Anda di halaman 1dari 35

UJI PREKLINIK OT

STEP 3
1. Bagaimana tahapan dari uji Preklinik
Tahap Uji Preklinik
Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional yang akan
dikembangkan menjadi fitofarmaka. Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in
vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya. Bentuk
sediaan dan cara pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan rencana pemberian
pada manusia. Menurut pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional yang
dikeluarkan Direktorat Jenderal POM Departemen Kesehatan RI hewan coba yang
digunakan untuk sementara satu spesies tikus atau mencit, sedangkan WHO
menganjurkan pada dua spesies.Uji farmakodinamik pada hewan coba digunakan
untuk memprediksi efek pada manusia, sedangkan uji toksisitas dimaksudkan untuk
melihat keamanannya

Uji Toksisitas
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji toksisitas
khusus yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsinogenisitas. Uji
toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan LD50 (lethal dose50) yaitu dosis yang
mematikan 50% hewan coba, menilai berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik
pada organ, dan cara kematian. Uji LD50 perlu dilakukan untuk semua jenis obat
yang akan diberikan pada manusia. Untuk pemberian dosis tunggal cukup dilakukan
uji toksisitas akut. Pada uji toksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau tiga
bulan, sedangkan pada uji toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan atau
lebih. Uji toksisitas subkronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui efek toksik
obat tradisional pada pemberian jangka lama. Lama pemberian sediaan obat pada uji
toksisitas ditentukan berdasarkan lama pemberian obat pada manusia.

Uji Farmakodinamik
Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk meneliti efek
farmakodinamik dan menelusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat
tradisional tersebut. Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba.
Cara pemberian obat tradisional yang diuji dan bentuk sediaan disesuaikan dengan
cara pemberiannya pada manusia. Hasil positif secara in vitro dan in vivo pada hewan
coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan kemungkinan efek pada manusia.

Standardisasi Sederhana, Penentuan Identitas dan Pembuatan Sediaan Terstandar


Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia, penentuan identitas, dan menentukan
bentuk sediaan yang sesuai. Bentuk sediaan obat herbal sangat mempengaruhi efek
yang ditimbulkan. Bahan segar berbeda efeknya dibandingkan dengan bahan yang
telah dikeringkan. Proses pengolahan seperti direbus, diseduh dapat merusak zat aktif
tertentu yang bersifat termolabil.15 Sebagai contoh tanaman obat yang mengandung
minyak atsiri atau glikosida tidak boleh dibuat dalam bentuk decoct karena termolabil.
Demikian pula prosedur ekstraksi sangat mempengaruhi efek sediaan obat herbal
yang dihasilkan. Ekstrak yang diproduksi dengan jenis pelarut yang berbeda dapat
memiliki efek terapi yang berbeda karena zat aktif yang terlarut berbeda. Sebagai
contoh daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) memiliki tiga jenis kandungan
kimia yang diduga berperan untuk pelangsing yaitu tanin, musilago, alkaloid.
Ekstraksi yang dilakukan dengan etanol 95% hanya melarutkan alkaloid dan sedikit
tanin, sedangkan ekstraksi dengan air atau etanol 30% didapatkan ketiga kandungan
kimia daun jati belanda yaitu tanin, musilago, dan alkaloid tersari dengan baik.
(KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 761/MENKES/SK/IX/1992 TENTANG PEDOMAN FITOFARMAKA)

UJI TOKSISITAS in Vitro


Secara umum uji toksisitas obat dibagi dalam 2 bagian yakni uji toksisitas in vitro (suatu uji
yang dilaksanakan diluar tubuh hewan coba) dan uji toksisitas in vivo (di dalam tubuh hewan
coba). Uji toksisitas in vitro adalah suatu uji untuk menentukan tingkat ketoksikan suatu
bahan yang di uji menggunakan media biakan bahan biologi tertentu yang merupakan subjek
dari pengujian. Pada umumnya uji toksisitas in vitro hanya untuk obat terbatas saja, sebagai
contoh uji obat antiinfeksi (antibiotik) menggunakan kultur medi a bakteri penyebab
penyakit, obat antivirus menggunakan kultur jaringan untuk perkembangbiakan virus
tertentu, obat antikanker menggunakan kultur jaringan sel kanker (sel myeloma) atau sel
normal (fibrobalas) dan anthelmintik (obat cacing) menggunakan kultur/media cacing dapat
tumbuh dan berkembang, demikian pula terhadap obat antijamur. Informasi yang diperoleh
dari hasil uji toksisitas in vitro adalah mengetahui besarnya konsentrasi bahan uji yang dapat
membunuh 50% (lethal concentration 50% = LC50) dari bahan biologi yang di kultur/di
benihkan, disamping juga dapat menentukan aktivitas suatu bahan uji dalam menghambat
atau membunuh penyebab penyakit secara in vitro. Sedangkan untuk mengetahui keamanan
bahan uji yang telah lolos melalui uji toksisitas in vitro, masih dilakukan tahapan uji
toksisitas in vivo sebelum pelaksanaan uji lebih lanjut.

