FARMAKOLOGI KLINIK
TOKSISITAS
DISUSUN OLEH :
NAMA DOSEN :
Dra. SYILFIA HASTI, M.Farm,Apt
NAMA ASISTEN :
1. ASRI NURUL ISMI
2. CAHYA NINGSIH
3. SRI RAHAYU
1. TUJUAN PERCOBAAN :
1. Mengetahui dan memahami mekanisme kerja yang mendasari manifestasi efek dan
toksisitas amfetamin
tepat.
2. TINJAUAN PUSTAKA :
No Kelas LD 50 (mg/kgBB)
1 Luar biasa toksik 1 atau kurang
2 Sangat toksik 1-50
3 Cukup toksik 50-500
4 Sedikit toksik 500-5000
5 Praktis tidak toksik 5000-15000
6 Relative kurang berbahaya Lebih dari 15000
Tujuan dilakukannya uji toksisitas akut adalah untuk menentukan potensi
ketoksikan akut dari suatu senyawa dan untuk menentukan gejala yang timbul pada
hewan coba. Data yang dikumpulkan pada uji toksisitas akut ini adalah data
kuantitatif yang berupa kisaran dosis letal atau toksik, dan data kualitatif yang berupa
gejala klinis. (Mahar.2007)
Pada dasarnya tidak ada satu hewan pun yang sempurna untuk uji toksisitas
akut yang nantinya akan digunakan oleh manusia. Walaupun tidak ada aturan tetap
yang mengatur pemilihan spesies hewan coba, yang lazim digunakan pada uji
toksisitas akut adalah tikus, mencit, marmut, kelinci, babi, anjing, monyet. Pada
awalnya, pertimbangan dalam memilih hewan coba hanya berdasarkan avaibilitas,
harga, dan kemudahan dalam perawatan. Namun seiring perkembangan zaman tipe
metabolisme, farmakokinetik, dan perbandingan catatan atau sejarah avaibilitas juga
ikut dipertimbangkan. Hewan yang paling sering dipakai adalah mencit dengan
mempertimbangkan faktor ukuran, kemudahan perawatan, harga, dan hasil yang
cukup konsisten dan relevan.(Mycek,2009)
Bahan :
1. Amfetamin
2. Sianida
3. Natrium nitrit (NaNO3)
4. Natrium Tiosulfat (Na2SO3)
5. Nacl Fisiologi
6. Mencit
4. Cara Kerja
A. Toksisitas Amfetamin
1. Timbang berat badan mencit lalu hitung VAO
2. Ambil volume sediaan obat yang sudah dicari
3. Suntikkan amfetamin ke mencit secara IP
4. Tunggu 1jam dan amati gejala yang timbul.
B. Toksisitas sianida
1. Suntikkan secara subkutan Natrium nitrit
2. Sianida diberikkan secara oral
3. Suntikkan secara oral KCN
4. Lalu suntikkan natrium tiosulfat secara oral langsung setelah diberikan
sianida
5. Amati Gejala yang terjadi
5. HASIL
A. Amfetamin
1) Kontrol NaCl 1% (23g)
VAO NaCl 1% =1/100 x 23g= 0,23 ml
