Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN KELOMPOK

PEMERIKSAAN DARAH DAN NEKROPSI

HEWAN PERCOBAAN

NAMA KELOMPOK :

ANGGRAITA DEWI A.P.P 1704015339

SAYUDA 1704015073

NOVIA ELSA SUSANTI 1704015156

DIAN MAULIDIAWATI 1704015257

CICI NURFALA ARDIYANTI 1704015113

KELAS / KELOMPOK :

G1 / 3

DOSEN PEMBIMBING :

KRIANA EFENDI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA

FAKULTAS FARMASI DAN SAINS

JAKARTA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pengambilan darah hewan pada laboratorium dilakukan untuk
berbagai percobaan saintifik seperti : untuk mempelajari farmakokinetika
suatu obat, untuk mempelajari hormon, substrract adat sel darah merah.
Dalam bidang farmakokinetika dan metabolisme obat, sampel darah digunakan
untuk analisi berbagai konsentrasi obat dan hasil metabolitnya. Darah juga
diperlukan untuk beberapa percobaan in-vitro dengan menggunakan sel darah
merah atau fraksi protein plasma.
Teknik pengambilan sampel darah tergantung pada faktor-faktor
spesifik dari pertcobaan yang akan dilaksanakan. Perbedaan tersebut dapat
berupa teknik pengambilan sampel terminal atau teknik pengambilan sampel
nonterminal. Kondisi darah yang dikumpulkan pada akhir percobaan setelah
hewan dimatikan (terminal eksperimen) adalah amat berbeda (pembiusan,
volume darah) ddibandingkan pengambilan tunggal atau berulang dari hewan
yang sadar. Meminimalkan rasa sakit/nyeri dan perasaan stres pada hewan
selama proses berlangsung adalah hal yang mutlak, sebab semua itu akan
mempengaruhi hasil percobaan. Beberapa faktor biokimia dan fisiologi dapat
berubah akibat stres pada hewan percobaan, seperti tingginya tekanan darah
dan katekolamin tubuh, prolaktin dan glukokortikosteroid dapat mempengaruhi
beberapa parameter metabolit, juga kadar gula, jumlah sel darah merah dan
darah putih daan volume darah.
Farmakologi merupakan sifat dari mekanisme kerja obat pada sistem
tubuh termasuk menentukan toksisitasnya. Jalur pemakaian obat yang meliputi
secara oral, rektal, dan parenteral serta yang lainnya harus ditentukan dan
ditetapkan petunjuk tentang dosis-dosis yang dianjurkan bagi pasien dalam
berbagai umur, berat dan status penyakitnya serta teknik penggunaannya atau
petunjuk pemakaiannya.
Dalam arti luas farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa
terhadap sel hidup, lewat proses kimia khususnya lewat reseptor. Dalam ilmu
kedokteran senyawa tersebut disebut obat, dan lebih menekankan pengetahuan
yang mendasari manfaat dan resiko penggunaan obat. Karena itu dikatakan
farmakologi merupakan seni menimbang ( the art of weighing). Obat
didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah, mengobati,
mendiagnosis penyakit/gangguan, atau menimbulkan suatu kondisi tertentu,
misalnya membuat seseorang infertil, atau melumpuhkan otot rangka selama
pembedahan hewan coba. Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus dengan
farmasi, yaitu ilmu cara membuat, menformulasi, menyimpan dan
menyediakan obat.
Hewan coba / hewan uji atau sering disebut hewan laboratorium adalah