2. Apa macam uji preklinik dan bagaimana melakukannya


In vitro:
 Terletak di dalam suatu system tetapi di luar tubuh manusia
 Kebutuhan sample yang digunakan lebih sedikit
 Murah dan cepat
Yang dimaksud uji in vitro adalah uji pada mikroba jika antibiotic; pada sel kanker
dari hewan utk obat anti kanker; pada plasmodium utk obat anti malaria; pada jamur
missal candida pada obat anti keputihan/candidiasis; pada cacing utk obat cacing;
pada virus utk obat antivirus; pada bagian organ tertentu dari hewan contoh obat asma
bronkodilator diuji pada otot polos trachea marmot; pada jantung hewan dalam
chamber utk obat angina dan aritmia; dll.
In vivo:
 Terletak di dalam tubuh manusia
 Kebutuhan sample yang digunakan lebih banyak
 Mahal dan lama
Sedangkan uji in vivo digunakan hewan utuh dan kondisi hidup (baik sadar atau
teranestesi). Syarat hewan yg digunakan sangat banyak tgt jenis obatnya, missal yang
jelas harus dilakukan control terhadap galur/spesies, jenis kelamin, umur, berat badan
(mempengaruhi dosis), dan harus dilakukan pada minimal 2 spesies yakni
rodent/hewan mengerat dan non rodent. Alasannya krn system fisiologi dan patologi
pada manusia merupakan perpaduan antara rodent dan non rodent.
Selain itu pemilihan jenis hewan yg dipilih pun harus tepat menggambarkan kondisi
yg diinginkan. Contohnya :
 Untuk obat fertilitas digunakan hewan uji tikus/rat galur Sprague Dowley/SD
bukan Wistar atau jenis tikus lainnya, krn tikus jenis SD memiliki anak banyak
sehingga pengamatan akan lbh baik dg jumlah sample yg banyak.
Fitokimia: Uji in vitro dan in vivo, elearning.unsri.ac.id

- uji farmakokinetik
untuk mengetahui absorbs,distribusi,metabolism dan eliminasi obat serta
merancang dosis dan aturan pakai
- uji toksikologi

Tabel I. Berbagai uji keamanan

Tipe Uji Pendekatan


Toksisitas akut Dosis akut yang mematikan sekitar 50%
hewan percobaan dan dosis maksimum yang
dapat ditoleransi. Biasanya dua spesies, dua
rute pemberian, dosis tunggal
Toksisitas subakut Tiga dosis, dua spesies. Mungkin diperlukan
sekitar 4 minggu sampai 3 bulan sebelum uji
klinis. Makin lama durasi perencanaan
penggunaan klinis, makin lama pula waktu uji
subakut
Toksisitas kronik Spesies hewan pengerat dan bukan pengerat.
6 bulan atau lebih. Diperlukan jika obat
dimaksudkan untuk digunakan pada manusia
dalam jangka waktu yang lama. Biasanya
berjalan bersamaan dengan uji klinis.
Efek terhadap perilaku Efek terhadap perilaku kawin, reproduksi,
reproduksi persalinan, keturunan, cacat saat lahir, dan
perkembangan pascanatal pada hewan.
Potensi karsinogenik Dua tahun, dua spesies. Diperlukan jika obat
dimaksudkan untuk digunakan pada manusia
dalam jangka waktu yang lama.
Potensi mutagenic Efek terhadap stabilitas dan mutasi genetik
bakteri (Tes Ames) atau sel-sel mamalia
dalam kultur; tes letal dominan dan
klastogenisitas pada mencit.
Penelitian toksikologi Menentukan rangkaian dan mekanisme efek-
(Investigative toxicology) efek toksik. Menemukan berbagai gen,
protein, dan jalur yang terlibat.
Mengembangkan metode baru untuk
mengkaji toksisitas.

