogenik
transplantasi sumsum tulang berhasil memperbaiki ekspresi
fenotipik dari penyakit sel sabit dan talasemia dan
meningkatkan harapan hidup pada pasien yang berhasil
transplantasi. 
 ( Young NS, 2006)
4. Terapi Nutrisi dan Pertimbangan Pola Makanan

a. Protein


Protein merupakan suatu zat makanan yang amat


penting bagi tubuh karena zat ini di samping berfungsi sebagai
bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun
dan pengatur. Asupan protein yang adekuat sangat penting
untuk mengatur integritas, fungsi, dan kesehatan manusia
dengan menyediakan asam amino sebagai precursor molekul
esensial yang merupakan komponen dari semua sel dalam
tubuh. Protein berperan penting dalam transportasi zat besi di
dalam tubuh. Oleh karena itu, kurangnya asupan protein akan
mengakibatkan transportasi zat besi terhambat sehingga akan
terjadi defisiensi besi. Di samping itu makanan yang tinggi
protein terutama yang berasal dari hewani banyak mengandung
zat besi. ( Gibson, 2005)

b. Vitamin A

Suplementasi vitamin A dapat membantu mobilisasi zat


besi dari tempat penyimpanan untuk proses eritropoesis di
mana disebutkan suplementasi vitamin A sebanyak 200.000 UI
dan 60 mg ferrous sulfate selama 12 minggu dapat
meningkatkan rata – rata kadar hemoglobin sebanyak 7 g/L dan
menurunkan prevalensi anemia dari 54% menjadi 38%.

Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang dapat
membantu absorpsi dan mobilisasi zat besi untuk pembentukan
eritrosit. Rendahnya status vitamin A akan membuat simpanan
besi tidak dapat dimanfaatkan untuk proses eritropoesis. Selain
itu, Vitamin A dan β-karoten akan membentuk suatu kompeks
dengan besi untuk membuat besi tetap larut dalam lumen usus
sehingga absorbsi besi dapat terbantu. Apabila asupan vitamin
A diberikan dalam jumlah cukup, akan terjadi penurunan
derajat infeksi yang selanjutnya akan membuat sintesis RBP
dan transferin kembali normal. Kondisi seperti ini
mengakibatkan besi yang terjebak di tempat penyimpanan dapat
dimobilisasi untuk proses eritropoesis. Sumber vitamin A
dalam makanan sebagian besar dari sumber- sumber makanan
nabati dan hewani, misalnya sumber hewani diantaranya susu
dan produk susu, telur serta ikan dll, sumber makanan nebati
seperti papaya, mangga, serta jeruk dan sayuran seperti wortel.
(Gallagher ML. 2008)

c. Vitamin C

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada


keterkaitan antara asupan vitamin C dengan kejadian anemia di
mana korelasinya bersifat positif yang menunjukkan semakin
tinggi asupan vitamin C maka kadar hemoglobin akan semakin
tinggi pula yang berarti kejadian anemia semakin rendah. Hal
ini membuktikan bahwa vitamin C dapat meningkatkan
absorpsi zat besi di dalam tubuh. Vitamin C dapat menghambat
pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk
membebaskan besi jika diperlukan. Vitamin C juga memiliki
peran dalam pemindahan besi dari transferin di dalam plasma
ke feritin hati. (Goodman, 2016)

Vitamin C yang dikonsumsi untuk dibutuhkan untuk


membentuk sel darah merah yang dapat mencegah kelelahan
dan anemia misalnya buah sitrus, jeruk, lemon, blackcurrant
buah-buahan lain dan sayuran hijau. (Gallagher ML, Goodman
et al, 2008)

d. Zat Besi

Besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh,


sebagai faktor utama pembentuk hemoglobin (Almatsier, 2006).
Jumlah besi yang disimpan dalam tubuh manusia adalah sekitar
4 g. Terdapat empat bentuk zat besi dalam tubuh. Sebagian
besar zat besi yaitu kira-kira 2/3 dari total besi tubuh terikat
dalam hemoglobin yang berfungsi khusus, yaitu mengangkut
oksigen untuk keperluan metabolisme ke jaringan-jaringan

tubuh12 Zat besi (Fe) terdapat dalam bahan makanan hewani,


kacang- kacangan, dan sayuran berwarna hijau tua. Zat besi
terdapat dalam makanan dalam bentuk ferri hidroksida, ferri-
protein dan kompleks heme- protein. Secara umumnya, daging
terutamanya hati adalah sumber zat besi yang lebih baik
dibanding sayur-sayuran, telur dan lainnya. (Goddard, AF., 2011)

