Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI KLINIK
TOKSISITAS

DISUSUN OLEH :

NOVIA RISKY NUR


1801029
S1-4A
GRUP A
KELOMPOK 10 (SEPULUH)
RABU, 12 Mei 2020

NAMA DOSEN :
Dra. SYILFIA HASTI, M.Farm,Apt

NAMA ASISTEN :
1. ASRI NURUL ISMI
2. CAHYA NINGSIH
3. SRI RAHAYU

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIV RIAU
2020
PERCOBAAN 7
TOKSISITAS

1. TUJUAN PERCOBAAN :
1. Mengetahui dan memahami mekanisme kerja yang mendasari manifestasi efek dan

toksisitas amfetamin

2. Melihat pengaruh lingkungan terhadap toksisitas amfetamin.

3. Memahami bahaya penggunaan amfetamin dan obat sejenis

4. Mengetahui dan memahami mekanisme terjadinya manifestasi keracunan sianida

dan gejala-geajala keracunan sianida.

5. Mengerti mmekanisme kerja antidotum untuk sianida.

6. Agar mahasiswa terampil menangani kasus CN dengan memilihkan antidote yang

tepat.

2. TINJAUAN PUSTAKA :

Toksisitas adalah suatu keadaan yang menandakan adanya efektoksik/racun


yang terdapat pada bahan sebagai sediaan single dose atau campuran. Toksisitas akut
ini diteliti pada hewan percobaan yang menunjukkanevaluasi keamanan dari
kandungan kimia untuk penggunaan produk rumahtangga, bahan tambahan makanan,
kosmetik, obat-obatan, dan sediaan biologi.Uji toksisitas akut adalah pengujian yang
dilakukan untuk mengetahuinilai LD50 dan dosis maksimal yang masih dapat
ditoleransi hewan uji(menggunakan 2 spesies hewan uji). pemberian obat dalam
dosis tunggal dandiberikan melalui 2 rute pemerian (misalnya oral dan
intravena).Hasil uji LD50 dan dosisnya akan ditransformasi (dikonversi)
padamanusia. (LD50 adalah pemberian dosis obat yang menyebabkan 50 ekor
daritotal 100 ekor hewan uji mati oleh pemerian dosis tersebut) Uji toksisitas
dilakukan untuk mendapatkan informasi atau data tentangtoksisitas suatu bahan
(kimia) pada hewan uji. Secara umum uji toksisitas dapatdikelompokkan menjadi uji
toksisitas jangka pendek/akut, dan uji toksikologi jangka panjang.(Syarif,2011)
Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang
gejala keracunan, penyebab kematian, urutan proses kematian danrentang dosis yang
mematikan hewan uji (Lethal  dose atau disingkat LD50 ) suatu bahan. Uji toksisitas
akut merupakan efek yang merugikan yang timbul segera sesudah pemberian suatu
bahan sebagai dosis tunggal, atau berulang yangdiberikan dalam 24 jam. (Anonim,
1999)

Uji toksisitas akut dirancang untuk menentukan atau menunjukkansecara


kasar median lethal dose (LD50) dari toksikan. LD50 ditetapkan sebagai tanda
statistik pada pemberian suatu bahan sebagai dosis tunggal yang dapatmenyebabkan
kematian 50% hewan uji. Jumlah kematian hewan uji dipakai sebagai ukuran untuk
efek toksik suatu bahan (kimia) pada sekelompok hewan uji. Jika dalam hal ini
hewan uji dipandang sebagai subjek, respon berupa kematian tersebut merupakan
suatu respon diskretik. Ini berarti hanya ada duamacam respon yaitu ada atau tidak
ada kematian. (Anonim,1999)
  Lethal Dose 50 adalah suatu besaran yang diturunkan secara statistik,
guna menyatakan dosis tunggal sesuatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan
ataumenimbulkan efek toksik yang berarti pada 50% hewan percobaan
setelah perlakuan. LD50 merupakan tolak ukur kuantitatif yang sering digunakan
untuk menyatakan kisaran dosis letal. Ada beberapa pendapat yang menyatakan tidak
setuju, bahwa LD50 masih dapat digunakan untuk uji toksisitas akut. Namun
ada juga beberapa kalangan yang masih setuju, dengan pertimbangan:
(Katzung,1986)
a. Jika lakukan dengan baik, uji toksisitas akut tidak hanya mengukur LD50,
tetapi juga memeberikan informasi tentang waktu kematian, penyebab kematian,
gejala –  gejala sebelum kematian, organ yang terkena efek, dan kemampuan
pemulihandari efek nonlethal.
b. Hasil dari penelitian dapat digunakan untuk pertimbangan pemilihan design
penelitian subakut.
c. Tes LD50tidak membutuhkan banyak waktu
d. Hasil tes ini dapat langsung digunakan sebagai perkiraan risiko suatu
senyawaterhadap konsumen atau pasien.
Pada dasarnya, nilai tes LD50 yang harus dilaporkan selain jumlah hewan
yangmati, juga harus disebutkan durasi pengamatan. Bila pengamatan dilakukan
dalam 24 jam setelah perlakuan, maka hasilnya tertulis “LD50 24 jam”. Namun
seiring perkembangan, hal ini sudah tidak diperhatikan lagi, karena pada
umumnya tes LD 50 dilakukan dalam 24 jam pertama sehingga penulisan hasil
tes “LD50” saja sudah cukup untuk mewakili tes LD50 yang diamati dalam 24
jam. Bila dibutuhkan, tes inidapat dilakukan lebih dari 14 hari. Contohnya, pada
senyawa tricresyl phosphat ,akan memberikan pengaruh secara neurogik
dan jika begitu tentu saja penulisan hasil harus deisertai dengan durasi
pengamatan. Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi nilai LD50 antara lain
spesies, strain, jenis kelamin,umur, berat badan, gender, kesehatan nutrisi, dan isi
perut hewan percobaan.Teknis pemberian juga mempengaruhi hasil, antara lain
waktu pemberian, suhu lingkungan, kelembaban, sirkulasi udara. Tidak luput
kesalahan manusia juga dapat mempengaruhi hasil ini. Sehingga sebelum
melakukan penelitian, ada baiknya kitamemeperhatikan faktor –  faktor yang
mempengaruhi hasil ini. Secara umum semakin kecil nilai LD50, semakin toksik
senyawa tersebut. Begitu pula sebaliknya,semakin besar nilai LD50, semakin
rendah toksisitasnya. Hasil yang diperoleh (dalam mg/kgBB) dapat digolongkan
menurut potensi ketoksikan akut senyawa ujimenjadi beberapa kelas,
seperti yang terlihat pada tabel berikut (Loomis, 1978) :

