STEP 3
1. Bagaimana tahapan dari uji Preklinik
Tahap Uji Preklinik
Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional yang akan
dikembangkan menjadi fitofarmaka. Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in
vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya. Bentuk
sediaan dan cara pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan rencana pemberian
pada manusia. Menurut pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional yang
dikeluarkan Direktorat Jenderal POM Departemen Kesehatan RI hewan coba yang
digunakan untuk sementara satu spesies tikus atau mencit, sedangkan WHO
menganjurkan pada dua spesies.Uji farmakodinamik pada hewan coba digunakan
untuk memprediksi efek pada manusia, sedangkan uji toksisitas dimaksudkan untuk
melihat keamanannya
Uji Toksisitas
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji toksisitas
khusus yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsinogenisitas. Uji
toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan LD50 (lethal dose50) yaitu dosis yang
mematikan 50% hewan coba, menilai berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik
pada organ, dan cara kematian. Uji LD50 perlu dilakukan untuk semua jenis obat
yang akan diberikan pada manusia. Untuk pemberian dosis tunggal cukup dilakukan
uji toksisitas akut. Pada uji toksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau tiga
bulan, sedangkan pada uji toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan atau
lebih. Uji toksisitas subkronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui efek toksik
obat tradisional pada pemberian jangka lama. Lama pemberian sediaan obat pada uji
toksisitas ditentukan berdasarkan lama pemberian obat pada manusia.
Uji Farmakodinamik
Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk meneliti efek
farmakodinamik dan menelusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat
tradisional tersebut. Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba.
Cara pemberian obat tradisional yang diuji dan bentuk sediaan disesuaikan dengan
cara pemberiannya pada manusia. Hasil positif secara in vitro dan in vivo pada hewan
coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan kemungkinan efek pada manusia.
- uji farmakokinetik
untuk mengetahui absorbs,distribusi,metabolism dan eliminasi obat serta
merancang dosis dan aturan pakai
- uji toksikologi
Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci,
marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata, hewan-hewan ini
sangat berjasa bagi pengembangan obat. Hanya dengan menggunakan hewan utuh
dapat diketahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan atau
aman. Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi :
• Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis
• Kerusakan genetik (genotoksisitas, mutagenisitas)
• Pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas)
• Kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas)
Selain toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat farmakokinetik obat
meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Semua hasil
pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat diteruskan dengan uji pada
manusia. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi farmasi dalam
pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan
diuji pada manusia
Di samping uji pada hewan, untuk mengurangi penggunaan hewan percobaan telah
dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk menentukan khasiat obat contohnya
uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba pada
perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain untuk
menggantikan uji khasiat pada hewan tetapi belum semua uji dapat dilakukan
secara in vitro. Uji toksisitas sampai saat ini masih tetap dilakukan pada hewan
percobaan, belum ada metode lain yang menjamin hasil yang menggambarkan
toksisitas pada manusia, untuk masa yang akan datang perlu dikembangkan uji
toksisitas secara in vitro.
Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional yang akan
dikembangkan menjadi fitofarmaka. Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in vivo
pada hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya. Bentuk sediaan
dan cara pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan rencana pemberian pada
manusia. Menurut pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional yang dikeluarkan
Direktorat Jenderal POM Departemen Kesehatan RI hewan coba yang digunakan untuk
sementara satu spesies tikus atau mencit, sedangkan WHO menganjurkan pada dua
spesies. Uji farmakodinamik pada hewan coba digunakan untuk memprediksi efek pada
manusia, sedangkan uji toksisitas dimaksudkan untuk melihat keamanannya.