e. Asam Folat

Asam folat merupakan senyawa berwarna kuning, stabil


dan larut dalam air yang terdiri dari bagian-bagian pteridin,
asam para- aminobenzoat dan asam glutamat. Sumber makanan
asam folat banyak terdapat pada hewan, buah-buahan, gandum,
dan sayur-sayuran terutama sayur-sayuran berwarna hijau.
Asam folat bersama vitamin B 12 berfungsi dalam
pembentukan DNA inti sel dan penting dalam pembentukan
myelin yang berperan penting dalam maturasi inti sel dalam
sintesis DNA sel-sel eritroblast. Akibat dari sefisiensi asam
folat adalah gangguan sintesis DNA pada inti eritroblas
sehingga maturasi inti menjadi lebih lambat, akibatnya
kromatin lebih longgar dan sel menjadi lebih besar
(megaloblast). Kebutuhan harian asam folat adalah 25-200
mcg.(Goddard, AF, 2011)

f. Vitamin B12

Vitamin B12 termasuk vitamin yang larut dalam air,


merupakan bagian terbesar dari vitamin B komplek, dengan
berat molekul lebih dari 1000. Bentuk umum dari vitamin B12
adalah cyanocobalamin (CN-Cbl), keberadaannya dalam tubuh
sangat sedikit dan jumlahnya tidak tentu. Selain
cyanocobalamin di alam ada 2 bentuk lain dari vitamin B12;
yaitu hydroxycobalamin dan aquacobalamin, dimana hydroxyl
dan air masing- masing terikat pada cobal. (Hoffbrand, 2013).

Di dalam tubuh vitamin B12 berperan sebagai kofaktor


untuk dua reaksi enzim. Pertama, vitamin B12 berperan sebagai
kofaktor untuk enzim L-methilmalonyl-CoA mutase. Enzim L-
methilmalonyl-CoA mutase membutuhkan adenosylcobalamin
untuk mengubah L-methylmalonyl- CoA menjadi succinyl-
CoA. Succinyl CoA diperlukan untuk sintesis hemoglobin yang
merupakan pigmen pada sel darah merah sebagai pembawa
oksigen keseluruh jaringan tubuh. Bila terjadi defisiensi vitamin
B12, L-methylmalonyl-CoA tidak dapat dirubah menjadi
succinyl- CoA sehingga terakumulasi dan akhirnya dipecah
menjadi methylmalonic acid oleh suatu enzim hydrolas3.
(Hoffbrand, 2013).

Salah satu fungsi utama vitamin B12 adalah dalam


pembentukan sel-sel darah merah. Vitamin B12 penting untuk
sistesis DNA dengan cepat selama pembelahan sel pada
jaringan dimana pembelahan sel berlangsung cepat, terutama
jaringan sum-sum tulang yang bertanggungjawab untuk
pembentukan sel darah merah. Terjadi defisiensi vitamin B12,
pembentukan DNA berkurang dan sel-sel darah merah tidak
normal, disebut dengan kejadian megaloblas yang akhirnya
menjadi anemia. (Hoffbrand, 2013).

Vitamin B12 dibutuhkan dalam jumlah yang relatif kecil.


Kecukupan vitamin B12 pada anak dibawah usia 4 tahun < 1
μg/hari, pada usia 4 –12 tahun sekitar 1 – 1,8 μg/hari dan bagi
usia 13 tahun sampai dewasa 2,4 μg/hari. Sedangkan ibu hamil
dan menyusui memerlukan tambahan masing-masing 0,2
μg/hari dan 0,4 μg/hari. Vitamin B12 banyak ditemukan dalam
pangan hewani, seperti daging, susu, telur, ikan, kerang dan
lain-lain. (Hoffbrand, 2013).
g. Pembatasan Aktivitas

Aktivitas pasien dengan anemia berat harus dibatasi


sampai sebagian anemia dapat disembuhkan. Transfusi sering
dapat dihindari dengan bed rest, terapi dapat dilakukan untuk
pasien dengan anemia yang dapat disembuhkan (misalnya
anemia pernisiosa). (Gallagher ML. 2008)

