Anda di halaman 1dari 26

PEMBUATAN KITOSAN DARI LIMBAH SISIK IKAN TEMBANG

(Sardinella fimbriata) DENGAN VARIASI KONSENTRASI NaOH

PROPOSAL

OLEH

MARIA GLADIS DIANA USBOKO


52170021

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TIMOR
KEFAMENANU
2021
ii
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pembuatan
kitosan dari limbah sisik ikan tembang (Sardinella fimbriata) dengan variasi
konsentrasi NaOH”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dan memberikan dukungan dalam penyusunan skripsi ini. Ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Eduardus Y. Neonbeni S.P.,M.P selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Timor.
2. Sefrinus M.D Kolo S.Si, M.Si selaku ketua Program Studi Kimia
3. Matius Stefanus Batu S.Pd, M.Si selaku pembimbing utama yang telah
membimbing, memberikan saran dan pengarahan kepada penulis untuk
kelancaran penelitian dan penyelesaian penulisan skripsi ini.
4. Risna E. Adu, S.Si.,M.Scselaku dosen pembimbing II yang telah
membimbing dan memberikan saran kepada penulis untuk
penyelesaian skripsi ini.
5. Matius Stefanus Batu S.Pd, M.Si yang telah memimbing, memberikan
saran dan pengarahan kepada penulis untuk kelancaran penelitian dan
penyelesaian penulis skripsi ini.
6. ……………….selaku penguji yang telah memberikan masukan
kepada penulis.
7. Kedua orang tua serta saudara-sadaraku tercinta yang telah
memberikan doa, semangat dan dukungan baik moral maupun
material.
8. Sahabat-sahabatku Nata, Novy, Devy dan Elma sekaligus partner
penelitian, yang selalu memberikan motivasi serta selalu menghibur
penulis.
9. Segenap dosen Program Studi Kimia atas ilmu pengetahuan yang
sudah diajarkan kepada penulis.
10. Teman-teman seperjuangan Jurusan Kimia angkatan I tahun 2017 yang
telah memberikan semangat dan doa.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan penulisan ini. Semoga skripsi ini bermanfaat dan
menambah wawasan bagi penulis maupun pembaca yang membutuhkan.

Kefamenanu, Juli 2021

Penulis
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI .........................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iii
DAFTAR TABEL...................................................................................................iv

BAB PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................2
1.3 Tujuan.............................................................................................................2
1.4 Manfaat...........................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3


2.1 Ikan Tembang.................................................................................................3
2.2 Kitin................................................................................................................4
2.3 Kitosan............................................................................................................5
2.5 Fourier Transform Infrared (FTIR)................................................................7

BAB III MATERI DAN METODE PENELITIAN................................................9


3.1 Waktu dan Tempat Penelitian.......................................................................9
3.2 Alat dan Bahan penelitian..............................................................................9
3.2.1 Alat..................................................................................................................9
3.2.2 Bahan..............................................................................................................9
3.3 Prosedur Kerja................................................................................................9
3.3.1 Preparasi Sampel..........................................................................................9
3.3.2 Deproteinasi...................................................................................................9
3.3.3 Demineralisasi.............................................................................................9
3.3.4 Deasetilasi....................................................................................................9
3.5.3 Karakterisasi Kitosan................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................12
iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Ikan Tembang (S. Fimbriata)..............................................................................3
2. Struktur Kitin......................................................................................................4
3. Struktur Kitosan..................................................................................................5
4. Prinsip kerja FTIR...............................................................................................7
5. Sistem Optik Spektrofotometer FTIR.................................................................8
6. Spektra FTIR Kitosan………………………………………………………….9
iv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki potensi alam, salah


satunya adalah hasil perikanan dengan jumlah tangkapan ikan yang diperoleh
sebesar 80% atau 5,12 juta ton per tahunnya (Rochima, 2014). Salah satu hasil
perikanan yang melimpah diperairan Indonesia adalah ikan tembang (Sardinella
fimbriata). Ikan tembang merupakan jenis ikan pelagis kecil yang memiliki
kandungan omega 3 yang tinggi sebesar 3,90 gram per 100 gram ikan sehingga
baik untuk dikonsumsi oleh masyarakat (Salma et al,2012). Tingginya konsumsi
ikan ini akan menghasilkan berbagai limbah sebagai hasil samping pada proses
produksinya baik limbah cair maupun limbah padat dan belum dimanfaatkan
secara optimal. Kurangnya pengelolaan dari limbah tersebut akan menimbulkan
bau tidak sedap yang dapat mengganggu aktivitas dan kesehatan masyarakat yang
berada di area sekitar, menurunkan keindahan lingkungan, serta menurunkan
kualitas air yang dapat mencemari lingkungan (La Ifa et al, 2018). Salah satu
limbah yang dihasilkan dari pengolahan ikan tembang adalah sisik ikan.

Sisik ikan adalah lapisan terluar yang terdapat pada bagian kulit ikan yang
berfungsi sebagai penghalang untuk mencegah masuknya senyawa asing ke dalam
tubuh ikan (Zhu et al, 2011). Sisik ikan merupakan limbah yang belum di
manfaatkan secara optimal, padahal limbah ini masih dapat di manfaatkan karena
banyak mengandung senyawa kimia seperti protein organik (41-84 %) dan sisanya
merupakan residu mineral dan garam inorganik (Nur & Asy’ari, 2020).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Izzati et al (2018), sisik ikan
mengandung air (30-36,8 %), abu (18,7-26,3 %), lemak (0,1-1,0%), protein (9,8-
40,9 %) dan kitin (0,4-3,7%). Salah satu alternatif untuk menangani permasalahan
dari limbah sisik ikan adalah dengan mengubah kitin menjadi kitosan.