Hedi R. DewotoPengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka,


Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

3. Apa manfaat dan tujuan dari uji preklinik


Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini diperoleh
informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan toksisitas
calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian
ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi,
selanjutnya dipandang perlu menguji pada hewan utuh

Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci,
marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata, hewan-hewan ini
sangat berjasa bagi pengembangan obat. Hanya dengan menggunakan hewan utuh
dapat diketahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan atau
aman. Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi :
• Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis
• Kerusakan genetik (genotoksisitas, mutagenisitas)
• Pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas)
• Kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas)
Selain toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat farmakokinetik obat
meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Semua hasil
pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat diteruskan dengan uji pada
manusia. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi farmasi dalam
pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan
diuji pada manusia

Di samping uji pada hewan, untuk mengurangi penggunaan hewan percobaan telah
dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk menentukan khasiat obat contohnya
uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba pada
perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain untuk
menggantikan uji khasiat pada hewan tetapi belum semua uji dapat dilakukan
secara in vitro. Uji toksisitas sampai saat ini masih tetap dilakukan pada hewan
percobaan, belum ada metode lain yang menjamin hasil yang menggambarkan
toksisitas pada manusia, untuk masa yang akan datang perlu dikembangkan uji
toksisitas secara in vitro.

Elin Yulinah Sukandar


Departemen Farmasi, FMIPA, Institut Teknologi Bandung

Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional yang akan
dikembangkan menjadi fitofarmaka. Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in vivo
pada hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya. Bentuk sediaan
dan cara pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan rencana pemberian pada
manusia. Menurut pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional yang dikeluarkan
Direktorat Jenderal POM Departemen Kesehatan RI hewan coba yang digunakan untuk
sementara satu spesies tikus atau mencit, sedangkan WHO menganjurkan pada dua
spesies. Uji farmakodinamik pada hewan coba digunakan untuk memprediksi efek pada
manusia, sedangkan uji toksisitas dimaksudkan untuk melihat keamanannya.
Tujuan penelitian terhadap uji pra klinik antara lain adalah untuk mengidentifikasi
potensi terjadinya toksisitas pada manusia; merancang berbagai uji untuk menetapkan
mekanisme toksis lebih jauh; dan memperkirakan toksisitas yang spesifik dan paling
relevan untuk dipantau dalam uji-uji klinis. Sebagai tambahan berbagai penelitian yang
tercantum dalam tabel I, diperlukan pula beberapa perkiraan kuantitatif seperti ‘no effect’
dose – dosis maksimum tidak terlihatnya suatu efek toksik tertentu; dosis letal minimum
– dosis terkecil yang dapat mematikan hewan percobaan; dan, bila perlu, dosis letal
median (LD50) – dosis yang mematikan sekitar 50% hewan.
Hedi R. DewotoPengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka,
Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Tujuan dilakukannya uji toksisitas akut adalah untuk menentukanpotensi ketoksikan
akut dari suatu senyawa dan untuk menentukan gejalayang timbul pada hewan coba. Data
yang dikumpulkan pada ujitoksisitas akut ini adalah data kuantitatif yang berupa kisaran
dosis letalatau toksik, dan data kualitatif yang berupa gejala klinis.
Nurlaila, Donatus IA, Sugiyanto, Wahyono D, Suhardjono D. Petunjuk Praktikum
Toksikologi. 1st ed. Yogyakarta: Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi
Fakultas Farmasi, Universitas Gajah Mada; 1992. P. 3-5, 16-30.

Uji Pra-Klinik dimaksudkan untuk mengetahui apakah obat menimbulkan efek toksik
pada dosis pengobatan ataukah tetap aman dipakai.
Karena itulah penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi
berbagai aspek antara lain:

 Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis


 Kerusakan genetik
 Pertumbuhan tumor
 Kejadian cacat waktu lahir.