G. Komplikasi


1. Gangguan Perkembangan Fisik dan Mental

Pada anak-anak, anemia gravis akibat defisiensi besi


dapat berkomplikasi kepada gangguan dalam perkembangan
fisik dan mental. Ada bukti menyatakan bahwa anemia
defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan pada perilaku dan

fungsi intelektual anak1. Anemia gravis akibat defisiensi besi


menyebabkan gangguan perkembangan neurologik pada bayi
dan menurunkan prestasi belajar pada anak usia sekolah karena
zat besi telah dibuktikan berperan penting dalam fungsi otak
dan penelitian pada hewan coba menunjukkan berlakunya
perubahan perilaku dan fungsi neurotransmitter pada hewan
coba yang kekurangan zat besi. Dari beberapa penelitian yang
dilakukan di Chile, Indonesia, India dan USA didapatkan
bahwa anemia defisiensi besi secara konklusifnya mengganggu
perkembangan psikomotor dan fungsi kognitif pada anak usia
sekolah. Anak-anak yang diberikan suplementasi besi merasa
kurang lelah dan kemampuan mereka untuk berkonsentrasi
semasa pembelajaran juga meningkat .Nilai IQ (Intelligent
Quotient) pada anak yang mengalami kurang zat besi
ditemukan dengan jelas lebih rendah berbanding anak yang
tidak mengalami anemia defisiensi besi (Killip S, 2007)

Terdapat 3 proses yang menjadi dasar penyebab


gangguan kognitif pada anemia defisiensi besi. Penyebab
pertama ialah gangguan pembentukan myelin. Mielinisasi
memerlukan besi yang cukup dan tidak dapat berlangsung baik
bila oligodendrosit yaitu sel yang memproduksi myelin
mengalami kekurangan besi. Mielin ini penting untuk
kecepatan penghantaran rangsang. Penyebab yang kedua ialah
gangguan metabolisme neurotransmitter. Hal ini terjadi karena
gangguan sintesa serotonin, norepinefrin, dan dopamin.
Dopamin mempunyai efek pada perhatian, penglihatan, daya
ingatan, motivasi dan kontrol motorik. Penyebab seterusnya
ialah gangguan metabolisme energi protein. Gangguan ini
terjadi karena besi merupakan ko-faktor pada ribonukleotida
reduktase yang penting untuk fungsi dan metabolisme lemak
dan energi otak. Semakin dini usia dan lama saat terjadi anemia
dan semakin luas otak yang terkena, akan menyebabkan
gangguan fungsi kognitif semakin permanen dan sulit
diperbaiki. (Killip S, 2007)

2. Penyakit Kardiovaskular

Pada keadaan anemia dengan kadar hemoglobin < 7g/dL


mengakibatkan kapasitas pengangkutan oksigen oleh sel darah
merah menurun. Suatu proses pengantaran oksigen ke organ
ataupun jaringan dipengaruhi oleh tiga faktor di antaranya
faktor hemodinamik yaitu cardiac output dan distribusinya,
kemampuan pengangkutan oksigen di darah yaitu konsentrasi
hemoglobin, dan oxygen extraction yaitu perbedaan saturasi
oksigen antara darah arteri dan vena. (Anand I, 2004)

Pada keadaan anemia terjadi perubahan nonhemodinamik


dan hemodinamik sebagai kompensasi dari penurunan
konsentrasi hemoglobin. Mekanisme nonhemodinamik
diantaranya yaitu peningkatan produksi eritropoetin untuk
merangsang eritropoesis dan meningkatkan oxygen extraction.
Ketika konsentrasi hemoglobin di bawah 10 g/dL, faktor
nonhemodinamik berperan dan terjadi peningkatan cardiac
output serta aliran darah sebagai kompensasi terhadap hipoksia
jaringan. Kompensasi mekanisme hemodinamik bersifat
kompleks, antara lain terjadi penurunan afterload akibat
berkurangnya tahanan vaskular sistemik, peningkatan preload
akibat peningkatan venous return dan peningkatan fungsi
ventrikel kiri yang berhubungan dengan peningkatan aktivitas
simpatetik dan faktor inotropik. Pada anemia kronik, terjadi
peningkatan kerja jantung menyebabkan pembesaran jantung
dan hipertrofi ventrikel kiri. (Anand I, 2004)

Data longitudinal menunjukkan bahwa anemia


merupakan predisposisi terjadinya dilatasi ventrikel kiri dengan
kompensasi hipertrofi yang dapat mengakibatkan terjadinya
disfungsi sistolik. Manifestasi kardiovaskular pada pasien
dengan anemia kronis yang berat tidak terlihat jelas kecuali
pada pasien mengalami gagal jantung kongestif. Pasien
biasanya mengalami pucat, bisa terlihat kuning, denyut jantung
saat istirahat cepat, prekordial aktif dan dapat terjadi murmur
sistolik. Pada keadaan anemia, venous return jantung akan
meningkat. Pada jantung dapat terjadi hipertrofi ventrikel kiri,
dengan miofibril jantung yang memanjang dan ventrikel kiri
dilatasi, akibatnya akan memperbesar stroke volume sesuai
dengan mekanisme Starling (Anand I, 2004)