Kitosan adalah biopolimer polikationik yang terbentuk oleh rantai lurus


dari unit berulang 2- amina-2-deoksi-D-glukopiranosa yang terikat oleh ikatan β-
(1,4). Kitosan merupakan produk dari hasil deasetilasi kitin baik melalui proses
reaksi kimia maupun reaksi enzimatis. Kitosan memiliki beberapa sifat yang
menguntungkan seperti hydrophilicity, biodegradability, biocompatibility, sifat
anti bakteri dan mempunyai afinitas yang besar terhadap enzim (Indrawati &
Cahyaningrum, 2013). Senyawa ini dapat di temukan pada cangkang udang,
kepiting, kerang, serangga, annelida, sisik ikan, jamur dan alga (La Ifa et al,
2018). Kitosan telah digunakan di berbagai aplikasi mulai dari kosmetik, kulit
buatan, penyembuhan luka, antimikroba, fotografi, makanan dan gizi (Tamer et
al. 2017).

Proses pembuatan kitosan terdiri dari proses deproteinasi, demineralisasi


dan deasetilasi. Pada prinsipnya proses deproteinasi adalah memisahkan atau
melepaskan ikatan-ikatan antara protein dan kitin. Proses ini akan melepaskan
protein dengan membentuk Na-proteinat yang dapat larut (Kurniasih & Kartika
2011). Makin kuat basa dan suhu yang digunakan maka proses pemisahannya
semakin efektif. NaOH merupakan salah satu basa yang dapat digunakan pada
proses deasetilasi dalam pembuatan kitosan. Fungsi NaOH adalah untuk memutus
ikatan antar karbon yang terdapat pada gugus asetil (-CH3COO) dengan nitrogen
yang ada pada kitin sehingga gugus asetil akan terlepas kemudian terjadi
2

pembentukan gugus amina (-NH2) (Izzati et al., 2018). Secara teori, NaOH
memiliki pengaruh terhadap proses pembuatan kitosan. Dimana semakin tinggi
konsentrasi NaOH yang digunakan pada proses deasetilasi menyebabkan semakin
tinggi juga mutu kitosan yang didapat (Tanasale et al., 2010). Penelitian
mengenai pembuatan kitosan dari sisik ikan telah dilakukan oleh Izzati et al
(2018), yang membuat kitosan dari sisik ikan papuyu dengan variasi konsentrasi
NaOH dan diperoleh kandungan kitosan tertinggi pada konsentrasi NaOH 60%
sebesar 62,81%. La Ifa et al. (2018) melakukan penelitian pembuatan kitosan dari
sisik ikan kakap merah dengan variasi konsentrasi NaOH (40, 50 dan 60 %) pada
proses deasetilasi. Dari hasil penelitian diperoleh kitosan dengan derajat
deasetilasi tertinggi sebesar 73,40% pada konsentrasi NaOH 60%. Bangngalino &
Akbar (2017) membuat kitosan dari sisik ikan Bandeng dengan menggunakan
NaOH 70% pada proses deasetilasi sebagai pengawet makanan dan diperoleh
kitosan dengan derajat deastilasi sebesar 81,56%. Nur & Asy’ari (2020) juga
membuat kitosan dari sisik Ikan Biji Nangka, Gutila, Lalosi dan Kakatua dengan
menggunakan NaOH 50% pada proses deastilasi. Dari hasil penelitian didapatkan
rendamen kitosan tertinggi terdapat pada sisik Ikan Gutila sebesar 13,22%.

Berdasarkan latar belakang diatas, pada penelitian ini akan dilakukan


pembuatan kitosan dari sisik ikan tembang dengan memvariasikan konsentrasi
NaOH pada proses deasetilasi. Kitosan yang diperoleh akan dikarakterisasi
menggunakan FTIR untuk mengetahui gugus fungsi dan derajat deasetilasi dari
kitosan.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah berapa konsentrasi NaOH optimum
pada proses deasetilasi dalam pembuatan kitosan dari limbah sisik ikan tembang?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi NaOH optimum
pada proses deasetilasi dalam pembuatan kitosan dari limbah sisik ikan tembang

1.4 Manfaat

Dengan memanfaatkan limbah sisik ikan sebagai bahan baku pembuatan


kitosan, maka dapat mengurangi pencemaran air, udara, dan tanah dan dapat
meningkatkan nilai ekonomi dari limbah sisik ikan tersebut. Dengan penelitian
ini, sisik ikan dapat diproduksi sebagai kitosan yang dapat diaplikasikan secara
luas dalam bidang industri, pangan, farmasi dan bioteknologi.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Tembang

Ikan tembang merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang menyebar luas
di perairan Indonesia. Ikan tembang juga merupakan ikan yang bergerombolan
dan merupakan target tangkapan nelayan. Ikan tembang hampir setiap hari
dikomsumsi oleh masyarakat. Selain itu ikan tembang dapat diolah menjadi ikan
asin, ikan kering, bakso dan sebagainya.

