Anda di halaman 1dari 10

Tugas Mata Kuliah Fisiologi dan Biokimia Nutrisi Ikan

Dosen: Dr. Ir. Mia Setiawati, MSi

Disusun oleh:
Firsty Rahmatia (C1601222011)
Belinda Astari (C1601222012)

Pengaruh Morfologi dan Enzimatik Saluran Pencernaan Pada Ikan


[Development of Digestive Tract Morphology and Enzymatic in Fish]
Keberhasilan pemberian pakan ikan bergantung pada perkembangan karakteristik anatomi
dan fungsi fisiologis serta pada ketersediaan bahan pakan yang cocok bagi perkembangan larva.
Stadia larva ikan menyajikan bentuk eko-morfo-fisiologis yang sangat berbeda dari stadia dewasa
dan berbeda antar spesies. Salah satu sistem organ yang mengalami perubahan adalah sistem
pencernaan ikan. Sistem pencernaan berperan untuk mereduksi makanan menjadi molekul yang
sangat sederhana (unit yang dapat diserap) yang diangkut melintasi epitel usus ke dalam darah.
Perubahan ontogeni fungsi pencernaan menyebabkan terbatasnya kemampuan mencerna pakan.
Perubahan disebabkan oleh faktor genetic, dietary, environmental factors. Pengaturan neuron dan
hormonal mempengaruhi optimasi pencernaan (Ronnestad et al. 2013).
Paracallionymus costatus menunjukkan ukuran larva yang kecil, kurangnya globul minyak,
kuning telur yang tersaring, dan melanofor yang tersusun di punggung, migrasi melanofor ke
ventral dan pembentukan anus yang menghasilkan lipatan sirip preanal, migrasi melanofor lebih
lanjut ke ventral, awal pembentukan sirip dada larva, penurunan di yolk-sac, dan awal pigmen di
mata. Diplodus sargus menunjukkan globule minyak berpigmen tunggal posterior di kuning telur
yang tidak jelas dan lipatan sirip preanal pendek. Trachurus symmetricus menunjukkan gelembung
minyak berpigmen tunggal anterior di tersegmentasi dengan lipatan preanal panjang. Cololabis
saira menunjukkan kantung kuning telur larva yang berkembang dengan baik, berpigmen berat
saat menetas dengan awal fleksi notochord dan beberapa ekor terbentuk. Argentina silus
menunjukkan kantung kuning telur larva besar tetapi kurang berkembang saat menetas dengan
globul minyak besar. Hippoglossus stenolepis menunjukkan kantung kuning telur larva yang besar
tetapi kurang berkembang saat menetas tanpa bola minyak (Kendall et al. 1984).
Pada dasarnya, sistem pencernaan larva tetap tidak berubah selama periode larva (beberapa
bulan sampai satu tahun), kemudian berubah dengan cepat menjadi saluran pencernaan dewasa
selama transformasi larva ke ikan remaja (minggu atau bulan). Berbeda dengan perkembangan
bertahap dari beberapa sistem organ lainnya, misalnya integumen, visual, otot. dan sistem akustik-
lateralis. Pengembangan sistem pencernaan dari usus larva yang sederhana, tidak berdiferensiasi,
dan lurus hingga saluran pencernaan yang kompleks dan tersegmentasi dari ikan dewasa. Usus
yang baru jadi tetap tidak berubah selama penyerapan kuning telur dan globul minyak (Govoni et
al. 1986).
Kategori larva ikan berdasarkan keberadaan lambung, yaitu: Agastric fish ikan yang tidak
memiliki lambung bahkan sampai stadia dewasa; Precocial fish memiliki lambung fungsional pada
tahap awal pemberianpakan; Altricial fish memiliki lambung yang berkembang secara fungsional
seiring metamorfosis. Sebagian besar penelitian fisiologis terkait pemberian pakan ikan
menjadikan altricial sebagai objek. Saluran pencernaan pada Altricial fish secara bertahap
berkembang dari tabung pendek dan lurus, sering kali tertutup pada mulut dan ujung anus pada
yolk-sac larvae (Endogenous feeding), menjadi saluran yang tersegmentasi dan dibedakan secara
histologis pada ikan juvenil. Pada awal pemberian makanan eksogen, saluran pencernaan memiliki
daerah yang berbeda secara histologis dan fungsional, buccopharynx, oesophagus, lambung, usus
dan anus. Terminologi lain mengelompokkan bagian-bagian tersebut ke dalam foregut, midgut dan
hindgut. Tahapan ontogeni menjadi lebih jelas dan detail karena teknologi berkembang dan alat-
alat baru mampu menggambarkan embriogenesis saluran cerna dan organ-organnya. Model 3D
dari saluran pencernaan dapat dilihat pada Gambar 1 (Ronnestad et al. 2013).