Secara fisiologis akibat dari hal ini terjadi dilatasi


ventrikel khususnya terjadi peningkatan tekanan dinding
jantung yang mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen
dan percepatan kerusakan miosit. Pada tahap terjadi dilatasi
yang progresif dinding ventrikel kiri menebal yang disebut
dengan eccentric hipertrofi yang bermanfaat sebagai
mekanisme adaptasi untuk melindungi jantung dari peningkatan
tahanan dinding jantung. (Anand I, 2004)

3. Hipoksia Anemik

Tujuan dasar sistem kardiorespirasi adalah untuk


mengirim oksigen (dan substrat) ke sel-sel dan membuang
karbon dioksida (dan hasil metabolik lain) dari sel-sel.
Pertahanan yang sesuai dari fungsi ini tergantung pada sistem
respirasi dan kardiovaskuler yang intak dan suplai udara yang
diinspirasi yang mengandung oksigen adekuat. Perubahan
teganagan oksigen dan karbon diaoksida serta perubahan
konsentrasi intraeritrosit dari komponen fosfat organik,
terutama asam 2,3-bifosfogliserat, menyebabkan pergeseran
kurva disosiasi oksigen. Bila hasil hipoksi sebagai akibat gagal
pernafasan, PaCO2 biasanya meningkat dan kurva disosiasi
bergeser kekanan. Dalam kondisi ini, persentase saturasi
hemoglobin dalam darah arteri pada kadar penurunan tegangan
oksigen alveolar (PaCO2) yang diberikan (Anand I, 2004)

Setiap penurunan kadar hemoglobin akan disertai dengan


penurunan kemampuan darah dalam mengangkut oksigen.
PaCO2 tetap normal, tetapi jumlah absolut oksigen yang
diangkut perunit volume darah akan berkurang. Ketika darah
yang anemik melintas lewat kapiler dan oksigen dalam jumlah
yang normal dikeluarkan dari dalam darah tersebut, maka
PaCO2 di dalam darah vena akan menurun dengan derajat
penurunan yang lebih besar daripada yang seharusnya terjadi
dalam keadaan normal (Anand I, 2004)

H. Prognosis


Biasanya, prognosis tergantung pada faktor penyebab anemia.


Bagaimanapun, keparahan anemia, etiologi, dan kecepatannya
menjadi parah memainkan peranan penting dalam menentukan
prognosis. Demikian pula, umur pasien dan faktor penyerta lainnya.

 Anemia akibat pendarahan dari vasises


esophagus
Sekitar 30% pasien dengan sirosis
meninggal akibat pendarahan visceral. Pasien dengan
penyakit hati kelas Child C memiliki tingkat kematian
50%. Tingkat perdarahan ulang pada pasien yang diobati
secara medis adalah lebih dari 70%. 

 Anemia akibat Ruptur Aorta
Prognosis dari ruptur
traumatik sangat buruk, dengan kira-kira tingkat
kematian prehospital 80%. Jika tidak terobati, sebagian
besar pasien meninggal dalam 2 minggu. Ruptur
anuerisma nontraumatik juga memiliki prognosis yang
buruk dan berakibat fatal jika tidak diobati. Tindakan
bedah yang segara pun masih memiliki tingakt kematian
tinggi, seringkali lebih dari 80%. 

 Sickle cell anemia
 Pasien dengan homozigot (Hgb SS)
memiliki prognosis yang buruk, karena mereka
cenderung sering mengalami keadaan kritis. Pasien
dengan heterozigot (Hgb AS) memiliki sifat-sifat sel
sabit, dan meraka hanya mengalami keadaan kritis pada
kondisi yang ekstrim
 Thalasemia 
Pasien dengan homozigot thalasemia
beta (Cooley anemia atau talasemia mayor) memiliki
prognosis yang lebih buruk dari pasien dengan
thalasemia lainnya (thalasemia intermediet dan
thalasemia minor). Beberapa tahun terakhir telah
ditemukan kemajuan dalam pengobatan thalassemia,
terutama dengan terapi khelasi zat besi, yang
memungkinkan pasien thalassemia untuk hidup sehat
sampai dewasa. 