No Kelas LD 50 (mg/kgBB)
1 Luar biasa toksik 1 atau kurang
2 Sangat toksik 1-50
3 Cukup toksik 50-500
4 Sedikit toksik 500-5000
5 Praktis tidak toksik 5000-15000
6 Relative kurang berbahaya Lebih dari 15000
Tujuan dilakukannya uji toksisitas akut adalah untuk menentukan potensi
ketoksikan akut dari suatu senyawa dan untuk menentukan gejala yang timbul pada
hewan coba. Data yang dikumpulkan pada uji toksisitas akut ini adalah data
kuantitatif yang berupa kisaran dosis letal atau toksik, dan data kualitatif yang berupa
gejala klinis. (Mahar.2007)

Pada dasarnya tidak ada satu hewan pun yang sempurna untuk uji toksisitas
akut yang nantinya akan digunakan oleh manusia. Walaupun tidak ada aturan tetap
yang mengatur pemilihan spesies hewan coba, yang lazim digunakan pada uji
toksisitas akut adalah tikus, mencit, marmut, kelinci, babi, anjing, monyet. Pada
awalnya, pertimbangan dalam memilih hewan coba hanya berdasarkan avaibilitas,
harga, dan kemudahan dalam perawatan. Namun seiring perkembangan zaman tipe
metabolisme, farmakokinetik, dan perbandingan catatan atau sejarah avaibilitas juga
ikut dipertimbangkan. Hewan yang paling sering dipakai adalah mencit dengan
mempertimbangkan faktor ukuran, kemudahan perawatan, harga, dan hasil yang
cukup konsisten dan relevan.(Mycek,2009)

 Perlakuan hewan coba


Perlakuan terhadap hewan coba Hewan coba harus dikarantina terlebih dahulu
selama 7 – 14 hari. Karantina ini bertujuan untuk mengkondisikan hewan dengan
suasana lab, dan untuk menghilangkan stres akibat transportasi. Temperatur dan
kelembaban juga harus diperhatikan. Temperatur pertahankan suhu kamar,
kelembapan antara 40 – 60%. Pemberian senyawa pada hewan coba memiliki dosis
maksimum (yaitu 5000mg/KgBB)15 dan batas maksimum volume cairan yang boleh
diberikan pada hewan uji.6 Dosis yang diberikan minimal ada 4 peringkat dosis, yang
diperkirakan menyebabkan 10 – 90% kematian hewan coba pada masa uji akhir. Hal
ini dapat diperhitungkan dengan beberapa cara, yaitu: (Tjay,2003)
1. Berdasarkan ED50 senyawa uji dari hasil uji farmakologi dengan hewan uji
dengan jalur pemberian yang sama.
2. Berdasarkan harga LD50 senyawa uji pada hewan uji yang sama (5 – 10%
LD50 intra vena).
3. Berdasarkan kelipatan dosis yang disarankan untuk digunakan pada manusia
4. Mengikuti tabel konversi perhitungan dosis antar-jenis hewan, berdasarkan
nisbah (ratio luas permukaan badan mereka).
Cara pemberian
Cara pemberian senyawa pada hewan coba yang lazim adalah per oral, namun
yang paling tepat adalah dengan mempertimbangkan kemungkinan cara pemberian
senyawa tersebut pada manusia. Kebanyakan orang lebih memilih memakai obat dari
kulit atau melalui inhalasi karena kemudahannya. Tetapi uji toksisitas melalui kedua
cara tersebut sulit dilakukan. Ada beberapa alasan antara lain: (Mahar,2007)
1. Uji toksisitas akut melalui kulit membutuhkan biaya yang lebih besar dari
pada pemberian per oral15 .
2. Uji toksisitas akut melalui inhalasi membutuhkan alat khusus, agar
perhitungan induksi obat sesuai standar, sehingga butuh biaya lebih banyak
dan dengan metode yang lebih rumit15 .
3. Tidak banyak hewan yang memiliki struktur kulit yang sama dengan
manusia, karena manusia mempunyai epidermis (stratum corneum) yang
lebih tebal dari hewan coba pada umumnya. Hewan yang mempunyai tingkat
kesamaan paling tinggi dalam struktur kulit adalah babi.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan 24 jam pertama sejak diberikan perlakuan, dan 7 – 14
hari pada kasus tertentu. Ada baiknya untuk mengamati hewan coba sebelum diberi
perlakuan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui perubahan gejala yang terjadi setelah
diberi perlakuan dengan membandingkan gejala atau perilaku sebelum perlakuan.
Kriteria Pengamatan meliputi : (Kjeldsen,1999)
1. Pengamatan terhadap gejala – gejala klinis.
2. Perubahan berat badan, Histopatologi organ.
3. Jumlah hewan yang mati pada masing – masing kelompok uji
Analisa dan evaluasi hasil
Gejala – gejala klinis yang didapat dari fungsi vital, dapat dipakai sebagai
pengevaluasi mekanisme penyebab kematian secara kualitatif. Data hasil pemeriksaan
histopatologi digunakan untuk mengevaluasi spektrum efek toksik. Data jumlah
hewan yang mati dapat digunakan untuk menentukan nilai LD50. Jika pada batas
dosis maksimum tercapai, namun belum diketahui LD50-nya, maka hasil yang
didapat tertulis “LD50 lebih dari 5000mg/KgBB”.15 Dan jika sampai pada batas
volume maksimum yang boleh diberikan pada hewan uji, namun belum menimbulkan
kematian, maka dosis tertinggi tersebut dinyatakan sebagai LD50 semu (LD0).
(Kjelsen,1999)
3. Bahan dan Alat :
Alat :
1. Timbangan Tikus
2. Alat Suntik Oral dan IP

