Anda di halaman 1dari 7

Keji beling atau nama ilmiahnya Strobilanthes crispus atau Saricocalix crispus adalah

tumbuhan dari famili Acanthaceae. Keji beling dapat ditemukan di daerah tepi sungai
dan tanah kosong dan lebih mirip seperti semak-semak. Keji beling memiliki ciri-ciri
tinggi maksimum 0,5-1,0 meter, daunnya lonjong-lanset, permukaannya kasar dan
ditumbuhi bulu-bulu pendek, daun berwarna hijau gelap dan bunga berwarna kuning.
Tumbuhan ini asli Madagaskar dan Indonesia.

Kandungan Keji Beling


Berbagai kelompok fitokimia dan konstituen telah diidentifikasi terkandung dalam keji
beling. Keji beling mengandung zat gizi vitamin (C, B1 dan B2) dan juga mineral yang
tinggi konten termasuk potasium, kalsium, natrium, besi dan fosfor. Selain itu juga
mengandung senyawa polifenol, catechin, alkaloid, kafein, tanin, glikosida dari
verbascoside dan 7 asam fenolat (p-hidroksi benzoat, p-coumeric, caffeic, vanilic,
gentisic, ferulat dansyringic). Selain itu juga mengandung stigmasterol dan -sitosterol
serta flavonoid. Keji beling mengandung senyawa volatil yang memberikan aroma khas.
Senyawa volatil utama yang diidentifikasitermasuk: fitol (46,01%), alpha cadinol (3,47%),
tau-murolol (2,49%), iedol (1.81%) dan eugenol(1,08%).
Khasiat dan manfaat

Di Malaysia dan Indonesia, keji beling ini digunakan untuk anti diabetes, diuretik,
antisipilis, antioksidan, dan antimikroba, dan laksatif. Umunya diseduh untuk dijadikan
teh. Zat kalium dari tumbuhan ini menyebabkan tumbuhan ini menyebabkan diuretik,
sehingga dapat melarutkan batu yang terbentuk dari garam kalsium oksalat pada
kantung empedu, kantung kencing, dan ginjal. Kecibeling juga diketahui mengandung
polifenol, katekin, kafein, tanin, dan vitamin. Adanya kandungan asam silikat
menyebabkan penderita gastritis dilarang meminum rebusan keji beling. Selain itu, dapat
juga menyembuhkan leukimia dan mencegah AIDS.
Berikut beberapa manfaat keji beling khusunya bagi kesehatan, yaitu:
1. Anti-diabetes dan menyembuhkan luka: Ekstrak air keji beling juga diuji
sebagai agen anti-diabetes pada tikus diabetes yang diinduksi. Ekstrak
daun sebesar 5% dan konsentrasi 7,5% mampu menurunkan kadar gula
darah sekaligus meningkatkan kadar total antioksidan (kadar total
antioksidan). Tingginya kadar total antioksidan dalam darah sangat

penting untuk melindungi tubuh dari radikal bebas. Dengan demikian,


ekstrak ini tidak hanya cocok untuk mereka yang sakit, tetapi juga untuk
orang-orang yang sehat.Studi lain menunjukkan bahwa ekstrak air teh keji
beling mengurangi glukosa darah pada tikus hyperglycaemic. Antioksidan
dan polifenol konten yang hadir dalam ekstrak mungkin berkontribusi
terhadap sifat antihyperglycemic dan antilipidemic.Dalam diabetes yang
diinduksi streptozotocin, kenaikan glukosa darah disertai dengan
peningkatan serum aspartat aminotransferase (AST), SGPT (ALT),
alkaline phosphatase (ALP) dan kreatinin. Setelah pemberian tikus
diabetes dengan jus keji beling selama 30 hari, ada penurunan yang
signifikan dalam AST, ALT, ALP dan kreatinin. Kesimpulannya, jus keji
beling memiliki nilai gizi yang tinggi dan tidak beracun. Hal ini
menunjukkan potensi sebagai minuman antidiabetes
dan suplemennutraceutical tambahan untuk penyembuhan luka pasien
diabetes.
2. Antioksidan, Dari studi oleh Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
UPM, Pecah Beling daun memiliki kandungan yang sangat tinggi mineral
seperti kalium (51%), kalsium (24%), natrium (24%), besi (1%) dan fosfor
(1%). Daun juga mengandung vitamin yang cukup tinggi C, B1, B2, dan
banyak zat lain seperti catechin dan tanin. Semua konten ini berkontribusi
total tingkat antioksidan yang sangat tinggi (aktivitas antioksidan total)
dibandingkan dengan yerbamate dan vitamin E (alfa-tokoferol). Konsumsi
ekstraknya dalam harian (5 g / hari) sebagai tehherbal dapat memberikan
kontribusi untuk nutrisi tambahan dan antioksidan yang dibutuhkan tubuh
untuk meningkatkan sistem pertahanan, terutama terhadap timbulnya
penyakit degeneratif.
3. Anti-kanker, Untuk kanker, studi pra-klinis telah dilakukan untuk
mengevaluasi efektivitas ekstrak keji beling di vitro (kultur jaringan) dan in
vivo (studi hewan). Untuk studi kultur jaringan, ekstrak keji beling efektif
menghambat pertumbuhan sel kanker usus besar, kanker hati dan kanker
payudara. Selain itu, ekstrak keji beling juga mampu menekan gen
penyebab kanker, sehingga mengurangi risiko dan tingkat keparahan
kanker. Untuk penelitian hewan, ekstrak air dari keji beling pada
konsentrasi tertentu dapat mengurangi keparahan kanker hati pada hati
tikus. Phytosterol (sterol dari tumbuhan) telah berhasil diisolasi dari daun.
Senyawa ini telah terbukti menghambat pertumbuhan sel kanker seperti
dijelaskan di atas. Senyawa ini juga dikatakan dapat menurunkan

