Anda di halaman 1dari 7

Tanggal Praktikum : 21 November 2018

Kelompok : 6 / Siang
Ruang Praktikum : RP. Isotop

LAPORAN PRAKTIKUM TOKSIKOLOGI

Dosen Praktikum:
Dr. Drh. Aulia Andi Mustika, M.Si.

Disusun oleh:

Nike Choo Lee-Ann (B04158014) (................)


Afifah Hasna (B04150136) (................)
Klasta Javasea Sanjaya (B04150142) (................)
Rr. Sulistyantari Retno Palupi (B04150175) (................)
Muhammad Farhan (B04150176) (................)
Hanif Nur Fadhli (B04150185) (................)
Ratyan Tri Widowati (B04150193) (................)

DIVISI FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI


DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2018
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Dosis Lethal (LD) adalah indikasi toksisitas mematikan dari suatu zat atau jenis radiasi
tertentu. Karena resistansi bervariasi dari satu orang ke orang lain, "dosis yang mematikan"
menunjukkan suatu dosis di mana persentase tertentu dari subjek akan mati. Konsentrasi
mematikan adalah pengukuran dosis mematikan yang digunakan untuk gas atau partikulat.

Median dosis mematikan, LD50 dari racun, radiasi, atau patogen adalah dosis yang
diperlukan untuk membunuh setengah anggota populasi yang diuji setelah durasi tes yang
ditentukan. Angka LD50 sering digunakan sebagai indikator umum toksisitas akut suatu zat. LD50
yang lebih rendah mengindikasikan peningkatan toksisitas.

Nilai LD untuk manusia paling baik diperkirakan dengan mengekstrapolasi hasil dari kultur
sel manusia. Salah satu bentuk pengukuran LD adalah menggunakan hewan seperti tikus atau
tikus, mengkonversi ke dosis per kilogram biomassa, dan ekstrapolasi ke norma manusia. Tingkat
kesalahan dari nilai LD diekstraksi hewan besar. Biologi hewan uji berbeda dalam aspek-aspek
penting pada manusia.

Pilihan letalitas 50% sebagai patokan menghindari potensi ambiguitas pembuatan


pengukuran dalam ekstrem dan mengurangi jumlah pengujian yang diperlukan. Namun, ini juga
berarti LD50 bukanlah dosis mematikan untuk semua subjek; beberapa mungkin terbunuh jauh
lebih sedikit, sementara yang lain bertahan hidup dengan dosis yang jauh lebih tinggi daripada
LD50. Ukuran seperti "LD1" dan "LD99" (dosis yang diperlukan untuk membunuh 1% atau 99%,
masing-masing, dari populasi uji) kadang-kadang digunakan untuk tujuan tertentu.

Tinjauan Pustaka

Katak adalah hewan Amphibia yang paling dikenal orang di Indonesia. Katak memiliki
kulit kasar berbintil-bintil sampai berbingkul-bingkul. Beberapa jenis katak, pada sisi tubuhnya
memiliki lipatan kulit berkelenjar, mulai dari belakang mata hingga di atas pangkal paha yang
disebut lipatan dorsolateral. Katak mempunyai mata berukuran besar, dengan pupil mata horisontal
dan vertikal. Beberapa jenis katak memiliki pupil mata berbentuk berlian atau segi empat yang
khas bagi masing-masing kelompok. Tubuh katak betina biasanya lebih besar daripada yang
jantan. Ukuran katak dan kodok di Indonesia bervariasi dari yang terkecil hanya 10 mm, dengan
berat hanya satu atau dua gram sampai jenis yang mencapai 280 mm dengan berat lebih dari 1500
gram (Iskandar 1998). Katak sawah dimasukkan ke dalam ordo Anura. Nama anura mempunyai
arti tidak memiliki ekor (anura: a tidak, ura ekor). Ordo ini mempunyai ciri umum tidak
mempunyai ekor, kepala bersatu dengan badan, tidak mempunyai leher dan tungkai berkembang
baik. Tungkai belakang lebih besar daripada tungkai depan, hal ini mendukung pergerakannya
yaitu dengan melompat (Duellman and Trueb 1986).

LD50 adalah dosis perkiraan bahwa ketika racun diberikan langsung kepada hewan uji,
dapat menghasilkan kematian 50% dari populasi di bawah kondisi yang ditentukan dari tes atau
LC50 merupakan konsentrasi perkiraan, dalam lingkungan hewan yang terpapar, yang akan
membunuh 50% dari populasi di bawah kondisi yang ditentukan dari tes (Hodgson dan Levi 2000).
LD50 didefinisikan sebagai dosis tunggal suatu zat yang secara statistik diharapkan dapat
membunuh 50% hewan coba. Uji ini dapat menentukan organ sasaran yang mungkin dirusak dan
efek toksik spesifiknya, serta memberikan petunjuk tentang dosis yang sebaiknya digunakan dalam
pengujian yang lebih lama. Namun dalam beberapa hal, bila toksisitas akutnya rendah, LD50 tidak
perlu ditentukan secara tepat. Menurut EPA (1988) dan Lu dan Lavallee (1965) jika pada dosis
yang cukup besar dapat menyebabkan sedikit kematian atau bahkan tidak menyebabkan kematian,
semua toksisitas akut yang berbahaya dapat disingkirkan dan LD50 tidak perlu ditentukan.