Gambar 1. Model tiga dimensi dari saluran pencernaan dengan organ terkait di Cod Atlantik, yang
tidak memiliki bagian perut saat pertama kali makan, 4 dph; 53 dph, tahap selanjutnya
dari metamorphosis
Pada awal masa eksogenus, panjang usus seringkali kurang dari setengah panjang tubuh.
Midgut terpisah dari foregut dan hindgut dengan dibatasi oleh muscular sphincters. Fase
perkembangan selanjutnya, saluran pencernaan meningkatkan kapasitas penyerapannya melalui
perpanjangan dan pelipatan mukosa. Dinding saluran juga meningkat ketebalannya karena epitel
usus yang lebih tebal dan pematangan enterosit yang mencakup pengembangan usus dengan
mikrovilli yang lebih besar (bentuk seperti sikat). Model 3D dari saluran cerna cod Atlantik
menunjukkan volume midgut anterior yang relatif besar, menghasilkan penampilan seperti bohlam
dari bagian ini (Gambar. 1c dan 1d). Hal ini mungkin dapat meningkatkan waktu tinggal makanan
dan memungkinkan pencampuran yang baik dengan sekresi dari pankreas dan empedu yang masuk
melalui esofagus. Selama masa transisi dari larva ke juvenil, epitel lambung menjadi berbeda
secara struktural, kelenjar berkembang dan pada akhir masa ini lambung telah sempurna
(Ronnestad et al. 2013).
Perkembangan larva dibagi menjadi tujuh kelompok terlihat pada Gambar 2. Pro larva
memiliki kuning telur dan tubuh transparan. Yolk-sack larva memiliki cadangan makanan berupa
kuning telur. Post larva yang kuning telurnya sudah habis dan organ-organ tubuhnya telah
terbentuk sampai larva tersebut memiliki bentuk menyerupai ikan dewasa. Preflexion larva
merupaka tahap perkembangan dimulai saat menetas dan berakhir pada awal fleksi ke atas tulang
rawan. Flexion larva berkembang dimulai dengan fleksi tulang rawan dan diakhiri dengan tulang
hypural dengan asumsi posisi vertical. Postflexion larva berkembang dari pembentukan sirip ekor
(elemen hural vertikal) hingga pencapaian pelengkap meristik eksternal penuh. Transition larva
merupakan ikan menyerupai bentuk ikan dewasa (Juvenile) (Slamet dan Tridjoko 1997).

Gambar 2. Tahapan sejarah kehidupan awalTrachurus symmetricus (Jack mackerel)


