Anda di halaman 1dari 7

Laporan Praktikum Hari,Tanggal : Jumat, 17 April 2020

Biokimia Klinis Waktu : 08.00 - 11.00 WIB


PJP : dr. Husnawati, MSi.
Asisten : Elgiani Yassifa YN

TERMINASI HEWAN, PENGAMBILAN ORGAN, DAN


FIKSASI HATI TIKUS PUTIH

Kelompok 23

Alifiya Nurzannah G84170022


Uswatun Khasanah G84170041
M Rizki Athari N G84170065

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MAT EMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
PENDAHULUAN

Hewan coba atau hewan model sangat diperlukan dalam penelitian


berbasis in vivo di bidang biomedik, terutama untuk kajian imunologi, onkologi,
fisiologi, patologi, toksikologi, farmakologi, dan neurosains. Serangkaian
percobaan menggunakan hewan coba harus dilakukan terlebih dahulu sebelum
diaplikasikan kepada manusia atau primata lainnya (Fitria dan Sarto 2014). Syarat
hewan coba yang digunakan harus sehat, galur baik dan jelas, status gizi baik, dan
dipelihara sesuai dengan syarat-syarat pemeliharaan hewan coba (Restuning
2018). Hewan coba untuk penelitian dapat digolongkan berdasarkan anatomi,
fisiologi, dan tingkah laku, seperti rodensia, kelinci, karnivora, primata, dan
unggas. Alasan penggunaan hewan coba tersebut yaitu keragaman dari subjek
penelitian dapat diminimalisasir, variabel penelitian mudah dikontrol, daur hidup
relatif pendek sehingga dapat dilakukan penelitian multigenerasi, pemilihan jenis
hewan dapat disesuaikan dengan kepekaan hewan terhadap materi penelitian,
biaya relatif murah, dapat dilakukan pada penelitian beresiko tinggi, dan
mendapatkan informasi lebih mendalam melalui sediaan biologi (Jumrodah 2016).
Penelitian dengan hewan coba sering melakukan terminasi sebelum
dilakukan pengambilan jaringan di akhir masa penelitian untuk diuji secara in
vitro. Terminasi merupakan proses membunuh hewan dengan menggunakan
teknik yang manusiawi, mudah mati tanpa kesakitan. Teknik terminasi harus
memenuhi kriteria-kriteria seperti hewan tidak menunjukkann kepanikan dan
kesakitan, kesadaran hewan uji harus segera hilang, murah dan mudah, serta tidak
berbahaya bagi yang mengerjakan terminasi dan lingkungan. Teknik terminasi
yang umumnya digunakan yaitu seperti termiansi fisik, terminasi farmakologik
non-inhalan melalui suntikan, terminasi dengan inhalan, terminasi dengan gas non
anestetik, dan terminasi dengan zat-zat transkuiliser (Nugroho 2018).
Salah satu teknik terminasi yang digunakan pada hewan coba seperti tikus
yaitu kombinasi ketamin dan xylazin. Pemberian ketamin-xylazin dilakukan
dengan suntikan retroorbital dan intravena yang mengakibatkan kematian klinis
dengan berkurangnya denyut jantung dan pernapasan (Schoell 2009). Ketamin-
xylazin merupakan agen kombinasi yang saling melengkapi, ketamin memberikan
efek analgesik sedangkan xylazin menyebabkan relaksasi otot yang baik
(Yudaniayanti et al. 2010). Menurut Nugroho (2018), terminasi menggunakan
teknik suntikan yang sulit dilakukan menjadikan terminasi dengan inhalan lebih
sering dilakukan. Inhalan yang biasa digunakan yaitu kloroform, eter, halothane,
metoksifluran, dan nitrous oksida.
Hewan coba yang telah dimatikan melalui terminasi akan dipersiapkan
untuk nekropsi. Nekropsi ini merupakan proses pemeriksaan sistem organ yang
dilakukan untuk memudahkan pemeriksaan makroskopis Teknik nekropsi ini telah
dikembangkan untuk mendiagnosis penyakit dan secara klasik digunakan dalam
pemantauan status kesehatan hewan coba. Langkah-langkah utama yang
dilakukan untuk melakukan nekropsi yaitu pemeriksaan hewan hidup, euthanasia
atau terminasi, pengambilan darah, pembukaan rongga perut, pembukaan rongga
toraks, pembukaan tengkorak, dan pemeriksaan otot dan kerangka tubuh (Fiette
dan Slaoui 2011). Praktikum ini bertujuan mengerti cara terminasi hewan coba,
pengambilan organ atau nerkopsi, dan fiksasi hati tikus.
PEMBAHASAN