Informasi yang diperoleh dengan menafsirkan data dalam uji praklinik sangat bermanfaat
untuk mendeteksi untuk mencegah produk berbahaya dan beracun agar tidak
memasuki lingkungan dan masyarakat. Melalui penelitian ini, peneliti dapat
mempercepat penemuan obat dan meringkas proses pengembangan obat.
Yang dimaksud dengan uji praklinik dalam bidang farmakologi  suatu uji yang
dilakukan pada hewan coba dan atau pada bahan biologi lainnya seperti kultur jaringan
dan kultur biakan kuman, dengan tujuan untuk membuktikan kebenaran khasiat dan
keamanan secara ilmiah terhadap suatu bahan/zat yang diduga berkhasiat obat.
Pada umumnya uji praklinik  untuk penelitian suatu bahan yang diduga berkhasiat obat
dan atau terhadap bahan obat yang telah lama beredar di masyarakat tetapi belum
dibuktikan khasiat dan kemanannya secara ilmiah seperti jamu untuk ditingkatkan
statusnya menjadi obat herbal terstandar (OHT) atau obat fitofarmaka.
Sumber : DEWA KETUT MELES. 2010. PERAN UJI PRAKLINIK DALAM
BIDANG FARMAKOLOGI: UNAIR
Uji Pra-Klinik dimaksudkan untuk mengetahui apakah obat menimbulkan efek toksik
pada dosis pengobatan ataukah tetap aman dipakai.
Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi berbagai aspek antara
lain:
 Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis
 Kerusakan genetik
 Pertumbuhan tumor
 Kejadian cacat waktu lahir.
Dari pengamatan uji pra klinik dengan subyek hewan uji ini dapat dipakai acuan untuk
menentukan apakah obat dapat diteruskan dengan uji pada manusia atau tidak.
Untuk mengurangi penggunaan hewan percobaan telah dikembangkan pula berbagai uji
in vitro untuk menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker
menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji
antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan uji khasiat pada hewan.
Tujuan:
 Membuktikan kebenaran khasiat dan keamanan secara ilmiah terhadap suatu
bahan/zat yang diduga berkhasiat obat dan atau terhadap bahan obat yang telah lama
beredar di masyarakat tetapi belum dibuktikan khasiat dan kemanannya secara
ilmiah seperti jamu untuk ditingkatkan statusnya menjadi obat herbal terstandar
(OHT) atau obat fitofarmaka.
Meles, D.K. 2010. Peran Uji Praklinik Dalam Bidang Farmakologi. Surabaya:
Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP)
4. Apa yang dimaksud uji farmakologi
Uji farmakologi merupakan salah satu persyaratan uji untuk calon obat. Dari uji ini
diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi) dan profil farmakokinetik
(meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat) calon obat.
Katzung.1989.Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 3.EGC: Jakarta

5. Apasaja faktor yang mempengaruhi uji preklinik dan uji klinik


o Pemilihan spesies
o Cara pemberian sediaan
o Pemilihan dosis
o Efek samping sediaan uji
o Teknik dan prosedur termasuk penangan hewan selama percobaan
(sumber : Farmakologi dasar)
Potensi obat
Efek maksimal : aktivitas intrinsik dan efektifitas obat
Lereng logdeg : variabel penting yang mempengaruhi batas keamanan obat
Variasi biologi : zat aktif yang terkandung disetiap tanamanan obat

6. Apa tujuan uji toksikologi dan contohnya


7. Apa yang dimaksud uji mutagenic, contoh dan tujuannya!

 Mutasi gen adalah perubahan pada sekuen nukleotida pada satu atau beberapa
segmen yang dikode gen dalam bentuk substitusi basa purin atau pirimidin, atau
penghilangan/pergeseran basa tertentu yang berakibat perubahan pada sekuen
DNA.
 Mutasi kromosomal yaitu perubahan morfologi pada struktur kromosom seperti
abrasi kromosom, delesi kromosom.
 uji secara in vitro yakni menggunakan mutasi gen pada bakteri.
 uji secara in vivo menentukan kerusakan gen pada hewan mamalia melalui
sumsum tulang untuk menentukan tingkat kerusakan kromosom, sedangkan untuk
mendeteksi kerusakan DNA menggunakan sel hati mencit atau tikus.
Meles, D.K. 2010. Peran Uji Praklinik Dalam Bidang Farmakologi. Surabaya:
Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP)
Efek terhadap stabilitas dan mutasi genetik bakteri (Tes Ames) atau sel-sel mamalia
dalam kultur; tes letal dominan dan klastogenisitas pada mencit
Hedi R. DewotoPengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi
Fitofarmaka, Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
http://download.fa.itb.ac.id/filenya/Handout%20Kuliah/Mikrobiologi%20Anal
isis%20(FK3207)/UJI%20MUTAGEN.pdf
Uji mutagen (amest test) school of pharmacy ITB. Pdf
8. Apa yang dimaksud uji teratogenic, contoh dan tujuannya!