Telur kerapu batik (Epinephelus microdon) yang dibuahi terdapat gelembung minyak.
Pembelahan sel telur dari satu sel menjadi 128 sel pada 1 jam 50 menit setelah pemijahan. Fase
morula terbentuk pada 2 jam 05 menit setelah pemijahan dan fase blastula pada 3 jam 30 menit
setelah pemijahan. Fase gastrula terjadi pada 4 jam 30 menit setelah pemijahan. Fase neurola
terjadi pada 7 jam 10 menit setelah pemijahan dimana pelindung embrio mulai terbentuk. Fase
pembentukan kepala dan ekor terjadi pada 9 jam 30 menit setelah pemijahan. Fase pembentukan
mata terjadi pada 10 jam 20 menit setelah pemijahan serta pembentukan sistem saluran pencernaan
terjadi pada 11 jam 10 menit setelah pemijahan. Jantung mulai aktif berdenyut pada 12 jam 10
menit setelah pemijahan. Selanjutnya embrio akan terbentuk sempurna dan terjadi pergerakkan
untuk siap menetas. Pada larva umur 1 hari, saluran pencernaan sudah mulai terlihat, tetapi mulut
dan anus masih tertutup. Sistem pencernaan larva pada awal konsumsi pakan memiliki lambung
palsu yaitu modifikasi dari usus dengan ukuran yang lebih besar untuk menampung makanan
dimana saat ini larva belum memiliki lambung. Lambung tersebut kemudian melipat, dimana
sebelumnya berbentuk lurus dan dapat menampung pakan lebih banyak. Ukuran bukaan mulut
larva yang semakin membesar mengakibatkan jumlah dan ukuran rotifer dalam lambung semakin
besar (Slamet dan Tridjoko 1997).