 Hiperplasia
Diantara pasien dengan hiperplasia
sumsum tulang dan penurunan 
produksi RBCs, satu
kelompok memiliki prognosis yang baik dan yang
lainnya tidak merespon, refraktori terhadap terapi, dan
relatif memiliki prognosis buruk. Termasuk pasien
dengan kerusakan relatif sumsum tulang akibat defisiensi
nutrisi, pada pasien dengan terapi dengan vitamin B12,
asam folat atau zat besi mengarah pada penyembuhan
anemia jika etiologi yang tepat ditetapkan. Obat-obatan
bekerja sebagai antagonis antifolic atau inhibitor sintesis
DNA dapat menimbulkan efek yang sama.
Kelompok
kedua meliputi pasien dengan hiperplasia idiopati yang
dapat merespon terapi pirydoxine sebagian dalam dosis
farmakologi namun lebih sering tidak merespon. Pasien
ini memiliki sideroblas lingkaran di sumsum tulang,
mengindikasikan penggunaan besi yang tidak tepat di
mitokondria untuk sintesis heme 
Pasien tertentu
dengan hiperplasia sumsum dapat memiliki anemia
refrakter bertahun-tahun, namun beberapa kelompok
akhirnya berkembang menjadi leukimia myelogenous
akut.
 Anemia aplastik
Kesempatan bertahan buruk pada
pasien dengan idiosyncratic aplasia 
karena
chloramphenicol dan virus hepatitis, dan akan membaik
ketika kemungkinan etiologi adalah hemoglobinuria
nokturnal paroksismal atau anti-insektisida. Prognosis
untuk apalasia idiopati berada di 2 ekstrim, tanpa
pengobatan tingkat kematian sekitar 60-70% setelah 2
tahun diagnosis. Tingkat kematian untuk anemia aplastik
berat selama 2 tahun adalah 70% tanpa tranplantasi
sumsum tulang atau respon terhadap terapi imunosupresif
.
 Sferosidosis Herediter
Setelah splenektomi,
kelangsungan hidup sel darah merah meningkat drastic,
memungkinkan pasien dengan sferosidosis herediter
untuk mempertahankan tingkat hemoglobin normal.
Peran Akupunktur Medis Sebuah penelitian terbaru
menunjukkan fakta bahwa akupunktur dapat
meningkatkan kadar besi dalam darah. Akupunktur dapat
meningkatkan Ferritin Serum dan mengurangi TIBC
(Total Iron Binding Capacity). Ferritin merupakan
protein intraseluler yang menyimpan, melepaskan dan
mentransportasikan besi ke dalam darah. TIBC
merupakan tes laboratorium yang mengukur kemampuan
tubuh untuk mengikat besi dengan transferrin, pengikat
besi glokoprotein plasma darah. Pada percobaan acak
terkontrol, sebuah riset menerapkan akupunktur pada 60
kelinci putih pada titik akupunktur ST 36 Zusanli dengan
metode manipulasi lifting-thrusting. Kelinci – kelinci
tersebut dibatasi jumlah makanannya sehingga pada
gambaran simulasi, darah mengalami defisiensi dimana
terjadi kondisi penurunan ferritin serum dan peningkatan
TIBC. Akupunktur diberikan setiap beberapa hari sekali,
dengan total 10 kali. Kadar Ferritin serum dan TIBC
diukur menggunakan radio immuno assay (RIA).
Keduanya pada hari ke 17 penelitian dan selama 32 hari
pengujian hasil setelah penyelesaian studi, akhirnya
disimpulkan bahwa kelinci yang di akupunktur
menunjukkan peningkatan signifikan kadar ferritin serum
dan penurunan TIBC dibandingkan kelompok control. (
Effendy, 2014)
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Suatu anemia berat yang kronis (anemia gravis)


dikatakan bila konsentrasi Hb ≤ 7 g/dL selama 3 bulan berturut-
turut atau lebih. Diagnosis anemia ditegakkan berdasarkan
temuan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium yang
dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis. Faktor
resiko anemia gravis seperti jenis kelamin, penghasilan (status
ekonomi), pendidikan, usia, gaya hidup, keturunan. Anemia
gravis juga dapat disebabkan oleh komplikasi yang sering
terjadi pada penderita keganasan (kanker), Infeksi cacing pada
manusia baik oleh cacing gelang, cacing cambuk maupun
cacing tambang dapat menyebabkan perdarahan yang menahun
yang berakibat menurunnya cadangan besi tubuh dan akhirnya
menyebabkan timbulnya anemia defisiensi besi. Pada penyakit
malaria, anemia atau penurunan kadar hemoglobin darah
sampai dibawah normal disebabkan penghancuran sel darah
merah yang berlebihan oleh parasit malaria. Thalassemia
merupakan penyakit herediter yang disebabkan menurunnya
kecepatan sintesis rantai alfa atau beta pada hemoglobin, dan
kekurangan zat besi. Beberapa pengobatan medis anemia
dengan berbagai indikasi seperti, erythropoiesis-stimulating
agents (ESAs), Epoetin alfa, Fresh Frozen Plasma (FFP),
cryoprecipitate, produksi besi, transfusi, transplantasi sumsum
tulang dan stem sel, terapi nutrisi dan pertimbangan pola
makan, dan pembatasan aktivitas. Sebuah studi menyimpulkan
bahwa akupunktur dapat meningkatkan Ferritin Serum dan
mengurangi TIBC (Total Iron Binding Capacity).
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.T
Usia : 55 Tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat : Jati banjar ploso
Agama : Islam
Suku : Jawa
Warga negara : WNI
Bahasa : Indonesia
Pekerjaan : Petani
Status pernikahan : Menikah
No. RM : 052777
Tanggal pemeriksaan : 19 Maret 2019