Tujuan penelitian terhadap uji pra klinik antara lain adalah untuk mengidentifikasi
potensi terjadinya toksisitas pada manusia; merancang berbagai uji untuk menetapkan
mekanisme toksis lebih jauh; dan memperkirakan toksisitas yang spesifik dan paling
relevan untuk dipantau dalam uji-uji klinis. Sebagai tambahan berbagai penelitian yang
tercantum dalam tabel I, diperlukan pula beberapa perkiraan kuantitatif seperti ‘no effect’
dose – dosis maksimum tidak terlihatnya suatu efek toksik tertentu; dosis letal minimum
– dosis terkecil yang dapat mematikan hewan percobaan; dan, bila perlu, dosis letal
median (LD50) – dosis yang mematikan sekitar 50% hewan.
Hedi R. DewotoPengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka,
Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Tujuan dilakukannya uji toksisitas akut adalah untuk menentukanpotensi ketoksikan
akut dari suatu senyawa dan untuk menentukan gejalayang timbul pada hewan coba. Data
yang dikumpulkan pada ujitoksisitas akut ini adalah data kuantitatif yang berupa kisaran
dosis letalatau toksik, dan data kualitatif yang berupa gejala klinis.
Nurlaila, Donatus IA, Sugiyanto, Wahyono D, Suhardjono D. Petunjuk Praktikum
Toksikologi. 1st ed. Yogyakarta: Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi
Fakultas Farmasi, Universitas Gajah Mada; 1992. P. 3-5, 16-30.
Uji Pra-Klinik dimaksudkan untuk mengetahui apakah obat menimbulkan efek toksik
pada dosis pengobatan ataukah tetap aman dipakai.
Karena itulah penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi
berbagai aspek antara lain:
Informasi yang diperoleh dengan menafsirkan data dalam uji praklinik sangat bermanfaat
untuk mendeteksi untuk mencegah produk berbahaya dan beracun agar tidak
memasuki lingkungan dan masyarakat. Melalui penelitian ini, peneliti dapat
mempercepat penemuan obat dan meringkas proses pengembangan obat.
Yang dimaksud dengan uji praklinik dalam bidang farmakologi suatu uji yang
dilakukan pada hewan coba dan atau pada bahan biologi lainnya seperti kultur jaringan
dan kultur biakan kuman, dengan tujuan untuk membuktikan kebenaran khasiat dan
keamanan secara ilmiah terhadap suatu bahan/zat yang diduga berkhasiat obat.
Pada umumnya uji praklinik untuk penelitian suatu bahan yang diduga berkhasiat obat
dan atau terhadap bahan obat yang telah lama beredar di masyarakat tetapi belum
dibuktikan khasiat dan kemanannya secara ilmiah seperti jamu untuk ditingkatkan
statusnya menjadi obat herbal terstandar (OHT) atau obat fitofarmaka.
Sumber : DEWA KETUT MELES. 2010. PERAN UJI PRAKLINIK DALAM
BIDANG FARMAKOLOGI: UNAIR
Uji Pra-Klinik dimaksudkan untuk mengetahui apakah obat menimbulkan efek toksik
pada dosis pengobatan ataukah tetap aman dipakai.
Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi berbagai aspek antara
lain:
Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis
Kerusakan genetik
Pertumbuhan tumor
Kejadian cacat waktu lahir.
Dari pengamatan uji pra klinik dengan subyek hewan uji ini dapat dipakai acuan untuk
menentukan apakah obat dapat diteruskan dengan uji pada manusia atau tidak.
Untuk mengurangi penggunaan hewan percobaan telah dikembangkan pula berbagai uji
in vitro untuk menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker
menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji
antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan uji khasiat pada hewan.
Tujuan:
Membuktikan kebenaran khasiat dan keamanan secara ilmiah terhadap suatu
bahan/zat yang diduga berkhasiat obat dan atau terhadap bahan obat yang telah lama
beredar di masyarakat tetapi belum dibuktikan khasiat dan kemanannya secara
ilmiah seperti jamu untuk ditingkatkan statusnya menjadi obat herbal terstandar
(OHT) atau obat fitofarmaka.