Gambar 3. Perkembangan larva tuna sirip kuning (Thunnus albacares). og: butiran minyak (oil
globule), mt: mata (eye), i: usus (intestine), r: rectum, es: kerongkongan (esofagus),
an: anus, l: hati (liver), p: pankreas, hg: hindgut, ov: oral valve, st: lambung (stomach),
ys: kuning telur (yolk sac), n: tulang (notochord), bc: rongga mulut (buccal cavity), sb:
gelembung renang (swim bladder), h: jantung (heart), k: ginjal (kidney), mg: midgut,
mv: micro villi, ub: kandung kemih (urine bladder), g: insang (gill)
Perkembangan larva ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) ditunjukkan pada Gambar
3. Pada saat larva ikan tuna sirip kuning baru menetas (D-0), saluran pencernaan belum terbentuk.
Mulut dan mata belum terbuka, kerongkongan, lambung, usus, rectum, dan anus juga belum
terbentuk. Sedangkan organ-organ yang membantu proses pencernaan seperti hati, pankreas, dan
ginjal juga belum terlihat. Pada stadia ini kuning telur dan gelembung minyak sebagai sumber
makanan masih ada dalam ukuran yang cukup besar. Belum terbentuknya saluran pencernaan pada
stadia ini membuat yolk-sack berperan besar sebagai sumber nutrisi bagi kelangsungan hidup
larva. Pada larva D-1 saluran pencernaan larva mulai terbentuk, tetapi masih dalam bentuk tabung
lurus. Mata dan mulut larva ikan tuna sirip kuning D-1 belum terbuka, demikian juga dengan
lubang anus juga belum terbuka meskipun rektum sudah mulai terbentuk. Mulut dan mata sudah
terbuka saat larva memasuki umur dua hari (D-2), saluran pencernaan masih berbentuk tabung
lurus dari esophagus (kerongkongan) sampai anus. Esophagus (kerongkongan) mulai terbentuk.
Usus primordial dari larva D-2 ini dibatasi oleh satu lapisan sel kolumnar. Swim bladder
(gelembung renang) sudah terbentuk pada larva D-2 yang memungkinkan larva dapat turun naik
dalam air pemeliharaan, demikian juga organ ginjal, pancreas, dan hati juga sudah terbentuk
(Gunawan et al. 2018).
Pada larva ikan tuna sirip kuning D-3 yolk sac sudah diserap sepenuhnya oleh larva, dan di
dalam usus sudah terdapat makanan berupa rotifer. Pada stadia ini saluran dan organ pencernaan
sudah berfungsi sepenuhnya seperti mulut, esofagus, lambung, ginjal, hati, pankreas, usus, rektum,
dan anus. Larva pada stadia ini sudah bisa menelan, menyerap, dan mengasimilasi pakan yang
pertama kali di dapat dari sumber eksogen saat yolk-sack sudah benar-benar habis diserap. Jantung
sudah terlihat jelas, gelembung renang juga sudah semakin membesar. Sel-sel epitel skuamosa
berlapis terbentuk di esofagus. Usus sudah melipat dan juga sudah terpisah dari rektum, urine
bladder (kandung kemih), yang berada di belakang rektum juga terbentuk. Larva mulai umur
empat hari (D-4) bentuk usus sudah melingkar dan dibagi menjadi dua bagian, usus yang dekat
dengan lambung disebut midgut sedangkan yang dibelakang yang langsung berhubungan dengan
rektum disebut hindgut. Pada tahap ini, kerongkongan, lambung, usus, rektum, hati, dan pankreas
sudah terlihat lebih jelas. Saluran pencernaan meningkatkan kapasitas penyerapannya melalui
pemanjangan dan pelipatan mukosa. Dinding saluran juga meningkat ketebalannya karena epitel
usus yang lebih tebal dan pematangan enterosit yang mencakup perkembangan brush border usus
dengan mikrovili yang lebih besar (Gunawan et al. 2018).
Pada larva D-5 mulai muncul mikro philli pada usus untuk mengabsorbsi nutrisi. Ukuran
hati dan jantung sudah lebih besar, usus juga lebih besar dengan jumlah pakan yang terdapat di
dalamnya lebih banyak. Pada larva ikan tuna sirip kuning D-6 saluran pencernaan mulai dari
kerongkongan, lambung, usus, rektum, dan anus sudah terlihat dengan jelas. Ukuran jantung dan
hati lebih membesar, demikian juga dengan organ yang lain seperti ginjal, swim bladder, pankreas,
dan urine bladder juga semakin berkembang. Saluran dan sistem pencernaan larva ikan tuna sirip
kuning pada D-6 semua sudah tersedia dan selanjutnya adalah proses penyempurnaan. Pada D-20
saluran dan sistem pencernaan sudah sempurna dan larva sudah metamorphosa menjadi juvenil
(secara fisik sudah menyerupai ikan dewasa dengan TL ± 2 cm). Ontogeni sistem pencernaan ikan
berkembang hingga ikan menjadi dewasa tidak terlepas oleh kerja masing-masing enzim
(Gunawan et al. 2018). Ontogeni anatomi dan fungsional dari saluran pencernaan hampir sama
pada sebagian besar Teleostei. Namun, ada perbedaan pada waktu awal pembentukan beberapa
jaringan dan aktivitas enzimatik. Perbedaan yang paling relevan mungkin adalah waktu
perkembangan lambung. Jaringan lambung pertama muncul beberapa hari hingga beberapa bulan
setelah pemberian pakan pertama. Peristiwa ini menandai akhir dari mode pencernaan larva.
Setelah munculnya lambung dan aktifnya pepsin, penyempurnaan lambung dan maksimalisasi
kapasitas cerna asam membutuhkan waktu beberapa minggu atau bulan, tergantung pada
spesiesnya (Ronnestad et al. 2013).
Proses pencernaan melibatkan serangkaian peristiwa yang membutuhkan koordinasi
berbagai proses dasar dalam sistem pencernaan (Gambar 4), dimulai proses konsumsi pakan,
sekresi enzimatik dan cairan, pencernaan melalui proses mekanis dan enzimatik, penyerapan,
transportasi (termasuk evakuasi) dan regulasi dari proses-proses yang berbeda. Efisiensi proses
pencernaan menentukan distribusi nutrien ke jaringan larva agar tumbuh dengan cepat. Seperti
disebutkan di atas, usus juga bertindak sebagai penghalang utama yang penting untuk mencegah
masuknya agen yang tidak diinginkan ke dalam jaringan tubuh (Ronnestad et al. 2013).