Uji keteratogenikan merupakan salah satu jenis uji ketoksikan yang khas, karena uji
keteratogenikan ini merupakan uji ketoksikan sesuatu obat yang diberikan atau
digunakan selama masa organogenesis dari sesuatu jenis hewan bunting.
Pengujian ini dilakukan karena bertujuan untuk menentukan apakah sesuatu obat
dapat menyebabkan kelainan atau cacat bawaan pada diri janinyang dikandung
oleh hewan bunting.
Faktor yang menyebabkan cacat ada dua kelompok, yaitu faktor genetis dan
lingkungan. Faktor genetis terdiri dari :
a. Mutasi, yakni perubahan pada susunan nukleotida gen (ADN). Mutasi
menimbulkan alel cacat, yang mungkin dominan atau resesif.
b. Aberasi, yakni perubahan pada sususnan kromosom. Contoh cacat karena ini
adalah berbagai macam penyakit turunan sindroma.
Faktor lingkungan terdiri atas :
a. Infeksi, cacat dapat terjadi jika induk yang kena penyakit infeksi, terutama oleh
virus.
b. Obat, berbagai macam obat yang diminum ibu waktu hamil dapat menimbulkan
cacat pada janinnya.
c. Radiasi, ibu hamil yang diradiasi sinar-X , ada yang melahirkan bayi cacat pada
otak. Mineral radioaktif tanah sekeliling berhubungan erat dengan lahir cacat bayi
di daerah bersangkutan.
d. Defisiensi, ibu yang defisiensi vitamin atau hormon dapat menimbulkan cacat pada
janin yang sedang dikandung.
Defisiensi Cacat
Vitamin A Mata
Vitamin B kompleks, C, D Tulang/rangka
Tiroxin Cretinisme
Somatrotopin Dwarfisme
e. Emosi, sumbing atau langit-langit celah, kalau terjadi pada minggu ke-7 sampai 10
kehamilan orang, dapat disebabkan emosi ibu.emosi itu mungkin lewat sistem hormon
(Yatim, 1994).
Contoh
 efek herbal dari rebusan akar jarong (S. Jamaicensis) antara lain sebagai peluruh
air seni dan haid, melancarkan darah, antiinflamasi, hemostatik, memperkuat
organ-organ pengolah racun tubuh seperti hati dan ginjal, serta bersifat abortus
sehingga ibu hamil dilarang untuk mengkonsumsinya (Anonim, 2009).
Dilain pihak, kebanyakan ibu-ibu hamil berusaha menghindari obat-obat
kimia dan lebih memanfaatkan tumbuhan obat tradisional yang berkhasiat
sebagai obat.
 Salah satu kandungan obat anti nyamuk adalah transfluthrin. Bahan kimia ini
golongan pyretroid yang merupakan bagian dari insektisida organik sintetik
(Triharso, 1994). Analog sintetis dari insektisida alami phyretrum yang berasal
dari bunga tanaman Chrysantenim cinerariafolium yang diketahui dapat
menyebabkan immobilisasi pada serangga dengan meracuni sistem saraf (Okine,
2004). Masa kehamilan merupakan saat yang rawan bagi wanita terhadap
pengaruh lingkungan. Tidak hanya bagi ibu tapi juga keselamatan fetus yang
dikandungnya, terutama tahap organogenesis karena pada tahap itu sel-sel fetus
sedang aktif berpoliferasi (Robert, 1971). Frekuensi pemakaian senyawa kimia
yang berulang dapat menyebabkan akumulasi pada janin sementara janin
belum mempunyai sistem metabolisme yang berfungsi secara sempurna
(Manson, 1986). Salah satu faktor yang banyak berpengaruh tetapi tidak disadari
penggunaannya adalah paparan asap anti nyamuk bakar selama berjam-jam saat
tidur. Apabila asap tersebut terhisap oleh wanita hamil, kemungkinan besar
akan mempengaruhi kondisi fetus atau perkembangan embrio, sehingga
dapat menimbulkan kelainan kongenital baik berupa kelainan bentuk luar
maupun kelainan fungsional yang terlihat setelah masa kehidupan yang
lama.
Yatim, Wildan. 1994. Reproduksi dan Embryologi. Penerbit Tarsito: Ban
9. Alasan mengapa setiap akan mencoba obat dilakukan pada hewan terlebih dahulu
Uji Pra-Klinik
Uji Pra-Klinik dimaksudkan untuk mengetahui apakah obat menimbulkan efek toksik
pada dosis pengobatan ataukah tetap aman dipakai.
Karena itulah penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi
berbagai aspek antara lain:

 Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis


 Kerusakan genetik
 Pertumbuhan tumor
 Kejadian cacat waktu lahir.

Dari pengamatan uji pra klinik dengan subyek hewan uji ini dapat dipakai acuan
untuk menentukan apakah obat dapat diteruskan dengan uji pada manusia atau tidak.

10. Apa saja syarat hewan coba untuk uji preklinik


Kriteria Hewan Uji
- Hewan yang digunakan untuk uji toksisitas harus dipertimbangkan
berdasarkan sensitivitas, cara metabolisme sediaan uji yang serupa
dengan manusia, kecepatan tumbuh serta mudah tidaknya cara
penanganan sewaktu dilakukan percobaan.
- Hewan pengerat merupakan jenis hewan yang memenuhi persyaratan
tersebut diatas, sehingga paling banyak digunakan pada uji toksisitas.
- Hewan yang digunakan harus sehat; asal, jenis dan galur, jenis kelamin,
usia serta berat badan harus jelas. Biasanya digunakan hewan muda
dewasa, dengan variasi bobot tidak lebih dari 20%.

