Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus Hansen
merupakan penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun yang
lalu. Kata lepra merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath, yang sebenarnya
mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal dengan istilah kusta
yang berasal dari bahasa India, kushtha. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen,
sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen
pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.
Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit
dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang bersifat
intraseluler obligat. Penyakit ini berhubungan dengan lingkungan yang kurang bersih,
tingkat kemiskinan dan daerah pedesaan. Penyakit ini tidak diturunkan pada bayi
yang dikandung oleh ibu yang penderita kusta.
Kusta mengenai saraf perifer superfisial, kulit, membran mukosa dari saluran
napas atas, ruang anterior mata, dan testis. Area-area tersebut merupakan bagian yang
dingin dari tubuh. Pengobatan pada penyakit kusta butuh waktu panjang 2-3 tahun
sehingga memerlukan kepatuhan pasien meminum obat untuk mencegah resistensi
obat dengan memakai regimen pengobatan MDT (Multi Drug Treatment). Kegunaan
MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi
ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada
pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta
dalam jaringan.

BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. Amri

Umur

: 31 Tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Serba Jaman Tunong

Suku/ Bangsa

: Aceh / Indonesia

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Petani

Tanggal Pemeriksaan : 23 November 2016


ANAMNESIS
-

Keluhan Utama : Demam

- Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan demam sejak 2 hari
yang lalu. Demam terjadi mendadak dan dialami sepanjang hari. Keluhan lain
berupa nyeri kepala berdenyut, timbul ruam yang semakin banyak dan terasa nyeri di
bagian tangan dan kaki. Pasien merasa kesemutan pada kedua tangan. Pasien
mengeluhkan nyeri ulu hati tanpa mual atau muntah. Tidak ada keluhan nyeri dada,
sesak napas, batuk ataupun jantung berdebar-debar. Keluhan buang air besar (BAB)

tidak ada. Keluhan buang air kecil (BAK) seperti nyeri saat BAK tidak ada, keluhan
rasa tidak puas saat BAK tidak ada.
- Riwayat Penyakit Dahulu : Morbus hansen, hipertensi disangkal, diabetes melitus
disangkal, alergi pada obat dan makanan disangkal.
- Riwayat Penyakit Keluarga

: diabetes melitus disangkal, alergi disangkal, hipertensi

disangkal, keluarga penderita morbus Hansen tidak ada.


-

Riwayat Atopi
Asma

: disangkal pasien

Bersin dipagi hari

: disangkal pasien

Alergi debu

: disangkal pasien

Riwayat Kebiasaan

: merokok

Riwayat Sosial

: status

Riwayat Penggunaan Obat

: tidak ada

ekonomi rendah

STATUS GENERALIS
Keadaan Umum
Kesan sakit

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos mentis

Berat Badan

: 75 kg

Tinggi Badan

: 170 cm

Status Gizi

: 25,9 obesitas derajat I


3

Keadaan sirkulasi
Tekanan Darah

: 110/80 mmHg

Nadi

: 78 x/menit kuat angkat dan reguler

Respirasi

: 20 x/menit

Suhu

: 38,1C

Pemeriksaan fisik
Kepala

: Normosefali

Mata

: Konjungtiva anemis (-) dextra dan sinistra


: Sklera ikterik: (-) dextra dan sinistra
:

Telinga

Palpebra edema (-) dextra dan sinistra

: Serumen kering (+) dextra dan sinistra

Hidung

: Pernapasan cuping tidak ada, sekret tidak ada.

Bibir

: Tidak sianosis atau kering.

Lidah

: Permukaan kotor, tremor tidak ada

Leher

: Trakea ditengah, pembesaran kelenjar getah bening


tidak ada, distensi vena leher tidak ada, kelenjar tiroid
normal, kaku kuduk tidak ada.

Ketiak

: tidak ada kemerahan atau pembesaran kelenjar getah


bening
4

Thorax
Inspeksi

: bentuk normochest, sudut epigastrium tidak terlihat,


pergerakan simetris saat statis dan dinamis, retraksi
otot tidak ada.

