PENDAHULUAN
Penyakit kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus Hansen
merupakan penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun yang
lalu. Kata lepra merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath, yang sebenarnya
mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal dengan istilah kusta
yang berasal dari bahasa India, kushtha. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen,
sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen
pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.
Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit
dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang bersifat
intraseluler obligat. Penyakit ini berhubungan dengan lingkungan yang kurang bersih,
tingkat kemiskinan dan daerah pedesaan. Penyakit ini tidak diturunkan pada bayi
yang dikandung oleh ibu yang penderita kusta.
Kusta mengenai saraf perifer superfisial, kulit, membran mukosa dari saluran
napas atas, ruang anterior mata, dan testis. Area-area tersebut merupakan bagian yang
dingin dari tubuh. Pengobatan pada penyakit kusta butuh waktu panjang 2-3 tahun
sehingga memerlukan kepatuhan pasien meminum obat untuk mencegah resistensi
obat dengan memakai regimen pengobatan MDT (Multi Drug Treatment). Kegunaan
MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi
ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada
pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta
dalam jaringan.
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. Amri
Umur
: 31 Tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
Suku/ Bangsa
: Aceh / Indonesia
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Petani
- Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan demam sejak 2 hari
yang lalu. Demam terjadi mendadak dan dialami sepanjang hari. Keluhan lain
berupa nyeri kepala berdenyut, timbul ruam yang semakin banyak dan terasa nyeri di
bagian tangan dan kaki. Pasien merasa kesemutan pada kedua tangan. Pasien
mengeluhkan nyeri ulu hati tanpa mual atau muntah. Tidak ada keluhan nyeri dada,
sesak napas, batuk ataupun jantung berdebar-debar. Keluhan buang air besar (BAB)
tidak ada. Keluhan buang air kecil (BAK) seperti nyeri saat BAK tidak ada, keluhan
rasa tidak puas saat BAK tidak ada.
- Riwayat Penyakit Dahulu : Morbus hansen, hipertensi disangkal, diabetes melitus
disangkal, alergi pada obat dan makanan disangkal.
- Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Atopi
Asma
: disangkal pasien
: disangkal pasien
Alergi debu
: disangkal pasien
Riwayat Kebiasaan
: merokok
Riwayat Sosial
: status
: tidak ada
ekonomi rendah
STATUS GENERALIS
Keadaan Umum
Kesan sakit
Kesadaran
: Compos mentis
Berat Badan
: 75 kg
Tinggi Badan
: 170 cm
Status Gizi
Keadaan sirkulasi
Tekanan Darah
: 110/80 mmHg
Nadi
Respirasi
: 20 x/menit
Suhu
: 38,1C
Pemeriksaan fisik
Kepala
: Normosefali
Mata
Telinga
Hidung
Bibir
Lidah
Leher
Ketiak
Thorax
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Paru
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Ekstremitas
Bentuk
normal.
Edema
pretibial,
palmar
STATUS DERMATOLOGIS
Regio facialis
Diagnosis Kerja :
Observasi febris e.c 1. Tuberkulosis
2. Demam dengue
3. Infeksi sekunder pada Morbus Hansen
Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium:
1. Darah rutin
Hemoglobulin : 13,4 (n)
Hematokrit
: 42, 3 (n)
MCV
: 86 (n)
MCH
: 27,3 (n)
Leukosit
:19,2 (meningkat)
Trombosit
: 276 (normal)
KGDS
: 100 mg/dl
Golongan darah: O
2. Analisa Urin:
8
Makroskopis:
Kekeruhan : Jernih
Warna: Kuning muda
Berat jenis: 1.010
pH: 6.5
Mikroskopis:
Eritrosit: 0-2
Leukosit : 0-2
Epitel : 2-5
Kristal Ca Oksalat : 3
Cast : negatif
3. Imunohistokimia
Tubex test : negatif
Dengue IgG dan IgM: negatif
4. Pemeriksaan Basil Tahan Asam: ditemukan BTA positif dua (++)
Pasien kusta secara rutin perlu menjaga kebersihan diri.Untuk menjaga nutrisi dan
kelembapan yang adekuat pada kulit dapat diberi pelembab topikal. Tangan atau kaki
yang anestetik dapat direndam setiap hari selama 10-15 menit. Lesi kalus atau kulit
keras di sekitar ulkus dapat diabrasi, sebaiknya oleh tenaga medis dengan bilah
skapel.
10
2. Hindari tekanan yang berlebihan pada regio lesi, misalnya dengan elevasi tungkai
saat istirahat atau mencegah berjalan kaki dalam jangka waktu yang lama.