2) Amfetamin 10mg/kg (25g)
VAO = 0,025 kg x 10mg/kg/ 2mg/ml =0,125 ml
3) Amfetamin 10mg/kg (27g)
VAO = 0,027 kg x 10mg/kg/ 2mg/ml = 0,135ml
4) Amfetamin 20mg/kg (23g)
VAO = 0,023 kg x 20mg/kg/ 2mg/ml = 0,23ml
5) Amfetamin 20mg/kg (21g)
VAO = 0,021 kg x 20mg/kg/ 2mg/ml =0,21 ml
6) Amfetamin 10mg/kg (22g)
VAO = 0,022 kg x 10mg/kg/ 2mg/ml =0,11 ml
7) Amfetamin 10mg/kg (21g)
VAO = 0,021 kg x 10mg/kg/ 2mg/ml =0,150 ml
8) Amfetamin 20mg/kg (21g)
VAO = 0,021 kg x 20mg/kg/ 2mg/ml =0,21 ml
9) Amfetamin 20mg/kg (24g)
VAO = 0,024 kg x 20mg/kg/ 2mg/ml =0,24 ml
10) kontrol NaCl 1% (21g)
VAO NaCl 1% =1/100 x 21g= 0,21 ml
GEJALA YANG DIAMATI (menit ke-)
B
Laju
B Akti
Kel Perlakuan Vao Ekor,
vitas
Pern Grooming Bertengkar Tremor Konvulsi Mati bulu keterangan
g Mot
apas berdiri
orik
an
Mencacahkan
Respon Sakit
Mulut Kering
Menggaruk
BB VAO
Nafas Sesa
Berkurang
Hiperaktif
n
Tenang
Tremor
Urinasi
Kejang
Geliat
Napas
Pucat
Diam
Perut
Biru,
Mati
KCN 0,2 0, 0, 0,2 1, 1, 0,
1 22 g 1,4 4,3 0,13 1,12 2.5 1,35 1,48 1,55
(Oral) 2m 1 18 3 2 33 27
l
KCN 0, 2, 2, 2, 1, 1,
2 24 g 2,3 2,3 1,18 1 0,3 1,55 2,1 2,18 4 4,02 5,08
(Sc) 24 05 15 17 48 07
ml
KCN
(Oral) + 0, 2, 2,1 1, 2, 3, 3,
3 22 g 0,54 1,1 2 0 2,45 2,25 3,57 4,04
NaNO2 22 25 5 39 57 45 21
(Sc) ml
KCN
(Oral) + 0, 0, 0, 1,
4 25 g 0,3 0,48 0,6 0 2,05 2,46 3,37
NaNO2 25 35 48 5
(Sc) ml
NaNO2
(Sc) + 0, 0,0 1, 1, 0, 1,
5 21 g 0,59 0,31 1,42 0 0 2,1 1,57 2,35
KCN 21 4 37 4 07 47
(Sc) ml
KCN
(Oral) + 0, 0, 0, 0,0 0, 0, 0,
6 23 g 3 0,01 0,05 0 3 0,47 0,47 3,46
Na2S20 23 03 04 1 05 01 03
3 (Ip) ml
KCN
(Sc) + 0, 0, 0, 0,4 0, 0,
7 24 g 0,02 0,03 0,14 1,3 0 1,4 0,05 0,19 2,08
Na2S20 24 25 17 3 04 09
3 (Ip) ml
Na2S2O
3 (Ip) + 0, 1, 1, 1,
8 24 g 1,28 * 1,4 0 1,35 1,47 3,41
KCN 24 29 45 35
(Oral) ml
NaNO2
(Sc) +
KCN 0, 1, 4, 1,
9 25 g 3,4 * 2,3 3,04 3,18 0 1,43 4,56
(Oral)+ 25 58 3 2
Na2S2O ml
3
Na2S2O
3 (Ip) +
1 NaCN 0, 0, 0, 0,3 0, 0,
25 g * 1,15 0 0 0,1
0 (Oral) + 25 4 05 8 4 1
KNO2 ml
(Sc)
B. Sianida
1) KCN (Oral) (22g)
VAO = 0,022 kg x 20mg/kg/ 2mg/ml =0,22 ml
2) KCN (Sc) (24g)
VAO = 0,024 kg x 20mg/kg/ 2mg/ml =0,24 ml
3) KCN oral + NaNO2 (Sc) (22g)
VAO = 0,022 kg x 20mg/kg/ 2mg/ml =0,22 ml
4) KCN (Oral) + NaNO2 (Sc) (25g)
VAO = 0,02 kg x 20mg/kg/2 mg/ml =0,25 ml
5) NaNO2 (Sc) + KCN (Sc) (21g)
VAO = 0,021 kg x 20mg/kg/2 mg/ml =0,21 ml