Bahan :

1. Amfetamin
2. Sianida
3. Natrium nitrit (NaNO3)
4. Natrium Tiosulfat (Na2SO3)
5. Nacl Fisiologi
6. Mencit

4. Cara Kerja
A. Toksisitas Amfetamin
1. Timbang berat badan mencit lalu hitung VAO
2. Ambil volume sediaan obat yang sudah dicari
3. Suntikkan amfetamin ke mencit secara IP
4. Tunggu 1jam dan amati gejala yang timbul.
B. Toksisitas sianida
1. Suntikkan secara subkutan Natrium nitrit
2. Sianida diberikkan secara oral
3. Suntikkan secara oral KCN
4. Lalu suntikkan natrium tiosulfat secara oral langsung setelah diberikan
sianida
5. Amati Gejala yang terjadi
5. HASIL

Kel Mencit 1 Mencit 2


I NaNO2 0,2% 20mg/kgbb sc, lalu berikan NaCl fis 0,2ml/20gbb sc, lalu berikan
NaCN 0,2% 20mg/kgbb oral. NaCN 20mg/kgbb oral.
II NaCN 0,2% 20mg/kgbb oral. NaCN 0,2% 20mg/kgbb sc.
III NaNO2 0,2% 20mg/kgbb sc, lalu berikan NaCN 0,2% 20mg/kgbb sc dan NaCl
NaCN 0,2% 20mg/kgbb oral dan fis 0,2ml/20gbb ip.
Na2S2O3 0,2% 20mg/kgbb ip.
IV NaNO2 0,2% 20mg/kgbb oral, lalu berikan NaCN 0,2% 20mg/kgbb oral dan
NaCN 0,2% 20mg/kgbb sc dan Na2S2O3 Na2S2O3 0,2% 20mg/kgbb ip.
0,2% 20mg/kgbb ip.
V Control Kontrol

A. Amfetamin
1) Kontrol NaCl 1% (23g)
VAO NaCl 1% =1/100 x 23g= 0,23 ml
2) Amfetamin 10mg/kg (25g)
VAO = 0,025 kg x 10mg/kg/ 2mg/ml =0,125 ml
3) Amfetamin 10mg/kg (27g)
VAO = 0,027 kg x 10mg/kg/ 2mg/ml = 0,135ml
4) Amfetamin 20mg/kg (23g)
VAO = 0,023 kg x 20mg/kg/ 2mg/ml = 0,23ml
5) Amfetamin 20mg/kg (21g)
VAO = 0,021 kg x 20mg/kg/ 2mg/ml =0,21 ml
6) Amfetamin 10mg/kg (22g)
VAO = 0,022 kg x 10mg/kg/ 2mg/ml =0,11 ml
7) Amfetamin 10mg/kg (21g)
VAO = 0,021 kg x 10mg/kg/ 2mg/ml =0,150 ml
8) Amfetamin 20mg/kg (21g)
VAO = 0,021 kg x 20mg/kg/ 2mg/ml =0,21 ml
9) Amfetamin 20mg/kg (24g)
VAO = 0,024 kg x 20mg/kg/ 2mg/ml =0,24 ml
10) kontrol NaCl 1% (21g)
VAO NaCl 1% =1/100 x 21g= 0,21 ml
GEJALA YANG DIAMATI (menit ke-)
B
Laju
B Akti
Kel Perlakuan Vao Ekor,
vitas
Pern Grooming Bertengkar Tremor Konvulsi Mati bulu keterangan
g Mot
apas berdiri
orik
an

Kontrol 0,23 04.53-


1 23 -   individu
Nacl 1% 05.34 - - - *
ml 
Amfetami 0,12
2 25 1,4 2,15 3,45 individu
n 10mg/kg - - - 8
5ml 30'
0,13 klp
Amfetami individu +
3 27 3,08 4,35 5,49 -
n 10mg/kg 5 - - - 7 musik
Ml
Amfetami 0,23
4 23 4,02 0,42 17,22 1,14 individu
n 20mg/kg - - - 7
ml 30'
klp
Amfetami  0,21 individu +
5 21 2,33 1,03 4,27 20,4
n 20mg/kg - - - 6 musik
ml
Amfetami 0,11 kelompok
6 22 3,04 3,04 7,08 0,43 -
n 10mg/kg - - 5   + musik
ml 
Amfetami  0,15 kelompok
7 21 4 4,25 3,17 0,43 2,2
n 10mg/kg - - 5   + musik
ml
Amfetami 0,21  kelompok
8 21 4,03 5,02 9,09 10,42 -
n 20mg/kg - - 4   + musik
ml
Amfetami  0,24 kelompok
9 24 4,16 8,53 8,04 10,42 -
n 20mg/kg - - 4   + musik
ml
Kontrol 0,21 individu +
10 21 2,03 5,08 - -
Nacl 1% - - *   musik
ml 
waktu gejala diamati