kadar kolesterol darah karena fitosterol akan bersaing dengan kolesterol


dalam usus, sehingga menyebabkan kolesterol tidak diserap.
4. Diuretik. Daun mengandung kadar kalium tinggi, asam silikat, kalsium,
natrium, dan beberapa senyawa lain, seperti saponim, flavonoid, glikosida,
sterol, kelas terpen, dan lemak. Kalium adalah diuretik kuat dan untuk
membubarkan batu garam yang terbentuk dari kalsium oksalat dan
kalsium karbonat dalam kandung empedu, kandung kemih dan ginjal.
Asam silikat dapat merangsang perut sehingga orang sakit perut (gastritis)
tidak bisa menggunakan tanaman obat ini. Hasil lain yang menarik adalah
teh Pecah Beling juga mampu menghambat pertumbuhan Streptococcus
sobrinus dan Streptococcus mutans. Bakteri ini merupakan bakteri yang
menyebabkan karies gigi.
5. Manfaat lain: menormalkan hormon, laxatif, antivirus dan mikroba.

Salah satu syarat agar suatu calon obat dapat dipakai dalam
praktek kedokteran dan pelayanan kesehatan formal
(fitofarmaka) adalah jika bahan baku tersebut terbukti aman
dan memberikan manfaat klinik. Untuk membuktikan
keamanan dan manfaat ini, maka telah dikembangkan
perangkat pengujian secara ilmiah yang mencakup :
1.
Uji farmakologi (pembuktian efek atau pengaruh obat),
2.
Uji toksikologi (pembuktian syarat keamanan obat secara
formal), dan
3.
Uji klinik (manfaat pencegahan dan penyembuhan
penyakit atau gejala penyakit).
Pengujian bahan obat dimaksud agar obat-obat yang dipakai
dalam praktek klinik pada manusia dapat dipertanggung
jawabkan khasiat, manfaat, serta keamanannya secara ilmiah.

Uji Farmakologi
Uji farmakologi merupakan salah satu persyaratan uji untuk
calon obat. Dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek
farmakologi) dan profil farmakokinetik (meliputi absorpsi,
distribusi, metabolisme dan eliminasi obat) calon obat. Hewan

yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus,


kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa uji
menggunakan primata, hewan-hewan ini sangat berjasa bagi
pengembangan obat.
Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah
dapat diteruskan dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi
bekerja sama dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan
formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang
akan diuji pada manusia.
Di samping uji pada hewan, untuk mengurangi penggunaan
hewan percobaan telah dikembangkan pula berbagai uji in
vitro untuk menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas
enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba
pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan
lain-lain untuk menggantikan uji khasiat pada hewan tetapi
belum semua uji dapat dilakukan secara in vitro.
Uji Toksisitas
Uji toksisitas akut sangat penting untuk mengukur dan
mengevaluasi karakteristik toksik dari suatu bahan kimia. Uji ini
dapat menyediakan informasi tentang bahaya kesehatan
manusia yang berasal dari bahan kimia yang terpapar dalam
tubuh pada waktu pendek melalui jalur oral. Data uji akut juga
dapat menjadi dasar klasifikasi dan pelabelan suatu bahan
kimia.
Toksisitas akut didefinisikan sebagai kejadian keracunan akibat
pemaparan bahan toksik dalam waktu singkat, yang biasanya
dihitung dengan menggunakan nilai LC 50 atau LD50. Nilai ini
didapatkan melalui proses statistik dan berfungsi mengukur
angka relatif toksisitas akut bahan kimia.
Toksisitas akut dari bahan kimia lingkungan dapat ditetapkan
secara eksperimen menggunakan spesies tertentu seperti
mamalia, bangsa unggas, ikan, hewan invertebrata, tumbuhan
vaskuler dan alga. Uji toksisitas akut dapat menggunakan
beberapa hewan mamalia, namun yang dianjurkan untuk uji
LD50 diantaranya tikus, mencit dan kelinci. Di samping
pengamatan
terhadap
gejala
klinis
dan
uji
LD50 , bisa dilakukan juga pengujian terhadap organ gastrium,

duodenum
dan
ginjal untuk
melihat
gambaran
histopatologinya. Gambaran histopatologi ini bisa diambil dari
organ hewan uji kemudian didokumentasikan menggunakan
kamera mikroskop.