Ikan tembang banyak dikonsumsi oleh masyarakat karena mengandung


gizi yang tinggi terutama protein. Protein ikan tembang dikategorikan sebagai
complete protein, yaitu memiliki kadar asam amino esensial yang tinggi. Ikan
tembang merupakan makanan yang banyak vitamin dan kaya akan omega 3 yang
dibutuhkan tubuh (Salmah et al.,2017).
4

Gambar 2.1.Ikan Tembang( S.Fimbriata) (Dokumentasi Pribadi)

Menurut Adrimet al.(2004), klasifikasi ikan tembang adalah sebagai


berikut :

Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Actinopterygii

Ordo : Clupeiformes

Famili : Clupeidae

Subfamili : Incertae sedis

Genus : Sardinella

Spesies : Sardinella fimbriata

Nama lokal : Tembang

Ikan tembang (S. fimbriata) dicirikan oleh bentuk badan yang


memanjang dan pipih. Badan sedikit pipih, panjang total 3,6 sampai 4,1 kali lebar;
pada bagian perut meruncing dengan beberapa scute yang terbalik; post-
pelvic scutes berjumlah 15 sampai 16 (biasanya 14 atau 17 sampai 18).
Sirip dorsal mulai dari bagian belakang kepala, dasar sirip anal lebih pendek
dan terletak sejajar dengan dasar sirip dorsal bagian belakang, pelvic fin
5

terletak di bawah sirip dorsal bagian depan. Jumlah daun insang berkisar antara
43 sampai 63 pasang. Pada bagian depan terdapat scales yang sedikit bergerigi
(Hari et al.,2010)

Ikan tembang mempunyai panjang maksimum 18,5 cm, namun yang


biasanya berukuran 15 cm. Pada bagian punggung bewarna biru kehijauan
dan bagian belakang bewarna keperakan. Bagian tengah badan terdapat garis
kecil bewarna kuning secara horizontal, pada bagian depan punggung ada bintik
hitam yang bercahaya. Striae vertikal pada sisik tidak bertemu di pusat, pada
bagian pinggiran belakang sisik terdapat banyak lubang pori-pori yang halus
(Hari et al., 2010). Komposisi ikan tembang dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1.Komposisi ikan tembang


No Komposisi Kandungan ( %)
1. Air 76,6 %
2. Protein 16,6 %
3. Lemak 2,0 %

Sumber : Sukma et al .(2019)

Sisik ikan merupakan limbah yang belum dimanfaatkan dengan optimal.


Sisik ikan dalam skala industri (diperoleh dari industri filet ikan) yang dapat
dimanfaatkan sebagai sumber kolagen, gelatin juga kitosan, sedangkan dalam
skala rumah tangga hanya menghasilkan limbah ikan. Sisik ikan banyak
mengandung senyawa organik antara lain protein sebesar 41-84% berupa kolagen
dan ichtylepidin. Komposisi sisik ikan dapat dilihat pada tabel 2 berikut.

Tabel 2.Komposisi sisik ikan


No Komposisi Kandungan (%)
.
1. Air 70 %
2. Lemak 1%
3. Protein 27 %
4. Abu 2%

Sumber:Budirahardjo (2010)

2.2 Kitin

Kitin merupakan biomaterial alami tergolong polisakarida struktural


terbanyak kedua setelah selulosa. Lebih dari sepuluh gigaton (1013 kg) kitin
tersedia di alam. Kitin sebagai penyusun struktur organ atau kulit baik tumbuhan
seperti fungi dan jamur, maupun hewan seperti avertebrata laut, serangga, dan
rotifer.
6

Kitin mempunyai rumus molekul (C8H13O5)n yang tersusun atas 47% C,


6% H, 7% N, dan 40% O berupa polimer rantai lurus, dengan monomer-monomer
N-asetil-D-glukosamin yang berikatan dengan ikatan β-(1,4), atau secara kimia
disebut unit β-(1,4)2-asetamido-2-deoksi-β-D-glukosa (Santosa, 2014). Kitin
adalah kelompok karbohidrat yang tergolong struktural homoglycans. Monomer
kitin adalah 2-asetamida-2-deoksi-D-Glukosa (N-asetil glukosamin). Ikatan antara
monomer kitin adalah ikatan glikosida pada posisi β (1-4). Struktur molekul kitin
berupa rantai lurus panjang (Minda, 2010). Kitin memiliki sifat mudah
terdegradasi secara biologis, tidak beracun, tidak larut dalam air, asam anorganik
encer, serta asam-asam organik lainnya, tetapi larut dalam larutan dimetil
asetamida dan litium klorida (Harianingsih, 2010). Struktur kitin ditampilkan pada
Gambar 2 berikut.

Gambar 2. Struktur kitin (Lestari, 2011)

Kitin merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui dan banyak dipakai
untuk pengolahan limbah, kosmetik dan obat-obatan. Kitin berupa padatan amorf
yang putih bening, tidak beracun, dapat dibiodegradasi, tidak larut dalam air,
alkali lemah, asam lemah, alkali jenuh dan larutan organik. Kitin larut dalam asam
mineral kuat dan asam formiat anhidrid. Kitin dapat membentuk kompleks dengan
ion logam transisi dan dapat menyerap zat warna terutama dengan mekanisme
pertukaran ion. Kitin juga dapat dimanfaatkan untuk agen chelat yang banyak
dipakai untuk pengolahan air minum dengan memisahkan senyawa organik dan
logam berat.

2.3 Kitosan

Kitosan (C6H11NO4)n adalah senyawa yang berbentuk padatan amorf


berwarna putih kekuningan, bersifat polielektrolit. Umumnya larut dalam asam
organik, pH sekitar 4-6,5 , tidak larut pada pH yang lebih rendah atau lebih tinggi
(Dompeipen et al. 2016). Kitosan merupakan biopolymer alami dengan
kelimpahan terbesar kedua setelah selulosa, merupakan produk deasetilasi kitin
baik melalui proses reaksi kimia maupun reaksi enzimatis. Senyawa ini dapat
ditemukan dalam sisik ikan, cangkang udang, kepiting, kerang dan alga
(Kaimudin & Leonupun, 2016).