Mata Redup Ekor


Mengusap Muka
Perlakua

Mencacahkan

Respon Sakit
Mulut Kering
Menggaruk
BB VAO

Nafas Sesa

Berkurang
Hiperaktif
n

Tenang

Tremor
Urinasi

Kejang
Geliat

Napas
Pucat

Diam
Perut

Biru,

Mati
KCN 0,2 0, 0, 0,2 1, 1, 0,
1 22 g 1,4 4,3 0,13 1,12 2.5 1,35 1,48 1,55
(Oral) 2m 1 18 3 2 33 27

KCN  0, 2, 2, 2, 1, 1,
2 24 g 2,3 2,3 1,18 1 0,3 1,55 2,1 2,18 4 4,02 5,08
(Sc) 24 05 15 17 48 07
ml
KCN
(Oral) +  0, 2, 2,1 1, 2, 3, 3,
3 22 g 0,54 1,1 2 0 2,45 2,25 3,57 4,04
NaNO2 22 25 5 39 57 45 21
(Sc) ml

KCN
(Oral) +  0, 0, 0, 1,
4 25 g 0,3 0,48 0,6 0 2,05 2,46 3,37
NaNO2 25 35 48 5
(Sc) ml

NaNO2
(Sc) +  0, 0,0 1, 1, 0, 1,
5 21 g 0,59 0,31 1,42 0 0 2,1 1,57 2,35
KCN 21 4 37 4 07 47
(Sc) ml

KCN
(Oral) +  0, 0, 0, 0,0 0, 0, 0,
6 23 g 3 0,01 0,05   0 3 0,47 0,47 3,46
Na2S20 23 03 04 1 05 01 03
3 (Ip) ml

KCN
(Sc) +  0, 0, 0, 0,4 0, 0,
7 24 g 0,02 0,03 0,14 1,3 0 1,4 0,05 0,19 2,08
Na2S20 24 25 17 3 04 09
3 (Ip) ml

Na2S2O
3 (Ip) +  0, 1, 1, 1,
8 24 g 1,28 * 1,4 0 1,35 1,47 3,41
KCN 24 29 45 35
(Oral) ml

NaNO2
(Sc) +
KCN  0, 1, 4, 1,
9 25 g 3,4 * 2,3 3,04 3,18 0 1,43 4,56
(Oral)+ 25 58 3 2
Na2S2O ml
3

Na2S2O
3 (Ip) +
1 NaCN  0, 0, 0, 0,3 0, 0,
25 g * 1,15 0 0 0,1
0 (Oral) + 25 4 05 8 4 1
KNO2 ml
(Sc)

B. Sianida
1) KCN (Oral) (22g)
VAO = 0,022 kg x 20mg/kg/ 2mg/ml =0,22 ml
2) KCN (Sc) (24g)
VAO = 0,024 kg x 20mg/kg/ 2mg/ml =0,24 ml
3) KCN oral + NaNO2 (Sc) (22g)
VAO = 0,022 kg x 20mg/kg/ 2mg/ml =0,22 ml
4) KCN (Oral) + NaNO2 (Sc) (25g)
VAO = 0,02 kg x 20mg/kg/2 mg/ml =0,25 ml
5) NaNO2 (Sc) + KCN (Sc) (21g)
VAO = 0,021 kg x 20mg/kg/2 mg/ml =0,21 ml
6) KCN (Oral) + Na2S2O3 (Ip) (23g)
VAO = 0,023 kg x 20mg/kg/ 2mg/ml =0,23 ml
7) KCN (Sc) + Na2S2O3 (Ip) (24g)
VAO = 0,024 kg x 20mg/kg/ mg/ml =0,24 ml
8) Na2S2O3 (Ip) + KCN (Oral) (24g)
VAO = 0,024 kg x 20mg/kg/ mg/ml =0,24 ml
9) NaNO2 (Sc) + KCN (Oral)+ Na2S2O3 (25g)
VAO = 0,025 kg x 20mg/kg/ mg/ml =0,25 ml
10) Na2S2O3 (Ip) + NaCN (Oral) + KNO2 (Sc) (25g)
VAO = 0,025 kg x 20mg/kg/ mg/ml =0,25 ml

6. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan uji toksisitas, dimana praktikum ini
bertujuan agar praktikan dapat mengethaui dan memahami mekanisme kerja yang
mendasari manifestasi efek dan toksisitas amfetamin, melihat pengaruh lingkungan
terhadap toksisitas amfetamin, memahami bahaya penggunaan amfetamin dan obat
sejenis.
Hewan percobaan yang digunakan pada praktikum ini adalah mencit. Alasan
mencit digunakan karena mencit merupakan hewan yang memiliki anatomi dan fisiologi
tubuh mirip dengan anatomi fisiologi manusia, selain itu juga karena mencit mudah
untuk ditangani, ukuran tubuhnya kecil sehingga percobaan berlangsung dengan cepat.
Pada praktikum ini pada uji toksisitas amfetamin, mencit yang diberi larutan
NaCl fisiologis 1% sebagai kontrol sedangkan mencit lainnya dilakukan pemberian
amfetamin dengan dosis obat 10 mg/kg dan 20 mg/kg, tujuan pemberian dua macam
dosis adalah untuk membandingkan efek toksik yang ditimbulkan pada dosis yang
berbeda. Volume administrasi obat yang diberikan disesuaikan dengan masing-masing
berat badan dari mencit, pada kelompok 1 dan 10 dilakukan pemberian kontrol NaCl 1%,
BB mencit tersebut 23 g dan 21 g sehingga VAO yang diberikan adalah 0,23 ml dan 0,21
ml, pada kelompok 2, 3, 6, dan 7 dilakukan pemberian Amfetamin dengan dosis 10
mg/kg sehingga VAO yang diberikan berdasarkan BB mencit adalah mencit 25 g VAO
yang diberikan 0,125 ml, mencit 27 g VAO yang diberikan 0,135 ml, mencit 22 g VAO
yang diberikan 0,11 ml dan mencit 21 g VAO yang diberikan 0,150 ml. Sedangkan pada
kelompok 4, 5, 8 dan 9 dilakukan pemberikan Amfetamin dengan dosis 20 mg/kg
sehingga VAO yang diberikan berdasarkan BB mencit adalah mencit 23 g VAO yang
diberikan 0,23 ml, mencit 21 g VAO yang diberikan 0,21 ml, mencit 21 g VAO yang
diberikan 0,21 ml dan mencit 24 g VAO yang diberikan 0,24 ml.
Mencit yang diletakkan sendiri dengan mencit yang dikelompokkan menunjukkan
gejala yg berbeda. Pada mencit yang diletakkan sendiri, tampak mencit lebih aktif
misalnya seperti hilangnya rasa takut mencit karena mencit dengan spontan meloncat
keluar secra berulang kali dari wadah penempatannya. Hal ini bisa jadi dikarenakan dosis
amfetmin yg diberikan lebih besar yaitu 20mg/KgBB. Sedangkan pada mencit yang
dikelompokkan, gejala keracunannya juga menunjukkan peningkatan aktiviatas akan
tetapi tidak sampai melakukan aktivitas melompat yang berlebihan seperti mencit yang
sendirian tadi. Maka dapat kita lihat dan simpulkan bahwa dosis obat juga
mempengaruhi tingkat toksisitas. Selain itu, mencit yang berkelompok juga cenderung
bertengkar satu dengan lainnya, yang artinya keadaan lingkungan juga berpengaruh
dalam uji toksisitas amfetamin.
Faktor-faktor yang mempengaruhi toksisitas amfetamin adalah sebagai berikut:

1. Konsentrasi obat:

2. Fungsi hati

3. Usia pengguna

4. Genetik.

5. Pemakaian obat lain

Efek yang timbul dari penggunaan amfetamin adalah cenderung hiperaktif,

merasa gembira, meningkatkan percaya diri, namun cenderung paranoid dan

menimbulkan halusinasi. Disisi lain amfetamin memiliki dampak jangka pendek maupun

jangka panjang yang negatif. Apabila penggunaan mengalami putus zat, maka efek yang

ditimbulkan adalah perubahan alam perasaan, rasa lelah, letih, ganggguan tidur, dan

mimpi yang bertambah sehingga menggangu kenyamanan tidur, dan mimpi yang

betambah. Pengaruh jangka panjang amfetamin adalah akan menurunnya daya tahan

tubuh terhadap infeksi dan penyakit, kekurangan gizi, mengalami gangguan jiwa (delusi,

halusinasi, paranoid, tingkah laku aneh), dan ketergantungan. Secara klinis, efek

amfetamin sangat mirip dengan kokain, akan tetapi memiliki waktu paruh yang lebih

panjang yaitu +/- 10-15 jam dan durasi efek euforianya adalah 4-8 kali lebih lama

dibandingkan dengan kokain.

Berdasarkan pengamatan, mencit yang diberikan amfetamin menghasilkan

gejala-gejala seperti sktifitas motorik meningkat, laju pernafasan meningkat, grooming,

melompat, bertengkar, rangsangan terhadap bunyi meningkat, dan akanmembentuk

aktivtas tremor. Terdapat perbedaan antara mencit yang sendiri dengan mencit yang

dikelompokkan, dimana pada mencit yang sendiri diberikan pemberian amfetamin


dengan dosis 20 mg/kg BB secara IP, sedangkan pada mencit yang dikelompokkan

diberikan amfetamin dengan dosis 10 mg/kg BB secara IP.

Pada praktikum uji toksisitas sianida dilakukan pemberian KCN dengan dua

jalur yang berbeda yaitu secara oral dan subkutan. Tujuan dari pemberian dengan dua

jalur yang berbeda adalah agar mengetahui pengaruh toksisitas terhadap jalur obat yang

diberikan. Kemudian digunakan antidotum berupa natrium nitrit dan natrium tiosulfat.

Dosis sianida, natrium nitrit dan natrium tiosulfat yang diberikan adalah 20 mg/kgBB

dengan masing-masing konsentrasi 0,2%. VAO obat yang diberikan berdasarkan berat

badan mencit. Pada kelompok 1 diberikan KCN secara oral dengan VAO 0,22 ml, pada

kelompok 2 diberikan KCN secara subkutan dengan VAO 0,24 ml, pada kelompok 3

diberikan KCN secara oral dan 1 jenis antidotum NaNO2 subkutan dengan VAO 0,22

ml, pada kelompok 4 diberi KCN secara oral dan 1 jeis antidotum NaNO2 secara

subkutan dengan VAO 0,25 ml, pada kelompok 5 diberi dahulu antidotum secara

subkutan baru diberi KCN secara subkutan dengan VAO 0,21 ml, pada kelompok 6

diberi KCN secara oral dan 1 jenis antidotum Na2S2O3 secara intraperitoneal dengan

VAO 0,23 ml, pada kelompok 7 diberi KCN secara subkutan dan 1 jenis antidotum

Na2S2O3 secara intraperitoneal dengan VAO 0,24 ml, pada kelompok 8 diberi terlebih

dahulu antidotum Na2S2O3 secara intraperitoneal dilanjutkan dengan pemberian KCN

secara oral dengan VAO 0,24 ml, pada kelompok 9 dilakukan pemberian 2 jenis anti

dotum yaitu NaNO2 secara subkutan dilanjutkan dengan pemberian KCN secara oral dan