hewan yang khusus diternakan untuk keperluan penelitian biologik. Hewan
percobaan digunakan untuk penelitian pengaruh bahan kimia atau obat pada
manusia. Peranan hewan percobaan dalam kegiatan penelitian ilmiah telah
berjalan sejak puluhan tahun yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan
pembangunan nasional bahkan internasional, dalam rangka keselamatan umat
manusia di dunia adalah adanya Deklarasi Helsinki. Deklarasi ini berisi tentang
segi etik percobaan yang meng-gunakan manusia antara lain dikatakan
perlunya diakukan percobaan pada hewan, sebelum percobaan di bidang
biomedis maupun riset lainnya dilakukan atau diperlakukan terhadap manusia,
sehingga dengan demikian jelas hewan per-cobaan mempunyai mission di
dalam keikutsertaannya menunjang program keselamatan umat manusia
melalui suatu penelitian biomedis.
Faktor-faktor yang Perlu Diperhatikan dalam Hewan Percobaan
Penanganan hewan percobaan hendaklah dilakukan dengan penuh rasa kasih
sayang dan berprikemanusiaan. Di dalam menilai efek farmakologis suatu
senyawa bioaktif dengan hewan percobaan dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, antara lain :
1. Faktor internal pada hewan percobaan sendiri : umur, jenis kelamin, bobot
badan, keadaan kesehatan, nutrisi, dan sifat genetik.
2. Faktor–faktor lain yaitu faktor lingkungan, keadaan kandang, suasana
kandang, populasi dalam kandang, keadaan ruang tempat pemeliharaan,
pengalaman hewan percobaan sebelumnya, suplai oksigen dalam ruang
pemeliharaan, dan cara pemeliharaan.
3. Keadaan faktor–faktor ini dapat merubah atau mempengaruhi respon
hewan percobaan terhadap senyawa bioaktif yang diujikan. Penanganan
yang tidak wajar terhadap hewan percobaan dapat mempengaruhi hasil
percobaan, memberikan penyimpangan hasil. Di samping itu cara
pemberian senyawa bioaktif terhadap hewan percobaan tentu
mempengaruhi respon hewan terhadap senyawa bioaktif yang bersangkutan
terutama segi kemunculan efeknya. Cara pemberian yang digunakan tentu
tergantung pula kepada bahan atau bentuk sediaan yang akan digunakan
serta hewan percobaan yang akan digunakan. Sebelum senyawa bioaktif
dapat mencapai tempat kerjanya, senyawa bioaktif harus melalui proses
absorpsi terlebih dahulu.
1.2. Rumusan Masalah
a) Bagaimana cara pembedahan pada hewan coba
b) Apa saja bagian-bagian organ tubuh pada hewan
c) Apa saja dan bagaimana teknik pengambilan darah pada hewan coba
1.3. Tujuan
Mahasiswa dapat mengetahui :
a) Cara anestesi pada hewan percobaan
b) Cara nekropsi hewan percobaan
c) Organ oragan dalam hewan percobaan
d) Terampil bekerja dengan beberapa hewan percobaan, yaitu mencit dan tikus
putih.
e) menghayati secara lebih baik berbagai prinsip farmakologi yang diperoleh
secara teoritis.
f) menghargai hewan percobaan karena perannya dalam mengungkapkan
fenomena-fenomena kehidupan.
g) Mengetahui berbagai macam Teknik pengambilan darah pada hewan coba
dengan benar
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Autopsi / nekropsi / obduksi / seksi / bedah bangkai, untuk melakukan