Meles, D.K. 2010. Peran Uji Praklinik Dalam Bidang Farmakologi. Surabaya:
Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP)
4. Apa yang dimaksud uji farmakologi
Uji farmakologi merupakan salah satu persyaratan uji untuk calon obat. Dari uji ini
diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi) dan profil farmakokinetik
(meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat) calon obat.
Katzung.1989.Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 3.EGC: Jakarta
Mutasi gen adalah perubahan pada sekuen nukleotida pada satu atau beberapa
segmen yang dikode gen dalam bentuk substitusi basa purin atau pirimidin, atau
penghilangan/pergeseran basa tertentu yang berakibat perubahan pada sekuen
DNA.
Mutasi kromosomal yaitu perubahan morfologi pada struktur kromosom seperti
abrasi kromosom, delesi kromosom.
uji secara in vitro yakni menggunakan mutasi gen pada bakteri.
uji secara in vivo menentukan kerusakan gen pada hewan mamalia melalui
sumsum tulang untuk menentukan tingkat kerusakan kromosom, sedangkan untuk
mendeteksi kerusakan DNA menggunakan sel hati mencit atau tikus.
Meles, D.K. 2010. Peran Uji Praklinik Dalam Bidang Farmakologi. Surabaya:
Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP)
Efek terhadap stabilitas dan mutasi genetik bakteri (Tes Ames) atau sel-sel mamalia
dalam kultur; tes letal dominan dan klastogenisitas pada mencit
Hedi R. DewotoPengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi
Fitofarmaka, Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
http://download.fa.itb.ac.id/filenya/Handout%20Kuliah/Mikrobiologi%20Anal
isis%20(FK3207)/UJI%20MUTAGEN.pdf
Uji mutagen (amest test) school of pharmacy ITB. Pdf
8. Apa yang dimaksud uji teratogenic, contoh dan tujuannya!
Uji keteratogenikan merupakan salah satu jenis uji ketoksikan yang khas, karena uji
keteratogenikan ini merupakan uji ketoksikan sesuatu obat yang diberikan atau
digunakan selama masa organogenesis dari sesuatu jenis hewan bunting.
Pengujian ini dilakukan karena bertujuan untuk menentukan apakah sesuatu obat
dapat menyebabkan kelainan atau cacat bawaan pada diri janinyang dikandung
oleh hewan bunting.
Faktor yang menyebabkan cacat ada dua kelompok, yaitu faktor genetis dan
lingkungan. Faktor genetis terdiri dari :
a. Mutasi, yakni perubahan pada susunan nukleotida gen (ADN). Mutasi
menimbulkan alel cacat, yang mungkin dominan atau resesif.
b. Aberasi, yakni perubahan pada sususnan kromosom. Contoh cacat karena ini
adalah berbagai macam penyakit turunan sindroma.
Faktor lingkungan terdiri atas :
a. Infeksi, cacat dapat terjadi jika induk yang kena penyakit infeksi, terutama oleh
virus.
b. Obat, berbagai macam obat yang diminum ibu waktu hamil dapat menimbulkan
cacat pada janinnya.
c. Radiasi, ibu hamil yang diradiasi sinar-X , ada yang melahirkan bayi cacat pada
otak. Mineral radioaktif tanah sekeliling berhubungan erat dengan lahir cacat bayi
di daerah bersangkutan.
d. Defisiensi, ibu yang defisiensi vitamin atau hormon dapat menimbulkan cacat pada
janin yang sedang dikandung.
Defisiensi Cacat
Vitamin A Mata
Vitamin B kompleks, C, D Tulang/rangka
Tiroxin Cretinisme
Somatrotopin Dwarfisme
e. Emosi, sumbing atau langit-langit celah, kalau terjadi pada minggu ke-7 sampai 10
kehamilan orang, dapat disebabkan emosi ibu.emosi itu mungkin lewat sistem hormon
(Yatim, 1994).