Na2S2O3 secara oral dengan VAO 0,25 ml dan pada kelompok 10 juga dilakukan

pemberian 2 jenis antidotum, Na2S2O3 secara intraperitoneal dilanjutkan dengan KCN

secara oran dan NaNO2 secara subkutan dengan VAO 0,25 ml.
Dari hasil pengamatan pada uji toksisitas amfetamin, pada mencit kelompok 1

dan 10 tidak mengalami gejala keracunan, hal ini dikarenakan NaCl merupakan kontrol

negative dimana tidak memiliki potensi toksik, pada mencit kelompok 1 tidak ada

terlihat aktivitas motorik, laju pernapasan, tidak mengalami tremor, tidak konvulsi dan

tidak mati, akan tetapi mencit di sini mengalami grooming pada menit ke 04.53 hingga

menit ke 05.34 dan pada kelompok 10 hampir sama seperti kelompok 1 namun

mengalami peningkatan aktivitas motorik. Sementara itu, mencit yang diberikan

amfetamin menghasilkan gejala-gejala keracunan seperti aktifitas motorik meningkat,

laju pernafasan meningkat, grooming, melompat, bertengkar, rangsangan terhadap bunyi

meningkat, dan akan membentuk aktivtas tremor. Pada praktikum ini mencit yang sendiri

diberikan pemberian amfetamin dengan dosis 20 mg/KgBB sedangkan yang

dikelompokkan diberi dosis 10 mg/KgBB, pemberian obat dilakukan secara IP.

Dari hasil pengamatan uji toksisitas sianida, pemberian sianida tanpa antidotum

menunjukkan gejala keracunan seperti nafas sesak, mencacahkan perut, menggeliat,

hiperaktif, mengusap muka, mata redup ekor pucat, diam ditempat, napas berkurang,

menggaruk mulut gemetaran, biru mulut kering, respon sakit berkurang, terjadi urinasi

tremor, kejang hingga mati. Saat dilakukan pemnerian 1 jenis antidotum, gejala

berkurang namun masih menyebabkan kematian, efek toksik muncul lebih lama,

kematian terjadi pada menit ke-4,04. Sedangkan pada kelompok 9 dan 10 yang dilakukan

pemberian 2 jenis antidotum gejala keracunan semakin sedikit dan tidak menyebabkan

kematian pada mencit. Pemberian dua antidote sekaligus seperti ini tampaknya lebih

maksimal daripada salah satu, karna dapat kita lihat pada hasil pengamatan, dengan

memberikan dua antidote sekaligus, tidak ada kematian pada mencit. Maka dapat kita

simpulkan, bahwa dalam mencegah dan mengobati keracunan sianida sebaiknya

digunakan kedua antidote tersebut sekaligus. Mekanisme antidote natrium nitri dan
na tiosulfat ini adalah menghasilkan besi ferro (Fe3+) dalam jumlah besar untuk bersaing

mendapatkan sianida dengan sitokrom a3 sehingga sianida akan terikat ke antidot

daripada ke enzim, bila tidak berikatan dengan enzim maka sianida tidak akan

menghasilkan efeknya. Untuk mempercepat detoksifikasi, natrium tiosulfat digunakan

untuk menyediakan donor sulfur bagi rhodanese untuk memproduksi tiosiana.

7. KESIMPULAN

1. Toksisitas merupakan kemampuan suatu zat dalam menimbulkan kerusakan pada

organisme baik saaut digunakan/ saat berada dalam lingkungan.

2. Amfetamin dengan dosis 20 mg/kg lebih menunjukkan gejala toksisitas

dibandingkan dosis 10 mg/kg, hal ini menandakan semakin besar dosis maka

semakin toksik .

3. Uji toksisitas sianida secara sc lebih cepat terlihat efek toksiknya daripada oral.

Karena secara sc, dapat membuat sianida langsung berdifusi dalam darah,

4. Pemberian 2 jenis antidotum lebih efektif mengobati keracunan

5. Uji toksisitas sianida secara sc lebih cepat terlihat efek toksiknya daripada oral.

Karena secara sc, dapat membuat sianida langsung berdifusi dalam darah.

6. Mekanisme dari antidotum yaitu menghasilkan besi ferro (Fe3+) dalam jumlah besar

untuk bersaing mendapatkan sianida dengan sitokrom a3 sehingga sianida akan

terikat ke antidot daripada ke enzim, bila tidak berikatan dengan enzim maka sianida

tidak akan menghasilkan efeknya.


8. PERTANYAAN

I. Jawaban Pertanyaan-pertanyaan

1. Jelaskan mekanisme kerja yang mendasari efek farmakologi amfetamin

Jawab:

Sistem saraf utama yang dipengaruhi oleh amfetamin sebagian besar terlibat

dalam sirkuit otak. Selain itu, neurotransmiter yang terlibat dalam jalur berbagai

hal penting di otak tampaknya menjadi target utama dari amfetamin.

Salah satu neurotransmiter tersebut adalah dopamin, sebuah pembawa pesan

kimia sangat aktif dalam mesolimbic dan mesocortical jalurimbalan. Tidak

mengherankan, anatomi komponen jalur tersebut termasuk striatum , yang nucleus

accumbens , dan ventral striatum telah ditemukan untuk menjadi situs utama dari

tindakan amfetamin. Fakta bahwa amfetamin mempengaruhi aktivitas

neurotransmitter khusus di daerah terlibat dalam memberikan wawasan tentang

konsekuensi perilaku obat, seperti timbulnya stereotip euforia. Amphetamine telah

ditemukan memiliki beberapa analog endogen, yaitu molekul struktur serupa yang

ditemukan secara alami diotak. l-Fenilalanin dan β-phenethylamine adalah dua

contoh, yang terbentuk dalam sistem saraf perifer serta dalam otak itu sendiri.