Penelitian Fahmi et al. (2015) mengenai pengaruh pemberian ekstrak kulit


batang jaloh (Salix tetrasperma Roxb) terhadap gambaran hispatologis hati tikus
(Rattus novergicus) yang diinfeksi Trypanosoma evansi (T. evansi) dilakukan
pada 25 ekor tikus putih yang terbagi dalam lima perlakuan yang masing-masing
terdapat lima ulangan. Perlakuan Perlakuan I (PI) tanpa infeksi T. evansi dan
ekstrak kulit batang jaloh, perlakuan II (P2) diinfeksi T. evansi tanpa pemberian
ekstrak kulit batang jaloh, perlakuan III (P3), IV (P4), dan V (5) diinfeksi T.
evansi dan pemberian ekstrak kulit batang jaloh dengan dosis masing-masing 30,
45, dan 60 mg/kgbb. Tikus diinfeksikan T. evansi secara intraperitoneum dengan
dosis 1x103 dan diberikan ekstrak kulit batang jaloh secara oral selama 3 hari
berturut-turut. P1 (kontrol negatif) dan P2 (kontrol positif) diberi larutan CMC
1%.
Seluruh tikus putih diterminasi pada hari ke-4 menggunakan kloroform.
Proses terminasi menggunakan kloroform dilakukan dengan memasukkan hewan
coba ke dalam ruangan yang berisi kloroform sampai mati (Setyani dan Oktavia
2015). Menurut Zavala (2015), kloroform merupakan obat bius yang dapat
menyebabkan penderitanya mengalami kematian dengan cepat dan tidak
menyakitkan. Penggunaan klorofororm sebagai inhalan untuk terminasi hewan
coba harus dilakukan secara hati-hati, karena kloroform ini bersifat toksik dan
karsinogenik bagi organ-organ penting hewan uji seperti hati, ginjal, dan alat
kelamin (Nugroho 2018).
Tikus yang baru mati, selanjutnya dinekropsi untuk pengambilan organ
hati. Widyanti (2014) menyatakan bahwa nekropsi dilakukan pada rongga
abdomen dengan tikus diletakkan dalam posisi rebah dorsal di atas papan
pembedahan. Menurut Rusmiatik (2019), organ yang akan difiksasi harus dicuci
terlebih dulu dengan larutan garam fisiologis yaitu NaCl 0.9 % serta dalam
pengambilan sampel jaringan harus dikerjakan dengan pisau tajam atau skalpel
sehingga tidak merusak sel-sel dan susunan jaringan. Organ hati kemudian
difiksasi dalam larutan neutral buffered formaline (NBF) 10% dengan pH 6.5 –
7.5 dan perbandingan antara organ hati dan larutan tersebut yaitu 1 : 10.
Musyarifah dan Agus (2018) menyatakan bahwa agen fiksatif yang sering
digunakan untuk histopatologi adalah formalin 10% yang telah diencerkan dengan
air atau buffer menjadi konsentrasi optimal untuk fiksasi. Penambahan buffer ini
diperlukan untuk menjaga pH mendekati netral dan tekanan osmotik hampir sama
dengan cairan ekstraselulernya yaitu neutral buffer formalin (NBF).
Proses fiksasi biasanya merupakan tahap pertama dalam pembuatan
sediaan histopatologi. Fiksasi ini merupakan berbagai perlakuan yang dapat
melindungi struktur sel dan komposisi bikokimianya. Hal tersebut menjadikan
kualitas fiksasi adalah kunci untuk semua tahap selanjutnya dalam membuat
sediaan histopatologi, sehingga pengawetan sel dengan perubahan morfologi yang
minimal dan secara kasat mata tanpa adanya kehilangan molekul sangat penting
dalam pengolahan jaringan (Musyarifah dan Agus 2018). Fiksasi diharapkan
dapat mencegah pembusukan, autolisis, degradasi jaringan serta kehilangan
komponen jaringan sehingga dapat diamati baik secara anatomis dan mikroskopis
(Howat dan Wilson 2014).
Tabel 1 Persentase perubahan hepatosit tikus yang diinfeksi T. evansi setelah
pemberian ekstrak kulit batang jaloh