Palpasi

: Iktus cordis teraba di ICS VI midclavicula sinistra,


tidak ada thrill, vocal fremitus normal pada kedua
lapang paru

Perkusi

: Sonor pada kedua lapang paru. Batas paru kanan


dengan hepar ICS VII dengan peranjakan 1cm dan
batas paru kiri dengan lambung ICS VIII. Batas atas
jantung ICS II linea sternalis sinistra. Batas kanan
jantung ICS V sternalis dextra. Batas kiri jantung ICS
VI midclavicula sinistra.

Auskultasi
Jantung

: BJ I > BJ II,tidak ada murmur dan S3 gallop.

Paru

: Suara pernapasan vesikuler,


Suara tambahan : ronki pada basal paru kanan.
Tidak ada wheezing.

Abdomen

Inspeksi

: Bentuk buncit, jaringat parut tidak ada. Kulit


kemerahan tidak ada, pustula dan lesi hipopigmentasi
tidak ada.

Palpasi

: Massa tidak ada, terdapat nyeri tekan pada


hipokondrium sinitra. Tidak ada pembesaran hepar, lien
dan ginjal.

Perkusi

: Nyeri ketok CVA dextra dan sinistra negatif. Tidak ada


asites.

Auskultasi

: Peristaltik normal. Tidak ada distensi abdomen


ataupun defans muskular.

Ekstremitas

Bentuk

normal.

Edema

pretibial,

palmar

erythema,dan clubbing finger tidak ada. Terdapat


pustula lentikular di ekstremitas atas dan bawah.
Refleks Achiles dan patella positif.

STATUS DERMATOLOGIS
Regio facialis

: nodul pustula, multipel, berbatas tegas,


erosi (-) lagoftalmus (-) madarosis (-)

Regio antebrahicum dextra

: nodul pustula, multipel, batas tegas, erosi


(-), penebalan nervus (+)

Regio antebrahicum sinistra

: nodul pustula, multipel, batas tegas, erosi


(-)
6

Regio cruris sinistra

: makula eritematosa, batas tegas, ukuran


numular, nodul pustula, multipel

Regio cruris dekstra

: makula hipopigmentasi (+), ulkus (+)

Diagnosis Kerja :
Observasi febris e.c 1. Tuberkulosis
2. Demam dengue
3. Infeksi sekunder pada Morbus Hansen
Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium:
1. Darah rutin
Hemoglobulin : 13,4 (n)
Hematokrit

: 42, 3 (n)

MCV

: 86 (n)

MCH

: 27,3 (n)

Leukosit

:19,2 (meningkat)

Trombosit

: 276 (normal)

KGDS

: 100 mg/dl

Golongan darah: O
2. Analisa Urin:
8

Makroskopis:
Kekeruhan : Jernih
Warna: Kuning muda
Berat jenis: 1.010
pH: 6.5
Mikroskopis:
Eritrosit: 0-2
Leukosit : 0-2
Epitel : 2-5
Kristal Ca Oksalat : 3
Cast : negatif

3. Imunohistokimia
Tubex test : negatif
Dengue IgG dan IgM: negatif
4. Pemeriksaan Basil Tahan Asam: ditemukan BTA positif dua (++)

Anjuran pemeriksaan: Fungsi hati dan fungsi ginjal


rontgent thorax
Pemeriksaan BTA ulang
Pemeriksaan darah rutin ulang
Diagnosis Klinis:
Reaksi kusta tipe ENL pada kusta tipe lepromatosa (LL)
Penatalaksanaan:
Farmakologi:
Morbus Hansen tipe multibasiler diberikan:
Kombinasi DDS 200 mg/hari dengan rifampisin 600 mg/bulan dan lampren
300 mg/bulan, diteruskan dengan rifampisin 50 mg/ hari atau 100 mg/2 hari atau 3x
100 mg/minggu. Pengobatan dilakukan selama 2-3 tahun.
Reaksi kusta dapat diberikan analgetik antipiretik seperti paracetamol tab
500mg 4x1. Prednison 5mg 4x1. Clofazimin tab 100 mg 3x1
Obat lain yang dapat diberikan adalah gastroprotektor seperti ranitidine tab
150 mg 2x1 atau omeprazole caps 20mg 2x1.
Non Farmakologi:
1.