Uji toksisitas kronis diperlukan jika uji toksisitas akut tidak


menghasilkan efek, maka bukan berarti toksikan tidak bersifat
toksik. Oleh karena itu perlu uji kronis.Percobaan ini dilakukan
dengan memberikan dosis tertentu bahan kimia terhadap
hewan percobaan melalui penelanan atau inhalasi terhadap
bahan kimia yang sedang diuji selama masa hidupnya. Untuk
mencit dapat memakan waktu hingga 2 tahun sedangkan untuk
tikus sedikit lebih singkat.
Maksud dari uji kronik (seumur hidup), untuk menentukan
apakah bahan kimia dapat menimbulkan setiap efek kesehatan
yang
mungkin
memerlukan
waktu
yang
lama untuk
menimbulkan suatu efek seperti kanker, atau paparan jangka
panjang terhadap bahan kimia menimbulkan efek kesehatan
pada organ seperti ginjal.
Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan
aman pada hewan percobaan maka selanjutnya diuji pada
manusia (uji klinik). Uji pada manusia harus diteliti dulu
kelayakannya oleh komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki.
Uji Klinik
Setelah praklinis selesai, kemudian diujikan kepada manusia.
Dari yang sakit kemudian yang sehat. Biayanya besar, sampai
miliaran rupiah. Sehingga, biasanya harus kerja sama dengan
industri. Dalam uji klinis, obat alam tadi dibandingkan dengan
placebo yaitu senyawa tanpa efek, misalnya isi serbuk atau
tepung. Sama-sama berbentuk kapsul, satu berisi obat dan
satunya isi serbuk. Orang yang diuji tidak boleh tahu.
Pengujinya kadang juga tidak tahu. Hal itu supaya tidak bias
cara melihat efek.

Uji klinik pada manusia baru dapat dilakukan jika syarat


keamanan diperoleh dari pengujian toksisitas pada hewan serta
syarat mutu sediaan memungkinkan untuk pemakaian pada
manusia. Pengujian klinik calon obat pada manusia terbagi
dalam beberapa fase yaitu :
Fase I :
Dilakukan pada sukarela sehat untuk melihat apakah efek
farmakologi, sifat farmakokinetik yang diamati pada hewan
juga terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan
dosis dengan efek yang ditimbulkan dan profil farmakokinetik
obat pada manusia.
Fase II :
Dilakukan pada kelompok pasien secara terbatas (100-200
pasien) untuk melihat kemungkinan penyembuhan dan
pencegahan penyakit. Pada fase ini rancangan penelitian masih
dilakukan tanpa kelompok pembanding (kontrol), sehingga
belum ada kepastian bukti manfaat terapetik.
Fase III :
Dilakukan pada pasien dengan rancangan uji klinik yang
memadai, memakai kontrol sehingga didapat kepastian ada
tidaknya manfaat terapetik.
Fase IV :
Pemantauan pasca pemasaran (surveilan post marketing)
untuk melihat kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak
terkendali pada waktu pengujian pra klinik atauklinik fase 1 , 2 ,
3.
http://healthcare-pharmacist.blogspot.co.id/2011/06/pengembangan-dan-pengujianfitofarmaka.html

KOMPAS-- Pada buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa), telah diteliti adanya
kandungan ilmiah yang berkhasiat sebagai antidiabetes, antioksidan, antiperadangan, dan
efeknya terhadap sel kanker. Sementara pada daun sirsak diketahui memiliki efek
antibakteri, antiviral, dan antikanker.
Namun, umumnya penelitian masih dilakukan pada percobaan in vitroatau in vivo pada
hewan coba. Hasil percobaan secara biomedik inilah yang seringkali dijadikan dasar bahwa
obat herbal dapat menyembuhkan berbagai penyakit.

"Padahal untuk dapat digunakan dalam pengobatan, masih diperlukan serangkaian tahapan
uji klinik untuk memastikan tingkat keamanan, dosis, cara penggunaan, efikasi, monitoring
efek samping dan interaksinya dengan senyawa obat lainnya," katanya.
Menurut Maksum, obat-obatan herbal biasanya baru memberikan hasil dalam jangka
panjang, karena itu obat tersebut sebaiknya hanya dipakai untuk menjaga kesehatan atau
pemulihan penyakit, sedangkan untuk penyembuhan penyakit dibutuhkan obat resep dokter.

Anda mungkin juga menyukai