Gambar 4. Analisis PCR telah menunjukkan bahwa transkrip mRNA dari beberapa enzim proteolitik
termasuk tripsin sudah hadir dari awal larva menetas, umumnya pada beberapa spesies
ditunjukkan beberapa hari sebelum dimulainya pemberian pakan eksogen

Enzim proteolitik dari pankreas memiliki peran yang signifikan pada stadia awal precocious
dan altricial fish karena tidak adanya fungsi lambung dan kandungan asam proteasenya, pepsin.
Ada banyak penelitian yang menggambarkan aktivitas enzim pankreas selama ontogeni atau
responnya pada berbagai kondisi nutrisi Teleostei. Studi tersebut telah menunjukkan bahwa enzim
proteolitik diproduksi dan dikeluarkan dari pankreas pada awal pemberian pakan pertama,
meskipun aktivitas enzim bervariasi antar spesies. Sebagai contoh, pada tuna sirip kuning
(Thunnus albacares), aktivitas beberapa enzim jauh lebih besar daripada ikan laut spesies lain yang
berumur/berukuran sama (Ronnestad et al. 2013).
Pola pekembangan aktivitas enzim pada larva ikan common pandora (Pagellus erythrinus)
ditunjukkan pada Gambar 5. Empat tahap ontogeni yang berbeda terkait dengan perkembangan
kapasitas tryptic enzyme pada larva common pandora. Aktivitas pepsin juga tergambar pada grafik
disampingnya yang menunjukkan bahwa aktivitas tryptic enzyme menurun pada akhir stadia larva,
sementara lambung menjadi lebih berfungsi dan aktivitas peptic enzyme meningkat secara
perlahan. Sebuah model perkembangan ontogenetik aktivitas triptik pada larva ikan laut dari
penetasan hingga metamorphosis digambarkan dalam 4 fase. Fase I, pada tahap kantung kuning
telur dan seterusnya pada saat dimulainya masa eksogenus, tingkat tripsin meningkat; di Fase II,
yang dianggap sebagai tahap kritis; dengan penurunan aktivitas tryptic, pertumbuhan yang buruk
dan tingkat kematian yang tinggi dapat terjadi; pada Fase III, produksi tripsin yang cukup (pada
pasokan makanan yang optimal) dan tingkat pertumbuhan yang tinggi dapat diamati; pada Fase
IV, pada awal metamorfosis, aktivitas tryptic menurun lagi karena sebagian digantikan oleh
aktivitas pepsin di lambung yang sedang berkembang. Masih belum jelas mengapa aktivitas enzim
triptik menurun segera setelah permulaan pemberian makan pertama sebelum meningkat lagi.
Fenomena ini memerlukan kajian lebih mendalam.

(A) (B)

Gambar 5. (A). Pengembangan aktivitas tryptic dalam percobaan pada larva dari pandora biasa
(Pagellus erythrinus). Larva yang baru menetas diberi makan rotifera sejak hari ke-3.
Aktivitas triptik diukur pada larva individu dan ditunjukkan dengan standar deviasi.
(*) Grup A; (●) Grup B; (♦) Grup C. (B). Pengembangan aktivitas pepsin pada
percobaan menggunakan larva dari pandora biasa (Pagellus erythrinus). Pepsin
terdeteksi pada hari ke 25 sehubungan dengan pembentukan lambung dan peningkatan
tajam sampai 30 dph. Digunakan kembali dari Suzer et al. (2006). (*) Grup A; (●)
Grup B; (♦) Grup C