6) KCN (Oral) + Na2S2O3 (Ip) (23g)
VAO = 0,023 kg x 20mg/kg/ 2mg/ml =0,23 ml
7) KCN (Sc) + Na2S2O3 (Ip) (24g)
VAO = 0,024 kg x 20mg/kg/ mg/ml =0,24 ml
8) Na2S2O3 (Ip) + KCN (Oral) (24g)
VAO = 0,024 kg x 20mg/kg/ mg/ml =0,24 ml
9) NaNO2 (Sc) + KCN (Oral)+ Na2S2O3 (25g)
VAO = 0,025 kg x 20mg/kg/ mg/ml =0,25 ml
10) Na2S2O3 (Ip) + NaCN (Oral) + KNO2 (Sc) (25g)
VAO = 0,025 kg x 20mg/kg/ mg/ml =0,25 ml
6. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan uji toksisitas, dimana praktikum ini
bertujuan agar praktikan dapat mengethaui dan memahami mekanisme kerja yang
mendasari manifestasi efek dan toksisitas amfetamin, melihat pengaruh lingkungan
terhadap toksisitas amfetamin, memahami bahaya penggunaan amfetamin dan obat
sejenis.
Hewan percobaan yang digunakan pada praktikum ini adalah mencit. Alasan
mencit digunakan karena mencit merupakan hewan yang memiliki anatomi dan fisiologi
tubuh mirip dengan anatomi fisiologi manusia, selain itu juga karena mencit mudah
untuk ditangani, ukuran tubuhnya kecil sehingga percobaan berlangsung dengan cepat.
Pada praktikum ini pada uji toksisitas amfetamin, mencit yang diberi larutan
NaCl fisiologis 1% sebagai kontrol sedangkan mencit lainnya dilakukan pemberian
amfetamin dengan dosis obat 10 mg/kg dan 20 mg/kg, tujuan pemberian dua macam
dosis adalah untuk membandingkan efek toksik yang ditimbulkan pada dosis yang
berbeda. Volume administrasi obat yang diberikan disesuaikan dengan masing-masing
berat badan dari mencit, pada kelompok 1 dan 10 dilakukan pemberian kontrol NaCl 1%,
BB mencit tersebut 23 g dan 21 g sehingga VAO yang diberikan adalah 0,23 ml dan 0,21
ml, pada kelompok 2, 3, 6, dan 7 dilakukan pemberian Amfetamin dengan dosis 10
mg/kg sehingga VAO yang diberikan berdasarkan BB mencit adalah mencit 25 g VAO
yang diberikan 0,125 ml, mencit 27 g VAO yang diberikan 0,135 ml, mencit 22 g VAO
yang diberikan 0,11 ml dan mencit 21 g VAO yang diberikan 0,150 ml. Sedangkan pada
kelompok 4, 5, 8 dan 9 dilakukan pemberikan Amfetamin dengan dosis 20 mg/kg
sehingga VAO yang diberikan berdasarkan BB mencit adalah mencit 23 g VAO yang
diberikan 0,23 ml, mencit 21 g VAO yang diberikan 0,21 ml, mencit 21 g VAO yang
diberikan 0,21 ml dan mencit 24 g VAO yang diberikan 0,24 ml.