Organ hati yang telah difiksasi dengan NBF 10% dibuat preparat
hispatologis dan diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin eosin (HE). Evaluasi
hispatologis dilakukan menggunakan mikroskop cahaya biokuler, kemudian
dilakukan penyekoran terhadap nekrosis, degenerasi lemak, degenerasi hidrofis,
dan hepatosit normal. Berdasarkan hasil pengamatan histologis hati tikus yang
dilakukan Fahmi et al. (2015), ditemukan adanya perubahan pada parenkim hati,
yaitu berupa degenarasi hidrofis, degenerasi lemak, dan nekrosis hepatosit.
Presentase perubahan hepatosit tikus yang diinfeksi T. evansi setelah pemberian
ekstrak kulit batang jaloh ditunjukkan pada Tabel 1.
Tebel 1 meyatakan bahwa a, b, c, dsuperskrip yang berbeda pada kolom yang
sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) antara perlakuan P1
dan P2. Meningkatnya jumlah dosis ekstrak kulit batang jaloh membuat
persentase hepatosit normal mengalami peningkatan. Peningkatan tertinggi terjadi
pada P4, tetapi terjadi penurunan pada P5 dan tidak berbeda nyata (P<0.01)
dengan P2 sebagai kontrol positif.

Gambar 1 Histopatologis hati tikus yang normal (a= vena sentralis; b= sinusoid;
c= hepatosit; HE, 100x, 400x)

Gambar 2 Histopatologis hati tikus yang mengalami degenerasi hidrofis (tanda


panah) (HE, 100x, 400x)
Gambar 3 Histopatologis hati tikus yang mengalami (A= degenerasi lemak
(tanda panah), B= nekrosis, a= nekrosis hepatosit; b= sinusoid; c=
vena sentralis; HE, 100x, 400x)

Gambar 1 menunjukkan hepatosit tikus normal. Sebagian besar hepatosit


mengalami degenerasi hidrofis, persentase terendah terdapat pada P1 dan berbeda
nyata (P<0.01) dengan P2, P3, P4, dan P5. Persentase tertinggi terdapat pada P3
yang membuatnya berbeda sangat nyata (P<0.01) dibandingan P4 dan P5.
Gambaran hepatosit yang mengalami degenerasi hidrofis ditunjukkan oleh
Gambar 2. Gambar 3 menunjukkan hepatosit mengalami degenerasi lemak dan
nekrosis. Persentase degenarasi lemak tertinggi terjadi pada P5 yang berbeda
sangat nyata (P<0.01) dengan P1, P2, P3. Persentase nekrosis pada P1 berbeda
sangat nyata (P<0.01) dengan P2, P3, P4, dan P5. Pemberian ekstrak kulit batang
jaloh memacu penurunan nekrosis pada hepatosit terutama yang ditunjukkan oleh
P4.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa infeksi T. evansi dapat merusak
hepatosit seperti hepatosit mengalami degenerasi bengkak keruh, degenerasi
lemak, degenerasi hidrofis, dan nekrosis. Penelitian Fahmi et al. (2015)
memperlihatkan bahwa ekstrak kulit batang jaloh mengandung bahan aktif seperti
triterpenoid glikosida, tanin, dan flavonoid sebagai anti-oksidan. Secara fisiologis
senyawa yang tergolong ke dalam flavonoid berperan sebagai inhibitor kuat
sistem pernapasan dan aktivitas antioksidannya merupakan komponen aktif obat
untuk mengobati gangguan fungsi hati (Ekaningtias 2014).