Gambar 6. Pola diurnal enzim triptik aktivitas dalam kaitannya dengan makanan dan waktu makan
dipelihara di laboratorium dan diberi makan terus menerus 12-larva turbot berumur
sehari (dph) (Psetta maxima)
Gambar 6. menunjukkan larva Turbot yang diberi makan tiga kali sehari (9:30, 13:00 dan
15:30 WIB) dengan rotifera. Larva bereaksi terhadap pemberian pakan pukul 9:30 dan 13:00 WIB
dengan sekresi tripsinogen langsung, tetapi ada tidak ada respon pada pakan pukul 15:30 WIB.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kapasitas pencernaan pada larva turbot terbatas, dan hasil ini
dapat membantu mengoptimalkan jadwal pemberian makan untuk tahap awal budidaya larva ikan
laut. Dengan demikian optimalisasi pemanfaatan pakan alami dapat lebih efisien sehingga
membantu untuk mengurangi biaya produksi tanpa mengganggu pertumbuhan larva.
Chymotrypsin adalah enzim proteolitik pankreas lain yang penting dalam usus larva. Seperti
tripsin, kimotripsin adalah protease alkali serin yang diproduksi di pankreas dan disekresikan
sebagai prekursor kimotripsinogen ke dalam lumen usus. Chymotrypsin menampilkan pola
aktivitas spesifik substrat seperti tripsin dan menghidrolisis ikatan peptida pada sisi karboksil dari
rantai samping aromatik tirosin, triptofan dan fenilalanin dan residu hidrofobik besar seperti
metionin. Aktivitasnya melengkapi tripsin, yang memotong rantai peptida terutama pada sisi
karboksil lisin atau arginin. Chymotrypsin juga dianggap sebagai indikator yang tepat untuk
kondisi nutrisi larva laut. Semakin tinggi rasio tripsin/kimotripsin, semakin tinggi pula tingkat
penyerapan asam amino esensial untuk sintesis protein dan potensi pertumbuhan. Aktivasi tripsin
dan kimotripsin juga dikatalisis oleh enzim enterokinase, yang diproduksi di enterosit usus.
Kesimpulannya, lemahnya kemampuan tahap awal larva secara efisien untuk mencerna diet mikro
yang tersedia saat ini (dibandingkan dengan makanan hidup) disebabkan oleh kurangnya
denaturasi dan pembelahan proteolitik protein makanan oleh kombinasi aktivitas asam dan peptik.
Selain pencernaan protein dan peptida, juga terjadi pencernaan lipid (Ronnestad et al. 2013).
Lipid adalah kelompok beragam molekul yang terdiri dari delapan subkelompok, yaitu asil
lemak, sphingolipid, lipid sterol, lipid prenol, sakarolipid, poliketida, gliserolipid dan
gliserofosfolipid Fokus pada gliserofosfolipid, sering disebut sebagai fosfolipid (PL) dan subkelas
gliserolipid, yaitu triasilgliserol (TAG). Triasilgliserol terdiri dari tulang punggung gliserol dengan
tiga asam lemak dan digunakan untuk penyimpanan energi. Fosfolipid (kecuali sphingomyelin)
memiliki tulang punggung gliserol dengan dua asam lemak, yang terdiri dari bagian lipofilik.
Bagian hidrofilik terdiri dari gugus fosfat dengan molekul organik seperti kolin, inositol atau
etanolamin Fosfolipid sangat penting untuk energi, struktur membran, regulasi protein
pascatranskripsi dan sebagai molekul pembawa pesan. Fosfolipid juga merupakan kelas lipid yang
paling penting dalam nutrisi larva ikan muda. Kebutuhan fosfolipid makanan tinggi ketika larva
ikan laut mulai makan dan menurun ketika mereka mendekati tahap juvenil (Ronnestad et al.
2013).
Kehadiran aktivitas lipase lambung pada aktivitas lipase pada jaringan lambung ikan lele
(Glyptosternum maculatum) yang memiliki pH optimum (pH 6) lebih rendah daripada yang
terdapat pada jaringan usus (pH 8) Aktivitas lipolitik yang ditemukan di kerongkongan dan
jaringan lambung kemungkinan berasal dari lipase lambung lisosom. Lipid makanan yang masuk
ke usus diemulsi dengan bantuan garam empedu dan fosfolipid. Kedua molekul ini memiliki sisi
hidrofilik dan hidrofobik yang membantu membentuk dan menstabilkan misel. Lipase netral
menghidrolisis ikatan ester triasilgliserol menjadi monoasilgliserol (MAG) dan asam lemak bebas
(FFA) Produk hidrolisis triasilgliserol ini kemudian diserap oleh enterosit yang terletak di dinding
epitel usus. Enzim pankreas sn-2 spesifik PLA2 menghidrolisis fofolipid. Produknya adalah satu
molekul liso-PL dan satu asam lemak bebas, yang keduanya diserap oleh enterosit Di sini lipid
direesterifikasi dalam dua jalur: jalur monogliserida di retikulum endoplasma halus (RE), yang
menghasilkan triasilgliserol, dan jalur -gliserofosfat di RE kasar dan halus, yang menghasilkan
triasilgliserol dan fofolipid Jalur a-gliserofosfat tampaknya menjadi jalur utama yang bertanggung
jawab untuk resterifikasi lipid pada teleost (Ronnestad et al. 2013).
Kemampuan ikan untuk mencerna karbohidrat (mono, di, dan polisakarida) berbeda sesuai