Mencit yang diletakkan sendiri dengan mencit yang dikelompokkan menunjukkan
gejala yg berbeda. Pada mencit yang diletakkan sendiri, tampak mencit lebih aktif
misalnya seperti hilangnya rasa takut mencit karena mencit dengan spontan meloncat
keluar secra berulang kali dari wadah penempatannya. Hal ini bisa jadi dikarenakan dosis
amfetmin yg diberikan lebih besar yaitu 20mg/KgBB. Sedangkan pada mencit yang
dikelompokkan, gejala keracunannya juga menunjukkan peningkatan aktiviatas akan
tetapi tidak sampai melakukan aktivitas melompat yang berlebihan seperti mencit yang
sendirian tadi. Maka dapat kita lihat dan simpulkan bahwa dosis obat juga
mempengaruhi tingkat toksisitas. Selain itu, mencit yang berkelompok juga cenderung
bertengkar satu dengan lainnya, yang artinya keadaan lingkungan juga berpengaruh
dalam uji toksisitas amfetamin.
Faktor-faktor yang mempengaruhi toksisitas amfetamin adalah sebagai berikut:
1. Konsentrasi obat:
2. Fungsi hati
3. Usia pengguna
4. Genetik.
menimbulkan halusinasi. Disisi lain amfetamin memiliki dampak jangka pendek maupun
jangka panjang yang negatif. Apabila penggunaan mengalami putus zat, maka efek yang
ditimbulkan adalah perubahan alam perasaan, rasa lelah, letih, ganggguan tidur, dan
mimpi yang bertambah sehingga menggangu kenyamanan tidur, dan mimpi yang
betambah. Pengaruh jangka panjang amfetamin adalah akan menurunnya daya tahan
tubuh terhadap infeksi dan penyakit, kekurangan gizi, mengalami gangguan jiwa (delusi,
halusinasi, paranoid, tingkah laku aneh), dan ketergantungan. Secara klinis, efek
amfetamin sangat mirip dengan kokain, akan tetapi memiliki waktu paruh yang lebih
panjang yaitu +/- 10-15 jam dan durasi efek euforianya adalah 4-8 kali lebih lama
aktivtas tremor. Terdapat perbedaan antara mencit yang sendiri dengan mencit yang
Pada praktikum uji toksisitas sianida dilakukan pemberian KCN dengan dua
jalur yang berbeda yaitu secara oral dan subkutan. Tujuan dari pemberian dengan dua
jalur yang berbeda adalah agar mengetahui pengaruh toksisitas terhadap jalur obat yang
diberikan. Kemudian digunakan antidotum berupa natrium nitrit dan natrium tiosulfat.
Dosis sianida, natrium nitrit dan natrium tiosulfat yang diberikan adalah 20 mg/kgBB
dengan masing-masing konsentrasi 0,2%. VAO obat yang diberikan berdasarkan berat
badan mencit. Pada kelompok 1 diberikan KCN secara oral dengan VAO 0,22 ml, pada
kelompok 2 diberikan KCN secara subkutan dengan VAO 0,24 ml, pada kelompok 3
diberikan KCN secara oral dan 1 jenis antidotum NaNO2 subkutan dengan VAO 0,22
ml, pada kelompok 4 diberi KCN secara oral dan 1 jeis antidotum NaNO2 secara
subkutan dengan VAO 0,25 ml, pada kelompok 5 diberi dahulu antidotum secara
subkutan baru diberi KCN secara subkutan dengan VAO 0,21 ml, pada kelompok 6
diberi KCN secara oral dan 1 jenis antidotum Na2S2O3 secara intraperitoneal dengan
VAO 0,23 ml, pada kelompok 7 diberi KCN secara subkutan dan 1 jenis antidotum
Na2S2O3 secara intraperitoneal dengan VAO 0,24 ml, pada kelompok 8 diberi terlebih
secara oral dengan VAO 0,24 ml, pada kelompok 9 dilakukan pemberian 2 jenis anti
dotum yaitu NaNO2 secara subkutan dilanjutkan dengan pemberian KCN secara oral dan
Na2S2O3 secara oral dengan VAO 0,25 ml dan pada kelompok 10 juga dilakukan
secara oran dan NaNO2 secara subkutan dengan VAO 0,25 ml.