Kitosan merupakan biopolimer alam, berbentuk polisakarida linier yang


tersusun atas β-(1-4) linked D-glucosamine dan N-acetyl-D glucosamine. Kitosan
7

dihasilkan dari kitin dan mempunyai struktur kimia yang sama dengan kitin terdiri
dari rantai molekul yang panjang dan berat molekul yang tinggi. Perbedaan antara
kitin dan kitosan adalah disetiap cincin molekul kitin terdapat gugus asetil (CH 3-
CO) pada atom karbon yang kedua, sedangkan pada kitosan terdapat gugus amina
(NH). Kitosan dihasilkan dari kitin dengan cara deasetilasi yaitu dengan cara
direaksikan menggunakan alkali konsentrasi tinggi dengan waktu yang relative
lama dan suhu tinggi. Struktur kitosan ditampilkan pada Gambar 3 berikut.

Gambar 3.Struktur Kitosan (Lestari, 2011)

Kitosan merupakan turunan hasil deasetilasi dari kitin dengan struktur (β-
(1-4)-2-amina -2-deoksi-D glukosa) dengan derajat deasetilisasinya lebih dari
60%. Produksi kitosan meliputi demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi.
Kondisi ekstrim yang digunakan pada saat proses deasetilasi menyebabkan
kitosan mempunyai rantai lebih pendek dibandingkan kitin. Oleh karena itu, jika
kitosan dilarutkan dalam asam encer, viskositasnya bervariasi menurut berat
molekul dan derajat deasetilisasinya. Kitosan berwarna putih kecokelatan
(Modrzejewska et al., 2014)

Kitosan merupakan produk biologis yang bersifat kationik, non toksik,


biodegradable dan biokompatibel. Kitosan memiliki sifat relatif lebih reaktif dari
kitin dan mudah diproduksi dalam bentuk serbuk, pasta, film, serat (Suherman et
al. 2018). Kitosan memiliki gugus amino (NH 2) yang relatif lebih banyak
dibandingkan kitin sehingga lebih nukleofilik dan bersifat basa. Kristalinitas
kitosan yang disebabkan oleh ikatan hidrogen intermolekuler maupun
intramolekuler lebih rendah dibandingkan kitin sehingga lebih mudah
diaplikasikan dalam beberapa reagen. Kitosan tidak larut dalam air, larutan basa
kuat, sedikit larut dalam HCl, HNO3, H2SO4 dan beberapa pelarut organik seperti
alkohol dan dimetilsulfoksida. Kitosan larut dalam asam organik atau mineral
encer melalui protonasi gugus amina bebas pada pH < 6,5. Pelarut yang baik
untuk kitosan adalah asam format, asam asetat dan asam glutamat (Antuni, 2007).
Spesifikasi kitosan dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Spesifikasi kitosan


No Spesifikasi Kitosan dapat Kitosan untuk industri
. di makan
1. Warna Putih Putih / abu-abu
2. Granulitas Serbuk /serpihan Serbuk /serpihan
3. Kelembaban ≤ 10 % ≤ 10 %
8

4. Kadar abu ≤1% ≤2%


5. Ketidaklarutan ≤ 1% ≤ 2%
6. Derajat ≥ 85 % ≥ 85 %
deasetilasi
7. Ph 7-9 7-9

Sumber : (Amaliya & Astari, 2015).

Kitosan banyak dimanfaatkan secara komersial baik di bidang pangan,


biomedis, kosmetik, lingkungan dan pertanian. Adapun parameter mutu kitosan
yang digunakan adalah Derajat Deasetilasi (DD). Derajat Deasetilasi adalah suatu
parameter mutu kitosan yang menunjukkan persentase gugus asetil yang dapat
dihilangkan dari rendemen kitosan. Semakin tinggi DD kitosan, maka gugus asetil
kitosan semakin rendah sehingga interaksi antar ion dan ikatan hidrogen semakin
kuat (Rochima 2014).

Sukma et al.(2014) melakukan penelitian menggunakan rajungan lokal


sebagai kitosan. Penelitian ini diarahkan untuk melakukan optimasi reaksi
deasetilasi kitin menjadi kitosan menggunakan NaOH 70% dengan melakukan
variasi lama reaksi deasetilasi. Kitosan hasil optimasi deasetilasi dengan variasi
lama reaksi berbentuk serbuk berwarna putih kecoklatan dengan rendemen rata-
rata 38,00% Hasil tahap ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai DD
pada reaksi selama 9, 16, dan 24 jam. Nilai DD-nya berturut-turut, yaitu 74,37%;
84,96% dan 87,96%. Tahapan deasetilasi kitosan dengan lama reaksi 24 jam
menghasilkan nilai DD tertinggi (87,96%) dengan rendemen 46,25%.

Novita Susanti & Ani Purwanti (2020) melakukan penelitian pembuatan kitosan
dari limbah sisik ikan (Variabel Konsentrasi Larutan NaOH dan Waktu
Ekstraksi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat deasetilasi kitosan
tertinggi pada variasi konsentrasi larutan NaOH 40% sebesar 87,28%, sedangkan
pada variasi waktu ekstraksi sebesar 86,31 % yang didapat dari proses deasetilasi
menggunakan suhu 90°C dengan waktu pemanasan 2 jam.