dengan kebiasaan makan mereka, mulai dari herbivora hingga karnivora ketat, dari masing-masing
spesies. Larva menelan terutama zooplankton dan kemudian, mikroalga. Larva yang dipelihara
juga diberikan pakan majemuk menjelang akhir tahap. Karbohidrat dalam pakan ini hadir dalam
jumlah dan bentuk yang berbeda Aktivitas α-amilase, enzim kunci untuk pencernaan karbohidrat
kompleks, telah ditentukan dalam larva beberapa spesies ikan. Ikan tidak memiliki kelenjar ludah,
dan α-amilase hanya disintesis di pankreas. Dengan demikian, α-amilase telah terdeteksi sejak
pankreas mulai berfungsi selama tahap yolksack Spesies dengan kebiasaan lebih karnivora
cenderung mengurangi aktivitas amilase ketika lambung menjadi fungsional, sedangkan spesies
herbivora dan omnivora tampaknya menunjukkan peningkatan aktivitas saat mereka mendekati
tahap remaja (Ronnestad et al. 2013).
Sistem pencernaan berevolusi untuk memaksimalkan penyerapan nutrisi dari makanan yang
tersedia dalam kondisi alami. Proses ini melibatkan koordinasi spasial dan temporal dari sistem
yang sangat kompleks yang mencakup mekanisme kontrol saraf, endokrin dan lokal. Regulasi pada
larva ikan diyakini terjadi melalui sistem saraf enterik dan hormon gastrointestinal. Pada
kebanyakan vertebrata dewasa, pengolahan makanan diatur secara ketat dan melibatkan fase
sefalik, lambung dan usus. Fase sefalik dimulai oleh penglihatan, penciuman atau rasa dan
bertindak sebagai refleks umpan maju untuk memulai pencernaan dan mempersiapkan saluran
pencernaan untuk mengantisipasi kedatangan makanan dengan merangsang sekresi dan motilitas
di saluran pencernaan dan organ aksesori. Selama fase lambung, lambung menangani kontrol
pencernaan. Fase ini dimulai oleh distensi dan oleh sinyal kimia dari makanan di lumen lambung
Usus adalah pengatur utama pencernaan selama fase usus. Pada larva precocial dan agastric, fase
ini mungkin dominan. Fase usus dimulai saat kimus memasuki usus tengah melalui sfingter pilorus
dari lambung. Pada larva ikan agastrik dan altrisial, makanan langsung masuk ke usus melalui
mulut dan kerongkongan, diikuti oleh air yang ditelan bersama dengan partikel makanan
(Ronnestad et al. 2013).
Banyak larva ikan terus makan bahkan dengan usus penuh menunjukkan bahwa sinyal rasa
kenyang penghambatan dari saluran, seperti yang terlihat pada dewasa, tidak berfungsi penuh pada
tahap larva awal. Mungkin tingkat pertemuan mangsa di lingkungan alam sangat rendah sehingga
sinyal kenyang dari saluran pencernaan biasanya tidak diperlukan untuk mencegah makan
berlebihan. Larva ini mungkin telah berevolusi menjadi segala sesuatu yang dianggap sebagai
makanan, sehingga cahaya yang terus menerus dan ketersediaan pakan yang tinggi dalam sistem
budidaya intensif menghasilkan pemberian pakan yang berlebihan. Ini menyiratkan tidak adanya
sistem pensinyalan umpan balik yang tepat pada larva untuk loop umpan balik negatif. Sejumlah
penelitian tentang vertebrata telah menyarankan bahwa molekul pengatur gastrointestinal
termasuk parakrin dan hormon endokrin, neuropeptida dan sitokin. Pada ikan dewasa, hormon
peptida telah terbukti mengatur motilitas usus dan empedu dan sekresi enzim, tetapi informasi
yang tersedia sangat terbatas mengenai keterlibatan peptida pengatur selama tahap larva
(Ronnestad et al. 2013).
Sistem pencernaan berevolusi untuk memaksimalkan penyerapan nutrisi dari makanan yang
tersedia dalam kondisi alami. Proses ini melibatkan koordinasi spasial dan temporal dari sistem
yang sangat kompleks yang mencakup mekanisme kontrol saraf, endokrin dan lokal. Regulasi pada
larva ikan diyakini terjadi melalui sistem saraf enterik dan hormon gastrointestinal. Pada
kebanyakan vertebrata dewasa, pengolahan makanan diatur secara ketat dan melibatkan fase
sefalik, lambung dan usus. Fase sefalik dimulai oleh penglihatan, penciuman atau rasa dan
bertindak sebagai refleks umpan maju untuk memulai pencernaan dan mempersiapkan saluran
pencernaan untuk mengantisipasi kedatangan makanan dengan merangsang sekresi dan motilitas
di saluran pencernaan dan organ aksesori. Selama fase lambung, lambung menangani kontrol
pencernaan. Fase ini dimulai oleh distensi dan oleh sinyal kimia dari makanan di lumen lambung
Usus adalah pengatur utama pencernaan selama fase usus. Pada larva precocial dan agastric, fase
ini mungkin dominan. Fase usus dimulai saat kimus memasuki usus tengah melalui sfingter pilorus
dari lambung. Pada larva ikan agastrik dan altrisial, makanan langsung masuk ke usus melalui
mulut dan kerongkongan, diikuti oleh air yang ditelan bersama dengan partikel makanan
(Ronnestad et al. 2013).