3. Penyakit ini mengganggu saraf, sehingga pasien akan merasakan mati rasa, oleh
karena itu disarankan agar pasien menghindari trauma agar tidak memungkinkan
terjadinya infeksi lain, misalnya dengan cara :
-
Rajin membersihkan sepatu dari kerikil atau batu yang bisa masuk ke
dalamnya.
Prognosis
Quad ad vitam
: ad bonam
FOLLOW UP PASIEN
Tanggal
11
24/11/16
KU: Baik
Obs. Febris +
Terapi:
S: CM
Morbus
- IVFD RL 20 gtt/i
Hansen
RR: 26x/i
HR: 78x/i
-cetirizine 10 mg tab
T: 370C
2x1
-PCT 500 mg tab 3x1
Konsul Sp.KK
25/11/16
- Nyeri kepala
- BAB & BAK (+) normal
Nyeri perut (-) mual (-)
KU: Baik
Obs. Febris +
- IVFD RL 20 gtt/i
S: CM
Morbus
TD: 110/70
Hansen
RR: 18x/i
-cetirizine 10 mg tab
HR: 72x/i
2x1
T: 36,90C
26/11/16
Reaksi kusta
5mg 4x1
- IVFD RL 20 gtt/i
RR: 20x/i
+ Morbus
HR: 78x/i
Hansen tipe
12
T: 36,50C
(+)
lepromatosa
-cetirizine 10 mg tab
2x1
-PCT 500 mg tab 3x1
-Prednison 5 mg tab
27/11/16
Reaksi kusta
4x1
-Cefadroxil 500 mg
RR: 18x/i
+ Morbus
tab 2x1
HR: 78x/i
Hansen tipe
T: 36,70C
lepromatosa
-Prednison 5 mg tab
4x1
-Omeprazol 40 mg tab
2x1
Pasien boleh pulang
dan berobat jalan
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kusta atau lepra adalah penyakit infeksi granulomatous kronik progresif yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf
13
perifer sebagai afinitas pertama, namun dapat juga terjadi pada kulit dan mukosa
traktus respiratorius bagian atas, dan organ-organ lain kecuali susunan saraf pusat.
2.2 Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat
intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil Gram positif
dengan ukuran 3 8 m x 0,5 m, bersifat tahan asam dan alkohol. Kuman ini
memunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang lambat di sel
Schwann menstimulasi cell-mediated immune response, yang menyebabkan reaksi
inflamasi kronik, sehingga terjadi pembengkakkan di perineurium, dapat ditemukan
iskemia, fibrosis, dan kematian akson.
Mycobacterium leprae dapat bereproduksi maksimal pada suhu 27C 30C.
Mikroba ini berkembang biak dengan baik pada jaringan dengan suhu rendah, seperti
kulit, sistem saraf kutan, saluran pernapasan atas dan testis.
2.3 Epidemiologi
Penyakit kusta banyak ditemukan di negara berkembang seperti India, China,
Myanmar, Indonesia, Brazil, dan Nigeria. Setiap tahunnya terdapat 600.000 kasus
baru dengan total sebanyak 1,5 hingga 8 juta kasus diseluruh dunia. Indonesia kasus
kusta terjadi 7 sampai 9 setiap 100.000 penduduk. Provinsi dengan penderita kusta
kasus baru terbanyak pada tahun 2013 adalah Jawa Timur (4.132 jiwa), Jawa Barat
(2.180 jiwa), Jawa tengah (1.765 jiwa), Papua (1.180 jiwa), Sulawesi Selatan (1.172
jiwa), Papua Barat (733 jiwa) dan Aceh (575 jiwa). Kelompok umur terbanyak adalah
25-35 tahun dengan frekuensi yang sama pada pria dan wanita.
Faktor- faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit:
14
(-), tes
(+), tes
lepromin (-).
BL (borderline lepromatous) : makula infiltrat merah mengkilat, tidak teratur, batas
tidak tegas, pembengkakan saraf. Pemeriksaan bakteriologi ditemukan banyak basil,
tes lepromin (-).
LL (lepromatosa polar, bentuk yang stabil) : infiltrate difus berupa nodula simetri,
permukaan mengkilat, saraf terasa sakit, anestesi. Pemeriksaan bakteriologi
ditemukan (+) kuat, tes lepromin (-).
15
yang kecil dan banyak, dan/ atau neuritis. Gejala klinis reaksi reversal yaitu sebagian
atau seluruh lesi yang telah ada menjadi lebih banyak dan aktif dalam waktu singkat.