Contoh
efek herbal dari rebusan akar jarong (S. Jamaicensis) antara lain sebagai peluruh
air seni dan haid, melancarkan darah, antiinflamasi, hemostatik, memperkuat
organ-organ pengolah racun tubuh seperti hati dan ginjal, serta bersifat abortus
sehingga ibu hamil dilarang untuk mengkonsumsinya (Anonim, 2009).
Dilain pihak, kebanyakan ibu-ibu hamil berusaha menghindari obat-obat
kimia dan lebih memanfaatkan tumbuhan obat tradisional yang berkhasiat
sebagai obat.
Salah satu kandungan obat anti nyamuk adalah transfluthrin. Bahan kimia ini
golongan pyretroid yang merupakan bagian dari insektisida organik sintetik
(Triharso, 1994). Analog sintetis dari insektisida alami phyretrum yang berasal
dari bunga tanaman Chrysantenim cinerariafolium yang diketahui dapat
menyebabkan immobilisasi pada serangga dengan meracuni sistem saraf (Okine,
2004). Masa kehamilan merupakan saat yang rawan bagi wanita terhadap
pengaruh lingkungan. Tidak hanya bagi ibu tapi juga keselamatan fetus yang
dikandungnya, terutama tahap organogenesis karena pada tahap itu sel-sel fetus
sedang aktif berpoliferasi (Robert, 1971). Frekuensi pemakaian senyawa kimia
yang berulang dapat menyebabkan akumulasi pada janin sementara janin
belum mempunyai sistem metabolisme yang berfungsi secara sempurna
(Manson, 1986). Salah satu faktor yang banyak berpengaruh tetapi tidak disadari
penggunaannya adalah paparan asap anti nyamuk bakar selama berjam-jam saat
tidur. Apabila asap tersebut terhisap oleh wanita hamil, kemungkinan besar
akan mempengaruhi kondisi fetus atau perkembangan embrio, sehingga
dapat menimbulkan kelainan kongenital baik berupa kelainan bentuk luar
maupun kelainan fungsional yang terlihat setelah masa kehidupan yang
lama.
Yatim, Wildan. 1994. Reproduksi dan Embryologi. Penerbit Tarsito: Ban
9. Alasan mengapa setiap akan mencoba obat dilakukan pada hewan terlebih dahulu
Uji Pra-Klinik
Uji Pra-Klinik dimaksudkan untuk mengetahui apakah obat menimbulkan efek toksik
pada dosis pengobatan ataukah tetap aman dipakai.
Karena itulah penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi
berbagai aspek antara lain:
Dari pengamatan uji pra klinik dengan subyek hewan uji ini dapat dipakai acuan
untuk menentukan apakah obat dapat diteruskan dengan uji pada manusia atau tidak.
Sumber : PerKBPOM__Nomor_7_Tahun_2014_tentang_in_vivo.
Berat badan lebih kecil dari 1 kg
Mudah di ambil darahnya dan jumlah darah yang dapat diambil cukup
banyak
1. Sedapat mungkin hewan percobaan yang akan digunakan bebas dari mikroorganisme
patogen, karena adanya mikroorganisme patogen pada tubuh hewan sangat
mengganggu jalannya reaksi pada pemeriksaan penelitian, sehingga dari segi ilmiah
hasilnya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karenanya, berdasarkan tingkatan
kontaminasi mikroorganisme patogen, hewan percobaan digolongkan menjadi hewan
percobaan konvensional, specified pathogen free (SPF) dan gnotobiotic.
2. Mempunyai kemampuan dalam memberikan reaksi imunitas yang baik. Hal ini ada
hubungannya dengan persyaratan pertama.
3. Kepekaan terhadap sesuatu penyakit. Hal ini menunjukkan tingkat suseptibilitas hewan
terhadap penyakit.
4. Performa atau prestasi hewan percobaan yang dikaitkan dengan sifat genetiknya.
Dari keadaan tersebut di atas, timbul beberapa dilema dalam hal penyediaan hewan
percobaan, misalnya penyakit, lingkungan, seleksi dan pengelolaan (Sulaksono, 1987).