Faktor-faktor yang berpengaruh pada LD50 sangat bervariasi antara jenis yang satu dengan
jenis yang lain dan antara individu yang satu dengan individu yang lain dalam satu jenis. Beberapa
faktor tersebut antara lain:

a. Spesies, strain dan keragaman individu


Setiap spesies dan strain yang berbeda memiliki sistem metabolisme dan detoksikasi yang
berbeda. Setiap spesies mempunyai perbedaan kemampuan bioaktivasi dan toksikasi suatu
zat.
b. Perbedaan jenis kelamin
Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi toksisitas akut yang disebabkan oleh pengaruh
langsung dari kelenjar endokrin. Hewan betina mempunyai sistem hormonal yang berbeda
dengan hewan jantan sehingga menyebabkan perbedaan kepekaan terhadap suatu toksikan.
c. Umur Hewan
hewan yang lebih muda memiliki kepekaan yang lebih tinggi terhadap obat karena enzim
untuk biotransformasi masih kurang dan fungsi ginjal belum sempurna. Pada hewan yang tua
kepekaan individu meningkat karena fungsi biotransformasi dan ekskresi sudah menurun.
d. Berat badan
Penentuan dosis dalam pengujian toksisitas akut dapat didasarkan pada berat badan. Pada
spesies yang sama, berat badan yang berbeda dapat memberikan nilai LD50 yang berbeda
pula, semakin besar berat badan maka jumlah dosis yang diberikan semakin besar.
e. Cara pemberian
Lethal dosis juga dapat dipengaruhi oleh cara pemberian. Pemberian obat peroral tidak
langsung didistribusikan ke seluruh tubuh. Pemberian obat atau toksikan peroral
didistribusikan ke seluruh tubuh setelah terjadi penyerapan di saluran cerna sehingga
mempengaruhi kecepatan metabolisme suatu zat di dalam tubuh.
f. Faktor lingkungan
Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi toksisitas akut antara lain temperatur,
kelembaban, iklim, perbedaan siang dan malam. Perbedaan temperatur suatu tempat akan
mempengaruhi keadaan fisiologis suatu hewan.
g. Kesehatan hewan
Status hewan dapat memberikan respon yang berbeda terhadap suatu toksikan. Kesehatan
hewan sangat dipengaruhi oleh kondisi hewan dan lingkungan. Hewan yang tidak sehat dapat
memberikan nilai LD50 yang berbeda dibandingkan dengan nilai LD50 yang didapatkan dari
hewan sehat.
h. Diet
Komposisi makanan hewan percobaan dapat mempengaruhi nilai LD50. Komposisi makanan
akan mempengaruhi status kesehatan hewan percobaan.
METODE
Alat dan bahan

Alat yang digunakan adalah enam belas ekor katak dibagi dalam empat kelompok @ 4
katak, bahan uji xenobiotika (Striknin, Caffein, Kardiazol dll), timbangan hewan, dan spuit.

Prosedur Penetuan LD50 dengan Metode Thomson dan Weil

Katak ditimbang dan tiap kelompok disuntikkan secara subkutan (saccus limphatikus).
Setiap kelompok akan menguji LD50 dari bahan uji dengan dosis yang ditentukan. Dosis yang
diberikan merupakan dosis kelipatan biometrik. Pemberian bahan uji xenobiotika dilakukan pada
menit ke-0 dan dilakukan pengulangan pada menit ke-10. Perubahan yang terjadi pada katak
diamati selama 40 menit dan hitung jumlah katak yang mati.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif terhadap transmiter
penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan pascasinaps, dimana glisin juga bertindak
sebagai transmiter penghambat pascasinaps yang terletak pada pusat yanng lebih tinggi di SSP
(Louisa dan Dewoto 2007). Obat ini merupakan obat konvulsan kuat dengan sifat kejang yang
khas. Pada hewan coba konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak.
Sifat khas lainnya dari kejang striknin ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh
rangsangan sensorik yaitu pendengaran, penglihatan dan perabaan. Striknin tidak langsung
mempengaruhi sistem kardiovaskuler, tetapi bila terjadi konvulsi akan terjadi perubahan tekanan
darah berdasarkan efek sentral striknin pada pusat vasomotor (Louisa dan Dewoto 2007).

Praktikum kali ini melakukan beberapa perlakuan penyuntikan yang berbeda dosisnya pada
masing-masing kelompok. Diharapkan dari seluruh perlakuan didapatkan letal dose yang
didapatkan melalui perhitungan. Katak yang digunakan berjumlah 3 katak yang masing-masing
diukur keadaan normal fisiologisnya.