pemeriksaan yang cepat dan tepat dalam menetapkan diagnose pada beberapa sebab
penyakit atau kematian dari seekor hewan. Biasanya untuk melengkapi hasil
diagnosa yang akurat harus ditunjang dengan hasil pemeriksaan dari beberapa
laboratorium penunjang, seperti bakteriolagi, virology, parasitologi, patologiklinik,
toxicology dsb.

Nekropsi tidak akan dapat mengungkapkan semua penyebab dari suatu


penyakit , penyebab kejadian suatu penyakit, kebanyakan berhubungan dengan
manajemen, termasuk pemenuhan nutrisi yang buruk, kekurangan pakan dan
minum, ventilasi yang tidak mencukupi, sanitasi yang buruk, unggas mengalami
kedinginan atau kepanasan, dan populasi yang berlebihan. Keadaan serupa tadi
memerlukan pemeriksaan lapangan untuk menentukan penyebab masalah.
Nekropsi seringkali dilakukan untuk dapat mengidentifikasi proses penyakit
infeksius, defisiensi nutrisi, keracunan, penyakit parasitik, dan tumor.

Nekropsi (pemeriksaan postmortem) dilakukan untuk menentukan kausa


penyakit dengan melakukan diskripsi lesi makroskopis dan mikroskopis dari
jaringan dan dengan melakukan pemeriksaan serologis dan mikrobiologis yang
memadai. Pemeriksaan postmortem dilakukan bila ditemukan adanya penurunan
produksi, terdapat tanda-tanda yang jelas akan sakit atau diketahui adanya
peningkatan jumlah kematian, dan atas permintaan klien.

Pada umumnya ada 2 macam cara nekropsi yaitu : (1). Seksi lengkap,
dimana setiap organ / jaringan dibuka dan diperiksa. (2) seksi tidak lengkap, bila
kematian / sakitnya hewan diperkirakan menderita penyakit yang sangat menular/
zoonosis ( anthrax, AI, TBC, hepatitis dsb ). Nekropsi harus dilakukan sebelum
bangkai mengalami autolisis, jadi sekurang-kurang 6 – 8 jam setelah kematian.

Record / Catatan medis meliputi :


1. Anamnesa, meliputi : nama hewan, alamat , tanggal, waktu kematian,
sejarah penyakitnya (berapa lama, gejala klinis, pengobatan, vaksinasi,
angka kematian dsb), data laboratorium bila ada misal : pemeriksaan darah,
urine , feces dsb.
2. Signaleman: identitashewan (ras, bangsa , jenis kelamin, umur, warna
bulu).
3. Gejala klinis: yang terjadi selama sakit/ sebelum mati (diare, muntah, lesu,
nafsu makan, dsb)
Pemeriksaan secara umum sebelum dilakukan bedah bangkai, antara lain
seperti:
a. Kondisi umum : keadaan kulit/ bulu, lubang alami , adanya ektoparasit,
warna mukosa, dsb. Pemeriksaan keadaan luar secara umum : jenis hewan,
kelamin, umur, keadaan gigi, kondisi, kulit. Selaput mukoso mata, rongga
mulut, bawah lidah. Telinga, leher, perut, bagian dalam paha kemungkinan
adanya vesikel, atau lesi yang lain. Persendian, telapak kaki, pangkal ekor,
sekitar anus, dan alat kelamin serta ambing.
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

2.1 Alat dan Bahan

 Hewan percobaan : tikus 3 ekor


 Alat bedah
 Ester
 Sarung Tangan
 Desinfektan
 Toples
 Kapas
 Jarum Pentul
 Steroform
 Microtube
 Pipa kapiler berkoagulan

2.2 Prosedur Pengerjaan

a. Anestesi Hewan Percobaan

Anestesi dilakukan dengan larutan eter (dengan kapas yang dibasahi eter,
masukkan dalam suatu tempat yang sesuai besar hewan cobanya (toples),
kemudian tikus dimasukkan dalam tempat tersebut, ditunggu sampai mati.

b. Nekropsi
Dimulai dengan pemeriksaan luar, termasuk pengamatan mulut, hidung,
mata, telinga, dan sebagainya. Selanjutnya tikus diletakkan pada meja
operasi atau alas khusus (seperti stereoform) dengan posisi terlentang,
supaya tidak bergeser difiksasi pada telapak kaki depan dan belakang
dengan menyematkan jarum pentul atau paku kecil. Insisi dimulai dari
dinding abdomen, memotong kulit dan muskulusnya, irisan dilanjutkan
kesisi kanan dan kiri, terus kearah kranial, memotong costae sehingga
rongga thorak terbuka. Selanjutnya diambil prgan apa yang diperlukan.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAAN

3.1 Hasil
Kelompok 1 besar :
a. Usus halus : Normal. Warna merah
b. Usus besar : Normal. Warna merah
c. Paru-paru : Normal. Warna merah
d. Hati : Normal. Warna merah
e. Jantung : Normal. Warna merah
f. Ginjal : Normal. Warna merah
g. Limfa : Normal. Warna merah
h. Lambung : Normal. Warna merah

3.2 Pembahasan

Nekropsi atau bedah bangkai hewan merupakan analogi dari autopsi pada
manusia. Tindakan ini bertujuan untuk melakukan pemeriksaan yang cepat dan
tepat dalam menetapkan diagnosa pada beberapa sebab penyakit atau kematian dari
hewan. Biasanya untuk melengkapi hasil diagnosi yang akurat harus ditunjang
dengan hasil pemeriksaan dari beberapa laboratorium penunjang, seperti
bakteriologi, virologi, parasitologi, patologi klinik, toksikologi, dan sebagainya.