Dari hasil pengamatan pada uji toksisitas amfetamin, pada mencit kelompok 1
dan 10 tidak mengalami gejala keracunan, hal ini dikarenakan NaCl merupakan kontrol
negative dimana tidak memiliki potensi toksik, pada mencit kelompok 1 tidak ada
terlihat aktivitas motorik, laju pernapasan, tidak mengalami tremor, tidak konvulsi dan
tidak mati, akan tetapi mencit di sini mengalami grooming pada menit ke 04.53 hingga
menit ke 05.34 dan pada kelompok 10 hampir sama seperti kelompok 1 namun
meningkat, dan akan membentuk aktivtas tremor. Pada praktikum ini mencit yang sendiri
Dari hasil pengamatan uji toksisitas sianida, pemberian sianida tanpa antidotum
hiperaktif, mengusap muka, mata redup ekor pucat, diam ditempat, napas berkurang,
menggaruk mulut gemetaran, biru mulut kering, respon sakit berkurang, terjadi urinasi
tremor, kejang hingga mati. Saat dilakukan pemnerian 1 jenis antidotum, gejala
berkurang namun masih menyebabkan kematian, efek toksik muncul lebih lama,
kematian terjadi pada menit ke-4,04. Sedangkan pada kelompok 9 dan 10 yang dilakukan
pemberian 2 jenis antidotum gejala keracunan semakin sedikit dan tidak menyebabkan
kematian pada mencit. Pemberian dua antidote sekaligus seperti ini tampaknya lebih
maksimal daripada salah satu, karna dapat kita lihat pada hasil pengamatan, dengan
memberikan dua antidote sekaligus, tidak ada kematian pada mencit. Maka dapat kita
digunakan kedua antidote tersebut sekaligus. Mekanisme antidote natrium nitri dan
na tiosulfat ini adalah menghasilkan besi ferro (Fe3+) dalam jumlah besar untuk bersaing
daripada ke enzim, bila tidak berikatan dengan enzim maka sianida tidak akan
7. KESIMPULAN
dibandingkan dosis 10 mg/kg, hal ini menandakan semakin besar dosis maka
semakin toksik .
3. Uji toksisitas sianida secara sc lebih cepat terlihat efek toksiknya daripada oral.
Karena secara sc, dapat membuat sianida langsung berdifusi dalam darah,
5. Uji toksisitas sianida secara sc lebih cepat terlihat efek toksiknya daripada oral.
Karena secara sc, dapat membuat sianida langsung berdifusi dalam darah.
6. Mekanisme dari antidotum yaitu menghasilkan besi ferro (Fe3+) dalam jumlah besar
terikat ke antidot daripada ke enzim, bila tidak berikatan dengan enzim maka sianida
I. Jawaban Pertanyaan-pertanyaan
Jawab:
Sistem saraf utama yang dipengaruhi oleh amfetamin sebagian besar terlibat
dalam sirkuit otak. Selain itu, neurotransmiter yang terlibat dalam jalur berbagai
accumbens , dan ventral striatum telah ditemukan untuk menjadi situs utama dari
ditemukan memiliki beberapa analog endogen, yaitu molekul struktur serupa yang
contoh, yang terbentuk dalam sistem saraf perifer serta dalam otak itu sendiri.
Jawab:
a. Konsentrasi Obat:
b. Fungsi Hati:
Pada gangguan fungsi hati, metabolsime dapat berlangsung lebih cepat atau
lebih lambat, sehingga efek obat menjadi lebih lemah ataulebih kuat dari yang
diharapkan.
c. Usia:
Pada bayi baru lahir (neonatus) belum semua enzim hati terbentuk, maka
d. Genetik:
Ada orang orang yang tidak memiliki faktor genetika tertentu misalnya enzim
pembentukan dan aktivitas enzim-enzim hati. Hal ini disebut induksi enzim.