Sumber : PerKBPOM__Nomor_7_Tahun_2014_tentang_in_vivo.
 Berat badan lebih kecil dari 1 kg

 Mudah di ambil darahnya dan jumlah darah yang dapat diambil cukup
banyak

 Mudah dipegang dan dikendalikan

 Pemberian materi mudah dilakukan dengan berbagai rute (oral, subkutan)

 Mudah dikembangbiakan dan mudah dipelihara di laboratorium

 Lama hidup relative singkat

 Fisiologi diperkirakan sesuai/identik dengan manusia/hewan yang dituju


Sumber : Kusumawati. 2004. Bersahabat dengan hewan coba.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Syarat Hewan Coba

1. Sedapat mungkin hewan percobaan yang akan digunakan bebas dari mikroorganisme
patogen, karena adanya mikroorganisme patogen pada tubuh hewan sangat
mengganggu jalannya reaksi pada pemeriksaan penelitian, sehingga dari segi ilmiah
hasilnya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karenanya, berdasarkan tingkatan
kontaminasi mikroorganisme patogen, hewan percobaan digolongkan menjadi hewan
percobaan konvensional, specified pathogen free (SPF) dan gnotobiotic.
2. Mempunyai kemampuan dalam memberikan reaksi imunitas yang baik. Hal ini ada
hubungannya dengan persyaratan pertama.
3. Kepekaan terhadap sesuatu penyakit. Hal ini menunjukkan tingkat suseptibilitas hewan
terhadap penyakit.
4. Performa atau prestasi hewan percobaan yang dikaitkan dengan sifat genetiknya.

Dari keadaan tersebut di atas, timbul beberapa dilema dalam hal penyediaan hewan
percobaan, misalnya penyakit, lingkungan, seleksi dan pengelolaan (Sulaksono, 1987).
Selain itu pemilihan jenis hewan yg dipilih pun harus tepat menggambarkan kondisi yg
diinginkan. Contohnya :

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor
7 Tahun 2014 Tentang Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo.

 Obat fertilitas: tikus galur SD  cepat berkembang biak


 Analgesik: mencit
 Antidiabetes: babi, sapi  pancreas lebih mirip manusia
 Antiemetic: burung merpati  bisa dirangsang muntah beberapa kali
 Antihipertensi: kucing, anjing  kardiovaskuler mirip
 Antiinflamasi: tikus
 Antipiretik: kelinci
 Asam urat  ayam, burung  metabolism mirip manusia
 Stamina: tikus, mencit  lebih tahan klu renang
 Uji libido dan kanker  tikus
Sebagai hewan percobaan, hewan laboratorium harus memiliki persyaratan-
persyaratan, yakni:
 (1) mudah diperoleh dengan jumlah yang memadai;
 (2) mudah dipelihara, diproduksi dan ditangani;
 (3) mudah diamati/dimonitor;
 (4) memberikan responss fisiopatologi yang cenderung sama;
 (5) tersedia cukup informasi tentang positif dan negatifnya hewan tersebut
menjadi model;
 (6) tidak tergantikan dengan model non-hewan seperti simulasi komputer ataupun
oleh studio in-vitro.
(Kusumawati.2004.Bersahabat dengan hewan coba.Yogyakarta:Gadjah
Mada University Press)