Selain itu pemilihan jenis hewan yg dipilih pun harus tepat menggambarkan kondisi yg
diinginkan. Contohnya :
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor
7 Tahun 2014 Tentang Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo.
1. Freedom from hunger and thirst (bebas dari rasa lapar dan haus)
Memberikan akses makanan dan air minum yang sesuai dan memadai untuk
kesehatan hewan mencakup jumlah dan komposisi nutrisi. Kualitas makanan dan
air minum yang memadai dibuktikan melalui analisis proximate makanan, mutu
air minum, dan uji kontaminasi yang dilakukan secara berkala.
2. Freedom from discomfort (bebas dari ketidaknyamanan)
Menyediakan lingkungan yang bersih dan paling sesuai dengan biologik spesies
antara lain meliputi siklus cahaya, suhu, dan kelembaban lingkungan serta
fasilitas fisik seperti ukuran kandang dan komposisi kelompok.
3. Freedom from pain, injury, and disease (bebas dari rasa sakit, trauma, dan
penyakit)
Program kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan meminimalkan/
meniadakan rasa sakit, serta pemilihan prosedur dilakukan dengan pertimbangan
meminimalkan rasa sakit (non-invasive), penggunaan anestesia dan analgesia bila
diperlukan, serta eutanasia dengan metode yang manusiawi dalam rangka untuk
meminimalkan bahkan meniadakan penderitaan hewan.
4. Freedom from fear and distress (bebas dari ketakutan dan stress jangka panjang)
Memberikan kondisi lingkungan dan perlakuan untuk mencegah/ meminimalkan
timbulnya stress (aspek husbandry, care, penelitian), memberikan masa adaptasi
dan pengkondisian (misalnya training) bagi hewan terhadap prosedur penelitian,
lingkungan baru, dan personil. Semua prosedur pada hewan dilakukan oleh
personil yang kompeten, terampil dan terlatih.
5. Freedom to express natural behavior (bebas mengekspresikan tingkah laku
alami)
Memberikan ruang dan fasilitas untuk program pengayaan lingkungan
(environmental enrichment) yang sesuai dengan karakteristik biologik dan
tingkah laku species seperti food searching dan foraging, memberikan sarana
untuk kontak sosial bagi species yang bersifat sosial seperti pengandangan
berpasangan atau berkelompok, dan memberikan kesempatan untuk grooming,
mating, bermain, dan lainnya.
http://www.batan.go.id/etik_hewan_lampiran.php
Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah hewan yang sengaja dipelihara dan
diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model, dan juga untuk mempelajari dan
mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau
pengamatan laboratorik. Animal model atau hewan model adalah objek hewan sebagai
imitasi (peniruan) manusia (atau spesies lain), yang digunakan untuk menyelidiki
fenomena biologis atau patobiologis (Hau & Hoosier Jr., 2003).
3. Refinement: perlakuan yang pantas terhadap semua organisme agar bebas dari 5R
yaitu rasa lapar dan haus (hunger & thirst), rasa sakit (discomfort pain), rasa takut
dan tekanan (injury fear & distress), rasa bebas untuk
mengekspresikan/menunjukkan perilaku alamiahnya (to express natural behavior)
serta pengkayaan lingkungan.
. STANDAR BAHAN BAKU Bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tertera
dalam Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia atau Materia Medika
Indonesia Bila pada ketiga buku persyaratan tersebut tidak tertera paparannya, boleh
menggunakan ketentuan dalam buku persyaratan mutu negara lain atau pedoman lain.
Jenis obat tradisional/obat herbal yang diprioritaskan untuk diteliti dan dikembangkan
adalah:
Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam angka
kejadiannya (berdasarkan pola penyakit)
Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu
Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu, seperti AIDS dan kanker.
Dewoto, H. R. 2007. Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi
Fitofarmaka. Majalah Kedokteran Indonesia Vol. 57 No. 7