Jawab:
Mulut kering, Dilatasi pupil, Mual, Sakit kepala, Perubahan perilaku seksua
4. Bila terjadi keracunan, obat apa yang dapat digunakan untuk mengatasinya?
Jelaskan
Jawab:
racun, dapat mengubah sifat kimia racun, atau mencegah absorbsiracun. Jenis
Jawab:
dalam struktur tidak berubah atau sebagai metabolit melalui ginjal dala urine. Obat
Obat dapat diekskresikan melalui paru–paru, air ludah, keringat atau dalam air
susu. Obat dalam badan akan mengalami metabolisme dan ekskresi. Maka
fungsi hati atau ginjalnya tidak normal. Perlu diketahui apakah obat
diekskresi, melalui :
disebabkan amfetamin.
Jawab:
7. Apakah semua obat-obat lain yang segolongan dengan asetanilida secara kimia
dan farmakologi mempunyai toksisitas sama dengan asetanilida dalam dosis yang
setara.
Jawab:
Secara umum, golongan asetanilida mempunyai toksisitas yang berbeda dari yang
lainnya. Efek toksik yang lebih kuat atau tinggi dan juga disebabkan oleh besar
Jawab:
Sianida menjadi toksik bila berikatan dengan trivalen ferric (Fe3+). Tubuh yang
mempunyai lebih dari 40 sistem enzim dilaporkan menjadi inaktif oleh sianida.
Yang paling nyata dari hal tersebut ialah nonaktif dari dari sistem enzim sitokrom
oksidase yang terdiri dari sitokroma-a3 komplek dan sistem transport elektron.
mengikut racun PO2. Sianida dapat menimbulkan gangguan fisiologik yang sama
respirasi. Sebagai akibat tidak terbentuknya kembali ATP selama proses itu masih
bergantung pada sitokrom oksidase yang merupakan tahap akhir dari proses
hipoksia. Bila hal ini terjadi jumlah oksigen yang mencapai jaringan normal tetapi
sel tidak mampu menggunakannya. Hal ini berbeda dengan keracunan CO dimana
terjadinya jarinngan hipoksia karena kekurangan jumlah oksigen yang masuk. Jadi
9. Apakah perbedaan rute pemberina racun dan obat berpengaruh pada efektoksin
Jawab:
Intravena (IV) → suntikan intravena adalah cara pemberian obat parenteral yan
sering dilakukan. Untuk obat yang tidak diabsorbsi secaraoral, sering tidak ada
pilihan. Dengan pemberian IV, obat menghindari saluran cerna dan oleh karena
itu menghindari metabolisme first pass oleh hati. Rute ini memberikan suatu efek
yang cepat dan kontrol yang baiksekali atas kadar obat dalam sirkulasi. Namun,
disuntukkan tidak dapat diambil kembali seperti emesis atau pengikatan dengan
jaringan. Oleh karena it, kecepatan infus harus dikontrol dengan hati-hati.
Perhatian yang sama juga harus berlaku untuk obat-obat yang disuntikkan
secara intra-arteri.
Jawab:
Sumber racun sianida berasal dari Ketela Pohon. Bagian dalam umbinya berwarna
warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat meracun bagi
manusia. Umbi ketela pohon merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat
namun sangat miskinprotein. Sumber protein yang bagus justru terdapat pada
11. Dalam praktek apakah ada pendekatan untuk mencegah keracunan sepertiyang
Jawab:
Antidot adalah sebuah substansi yang dapat melawan reaksi peracunan, atau
dengan kata lain antidotum ialah penawar racun. Dalam artisempit, antidotum
pemberiannya.
9. DAFTAR PUSTAKA
Anonym.1999.Farnakologi dan terapi edisi IV. Jakarta : depkes RI
Katzung,B,G. 1986. Farmakologi dasar dan klinik . Jakarta : Salemba medika
Kjeldsen, P.1999. Behaviour of cyanides in soil and groundwater: A review. Water,
10. LAMPIRAN
VAO