2.4 Derajat deasetilasi

Derajat deasetilasi kitosan dapat ditentukan dengan spektroskopi Infra


merah. Derajat deasetilasi (DD) kitosan komersiil sekitar 60-100%.
Kusumaningsih et al.(2004) menyatakan bahwa spesifikasi kitosan untuk kualitas
teknis mempunyai DD 85%, kualitas makanan 90% dan farmatis 95%. Semakin
tinggi nilai DD maka kualitas kitosan makin baik (Amaliya & Astari, 2015).

Aplikasi kitosan berdasarkan tingkat kemurniannya dapat digolongkan


menjadi (Beaulieu,2005) :

a. Tingkat teknis,dipakai untuk pertanian dan pengolahan air.

b. Tingkat murni, dipakai untuk makanan dan kosmetik.

c. Tingkat ultra murni, dipakai untuk biofarmatika.


9

2.5 Fourier Transform Infrared (FTIR)

Spektroskopi merupakan suatu teknik eksperimental yang relatif mudah


untuk mendapatkan spektrum dari sampel dalam bentuk cairan, padat maupun gas
yang akan diuji (Stuart 2004). Pada penelitian ini akan dilakukan kerakterisasi
menggunakan jenis spektroskopi inframerah (IR) yang memiliki panjang
gelombang berkisar 0,78 sampai 1000 m. Spektroskopi IR memiliki dua variasi
diantaranya metode dispersive dan metode Fourier Transform (FT). Metode
dispersif merupakan metode yang lebih awal dibandingkan metode FT. Prisma
atau kisi yang dipakai pada metode dispersif digunakan untuk mendispersifkan
radiasi inframerah. Sementara pada metode FT menggunakan prinsip dari
inferometer. Metode FT memiliki beberapa keunggulan dibandingkan metode
dispersif diantaranya dapat mencakup sampel yang berukan kecil, pada peralatan
ini dilengkapi dengan komputer dengan kemampuan menyimpan dan
memanipulasi spectrum (Stevens, 2007).

FTIR merupakan salah satu teknik spektroskopi optik yang secara efektif
dapat memberikan informasi tentang komposisi bahan kimia pada tingkat
molekular. FTIR digunakan untuk menentukan gugus fungsi kimia dari senyawa
organik dan anorganik (Bunaciu et al., 2015). Hampir semua senyawa yang
menunjukan karakteristik penyerapan atau emisi didaerah spectrum IR. Dengan
demikian, FTIR dapat digunakan untuk menganalisis senyawa baik secara
kuantitatif maupun kualitatif (Simonescu, 2012).

Salah satu alat yang digunakan dalam karakterisasi spektroskopi IR yaitu


spektrofotometer FTIR (Fourier Transform Infra Red). Sampel yang akan
dikarakterisasi menggunakan spektrofotometer FTIR akan diperoleh data berupa
bilangan gelombang (cm-1) dan transmitansi (%) ( Miftahatul et al. 2013).
Menurut Joni (2007), bilangan gelombang (cm-1) merupakan jumlah panjang
gelombang per cm sehingga dapat dinyatakan bahwa bilangan gelombang
berbanding terbalik dengan panjang gelombang yang diserap detektor.

Prinsip kerja spekstroskopi IR adalah sampel dilewati oleh sinar IR


monokromatis dan jumlah energi yang diabsorp dicatat. Dengan mengulang
prosedur pada range 4000–500 cm-1 akan didapatkan spektra antara panjang
gelombang (l) atau frekuensi versus prosentase transmitan (T) (Amaliya & Astari,
2015)

Prinsip kerja FTIR secara umum dapat ditunjukan pada Gambar 4.


Interferometer dapat mengubah cahaya IR yang polikromatik menghasilkan
beberapa berkas cahaya membentuk sinyal interferogram. Gelombang tersebut
dilewatkan pada sampel dan ditangkap oleh detector yang terhubung ke komputer
sehinggah dihasilkan gambaran spectrum sampel yang diuji. Spektrum tersebut
menunjukan hubungan antara intensitas serapan sampel dan bilangan gelombang
(Sabrina, 2011).
10

Gambar 4. Prinsip Kerja FTIR (Suseno & Firdausi, 2008)

Sistem optik spektrofotometer FTIR yaitu menggunakan prinsip kerja


Interferometer seperti pada Gambar 5. Cahaya yang jatuh pada pemisah berkas
(beam splitter) akan ditransmisikan sebagian gelombang menuju cermin tetap M1
dan sebagian lagi dipantulkan menuju cermin M2. Kedua berkas tergabung
kembali di beam splitter kemudian di pancarkan ke sampel dan diterima oleh
detector (Sabrina 2011).

Keterangan:

1. Sumber cahaya IR

2. Beam splitter

3. Cermin tetap (M1)

4. Cermin yang dapat


digerakan naik/turun(M2)

5. Sampel

6. Detektor

Gambar 5. Sistem Optik Spektrofotometer FTIR (Suseno & Firdausi, 2008)

La Ifa et al.(2018) melaporkan bahwa kitosan yang diuji menggunakan Fourier


Transform Infra Red (FTIR) menunjukkan bahwa kondisi optimum proses
deasetilasi kitin menjadi kitosan adalah pada konsentrasi NaOH 60% yang
11

memberikan derajat deasetilasi sebesar 73,40%.Menurut Hargono et al.


(2008)derajat deasetilasi kitosan paling tinggi adalah 82,98% yang didapat dari
proses deasetilasi menggunakan konsentrasi NaOH 50%, sedangkan kondisi yang
efektif proses penyerapan lemak adalah pada konsentrasi (g/mL) berat Kitosan 5
gr di dalam 50 mL lemak serta waktu penyerapan lemak 60 menit menunjukkan
derajat penyerapan kolesterol sebesar 45,46%.