Molekul-molekul ini berpikir untuk memodulasi tingkat kegembiraan dan

kewaspadaan, antara lain negara afektif terkait.

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi toksisitas amfetamin

Jawab:

a. Konsentrasi Obat:

Umumnya kecepatan biotransformasi obat bertambah bila konsentrasi obat

meninggi. Hal ini berlaku sampai titik dimana konsentrasi menjadi

sedemikian tinggi sehingga seluruh molekul enzim yang melakukan


metabolisme berikatan terus menerus dengan obat dan tercapai kecepatan

biotransformasi yang konstan.

b. Fungsi Hati:

Pada gangguan fungsi hati, metabolsime dapat berlangsung lebih cepat atau

lebih lambat, sehingga efek obat menjadi lebih lemah ataulebih kuat dari yang

diharapkan.

c. Usia:

Pada bayi baru lahir (neonatus) belum semua enzim hati terbentuk, maka

reaksi metabolisme obat lebih lambat (terutama pembentukan

glukoronida antara lain untuk reaksi konjugasi dengan kloramfenikol,

sulfonamida, diazepam, barbital, asetosal, petidin). Untuk menghindari

keracunan maka pemakaian obat-obat ini untuk bayi sebaiknya dihindari,atau

dikurangi dosisnya. Pada orang usia lanjut banyak proses fisiologistelah

mengalami kemunduran antara lain fungsi ginjal, enzim-enzim hati, jumlah

albumin serum berkurang. Hal ini menyebabkan terhambatnya

biotrnasformasi obat yang seringkali berakibat akumulasi atau keracunan.

d. Genetik:

Ada orang orang yang tidak memiliki faktor genetika tertentu misalnya enzim

untuk asetilasi sulfonamida atau INH, akibatnya metabolisme obat-obat

ini lambat sekali.

e. Pemakaian Obat lain:

Banyak obat, terutama yang bersifat lipofil (larutlemak) dapat menstimulir

pembentukan dan aktivitas enzim-enzim hati. Hal ini disebut induksi enzim.

Sebaliknya dikenal pula obat yang menghambat atau menginaktifkan enzim

hati disebut inhibisi enzim.


3. Jelaskan efek apa yang terlihat pada mencit setelah pemberian amfetamindan

bagaimana gejala keracunan pada amfetamin

Jawab:

Meningkatkan suhu tubuh, Kerusakan sistem kardiovaskular,

Paranoia,Meningkatkan denyut jantung, Meningkatkan tekanan darah, Menjadi

hiperaktif, Mengurangi rasa kantuk, Tremor, Menurunkan nafsu makan, Euforia,

Mulut kering, Dilatasi pupil, Mual, Sakit kepala, Perubahan perilaku seksua

4. Bila terjadi keracunan, obat apa yang dapat digunakan untuk mengatasinya?

Jelaskan

Jawab:

Antidotum yaitu zat yang memiliki daya kerja bertentangan dengan

racun, dapat mengubah sifat kimia racun, atau mencegah absorbsiracun. Jenis

antidotum yang digunakan pada keracunan :

a. Keracunan insektisida (alkali fosfat), asetilkolin, muskarin: atropine,

reaktivator kolinesteras (pralidoksin, obidoksin).

b. Keracunan sianida: 4 dimetilaminofenol HCl (4-DMAP) dan natrium tiosulfat.

c. Keracunan methanol dengan etanol.

d. Keracunan methenoglobin : tionin.

e. Keracunan besi : deferoksaminf. Keracunan As,Au, Bi, Hg, Ni, Sb:

dimerkaprol (BAL =british antilewisit).

f. Keracunan glikosida jantung : antitoksin digitalis.

g. Keracunan Au,Cd,Mn,Pb,Zn : kalsium trinatrium pentetat


5. Jelaskan mekanisme kerja mengapa dengan jalan memperbanyak ekskresigejala

racun amfetamin dapat dihilangkan

Jawab:

Ginjal merupakan organ yang penting untuk ekskresi obat. Obatdiekskresikan

dalam struktur tidak berubah atau sebagai metabolit melalui ginjal dala urine. Obat

yang diekskresikan bersama feses berasal dari :

a. Obat yang tidak diabsorbsi dari penggunaan obat melalui oral.

b. Obat yang diekskresikan melalui empedu dan tidak direabsorbsidari usus.

Obat dapat diekskresikan melalui paru–paru, air ludah, keringat atau dalam air

susu. Obat dalam badan akan mengalami metabolisme dan ekskresi. Maka

dalam penggunaan obat pada pasien perlu diperhatikankeadaan pasien yang

fungsi hati atau ginjalnya tidak normal. Perlu diketahui apakah obat

yang diberikan dapat dimetabolismekan atau tidak, rute ekskresinya dan

sebagainya. Pengeluaran obat dari tubuh melalui organ ekskresi dalam

bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Ekskresi

suatu obat dan atau metabolitnya menyebabkan penurunan konsentrasi zat

berkhasiat dalam tubuh. Ekskresi dapat terjadi bergantung pada sifat

fisikokimia (bobot molekul, harga pKa, kelarutan,tekanan gas) senyawa yang

diekskresi, melalui :

 Ginjal (dengan urin)

 Empedu dan usus (dengan feses)

 Paru-paru (dengan udara ekspirasi)


6. Obat apa yang digunakan untuk mengendalikan gejala-gejala kardiovascular yang

disebabkan amfetamin.

Jawab:

a. Atropin 2 mg secara Intravena

b. Infus Na 1-1,5 mmol kg/BB perhari

c. Kolaboratif thiamine 100 mg secara intravena

d. Pemberian 5 mg dextroce 5% secara intravena

e. Jika pasien agresif berikan haloperidol

7. Apakah semua obat-obat lain yang segolongan dengan asetanilida secara kimia

dan farmakologi mempunyai toksisitas sama dengan asetanilida dalam dosis yang

setara.