Pasien kusta secara rutin perlu menjaga kebersihan diri.Untuk menjaga nutrisi dan

kelembapan yang adekuat pada kulit dapat diberi pelembab topikal. Tangan atau kaki
yang anestetik dapat direndam setiap hari selama 10-15 menit. Lesi kalus atau kulit
keras di sekitar ulkus dapat diabrasi, sebaiknya oleh tenaga medis dengan bilah
skapel.
10

2. Hindari tekanan yang berlebihan pada regio lesi, misalnya dengan elevasi tungkai
saat istirahat atau mencegah berjalan kaki dalam jangka waktu yang lama.
3. Penyakit ini mengganggu saraf, sehingga pasien akan merasakan mati rasa, oleh
karena itu disarankan agar pasien menghindari trauma agar tidak memungkinkan
terjadinya infeksi lain, misalnya dengan cara :
-

Menggunakan sepatu atau pelindung kaki yang berbahan aman dari


trauma.

Rajin membersihkan sepatu dari kerikil atau batu yang bisa masuk ke
dalamnya.

Prognosis
Quad ad vitam

: ad bonam

Quad ad functionam : ad sanam


Quad ad sanactionam : ad sanam

FOLLOW UP PASIEN

Tanggal

11

24/11/16

- Nyeri di kulit yg terdapat


lesi kusta dan nyeri
kepala
- BAB & BAK (+) normal
- Nyeri perut (-) mual (-)

KU: Baik

Obs. Febris +

Terapi:

S: CM

Morbus

- IVFD RL 20 gtt/i

TD: 110/50 mmHg

Hansen

- cefotaxime 1g/ 12j

RR: 26x/i

- Ranitidin 50 mg/ 12j

HR: 78x/i

-cetirizine 10 mg tab

T: 370C

2x1
-PCT 500 mg tab 3x1
Konsul Sp.KK

25/11/16

- Nyeri kepala
- BAB & BAK (+) normal
Nyeri perut (-) mual (-)

KU: Baik

Obs. Febris +

- IVFD RL 20 gtt/i

S: CM

Morbus

- cefotaxime 1g/ 12j

TD: 110/70

Hansen

- Ranitidin 50 mg/ 12j

RR: 18x/i

-cetirizine 10 mg tab

HR: 72x/i

2x1

T: 36,90C

-PCT 500 mg tab 3x1


-Hasil konsul Sp.KK :
Ds. Reaksi kusta tipe
2 (ENL)+ Morbus
Hansen tipe
lepromatosa
Terapi: Prednison

26/11/16

TD: 130/80 mmHg

Reaksi kusta

5mg 4x1
- IVFD RL 20 gtt/i

hari(+), nyeri kepala

RR: 20x/i

+ Morbus

- cefotaxime 1g/ 12j

(+), nyeri di lesi kusta

HR: 78x/i

Hansen tipe

- Ranitidin 50 mg/ 12j

- Demam saat malam

12

T: 36,50C

(+)

lepromatosa

-cetirizine 10 mg tab
2x1
-PCT 500 mg tab 3x1
-Prednison 5 mg tab

27/11/16

- nyeri kepala (+), nyeri di


lesi kusta (+)

TD: 130/80 mmHg

Reaksi kusta

4x1
-Cefadroxil 500 mg

RR: 18x/i

+ Morbus

tab 2x1

HR: 78x/i

Hansen tipe

- PCT 500 mg tab 3x1

T: 36,70C

lepromatosa

-Prednison 5 mg tab
4x1
-Omeprazol 40 mg tab
2x1
Pasien boleh pulang
dan berobat jalan

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kusta atau lepra adalah penyakit infeksi granulomatous kronik progresif yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf
13