SIMPULAN

Proses terminasi hewan coba dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah
satunya menggunakan senyawa inhalan seperti kloroform. Terminasi harus
dilakukan dengan cepat dan tanpa menyakiti hewan coba. Hewan coba yang mati,
dilakukan nekropsi dengan melakukan pembedahan pada rongga abdomen.
Nekropsi dilakukan untuk pengambilan organ yang akan dikenai uji histopatologi.
Sebelum dilakukan uji, organ harus dilakukan fiksasi seperti menggunakan larutan
neutral buffered formaline (NBF) 10% agar organ tidak mengalami pembusukan
dan kerusakan organ
DAFTAR PUSTAKA

Ekaningtias M. 2014. Pengaruh pemberian ekstrak spons Hymeniacidon sp.


Terhadap tingkat parasitemia Trypanosoma evansi pada mencit BALB/c
(Mus musculus L.). Jurnal Sains Veteriner. 32(2) : 224 – 234.
Fahmi M, Fahrimal Y, Aliza D, Budiman H, Aisyah S, Hambal M. 2015.
Gammbaran histopatologis hati tikus (Rattus novergicus) yang diinfeksi
Trypanosoma evansi setelah pemberian ekstrak kulit batang jaloh (Salix
tetrasperma Roxb). Jurnal Medika Veterinaria. 9(2) : 141 – 145.
Fiette L, Slaoui M. 2011. Necropsy and sampling procedures in rodents. Methods
Mol Biol. 691: 39 – 67.
Fitria L, Sarto M. 2014. Profil hematologi tikus (Rattus norvegicus Berkenhout,
1769) galur wistar jantan dan betina umur 4, 5, dan 8 minggu. Biogenesis.
2(2) : 94 – 100.
Howat WJ, Wilson BA. 2014. Tissue fixation and the effect of molecular fixatives
on downstream staining procedures. Methods. 70(1): 12 – 9.
Jumrodah. 2016. Pandangan aksiologi terhadap bioetika dalam memanfaatkan
hewan coba (animal research) di laboratorium. Jurnal Biologi dan
Pendidikan Biologi. 1(1) : 32 – 41.
Musyarifah Z, Agus S. 2018. Proses fiksasi pada pemeriksaan histopatologik.
Jurnal Kesehatan Andalas. 7(3) : 443 – 453.
Nugroho RA. 2018. Mengenal Mencit sebagai Hewan Coba. Samarinda(ID) :
Mulawarman University Press.
Restuning T. 2018. Gambaran mikroskopis kualitas sediaan jantung yang difiksasi
dengan alkohol 70% dan nbf 10% pada pewarnaan hf[skripsi].
Semarang(ID) : Universitas Muhammadiyah Semarang.
Rusmiatik A. 2019. Perbandingan fiksasi larutan bounin dan formalin pada
sediaan preparat histologi testis marmut. Jurnal Kedokteran. 4(2) : 5 – 9.
Schoell A, Heyde BR, Weir DE, Chiang PC, Hu Y, Tung DK. 2009. Euthanasia
method for mice in rapid time-course pulmonary pharmacokinetic studies.
Journal of American Association for Laboratory Animal Science. 48(5) :
506 – 511.
Setyani, DA, Octavia A. 2015. Efektivitas gel ekstrak kulit buah jengkol
(Pithecellobium lobatum benth) terhadap angka sel fibroblas pada proses
penyembuhan luka pasca pencabutan gigi marmut (Cavia cobaya)
jantan[skripsi]. Yogyakarta(ID) : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Widyanti IK. 2014. Pengaruh terapi water soluble extract (wse) yogurt susu
kambing terhadap kadar malondialdehyde (mda) dan gambaran
histopatologi jantung tikus (Rattus norvegicus) model hipertensi induksi
deoxycorticos[skripsi]. Malang(ID) : Universitas Brawijaya.
Yudaniayanti IS, Maulana E, Ma’rufi E. 2010. Profil penggunaan kombinasi
ketamin-xylazine dan ketamin-midazolan sebagai anestesi umum terhadap
gambaran fisiologis tubuh pada kelinci jantan. Jurnal Medika Veterinaria.
3(1) : 23 – 30.
Zavala A. 2015. The History of Euthanasia and Physician-Assisted Suicide.
Journal of Anesthesia History. 1(3): 94–95.

Anda mungkin juga menyukai