II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama : Pucat dan Lemas
B. Riwayat Penyakit sekarang :
Pasien merupakan pasien poli Spesialis penyakit dalam , pasien
datang berssma istrinya, istrinya mengatakan bahwa suaminya
terlihat pucat. Selain itu pasien mengeluhkan lemas dan cepat
lelah, keluhan sudah dirasakan sejak 3 bulan yang lalu. Pasien juga
mengeluhkan mudah mengantuk, dan disertai dengan penurunan
nafsu makan dan penurunan berat badan, sehingga pasien
merasakan mual dan nyeri ulu hati . Keluhan tersebut memberat
selama 10 hari terakhir.
Sejak 10 hari terakhir pasien mengeluhkan sesak nafas setelah
melakukan aktifitas ringan . sesak nafas berkurang apabila
istirahat, duduk dan berbaring. Sesak nafas tidak disertai dengan
suara mengi dan tidak dipengaruhi oleh cuaca (iklim) dan debu.
pasien tidur menggunakan dua bantal.Pasien juga mengeluhkan
dada berdebar . BAB pasien dalam batas normal , BAB cair - ,
BAB hitam - , riwayat memiliki hemmoroid - . BAK dalam batas
normal . namun pasien mengatakan konsumsi air putih sangat
kurang . konsumsi jamu dan obat-obatan - .

C. Riwayat Penyakit Dahulu :


Selama 3 bulan terakhir pasien merasakan mata berkunang –
kunang, pusing (sempoyongan), Riwayat pusing berputar -, pusing
tidak dipengaruhin oleh perubahan posisi, gangguan pendengaran-.
pasien belum pernah ke dokter untuk berobat.

D. Riwayat Keluarga :
Pada keluarga pasien, tidak ada yang mengalami keluhan yang
dirasakan oleh pasien. Riwayat kencing manis disangkal , riwayat
darah tinggi disangkal –

E. Riwayat Sosial :
Pasien sudah menikah dan memiliki 5 orang anak. Pasien bekerja
sebagai petani, saat bekerja pasien tidak pernah memakai sepatu
boots namun memakai sandal.

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalis
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos Mentis ( GCS : 456)
 Vital sign
Tekanan darah : 110/70
Nadi : 102x/mnt
Pernafasan :24x/mnt
Suhu :37,3
 Status Gizi
TB : 155 cm
BB : 50 kg
B. Status Lokalis
 Kulit : kulit sawo matang, purpura -; echymosis -
 Kepala : simetris , rambut hitam
 Mata : konjungtiva anemis +/+ ; konjungtiva
ikterik -/- ; edema palpebral -/-; pupil
isokor
 Hidung : deviasi septum ; discharge - ;nafas
cuping hidung
 Mulut : Bibir pecah-pecah; lidah kotor -;
stomatitis -,angular cheilitis -; caries –
; perdarahan gusi ; faring hiperemis-
 Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
dan kelenjar limfe

 Thorax :
a. Jantung
Inspeksi : simetris , ictus cordis tidak tampak
Palpasi : kuat angkat
Perkusi : Batas atas kiri ICS II LMC sinistra
Batas atas kanan : ICS II LPS dextra
Batas bawah kiri : ICS V LMC sinistra
Batas bawah kanan : ICS IV LPS dexra

b. Paru :
Inspeksi : dinding dada simetris , statis dan
dinamis, retraksi tidak ada, gerak dada
tertinggal –

Palpasi : simetris, stem fremitus kanan dan kiri

Perkusi : sonor kedua lapang paru

Auskultasi : vesikuler pada kedua lapang paru ,


suara nafas tambahan tidak di dapatkan

 Abdomen :
Inspeksi : simetris, venaektasi - , sikatrik - ,
masa-
Auskultasi : bising Usus dalam batas Normal