Yang dilakukan pertama kali pada praktikum ini adalah pemeriksaan kodisi
fisik hewan cobanya. Setelah itu hewan coba diletakkan diatas stereoform, hewan
coba yang setengah sadar kemudian dimatikan dengan perlahan secara penekanan
pada bagian belakang leher kemudian ekornya ditarik kencang. Jika sudah mati
kemudian dilakukannya pembedahan secara perlahan dimulai dari bawah perut
sampai akhirnya menuju dekat kerongkongan. Pada saat pengguntingan kulit hewan
coba harus hati-hati agar organ didalamnya tidak terkena gunting. Setelah sudah
digunting sampai dekat kerongkongan, organ yang ada seperti usus, paru-paru, hati,
jantung, ginjal, limfa, dan lambung dikeluarkan untuk dilihat kondisi dan warna
dari organ-organ hewan percobaan tersebut.

Kondisi dari organ-organ tersebut semua dengan kondisi normal dengan


warna yang berbeda : jantung warna merah, hati warna merah, paru-paru warna
merah pucat, ginjal warna merah, usus halus warna merah, usus besar warna merah,
limfa warna merah, dan lambung warna merah.

Tikus merupakan hewan laboratorium yang banyak digunakan dalam


penelitian dan percobaan antara lain untuk mempelajari pengaruh obat-obatan,
toksisitas, metabolisme, embriologi maupun dalam mempelajari tingkah laku
(Calabrese, 2001). Tikus (Rattus norvegicus) berasal dari Asia Tengah dan
penggunaannya telah menyebar luas di seluruh dunia (Gay,et al, 2000). Menurut
(Nugroho,2004) taksonomi tikus adalah:

Kingdom :Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas


: Mamalia Subkelas : Theria Ordo : Rodensia Subordo :
Sciurognathi Famili : Muridae Subfamili : Murinae Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus

Dalam dunia sains mencit dan tikus banyak digunakan sebagai hewan coba
karena struktur anatomi mencit dan tikus hampir sama dengan struktur anatomi
manusia selain itu juga perkembangbiakan mencit yang sangat cepat sehingga
memudahkan praktikan ataupun peneliti dalam mendapatkannya.Mencit ataupun
juga bukan termasuk hewan yang dilindungi dan dalam pemeliharaan dan
perawatannya tergolong mudah.

Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus


dapat tinggal sendirian dalam kandang, asal dapat melihat dan mendengar tikus lain.
Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah ditangani
di laboratorium. Pemeliharaan dan makanan tikus lebih mahal daripada mencit
tetapi tikus dapat berbiak sebaik mencit. Karena hewan ini lebih besar daripada
mencit, maka untuk beberapa macam percobaan, tikus lebih menguntungkan
(Kram et,al, 2001).
Selain itu juga ada dua sifat utama yang membedakan tikus dengan hewan
percobaan lainnya, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang
tidak lazim pada tempat bermuara esofagus ke dalam lambung sehingga
mempermudah proses pencekokan perlakuan menggunakan sonde lambung, dan
tidak mempunyai kandung empedu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Selain itu,
tikus hanya mempunyai kelenjar keringat di telapak kaki. Ekor tikus menjadi bagian
badan yang paling penting untuk mengurangi panas tubuh. Mekanisme
perlindungan lain adalah tikus akan mengeluarkan banyak ludah dan menutupi
bulunya dengan ludah tersebut (Sirois, 2005).

Cara pengambilan darah pada mencit hampir sama yaitu melalui plexus
reorbitalis pada mata,Vena Ekor (V. Lateralis ekor),pada vena saphena yang
terdapat pada bagian kaki dan pengambilan langsung dari jantung. Pada umumnya
pengambilan darah yang terlalu banyak pada hewan kecil akan menyebabkan shok
hipovolemik, stress dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Tetapi pengambilan
darah yang tidak sesuai aturan juga dapat menyebabkan anemia pada hewan
coba.Pada umumnya pengambilan darah hanya dilakukan sekitar 10% dari total
volume darah dalam tubuh dalam selang waktu 2-4 minggu.Atau sekitar 1% dari
berat tubah dengan interval 24 jam. Total darah yang hanya boleh diambil sekitar
7,5% dari bobot badan.