11. Apasaja kendala melakukan uji preklinik


Terdapat berbagai keterbatasan dalam uji praklinis yang penting untuk diketahui
antara lain sebagai berikut:
1. Uji toksisitas merupakan uji yang menyita waktu dan mahal. Diperlukan waktu
sekitar 2 sampai 6 tahun untuk mengumpulkan dan menganalisa data serta
memperkirakan indeks terapeutik (suatu perbandingan antara jumlah senyawa yang
memberikan efek terapeutik dan yang menyebabkan efek toksik) obat sebelum
dianggap layak uji pada manusia.
2. Diperlukan sejumlah besar hewan percobaan untuk mendapatkan data praklinis
yang sahih (valid). Para ilmuwan menaruh perhatian besar akan hal ini, dan
berbagai kemajuan telah dicapai untuk menurunkan jumlah hewan yang digunakan
dengan tetap mempertahankan kesahihan data. Kultur sel dan jaringan dengan
berbagai metode in vitro makin banyak digunakan, namun nilai perkiraan yang
dihasilkan masih sangat terbatas. Walaupun demikian, beberapa golongan
masyarakat berusaha untuk menghentikan semua uji menggunakan hewan
percobaan dengan alasan yang tidak berdasar bahwa hal ini tidak diperlukan lagi.
3. Ekstrapolasi indeks terapeutik dan data toksisitas dari hewan ke manusia dapat
memberikan perkiraan untuk sebagian besar toksisitas tetapi tidak seluruhnya.
Untuk menemukan suatu proses yang lebih maju, dibentuklah Predictive Safety
Testing Consortium, yakni suatu badan yang merupakan gabungan lima perusahaan
farmasi terbesar di Amerika Serikat dengan Food and Drug Administration (FDA)
sebagai badan penasehat, untuk memperkirakan keamanan suatu pengobatan
sebelum diujikan pada manusia. Hal ini dicapai dengan cara menggabungkan
berbagai metode laboratorium yang dikembangkan secara internal dalam tiap
perusahaan farmasi.

12. Apasaja prinsip dalam penggunaan hewan coba


prinsip 5F pada Hewan Percobaan
Dalam pemeliharaan dan penggunaan hewan percobaan perlu diperhatikan prinsip 5
Freedom (5F) dengan rincian sebagai berikut:

1. Freedom from hunger and thirst (bebas dari rasa lapar dan haus)
Memberikan akses makanan dan air minum yang sesuai dan memadai untuk
kesehatan hewan mencakup jumlah dan komposisi nutrisi. Kualitas makanan dan
air minum yang memadai dibuktikan melalui analisis proximate makanan, mutu
air minum, dan uji kontaminasi yang dilakukan secara berkala.
2. Freedom from discomfort (bebas dari ketidaknyamanan)
Menyediakan lingkungan yang bersih dan paling sesuai dengan biologik spesies
antara lain meliputi siklus cahaya, suhu, dan kelembaban lingkungan serta
fasilitas fisik seperti ukuran kandang dan komposisi kelompok.
3. Freedom from pain, injury, and disease (bebas dari rasa sakit, trauma, dan
penyakit)
Program kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan meminimalkan/
meniadakan rasa sakit, serta pemilihan prosedur dilakukan dengan pertimbangan
meminimalkan rasa sakit (non-invasive), penggunaan anestesia dan analgesia bila
diperlukan, serta eutanasia dengan metode yang manusiawi dalam rangka untuk
meminimalkan bahkan meniadakan penderitaan hewan.
4. Freedom from fear and distress (bebas dari ketakutan dan stress jangka panjang)
Memberikan kondisi lingkungan dan perlakuan untuk mencegah/ meminimalkan
timbulnya stress (aspek husbandry, care, penelitian), memberikan masa adaptasi
dan pengkondisian (misalnya training) bagi hewan terhadap prosedur penelitian,
lingkungan baru, dan personil. Semua prosedur pada hewan dilakukan oleh
personil yang kompeten, terampil dan terlatih.
5. Freedom to express natural behavior (bebas mengekspresikan tingkah laku
alami)
Memberikan ruang dan fasilitas untuk program pengayaan lingkungan
(environmental enrichment) yang sesuai dengan karakteristik biologik dan
tingkah laku species seperti food searching dan foraging, memberikan sarana
untuk kontak sosial bagi species yang bersifat sosial seperti pengandangan
berpasangan atau berkelompok, dan memberikan kesempatan untuk grooming,
mating, bermain, dan lainnya.

http://www.batan.go.id/etik_hewan_lampiran.php

Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah hewan yang sengaja dipelihara dan
diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model, dan juga untuk mempelajari dan
mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau
pengamatan laboratorik. Animal model atau hewan model adalah objek hewan sebagai
imitasi (peniruan) manusia (atau spesies lain), yang digunakan untuk menyelidiki
fenomena biologis atau patobiologis (Hau & Hoosier Jr., 2003).

Demi tercapainya kesejahteraan hewan, maka kriteria hewan coba selayaknya


dilakukan 3R yaitu:

1. Replacement: suatu usaha meminimalkan penggunaan hewan coba yang dapat


diganti dengan media lain seperti media kultur atau sejenisnya maupun dengan
metode statistik,

2. Reduction: usaha meminimalkan jumlah atau pengurangan pemakaian hewan


coba, dan

3. Refinement: perlakuan yang pantas terhadap semua organisme agar bebas dari 5R
yaitu rasa lapar dan haus (hunger & thirst), rasa sakit (discomfort pain), rasa takut
dan tekanan (injury fear & distress), rasa bebas untuk
mengekspresikan/menunjukkan perilaku alamiahnya (to express natural behavior)
serta pengkayaan lingkungan.