Palpasi :nyeri tekan -, hepar dan lien tidak


teraba , defans muscular-, massa-

perkusi : timpani +

 Extremitas : akral hangat , CRT <2 detik,


edema -/-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium tanggal 19 maret 2019
JENIS HASIL NILAI NORMAL
PEMERIKSAAN
Hemoglobin 6,3 Pria: 13-16 gr/dL
Wanita : 12-15
gr/dL

Lekosit 14.000 4.000-10.000 sel/


mm

Limpho 7 17.0-48.0%

Midel 6 4.0-10.0%

Granulosit 86 43.0-76.0%

Trombosit 328.000 150.000-400.000


sel/mm

Eritrosit 2,9 4,0-5.0 juta/mm

MCV 88 80.0-97.0%
MCH 24 26,5-33,5%

MCHC 27 31.5-35.0%

Golongan darah B A/B/O/AB

Faal hati
SGOT 36 21-37U/L
SGPT 47 22-41 U/L

Faal Ginjal
Creatinin 1.4 0.3-1.3 mg/dL
BUN 26 8-23 mg /dL

GDA 140 70-160 mg/ dL

V. DIAGNOSA KERJA
1. Anemia Gravis ec infeksi cacing
VI. PLANNING
1. Terapi :
Tindakan :
O2 Nasal Canul 3 Lpm
IVFD NaCL 0,9% 7 tpm
Transfusi PRC 2 kolf / hari
Injeksi :
Omeprazole 3x1 ampul (iv)
Oral :
Sulfas ferosus 3x1
Vitamin C 3x100 mg
Albendazole 400 mg single dose
Sucralfat syr 3x CI
Edukasi :

1. diet 1500 kkal

2. pasien diberikan edukasi banyak mengkonsumsi zat besi, zat


besi berasal dari hewan dan tumbuhan. Seperti daging
merah, daging sapi tanpa lemak ,daging organ (hati dan
jerohan ayam) ikan , kerang , udan dan sarden, kacang
polong, bayam dan lobak hijau.
3. Pasien juga di berikan edukasi mengkonsumsi vitamin c
seperti tomat, jus jeruk .
4. Pasien diberikan edukasi juga bahwa terdapat beberapa
makanan yang menghambat penyerapan zat besi seperti teh,
kopi, kuning telur. Jadi pasien diminta agar untuk
menghindari saat makan makanan yang mengandung zat
besi.
5. Pasien diberikan edukasi saat bekerja diharapkan memakai
sepatu boots .
6. Pasien di edukasi tanda dan gejala kekurangan darah atau
disebut anemia , apabila mengalami hal yang berulang
diharapkan dapat ke tempat rumah sakit atau fasilitas
pelayanan terdekat .
VII. RENCANA DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan Blood smear
2. Pemeriksaan SI dan TIBC
VIII. PROGNOSIS
a. Qua ad vitam : dubia ad bonam
b. Qua ad sinam : dubia ad bonam
c. Qua ad fungsionam : dubia ad bonam
IX. FOLLOW UP
Tanggal S O A P
Pemeriksaan
20 maret Pucat (+) KU : Anemia -IVFD
2019 Lemas (+) cukup gravis et NaCL 0.9%
Pusing (-) GCS :456 causa 7 tpm
Mata TD : infeksi - injeksi
berkunang- 120/80 cacing omeprazole
kunang (-) HR 2x1 amp
Dada :100x/mnt - fe tab 1x1
berdebar (-) RR: 22 (PO)
Mual (+) x/mnt -albendazol
Muntah (-) 400 mg
BAB dan Single Dose
BAK dalam (PO)
batas - sucralfat
normal syr 3 x CI

Hasil Laboratorium
20 Maret 2019
JENIS HASIL NILAI NORMAL
PEMERIKSAAN
Hemoglobin 9.0 Pria: 13-16 gr/dL
Wanita : 12-15
gr/dL

Lekosit 12.000 4.000-10.000 sel/


mm

Limpho 7 17.0-48.0%

Midel 6 4.0-10.0%

Granulosit 86 43.0-76.0%

Trombosit 328.000 150.000-400.000


sel/mm

Eritrosit 2,9 4,0-5.0 juta/mm

MCV 88 80.0-97.0%

MCH 26 26,5-33,5%

MCHC 29 31.5-35.0%

Golongan darah B A/B/O/AB

Faal hati
SGOT 36 21-37U/L
SGPT 47 22-41 U/L
Faal Ginjal
Creatinin 1.7 0.3-1.3 mg/dL
BUN 26 8-23 mg /dL