Cara pengambilan darah pada mencit dan tikus:

1. Plexus Retroorbitalis pada mata

Tikus dipegang dan dijepit bagian tengkuk dengan jari tangan.setelah itu tikus
dikondisikan senyaman mungkin,kemudian Mikrohematikrit digoreskan pada
medial canthus mata dibawah bola mata ke arah foramen opticus.Kemudian
mikrohematokrit diputar sampai melukai plexus, jika diputar 5X maka harus
dikembalikan 5X. Darah ditampung pada Eppendorf yang telah diberi EDTA untuk
tujuan pengambilan plasma darah dan tanpa EDTA untuk tujuan pengambilan
serumnya,bisa juga dengan penambahan heparin sebagai antikoagulan.
2. Pada Vena Ekor (V. Lateralis ekor)

Tikus dimasukkan dalam selongsong yang sesuai ukurannya tubuh tikus. Ekor tikus
dijulurkan keluar dan Vena lateralis pada ekor di Incisi (dipotong) 0,2 – 2 cm dari
pangkal ekor dengan silet atau gunting yang steril. Darah ditampung pada
eppendorf, kemudian diletakkan miring 45º dan dibiarkan mengendap pada suhu
kamar, selanjutnya dilakukan sentrifugasi untuk mendapatkan serum yang
dimaksud.

3. Pengambilan darah melalui vena sapena pada kaki Mencit dipegang pada posisi
setengah tegak,jarum diinjeksikan pada paha belakang sebelah dalam agar posisi
jarum tidak berubah, perlu bantuan untuk memegang kaki hewan tersebut lalu
tampung darah pada Eppendorf.

4. Pengambilan darah langsung ke jantung Teknik ini umumnya dilakukan jika


darah yang dibutuhkan banyak dan tikus yang diambil darahnya ini akan sekalian
dibedah untuk diambil organnya.Cara memperoleh darah dari jantung tikus lebih
sering dipakai daripada mencit. Diperlukan anastesi dan cara ini sama pada mencit.
Prinsip ini umumnya dilakukan jika darah yang dibutuhkan banyak dan tikus yang
diambil darahnya ini akan sekalian dibedah untuk diambil organnya. Caranya
dengan menusukkan syringe langsung ke jantung dan disedot perlahan (Yokozawa,
et al, 2002).
BAB V

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pada praktikum nekropsi bisa disimpulkan :

1. Nekropsi atau bedah bangkai hewan bertujuan untuk melakukan


pemeriksaan yang cepat dan tepat dalam menetapkan diagnosa pada
beberapa sebab penyakit atau kematian dari hewan.
2. Praktikum nekropsi ini menggunakan 3 tikus untuk 3 kelompok besar yang
tikus tersebut dalam kondisi sehat ataupun sakit.
3. Hasil akhir dari praktikum ini organ-organ hewan coba tersebut dalam
kondisi normal semua.
4. Dalam dunia sains mencit dan tikus banyak digunakan sebagai hewan coba
karena struktur anatomi mencit dan tikus hampir sama dengan struktur
anatomi manusia.Mencit ataupun tikus banyak digunakan dalam penelitian
terutama untuk diambil darahnya.Tipe pengambilan darah pada mencit ada
empat macam yaitu Plexus Retroorbitalis pada mata ,vena Ekor (V.
Lateralis ekor), vena sapena pada kaki dan pengambilan darah pada jantung.
DAFTAR PUSTAKA

Arrington, L. (1972). Introductory Laboratory Animal. The Breeding, Care, and


Management of Experimental Animal Science. New York: The Interstate Printers
and Publishing, Inc.

Gay,LR.1987.Research in Education.New York:McGraw-Hill Book,Company.

Moriwaki, K. (1994). Genetic in Wild Mice. Its Application to Biomedical


Research. Tokyo: Karger.

Anda mungkin juga menyukai