Spektra FTIR kitosan menunjukkan adanya serapan pada daerah bilangan


gelombang 3441,01 cm-1 (O-H stetching), 1660,71 (C=O amida). Serapan pada
bilangan gelombang 1660.71 cm-1 (puncak amida) masih muncul disebabkan
kitosan yang dihasilkan belum terdeasetilasi secara keseluruhan. Kualitas kitosan
dapat diketahui juga dari besarnya persen derajat deasetilasi. Pada penelitian ini
diperoleh persen derajat deasetilasi sebesar 84,85%, hal ini menunjukkan belum
seluruhnya kitin terdeasetilasi menjadi kitosan. Kitosan dikatakan telah
terdeasetilasi sempurna jika DD >90% (Agustina et al. 2015). Masih rendahnya
DD kitosan hasil penelitian disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya faktor
pengadukan, suhu serta jenis habitat atau pemeliharaan udang yang digunakan.
Spektra FTIR pembentukan senyawa kitosan pada penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 6.

Gambar 6. Spektra FTIR Kitosan (Agustina et al. 2015)


12
13

BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan dari bulan Juli – September 2021 di


Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Timor dan pengujian kitin dan
kitosan menggunakan spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (FTIR) akan
dilakukan di Laboratorium Energi dan Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh
Nopember.

3.2 Alat dan Bahan penelitian


3.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas beker, erlenmeyer,
labu ukur, pengaduk magnetik, blender, kertas saring, oven, desikator, neraca
analitik, corong, pengaduk kaca, gelas arloji, pipet volume, pipet tetes, furnance,
dan spektofotometer FTIR.

3.2.2Bahan

Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah limbah sisik ikan
tembang yang diambil dari Desa Wini, indikator pH universal, natrium hidroksida
(Merck), asam klorida (Merck), asam asetat (Merck), dan akuades.

3.3 Prosedur Kerja


3.3.1Preparasi Sampel

Sampel sisik ikan tembang diambil, lalu dicuci dengan air bersih untuk
membersihkan kotoran-kotoran yang masih menempel. Selanjutnya sisik ikan
dikeringkan dibawah sinar matahari hingga kering, kemudian dihaluskan. Sisik
ikan yang telah dihaluskan kemudian diayak menggunakan ayakan 100 mesh.
14

3.3.2 Deproteinasi

Limbah sisik ikan tembang sebanyak 100 gram dilarutkan dalam larutan NaOH
3,5% (b/v) dengan perbandingan serbuk sisik ikan : pelarut = 1 : 10 (b/v),
kemudian dipanaskan selama 2 jam pada suhu 65℃ sambil terus diaduk dengan
menggunakan magnetic stirrer. Selanjutnya campuran ini didinginkan dan
disaring dengan kertas saring. Residu yang telah disaring, dicuci dengan
akuadessampai pHnetral.Residu netral yang didapat merupakan kitin kasar yang
kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 65℃ selama 24 jam dan
ditimbang.

3.3.3 Demineralisasi

Endapan hasil deproteinasi dimasukkan ke dalam larutan HCl 1 N dengan


perbandingan 1 : 15 (b/v), kemudian diaduk menggunakan magnetic stirrer
dengan kecepatan 600 rpm selama 30 menit pada suhu ruang. Endapan lalu
disaring dan dibilas dengan akuades hingga pH netral. Residu kemudian
dikeringkan dalam oven 65°C selama 24 jam dan ditimbang. Endapan akhir yang
dihasilkan merupakan kitin kemudian dianalisis menggunakan Spektrofotometer
FTIR.

3.3.4 Deasetilasi

Kitin yang dihasilkan dari proses demineralisasi dimasukkan ke dalam


larutan NaOH 30% dengan perbandingan 1 : 10 (b/v) sambil dipanaskan selama 4
jam pada suhu 120°C sambil diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer
dengan kecepatan 600 rpm. Campuran kemudian disaring menggunakan kertas
saring dan dicuci dengan akuades sampai pH netral kemudian dikeringkan dalam
oven pada suhu 65°C selama 24 jam. Endapan yang dihasilkan merupakan kitosan
dan dianalisis menggunakan Spektrofotometer FTIR. Langkah yang sama
dilakukan untuk larutan NaOH 40%, 50%, 60%, dan 70%.

3.5.3 Karakterisasi Kitosan

3.5.3.1Analisa Kadar Air (AOAC, 1995)

Sebanyak 1 gram kitosan dimasukkan kedalam cawan porselin yang telah


diketahui beratnya.Cawan yang berisi kitosan dimasukan kedalam oven dan
dipanaskan pada suhu 105˚C selama 2 jam kemudian didinginkan dalam desikator
lalu ditimbang.

Kadar air pada kitosan dihitung menggunakan rumus:


( W 1−W 0 )−(W 2−W 0)
Kadar Air ( % )= x 100 %
( W 1−W 0 )
Keterangan : W0 = Berat cawan kosong (g)

W1 = Berat cawan dan kitosan (g)

W2 = Berat cawan dan kitosan setelah dipanaskan (g)


15

3.5.3.2 Analisa Kadar Abu (AOAC, 1995)

Sampel kitosan sebanyak 1 gram ditimbang dalam cawan kosong yang


telah diketahui beratnya,kemudiandimasukkan cawan yang berisi kitosan ke
dalam furnace yang bersuhu 500℃selama 2 jam . Setelah itu didinginkan dalam
desikator hingga mencapai suhu ruang lalu ditimbang.