perifer sebagai afinitas pertama, namun dapat juga terjadi pada kulit dan mukosa
traktus respiratorius bagian atas, dan organ-organ lain kecuali susunan saraf pusat.
2.2 Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat
intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil Gram positif
dengan ukuran 3 8 m x 0,5 m, bersifat tahan asam dan alkohol. Kuman ini
memunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang lambat di sel
Schwann menstimulasi cell-mediated immune response, yang menyebabkan reaksi
inflamasi kronik, sehingga terjadi pembengkakkan di perineurium, dapat ditemukan
iskemia, fibrosis, dan kematian akson.
Mycobacterium leprae dapat bereproduksi maksimal pada suhu 27C 30C.
Mikroba ini berkembang biak dengan baik pada jaringan dengan suhu rendah, seperti
kulit, sistem saraf kutan, saluran pernapasan atas dan testis.
2.3 Epidemiologi
Penyakit kusta banyak ditemukan di negara berkembang seperti India, China,
Myanmar, Indonesia, Brazil, dan Nigeria. Setiap tahunnya terdapat 600.000 kasus
baru dengan total sebanyak 1,5 hingga 8 juta kasus diseluruh dunia. Indonesia kasus
kusta terjadi 7 sampai 9 setiap 100.000 penduduk. Provinsi dengan penderita kusta
kasus baru terbanyak pada tahun 2013 adalah Jawa Timur (4.132 jiwa), Jawa Barat
(2.180 jiwa), Jawa tengah (1.765 jiwa), Papua (1.180 jiwa), Sulawesi Selatan (1.172
jiwa), Papua Barat (733 jiwa) dan Aceh (575 jiwa). Kelompok umur terbanyak adalah
25-35 tahun dengan frekuensi yang sama pada pria dan wanita.
Faktor- faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit:

14

Penyakit ini berhubungan dengan lingkungan yang kurang bersih, tingkat


kemiskinan dan daerah pedesaan. Penyakit ini tidak diturunkan pada bayi yang
dikandung oleh ibu yang penderita kusta.
2.4 Klasifikasi
Menurut kongres internasional Madrid 1953, kusta dibagi atas tipe
Indeterminan (I), tipe tuberkuloid (T), tipe lepromatosa, dan tipe borderline (B).
Pembagian untuk segi praktis dilapangan sering dipakai Pembagian Ridley dan
Jopling yang memperkenalkan istilah spectrum determinate pada penyakit kusta yang
terdiri atas berbagai tipe, yaitu:
Tipe I (Indeterminan)

: makula hipopigmentasi berbatas tegas, anestesi dan

anhidrasi. Pemeriksaan bakteriologi (-), tes lepromin (+).


TT (tuberkuloid type) : makula eritematosa bulat atau lonjong, permukaan kering,
batas tegas, anestesi, bagian tengah sembuh. Pemeriksaan bakteriologi

(-), tes

lepromin (+) kuat.


BT (borderline tuberculoid) : makula eritematosa tidak teratur, batas tidak tegas,
kering, mula-mula ada tanda kontraktur, anestesi. Pemeriksaan bakteriologi (+/-), tes
lepromin (+/-).
BB (mid borderline) : makula eritematosa, menonjol, bentuk tidak teratur, kasar, ada
lesi satelit, penebalan saraf dan kontraktur. Pemeriksaan bakteriologi

(+), tes

lepromin (-).
BL (borderline lepromatous) : makula infiltrat merah mengkilat, tidak teratur, batas
tidak tegas, pembengkakan saraf. Pemeriksaan bakteriologi ditemukan banyak basil,
tes lepromin (-).
LL (lepromatosa polar, bentuk yang stabil) : infiltrate difus berupa nodula simetri,
permukaan mengkilat, saraf terasa sakit, anestesi. Pemeriksaan bakteriologi
ditemukan (+) kuat, tes lepromin (-).
15

Menurut WHO (1981), kusta dibagi menjadi multibasilar (MB) dan


pausibasilar (PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks
biposi (IB), ditemukan bakteri lebih dari +2, yaitu tipe LL, BL, dan BB pada
klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar mengandung sedikit basil dengan IB kurang
dari +2, yaitu tipe TT, BT, dan I klasifikasi Ridley-Joping.
2.5 Patogenesis
Cara penularan belum diketahui secara pasti hanya beranggapan dari
anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat.
Anggapan kedua adalah secara inhalasi, sebab M. Leprae dapat hidup beberapa hari
didalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun,
rata-rata 3,5 tahun.
Sebenarnya M. Leprae mempunyai patogenisitas dan daya invasi yang rendah,
sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan
gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan derajat infeksi
dan derajat penyakit, tidak lain disebabkan karena respon imun yang berbeda, yang
mencetuskan timbulnya granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh
sendiri atau progresif. Oleh karena itu, kusta dapat disebut sebagai penyakit
imunologik.
Respon imun terhadap M. leprae dapat menghasilkan beberapa tipe reaksi
yang berhubungan dengan status klinis yang disebut reaksi kusta. Reaksi kusta adalah
episode akut penyakit kusta dengan gejala konstitusi, aktivasi, dan atau timbulnya
efloresensi baru di kulit pada perjalanan penyakit ini yang sebenarnya sangat kronis.
Reaksi kusta merupakan reaksi hipersensitivitas. Reaksi kusta merupakan episode
akut dari perjalanan kronik penyakit. Reaksi kusta tipe 1 (reaksi reversal) terjadi pada
individu dengan BL, BB dan BT. Inflamasi terjadi diantara lesi kulit yang sudah ada.
Reaksi tipe 1 berhubungan dengan demam ringan, lesi satelit makulopapular baru
16