13. Syarat obat herbal yang digunakan untuk uji preklinik


PRIORITAS PEMILIHAN
 Bahan bakunya relatif mudah diperoleh.
 Didasarkan pada pola penyakit di Indonesia.
 Perkiraan manfaatnya terhadap penyakit tertentu cukup besar.
 Memiliki rasio resiko dan kegunaan yang menguntungkan penderita.
 Merupakan satu-satunya alternatif pengobatan.
RAMUAN Ramuan (komposisi) hendaknya terdiri dari 1 (satu) simplisia/ sediaan
galenik. Bila hal tersebut tidak mungkin, ramuan dapat terdiri dari beberapa
simplisia,/sediaan galenik dengan syarat tidak melebihi 5 (lima) simplisia/sediaan
galenik. Simplisia tersebut masing-masing sekurang-kurangnya telah diketahui
khasiat dan keamanannya berdasar pengalaman

. STANDAR BAHAN BAKU Bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tertera
dalam Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia atau Materia Medika
Indonesia Bila pada ketiga buku persyaratan tersebut tidak tertera paparannya, boleh
menggunakan ketentuan dalam buku persyaratan mutu negara lain atau pedoman lain.
Jenis obat tradisional/obat herbal yang diprioritaskan untuk diteliti dan dikembangkan
adalah:
 Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam angka
kejadiannya (berdasarkan pola penyakit)
 Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu
 Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu, seperti AIDS dan kanker.
Dewoto, H. R. 2007. Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi
Fitofarmaka. Majalah Kedokteran Indonesia Vol. 57 No. 7

14. Obat herbal yang berkaitan dengan uji preklinik


Tahap-tahap pengembangan dan pengujian fitofarmaka (Dep. Kes RI):
1. Tahap seleksi calon fitofarmaka
Proses pemilihan jenis bahan alam yang akan diteliti sebagai calon fitofarmaka
sesuai dengan skala prioritas sebagai berikut:

 Obat alami calon fitofarmaka yang diperkirakan dapat sebagai alternative


pengobatan untuk penyakit-penyakit yang belum ada atau masih belum jelas
pengobatannya.
 Obat alami calon fitofarmaka yang berdasar pengalaman pemakaian empiris
sebelumnya dapat berkhasiat dan bermanfaat
 Obat alami calon fitofarmaka yang sangat diharapakan berkhasiat untuk
penyakit-penyakit utama
 Ada/ tidaknya efek keracunan akut (single dose), spectrum toksisitas jika ada,
dan sistem organ yang mana yang paling peka terhadap efek keracunan
tersebut (pra klinik, in vivo)
 Ada/ tidaknya efek farmakologi calon fitofarmaka yang mengarah ke khasiat
terapetik (pra klinik in vivo)

2. Tahap biological screening calon fitofarmaka


3. Tahap penelitian farmakodinamik calon fitofarmaka
Tahap ini adalah untuk melihat pengaruh calon fitofarmaka terhadap masing-
masing sistem biologis organ tubuh,

 Pra klinik, in vivo dan in vitro


 Tahap ini dipersyaratkan mutlak, hanya jika diperlukan saja untuk mengetahui
mekanisme kerja yang lebih rinci dari calon fitofarmaka.
 Toksisitas ubkronis
 Toksisitas akut
 Toksisitas khas/ khusus

4. Tahap pengujian toksisitas lanjut (multiple doses) calon fitofarmaka


5. Tahap pengembangan sediaan (formulasi) bahan calon calon fitofarmaka

 Mengetahui bentuk-bentuk sediaan yang memenuhi syarat mutu, keamanan, dan


estetika untuk pemakaian pada manusia.
 Tata laksana teknologi farmasi dalam rangka uji klinik
 Teknologi farmasi tahap awal
 Pembakuan (standarisasi): simplisia, ekstrak , sediaan OA
 Parameter standar mutu: bahanbakuOA, ekstrak, sediaan OA

6. Tahap uji klinik pada manusia


Ada4 fase yaitu:

 Fase 1 : dilakukan pada sukarelawan sehat


 Fase 2 : dilakukan pada kelompok pasien terbatas
 Fase 3 : dilakukan pada pasien dengan jmlh yang lebih besar dari fase 2
 Fase 4: post marketing survailence, untuk melihat kemungkinan efek samping yang
tidak terkendali saat uji pra klinik maupun saat uji klinik fase 1-3.

Anda mungkin juga menyukai