Kadar abu dari sampel kitosan dapat hitung menggunakan rumus :


C− A
Kadar Abu ( % ) = x 100 %
B

Keterangan:
A = Berat cawan kosong (g)
B = Berat cawan + kitosan (g)
C = Berat cawan + kitosan setelah difurnace dengan suhu 500˚C (g)

3.5.3.3 Penentuan Rendemen Kitosan


Penentuan Rendamen Kitosan berdasarkan pada perbandingan antara
berat kitosan yang dihasilkan dengan berat limbah sisik ikan. Besarnya rendamen
kitosan dapat dihitung menggunakan rumus (Setha et al., 2019):
Berat Kitosan
% Rendamen= x 100 %
Berat Sampel

3.5.3.4 Penentuan Viskositas Kitosan (Setha et al., 2019)


Sampel kitosan ditimbang sebanyak 0,1 gram kemudian dilarutkan dalam
100 mL larutan CH3COOH 2% sehingga dihasilkan larutan kitosan. Larutan
kitosan dipipet sebanyak 5 mL dan dimasukkan kedalam viskometer Ostwald
yang telah dipasang dalam penangas air dengan suhu 30˚C. selanjutnya diukur
waktu alir dari larutan kitosan dan dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan.
Nilai Viskositas dari kitosan yang diukur dengan viskometer ostwald dapat
dihitung menggunakan rumus:
η1 t 1 ρ 1
=
η2 t 2 ρ 2

Keterangan : η1 = Viskositas air (cP)


η2 = Viskositas larutan kitosan (cP)
t1= Waktu alir air (detik)
t2= Waktu alir larutan kitosan (detik)
ρ1= Berat jenis air (g/mL)
ρ2= Berat jenis larutan kitosan (detik)

3.5.3.5 Penentuan Derajat Deasetilasi

Untuk mengetahui hasil kitosan yang telah dibuat maka perlu dilakukan uji
derajat deasetilasi dengan menggunakan spektrofotometerFourier Transform
Infra Red (FTIR) dan berikut adalah cara kerja dari spektrofotometri tersebut :
16

Kitosan sebanyak 1 mg dicampurkan dengan 100 mg KBr. Kemudian


dihaluskan menggunakn mortar dan dimasukan kedalam pallet serta ditekan
hingga membentuk lapisan yang transparan. Selanjutnya pelet dimasukan
ketempat sampel dan dianalisis dengan spektrofotometer FTIR.

Rumus untuk perhitungan base line :

A 1655 100
DD=100− [ ]
×
A 3450 1,33

Keterangan :

DD : Derajat Deasetilasi,

A1655 :Absorbansi pada bilangan gelombang 1655 cm-1yang


menunjukkan serapan karbonil dari amida.

A3450 : Absorbansi bilangan gelombang 3450 cm-1 yang menunjukkan


serapan hidroksil dan digunakan sebagai standar internal.

A 1655
Faktor 1,33 : Nilai perbandingan [ A 3450]untuk kitosan yang terdeasetilasi
100%.
17

DAFTAR PUSTAKA

Adrim, M., I. Chen, Z. Chen, K.K.I. Lim, H.H. Tan, Y. Yusof and Z. Jafaar. 2004.
Marine Fishes Recorded from the Anambas and Natuna Islands, Sout China
Sea. The Raffles Bulletin of Zoology (11) : 11-13.

Agustina, Sry, I Swantara, and I Suartha. 2015. Isolasi Kitin, Karakterisasi, Dan
Sintesis Kitosan Dari Kulit Udang. Jurnal Kimia 9(2): 71–78.

Amaliya, Rahayu, and Indah Astari. 2015. Pembuatan Kitosan Dari Limbah Sisik
Ikan Dengan Proses Hidrolisa Basa.

Antuni. 2007. Pengaruh Konsentrasi Kitosan Dari Cangkang Udang Terhadap


Penyerapan Logam Berat.

Beaulieu, C. 2005. Chitin and Chitosan : Versatile and Multiplatform


Biomolecules,Http://Www.Plastictrends.Net/Articles/Chitosan.Htm.

Budirahardjo, R. 2010. Sisik Ikan Sebagai Bahan Yang Berpotensi Mempercepat


Proses Penyembuhan Jaringan Lunak Rongga Mulut, Regenerasi Dentin
Tulang Alveolar. J.K.G Unej 7(2): 36–40.
18

Bunaciu, A.A., V.D Hoang, H.Y.A Enein. 2015. Applications of FT-IR


Spectrophotometry in Cancer Diagnostics. Critical Reviews in Analytical
Chemistry.

Dompeipen, Edward J et al. 2016. Isolasi Kitin Dan Kitosan Dari Limbah Kulit
Udang Isolation. Majalah BIAM 12(1): 32–39.
http://ejournal.kemenperin.go.id/bpbiam/article/view/2326.

Hargono, Abdullah and Indro Sumantri. 2008. Pembuatan Kitosan Dari Limbah
Cangkang Udang Serta Aplikasinya Dalam Mereduksi Kolesterol Lemak
Kambing. Reaktor 12(1): 53.

Hari, Dilmaga et al. 2010. Keragaan Reproduktif Ikan Tembang ( Sardinella


Gibbosa ) Famili Clupeidae.

Harianingsih. 2010. Pemanfaatan Limbah Cangkang Kepiting Menjadi Kitosan


Sebagai Bahan Pelapis (Coater) Pada Buah Stroberi. Tesis. Undip:
Semarang.

Ifa, L., Artiningsih, A., Julniar , J, & Suhaldin S. 2018. Pembuatan Kitosan Dari
Sisik Ikan Kakap Merah. Journal Of Chemical Process Engineering 3(1): 43.