yang kecil dan banyak, dan/ atau neuritis. Gejala klinis reaksi reversal yaitu sebagian
atau seluruh lesi yang telah ada menjadi lebih banyak dan aktif dalam waktu singkat.
Lesi hipopigmentasi menjadi lebih eritema, lesi eritema menjadi semakin eritematosa,
lesi makula menjadi infiltrat, dan lesi lama bertambah luas. Umumnya gejala
konstitusi lebih ringan daripada Erythema Nodosum Leprosum, (ENL).
Reaksi tipe 2 ENL terjadi pada sebagian individu dengan LL dan BL, biasanya
timbul setelah awal pemberian terapi antikusta, umumnya dalam 2 tahun pertama
terapi. Gejala konstitusional yang muncul berupa demam, menggigil, nyeri sendi,
mual, sakit saraf, dan otot dari ringan sampai berat. Pada reaksi tipe 2 perubahan
efloresensinya berupa nodus eritema dan nyeri dengan tempat predileksi lengan dan
tungkai. Pada kasus berat dapat menyerang sistemik, sehingga menyebabkan
iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis akut dengan
proteinuria. Bentuk hebat reaksi ENL disebut reaksi lucio. Ulserasi ini sulit membaik,
sering rekuren, dan distribusinya dapat general akibat infeksi bakteri sekunder dan
sepsis.

2.6 Dasar Diagnosis


2.6.1

Gejala Klinis dan Pemeriksaan Fisik


Penyakit kusta memiliki 3 tanda kardinal, dimana jika salah satunya ada,

sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta, yakni : Lesi kulit yang
anestesi , penebalan saraf perifer, dan ditemukannya M. leprae sebagai bakteriologis
positif. Masa inkubasinya 2 40 tahun (rata-rata 5 7 tahun). Onset terjadinya
perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistem saraf perifer
dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat adanya gejala
17

klinis. Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa makula dan bula yang
bersifat sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi
otot, nyeri neuritik yang berat, dan kontraktur tangan dan kaki.
Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi
ke kulit muncul. Keluhan 90% pasien pertama kali biasanya adalah rasa baal,
hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan panas dengan dingin.
Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa (1) pembesaran saraf tepi yang
asimetris pada daun telinga, ulnar, tibia posterior, radial kutaneus, (2) Kerusakan
sensorik pada lesi kulit (3) Kelumpuhan nervus trunkus tanpa tanda inflamasi berupa
neuropati, kerusakan sensorik dan motorik, serta kontraktur (4) kerusakan sensorik
dengan pola Stocking-glove (4) Acral distal symmethric anesthesia (hilangnya sensasi
panas dan dingin, serta nyeri dan raba).
2.6.2 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaaan anastesia dengan jarum atau air panas.
2. Tes keringat dengan pensil tinta; pada lesi tinta akan hilang sedangkan pada
kulit normal ada bekas tinta (tes Gunawan).
3. Pemeriksaan bakteriologi untuk menentukan indeks bakteri. Kepadatan
BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan
dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai 6+.
0 : tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1+: Bila 1 10 BTA dalam 100 LP
2+: Bila 1 10 BTA dalam 10 LP
3+: Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
4+: Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP
5+: Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP
6+: Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP
18

4. Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah


tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan
non solid. Tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear
zone) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak
patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline
terdapat campuran unsur unsur tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan
M. leprae sebagai tempat berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut
penyebarluasan.
5. Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis kusta
tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita
terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme,
disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2 hari (reaksi Fernandez)
atau 3 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi
dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu
respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkolosis.
2.7 Diagnosis Banding
Lesi makula hipopigmentasi: vitiligo, ptiriasis versikolor, pitiriasis alba,
pitiriasis rosea, dermatitis seboroika atau dengan liken simpleks kronik.
Lesi makula eritematosa dengan pinggir meninggi: tinea korporis, psoriasis,
lupus eritematosus tipe discoid, atau pitiriasis rosea.
Lesi infiltrat merah tidak berbatas tegas:selulitis, erisipelas, atau psoriasis.
Lesi nodul: lupus eritematosus sistemik, dermatomiositis, atau erupsi obat.
2.8 Penatalaksanaan