GDA 140 70-160 mg/ dL


DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S., 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.p.75,
185-188, 249-254

Anand I, McMurray JJV, Whitmore J, et al., 2004. Anemia and its relationship to clinical
outcome in heart failure. Circulation, 110, pp.149

American Red Cross. 2017. Blood Facts dan Statistics. Diakses pada situs
http://www.redcrossblood.org/learn-about-blood/blood-facts-dan-statistics tanggal
30 maret 2019

Bakta, I. M., Suega, K., Dharmayuda, T. G., 2014. Anemia Defisiensi Besi. Dalam:
Sudoyo, A. W., penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6 Jilid II.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 1127-1137

Dzieczkowski J.S., dan Danerson K.C. 2012. Tranfusion Biology dan Therapy in Longo
D.L., Kasper D.L., Jameson J.L., Fauci A.S., Hauser S.L., dan Loscalzo J (Eds),
Harrison's 18th Edition Principles Of Internal Medicine, The McGraw-Hill
Companies Inc, United States of America, p. 951-957.

Effendy, S. 2014. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi VI. Jakarta: Interna publishing.

Gallagher ML. 2008. The Nutrients and Their Metabolism. In : Mahan LK, Escott-Stump
S. Krause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy. 12th edition. Philadelphia:
Saunders. 


Gibson. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New York. Oxford University Press.
Goodman & Gillman. 2007. Dasar Farmakologis & Terapi edisi 10. Jakarta: EGC.

Goddard, AF., James, MW., McIntyre, AS., Scott, BB. 2011. Guidelines for the
management of iron deficiency anaemia. Gut 60:1309-1316.

Global nutrition targets 2025: anaemia policy brief. Geneva: World Health Organization;
2014 WHO/NMH/NHD/14.4;
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/148556/1/WHO_NMH_
NHD_14.4_eng.pdf?ua=1, di akses 10 mei 2019).

Guyton AC dan Hall JE. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 12. Sel-Sel Darah,
Imunitas, dan Pembekuan Darah. Jakarta. Elsevier Inc; 445-455.

Hoffbrdan A.V dan Moss P.A.H. 2013. Kapita Selekta Hematologi (Essential
Haematology) edisi 6. Trombosit, Koagulasi, dan Hemostasis. Jakarta. EGC;
294-296

Kathleen B. Gillespie, Stephen H dan Bamford, 2008. At a Glance Mikrobiologi Medis


dan Infeksi, Edisi Ketiga. Jakarta:Penerbitan Erlangga

Kaushansky, K., Lichtman, M.A., Beutler, E., Seligsohn, U., Kipps, T. and Prchal, J.
2010 Williams Hematology, eighth edition. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill
Companies

Killip S, Bennett JM, dan Chambers MD. Iron Deficiency Anemia. Am Fam Physician.
2007 Mar 1;75(5):671-678.

Muller, M, Ceisen G, Kai Z.T, dan Seifried R, 2015. Transfusion of Packed red cells
indications, triggers dan Adverse events, Dtsch Arztebl Int. 2015 Jul; 112(29-30):
507-518.

Pediatric hematology oncology Journal, 2012, Pediatric


Hematology/Oncology Transfusion Policy Guidelines, diakses pada situs
residency.pediatrics.med.ufl.edu/files/2012/03/transfusion.pdf tanggal 16 Juni
2017.

Surgenor S.D., hampers M.J., dan Corwin H.L. 2001. Optimizing Red Blood Cell
Transfusion Practice in Vincent J.L (Ed), Yearbook of Intensive Care dan
Emergency Medicine, Springer, p: 309-315

Sherwood L, dkk. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, edisi 6. Jakarta : EGC, 2011.

Wong M.P., Droubatchevskaia N., Chipperfield K.M., Wadsworth L.D., dan Ferguson
D.J. Guidelines for Frozen Plasma Tranfusion. BC Medical Journal, 2007, 49(6):
311-319.

World Health Organization. 2017. The Clinical Use of Blood, (online)


http://www.who.int/bloodsafety/clinical_use/en/Hdanbook_EN.pdf. Diakses pada
tanggal 30 Maret 2019

World Health Organization. 2016. The Clinical Use Of Blood Hdanbook, WHO, Geneva,
p.1-219.

Young NS. Pathophysiologic mechanisms in acquired aplastic anemia. Hematology pAm


Soc Hematol Educ Program. 2006;72-7.

Anda mungkin juga menyukai