Izzati, Nahlia Husna et al. 2018. Identifikasi Awal Pengaruh Konsentrasi Naoh
Pada Pembuatan Kitosan Dari Limbah Sisik Ikan Papuyu. 31–35.

Joni, I.M. 2007. Pengantar Biospektroskopi.Bandung : Jurusan Fisika FMIPA


Universitas Padjadjaran.

Kaimudin, M. & Maria F Leonupun. 2016. Karakterisasi Kitosan Dari Limbah


Udang Dengan Proses Bleaching Dan Deasetilasi Yang Berbeda. Majalah
BIAM 01(12): 1–7.

Kurniasih, M. & Kartika, D. 2011. Sintesis Dan Karakterisasi Fisika-Kimia


Kitosan (Synthesis and Physicochemical Characterization of Chitosan).
jurnal inovasi 5: 42–48.

Kusumaningsih, T, A Masykur, and U Arief. 2004. Pembuatan Kitosan Dari


Kitin Cangkang Bekicot ( Achatina Fulica ) Synthesis of Chitosan from
Chitin of Escargot ( Achatina Fulica ). Jurnal Biofarmasi 2(2): 64–68.

Lestari. 2011. “Struktur Kitin dan Kitosan.” : 5–14.

Miftahatul, A.I., D Hikmawati, Siswanto . 2013. Sintesis Membran Penyaring


Logam Berat Timbal (Pb) Di Udara Berbasis Selulosa Asetat Dari Enceng
Gondok (Eichhornia Crassipes). jurnal fisika dan terapannya.

Minda Azhar, Jon Efendi, Erda Syofyeni, Rahmi Marfa Lesi, dan Sri Novalina.
2010. Pengaruh Konsentrasi Naoh Dan Koh Terhadap Derajat Deasetilasi
19

Kitin Dari Limbah Kulit Udang. 55.


http://eprints.uanl.mx/5481/1/1020149995.PDF.

Modrzejewska, Zofia, Agata Skwarczyńska, Waldemar Maniukiewicz, and


Timothy E L Douglas. 2014. Mechanism Of Formation Of Thermosensitive
Chitosan Chloride Gels. XIX: 25–34.

Novita Susanti, Ani Purwanti. 2020. Pembuatan Kitosan Dari Limbah Sisik Ikan
(Variabel Konsentrasi Larutan NaOH Dan Waktu Ekstraksi). Inovasi Proses
5(3): 40–45.

Rochima, E. 2014. Kajian Pemanfaatan Limbah Rajungan Dan Aplikasinya


Untuk Bahan Minuman Kesehatan Berbasis Kitosan. Jurnal Akuatika
Indonesia 5(1): 244874.

Sabrina, Q. 2011. Kajian Sifat Optis Pada Glukosa Darah. Skripsi. jakarta :
Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah.

Salmah, Titin, Benny Osta Nababan, and Ujang Sehabuddin. 2017. Opsi
Pengelolaan Ikan Tembang (Sardinella Fimbriata) Di Perairan Kabupaten
Subang, Jawa Barat. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan 7(1):
19.

Santosa, S. J. 2014. Dekontaminasi Ion Logam Dengan Biosorben Berbasis.

Setha, Beni, Fitriani Rumata, and Silaban Bernita Br. 2019. Karakteristik Kitosan
Dari Kulit Udang Vaname Dengan Menggunakan Suhu Dan Waktu Yang
Berbeda Dalam Proses Deasetilasi. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan
Indonesia. 22(3): 49–50.

Simonescu, C.M. 2012. Application of FTIR Spectroscopy in Environmental


Studies. Intech.

Stevens, M.P. 2007. Polymer Chemistry: An Introduction. Oxford University


Press, Inc.Terjemahan I. Sopyan.

Stuart, B. 2004. Infrared Spectroscopy : Fundamentals and Aplications. USA:


John Wiley and Sons,Inc.

Suherman, B, Muhdar Latif, Sisilia Teresia, and Rosmala Sisilia Teresia Dewi.
2018. Potensi Kiotsan Kulit Udang Vannamei (Litopenaus Vannamei)
Sebagai Antibaketeri Terhadap Staphylococakramus Epidermis,
Pseudomonas Aeruginosa, Propionibacterium Agnes, Dan Escherichia Coli
Dengan Metode Difusi C. Program Studi Farmasi Fakultas Farmasi
Universitas Indonesia Timur Makassa 14(1): 16–27.

Sukma, Sari, Sri Eva Lusiana, Masruri, and Suratmo. 2014. Kitosan Dari
20

Rajungan Lokal Portunus Pelagicus Asal Probolinggo, Indonesia. Kimia


Student Journal 2(2): 06–12.

Sukma, Hermanto & Suwarjoyowirayatno. 2019. Uji Fisik Kimia Dan Sensori
Kerupuk Ikan Tembang (Sardinella Sp.) Dengan Subtitusi Tepung Ubi Jalar
Putih (Ipomea Batatas L.). Jurnal Fish Protech 2(2): 60–66.

Suseno, Jatmiko Endro, and K Sofjan Firdausi. 2008. Rancang Bangun


Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared) Untuk Penentuan Kualitas
Susu Sapi. Berkala Fisika 11(1): 23-28.

Tamer, Tamer M. et al. 2017. Antibacterial and Antioxidative Activity of O-Amine


Functionalized Chitosan. Carbohydrate Polymers 169: 41–50.

Tanasale, Matheis F J D P et al. 2010. Kitosan Berderajat Deasetilasi Tinggi :


Proses Dan. (2003): 87–93.

Anda mungkin juga menyukai