DAFTAR PUSTAKA
Govoni JJ, Boehlert GW, Watanabe Y. 1986. The physiology of digestion in fish larvae.
Environmental Biology of Fishes. 16(1-3):59-77. Doi: 10.1007/BF00005160
Gunawan, Hutapea JH, Setiadi A, Mahardika K. 2018. Perkembangan saluran dan sistem
pencernaan pada larva ikan tuna sirip kuning Thunnus albacares (Bonnaterre, 1788). Jurnal
Riset Akuakultur. 13 (4): 309-316. Doi: 10.15578/jra.13.4.2018.309-316
Kendall, A. W., E.H. Ahlstrom & H.G. Moser. 1984. Early life history stages of fishes and their
characters. pp. 11-24. In: H.G. Moser, W.J. Richards, D.M. Cohen, M.P. Fahay, A.W.
Kendall & S.L. Richardson (ed.). Ontogeny and Systematics of Fishes, Amer. Soc. Ichthyol.
Herpetol. Spec. Publ. 1, Lawrence. Doi: 10.1525/california/9780520249721.001.0001
Ronnestad I, Yu’fera M, Ueberschar B, Ribeiro L, Saele O, Boglione C. 2013. Feeding behavior
and digestive physiology in larval fish: current knowledge, and gaps and bottlenecks in
research. Reviews In Aquaculture. 5(S1): S59-S98. Doi: https://doi.org/10.1111/raq.12010
Slamet B, Tridjoko. 1997. Pengamatan pemijahan alami, perkembangan embrio dan larva ikan
kerapu batik, Epinephelus microdon dalam bak terkontrol. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia. 3(4):40-50. Doi: http://dx.doi.org/10.15578/jppi.3.4.1997.40-50

Anda mungkin juga menyukai