Jawab:

Secara umum, golongan asetanilida mempunyai toksisitas yang berbeda dari yang

lainnya. Efek toksik yang lebih kuat atau tinggi dan juga disebabkan oleh besar

kecilnya pemberian dosis.

8. Jelaskan dengan ringkas mekanisme kerja CN dalam menimbulkan gejala

keracunan dan kaitannya dengan obat-obat yang digunakan untuk mengatasi

keracunan pada percobaan ini.

Jawab:

Sianida menjadi toksik bila berikatan dengan trivalen ferric (Fe3+). Tubuh yang

mempunyai lebih dari 40 sistem enzim dilaporkan menjadi inaktif oleh sianida.

Yang paling nyata dari hal tersebut ialah nonaktif dari dari sistem enzim sitokrom

oksidase yang terdiri dari sitokroma-a3 komplek dan sistem transport elektron.

Bilamana sianida mengikat enzim komplek tersebut, transport elektron akan

terhambat yaitu transport elektron dari sitokrom a3 ke molekul oksigen di blok.


Sebagai akibatnya akan menurunkan penggunaan oksigen oleh sel dan

mengikut racun PO2. Sianida dapat menimbulkan gangguan fisiologik yang sama

dengankekurangan oksigen dari semua kofaktor dalam sitokrom dalam siklus

respirasi. Sebagai akibat tidak terbentuknya kembali ATP selama proses itu masih

bergantung pada sitokrom oksidase yang merupakan tahap akhir dari proses

phoporilasi oksidatif. Selama siklus metabolisme masih bergantung pada sistem

transport elektron, sel tidak mampu menggunakan oksigen sehingga menyebabkan

penurunan respirasi serobik dari sel. Haltersebut menyebabkan histotoksik seluler

hipoksia. Bila hal ini terjadi jumlah oksigen yang mencapai jaringan normal tetapi

sel tidak mampu menggunakannya. Hal ini berbeda dengan keracunan CO dimana

terjadinya jarinngan hipoksia karena kekurangan jumlah oksigen yang masuk. Jadi

kesimpulannya adalah penderita keracunan cyanida disebabkan oleh

ketidakmampuan jaringan menggunakan oksigen tersebut.

9. Apakah perbedaan rute pemberina racun dan obat berpengaruh pada efektoksin

CN yang diamati? Jelaskan

Jawab:

Intravena (IV) → suntikan intravena adalah cara pemberian obat parenteral yan

sering dilakukan. Untuk obat yang tidak diabsorbsi secaraoral, sering tidak ada

pilihan. Dengan pemberian IV, obat menghindari saluran cerna dan oleh karena

itu menghindari metabolisme first pass oleh hati. Rute ini memberikan suatu efek

yang cepat dan kontrol yang baiksekali atas kadar obat dalam sirkulasi. Namun,

berbeda dari obat yangterdapat dalam saluran cerna, obat-obat yang

disuntukkan tidak dapat diambil kembali seperti emesis atau pengikatan dengan

activated charcoal. Suntikan intravena beberapa obat dapat memasukkan

bakteri melaluikontaminasi, menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan karena


pemberian terlalu cepat obat konsentrasi tinggi ke dalam plasma dan jaringan-

jaringan. Oleh karena it, kecepatan infus harus dikontrol dengan hati-hati.

Perhatian yang sama juga harus berlaku untuk obat-obat yang disuntikkan

secara intra-arteri.

10. Sebutkan sumber-sumber racun sianida dalam kehidupan sehari-hari

Jawab:

Sumber racun sianida berasal dari Ketela Pohon. Bagian dalam umbinya berwarna

putih atau kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan simpan meskipun

ditempatkan di lemari pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya

warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat meracun bagi

manusia. Umbi ketela pohon merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat

namun sangat miskinprotein. Sumber protein yang bagus justru terdapat pada

daun singkong karena mengandung asam amino metionina

11. Dalam praktek apakah ada pendekatan untuk mencegah keracunan sepertiyang

saudara kerjakan. Jelaskan

Jawab:

Antidot adalah sebuah substansi yang dapat melawan reaksi peracunan, atau

dengan kata lain antidotum ialah penawar racun. Dalam artisempit, antidotum

adalah senyawa yang mengurangi atau menghilangkan toksisitas senyawa yang

diabsorpsi. Sementara keracunan adalah masuknya zat yang berlaku sebagai

racun, yang memberikan gejala sesuai denganmacam, dosis, dan cara

pemberiannya.
9. DAFTAR PUSTAKA
Anonym.1999.Farnakologi dan terapi edisi IV. Jakarta : depkes RI
Katzung,B,G. 1986. Farmakologi dasar dan klinik . Jakarta : Salemba medika
Kjeldsen, P.1999. Behaviour of cyanides in soil and groundwater: A review. Water,

air and soil pollution 115(1-4), 279-307.

Loomis TA. Essential of toxicology.3rd ed. Phisadelphia : Leae Febiger

Mahar, M. 2007. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru.

Mycek, M. J. 2009. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2. Widya Medika. Jakarta

Syarif,amir,dkk,2011. Farmakologi dan terapi. Jakarta : FKUI

Tjay, T. H., dan F. Rahardjo. 2003. Obat obat Penting, Kkhasiat, Penggunaan

dan Efek- efek Sampingnya Edisi ke 6. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

10. LAMPIRAN

Penimbangan hewan uji untuk mencari

VAO

Penyuntikan amfetamin secara ip

Penyuntikan NaNO2 secara sc


Penyuntikan Sianida secara oral

Penyuntikan Na2S2O3 secara ip

Anda mungkin juga menyukai