Lesi hipopigmentasi menjadi lebih eritema, lesi eritema menjadi semakin eritematosa,
lesi makula menjadi infiltrat, dan lesi lama bertambah luas. Umumnya gejala
konstitusi lebih ringan daripada Erythema Nodosum Leprosum, (ENL).
Reaksi tipe 2 ENL terjadi pada sebagian individu dengan LL dan BL, biasanya
timbul setelah awal pemberian terapi antikusta, umumnya dalam 2 tahun pertama
terapi. Gejala konstitusional yang muncul berupa demam, menggigil, nyeri sendi,
mual, sakit saraf, dan otot dari ringan sampai berat. Pada reaksi tipe 2 perubahan
efloresensinya berupa nodus eritema dan nyeri dengan tempat predileksi lengan dan
tungkai. Pada kasus berat dapat menyerang sistemik, sehingga menyebabkan
iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis akut dengan
proteinuria. Bentuk hebat reaksi ENL disebut reaksi lucio. Ulserasi ini sulit membaik,
sering rekuren, dan distribusinya dapat general akibat infeksi bakteri sekunder dan
sepsis.
sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta, yakni : Lesi kulit yang
anestesi , penebalan saraf perifer, dan ditemukannya M. leprae sebagai bakteriologis
positif. Masa inkubasinya 2 40 tahun (rata-rata 5 7 tahun). Onset terjadinya
perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistem saraf perifer
dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat adanya gejala
17
klinis. Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa makula dan bula yang
bersifat sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi
otot, nyeri neuritik yang berat, dan kontraktur tangan dan kaki.
Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi
ke kulit muncul. Keluhan 90% pasien pertama kali biasanya adalah rasa baal,
hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan panas dengan dingin.
Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa (1) pembesaran saraf tepi yang
asimetris pada daun telinga, ulnar, tibia posterior, radial kutaneus, (2) Kerusakan
sensorik pada lesi kulit (3) Kelumpuhan nervus trunkus tanpa tanda inflamasi berupa
neuropati, kerusakan sensorik dan motorik, serta kontraktur (4) kerusakan sensorik
dengan pola Stocking-glove (4) Acral distal symmethric anesthesia (hilangnya sensasi
panas dan dingin, serta nyeri dan raba).
2.6.2 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaaan anastesia dengan jarum atau air panas.
2. Tes keringat dengan pensil tinta; pada lesi tinta akan hilang sedangkan pada
kulit normal ada bekas tinta (tes Gunawan).
3. Pemeriksaan bakteriologi untuk menentukan indeks bakteri. Kepadatan
BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan
dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai 6+.
0 : tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1+: Bila 1 10 BTA dalam 100 LP
2+: Bila 1 10 BTA dalam 10 LP
3+: Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
4+: Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP
5+: Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP
6+: Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP
18
19
3x1. Penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit. Hasil pengobatan di evaluasi
setelah 2 minggu, jika telah terjadi perbaikan maka dapat diturunkan dosis
kortikosteroid perlahan.
2.9 Prognosis
Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan
lebih singkat, prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus
kronik maka prognosis menjadi kurang baik.
BAB IV
KESIMPULAN
1. Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit dan
sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang bersifat
intraseluler obligat.
2. Kusta dapat disebabkan lingkungan yang kurang bersih, kemiskinan dan daerah
pedesaan. Penyakit ini tidak diturunkan pada bayi yang dikandung oleh ibu yang
penderita kusta.
3. Pengobatan kusta membutuhkan waktu panjang dan kepatuhan pasien untuk
mencegah resistensi terhadap obat.
21
4. Selama proses pengobatan dapat terjadi keadaan akut yang disebut reaksi kusta,
dimana dapat timbul gejala seperti demam, menggigil, mual, nyeri sendi, sakit
pada saraf dan otot. Kemudian pada kulit akan timbul eritema, nodul, yang jika
nodus pecah akan menimbulkan ulkus.
5. Pengobatan pada reaksi kusta adalah dengan memberikan analgetik, antipiretik,
imunosupresan dan tetap melanjutkan terapi kusta.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Paramita, D. A. 2013. Kusta tipe multibasiler dengan cacat tingkat 2. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan
2. Zulkifli. n.d. Penyakit kusta dan masalah yang ditimbulkannya
3. A. Kosasih, Wisnu, I M., Daili, E. S., Menaldi, S. L. Kusta. Dalam: Djuanda,
Adhi, dkk. (2007). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5 Cetakan Kedua.
Jakarta. Balai Penerbit FK UI
4. Lewis, Felisa S. Leprosy. http://emedicine.medscape.com/article/1104977overview, 21 Februari 2011
22
23