Berdasarkan beberapa perlakuan yang dilakukan beberapa kelompok terhadap katak yang
diinjeksi striknin dengan rute subcutan kantung limfatikus peritoneal, terlihat perbedaan katak
yang mati yang nyata terlihat. Pada kelompok 1, terlihat seluruh katak mati akibat adanya
kesalahan praktikan yangn menyuntikan dosis injeksi sebanyak 0.5 ml. Seharusnya praktikan
hanya memberikan striknin dengan dosis injeksi sebanyak 0.05 ml dengan dosis 0.25 mg/kgBB,
hal ini membuat seluruh katak mati akibat dosis injeksi yang diberikan melebihi letal dose yang
didapatkan pada literatur sebesar 0.1 ml seharunya sudah dapat mematikan katak (Mardjono
1988).

Pada kelompok dua katak disuntikan striknin sebanyak 0.1 ml dengan dosis 0.5 mg/kgBB,
perlakuan ini membuat dua katak mati. Seharusnya seluruh katak mati pada penyuntikan 0.1 ml
akibat sudah melebihi pemberian maksimum yang didapatkan dari literatur. Hal ini dapat
disebabkan karena kesalahan praktikan dimana obat tidak diberikan dengan benar pada kantung
limfatikus sehingga obat tidak dapat bekerja secara maksimal. Hal ini juga terjadi pada kelompok
4, dimana ditemukan dua katak mati pada penyuntikan dengan dosis 2 mg/kgBB dengan volume
injeksi 0.4 ml.

Kelompok tiga mendapati sebanyak satu katak mati akibat keracunan striknin, dosis yang
digunakan sebanyak 1 mg/kgBB dengan volume injeksi 0.2 ml. Data ini menyimpang dari literatur
yang didapatkan. Seharusnya pada penyuntikan dengan volume 0.2 ml dapat ditemukan seluruh
katak mati akibat pemberian obat yang melebihi volume injeksi maksimal yang dianjurkan atau
overdose. Hal ini dapat disebabkan adanya kesalahan praktikan akibat penyuntikan tidak benar.

Pada kelompok lima dapat terlihat data yang sesuai dengan literatur dimana didapatkan
seluruh katak mati akibat keracunan striknin. Striknin diberikan dengan dosis 4 mg/kgBB dengan
volume injeksi 0.8 ml. Sedangkan pada kelompok enam terlihat data yang tidak sesuai dengan
literatur yaitu didapati katak yang mati sebanyak dua katak. Pada kelompok terakhir pemberian
striknin diberikan dengan dosis tertinggi yaitu 8 mg/kgBB dan volume pemberian 1.6 ml. Hal ini
dapat terjadi karena kesalahan pemberian sediaan tidak tepat pada kantung limfatikus katak
sehingga katak tidak merasakan secara langsung efek dari sediaan tersebut.

Perhitungan letal dose pada praktikum kali ini tidak dapat dilakukan akibat terlalu banyak
hasil yang menyimpang tidak valid dan tidak sesuai literatur. Hal ini dapat menyebabkan
perhitungan letal dose menjadi tidak benar dan hasil yang didapatkan menjadi tidak valid. Perlu
dilakukan adanya perlakuan ulang dengan prosedur yang baik dan benar sehingga data yang
didapatkan dapat dimasukan ke dalam perhitungan dengan benar dan hasil yang diperoleh menjadi
valid.
KESIMPULAN
Menurut hasil praktikum injeksi striknin pada katak dengan dosis 2 mg/kgBB menimbulkan
kematian pada 2 dari 3 katak, hal tersebut dapat disimpulkan bahwa dosis tersebut adalah dosis
lethal karena mematikan lebih dari 50% populasi.
DAFTAR PUSTAKA
Duellman W.E. dan Trueb L. 1986. Biology of Amphibians. New York (US): McGraw – Hill.
EPA. 1988. Health Effects Test Guidelines. Hazard Evaluation: Code of Regulations. Washington
(US): EPA.
Iskandar DT. 1998. Amphibi Jawa dan Bali, Seri Panduan Lapangan. Jakarta (ID): Puslitbang
Biologi-LIPI.
Louisa M, Dewoto HR. 2007. Perangsangan Susunan Saraf Pusat. Dalam: Farmakologi dan
Terapi, edisi ke-5. Jakarta (ID): Departemen Farmakologi dan Terapetik Fakultas
Kedokteran Universita Indonesia.

Lu FC dan Lavallee A. 1965. The acute toxicity of some synthetic colors used in drugs and
foods. Can. Pharm. J. 97:30
Mardjono M. 1988. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta (ID): Dian Rakyat.

Rosiello AP, Essigmann JM and Wogan GN. 1977. Rapid and accurate determination of the median lethal
dose (LD50) and its error with a small computer. Journal of Toxicology and Environmental Health,
Part A Current Issues. 3(5-6); 797-809.

Anda mungkin juga menyukai