19

Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan


insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya
kecacatan, untuk mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yg dilakukan didasarkan
atas deteksi dini dan pengobatan penderita.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI (1981). Regimen Pengobatan Kusta tersebut menggunakan
kombinasi rifampisin dan DDS (Dapson). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan
menjadi:
1. Pausi Basiler (PB)
Tipe PB ( Tipe I, tipe BT, dan tipe BL) diberikan DDS 100mg/hari dan
rifampisin 600mg/bulan. Kedua diberikan selama 6-9 bulan. Pemeriksaan
bakteriologik dilakukan setelah 6 bulan pengobatan. Pengawasan dilakukan selama 2
tahun. Jika tidak ada aktivasi secara klinis dan bakteriologi tetap negatif maka
dinyatakan relief from control (RFC, bebas dari pengamatan).
2. Multi Basiler (MB)
.Tipe MB (BB, BL, LL) diberikan kombinasi DDS 200 mg/hari.; rifampisin
600 mg/bulan; dan lampren 300 mg/bulan, diteruskan dengan rifampisin 50 mg/ hari
atau 100 mg/2 hari atau 3x 100 mg/minggu. Pengobatan selama 2-3 tahun.
Pemeriksaan bakteriologik setiap 3 bulan. Jika setelah 2-3 tahun bakteriologik tetap
negatif maka release from treatment (RFT, pengobatan dihentikan).
2.8.1 Pengobatan Reaksi Kusta.
Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul
kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperti claw hand, drop foot, claw toes,
dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pemberian
kortikosteroid, prednisone 30-60 mg/hari. Obat-obat kusta diteruskan. Beri analgetik
dan antipiretik seperti paracetamol 500 mg 4x1 jika diperlukan. Clofazimin 100 mg
20

3x1. Penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit. Hasil pengobatan di evaluasi
setelah 2 minggu, jika telah terjadi perbaikan maka dapat diturunkan dosis
kortikosteroid perlahan.
2.9 Prognosis
Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan
lebih singkat, prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus
kronik maka prognosis menjadi kurang baik.

BAB IV
KESIMPULAN
1. Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit dan
sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang bersifat
intraseluler obligat.
2. Kusta dapat disebabkan lingkungan yang kurang bersih, kemiskinan dan daerah
pedesaan. Penyakit ini tidak diturunkan pada bayi yang dikandung oleh ibu yang
penderita kusta.
3. Pengobatan kusta membutuhkan waktu panjang dan kepatuhan pasien untuk
mencegah resistensi terhadap obat.
21

4. Selama proses pengobatan dapat terjadi keadaan akut yang disebut reaksi kusta,
dimana dapat timbul gejala seperti demam, menggigil, mual, nyeri sendi, sakit
pada saraf dan otot. Kemudian pada kulit akan timbul eritema, nodul, yang jika
nodus pecah akan menimbulkan ulkus.
5. Pengobatan pada reaksi kusta adalah dengan memberikan analgetik, antipiretik,
imunosupresan dan tetap melanjutkan terapi kusta.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Paramita, D. A. 2013. Kusta tipe multibasiler dengan cacat tingkat 2. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan
2. Zulkifli. n.d. Penyakit kusta dan masalah yang ditimbulkannya
3. A. Kosasih, Wisnu, I M., Daili, E. S., Menaldi, S. L. Kusta. Dalam: Djuanda,
Adhi, dkk. (2007). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5 Cetakan Kedua.
Jakarta. Balai Penerbit FK UI
4. Lewis, Felisa S. Leprosy. http://emedicine.medscape.com/article/1104977overview, 21 Februari 2011
22

5. Siregar, R.S. 2002. Saripati Penyakit Kulit. EGC. Edisi 3. Jakarta


6. Oentari, W. & Menaldi, S.L. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Media
Aesculapius. Jakarta
7. InfoDATIN. 2015. Kusta

23

Anda mungkin juga menyukai