STEP 1
- Hewan coba alat atau media untuk sebagai sarana percobaan/ penelitian
- Uji preklinik tahap penelitian yg dimulai sebelum uji klinis, yg nantinya akan didapatkan
obat herbal berstandar
STEP 2
STEP 3
Uji preklinik
ada dosis tunggalpemberian 1kali diamati 24 jam/ pemberian berulang selama 1 hari penuh dan
diamati selama 14 hari
berulang
ada jangka pendek(rata2 5 hari / 5 kali dalam seminggu / diberikan 10%dari masa hidup
hewan coba fase subakut / subkronis
jangka panjang diberikan berulang selama sebagian masa hidupnya dan diamati selama masa
hidup-diberikan 3-6 bulan ; cth dipapari obat selama 18 bln utk mencit atau tikus 24 bulandan masih
memeperpanjang percobaan tp tdk ada manfaat utk uji karsinogenik uji toksisitas kronis
1.obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensial timbul efek khusus spt kanker dan cacat
bawaan
3.OT secara epidemiologi diduga terkait dgn penyakit tertentu contohnya kanker
3. Indicator (cara penilaian) uji masing- masing uji preklinik (uji farmakodinamik dan uji
toksisitas )sesuai system organ yang terkena ?
4. Langkah-langkah uji pre klinik ?
- Uji toksisitas Memakai hewan coba; dianjurkan 2-3 spesies; sampel pada hewan untuk
dikonversikan atau diterapkan pd manusia
Secara akut untuk tau letal dosis nya LD50 dari 100 hewan coba, ada 50 hewan coba
yg mati
Secara subakut untuk mengetahui organ yg terkena; 1-3 bulan, memakai 2 spesies hewan
Secara kronis untuk mengetahui organ yg terkena selama lbh dari 6 bulan
- Uji teratogenik untk melihat perilaku pada perilaku janin, kelainan pada janin, pre, in dan
post kelahiran,biasanya pada hewan betina
- Uji karsingenik dilakukan selama 2 th
Pada mencit
1-6bln uji toksisitas secara umum u/ tau kemaanannya ketika diterapkan pd manusia
- Uji farmakodinamik untuk menelusuri suatu kerja secara invivo dan in vitro,cara
pemberian disesuaikan seperti pada manusia
- Uji farmakokinetik untuk tau ADME
Hewan coba
STEP 7
Uji preklinik
Ada banyak produk yang menjalani uji praklinik. Beberapa produk yang
paling umum menjalani uji praklinik adalah obat-obatan, peralatan
medis, kosmetik, dan solusi terapi gen. Penting untuk dicatat bahwa
obat juga melalui banyak serangkaian pengujian lainnya ketika menjalani
uji praklinik.
Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional yang
akan dikembangkan menjadi fitofarmaka. Uji preklinik dilakukan secara in vitro
dan in vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek
farmakodinamiknya. Bentuk sediaan dan cara pemberian pada hewan coba
disesuaikan dengan rencana pemberian pada manusia. Menurut pedoman
pelaksanaan uji klinik obat tradisional yang dikeluarkan Direktorat Jenderal
POM Departemen Kesehatan RI hewan coba yang digunakan untuk sementara
satu spesies tikus atau mencit, sedangkan WHO menganjurkan pada dua
spesies. Uji farmakodinamik pada hewan coba digunakan untuk memprediksi efek
pada manusia, sedangkan uji toksisitas dimaksudkan untuk melihat keamanannya
Uji praklinik, atau disebut juga studi/ pengembangan/ penelitian praklinik/ non-
klinik, adalah tahap penelitian yang terjadi sebelum uji klinik atau pengujian pada
manusia. Uji praklinik memiliki satu tujuan utama yaitu mengevaluasi keselamatan
produk baru.
Ada banyak produk yang menjalani uji praklinik. Beberapa produk yang paling
umum menjalani uji praklinik adalah obat-obatan, peralatan medis, kosmetik, dan
solusi terapi gen. Penting untuk dicatat bahwa obat juga melalui banyak serangkaian
pengujian lainnya ketika menjalani uji praklinik.
Informasi yang diperoleh dengan menafsirkan data dalam uji praklinik sangat
bermanfaat untuk mendeteksi untuk mencegah produk berbahaya dan beracun agar
tidak memasuki lingkungan dan masyarakat. Melalui penelitian ini, peneliti dapat
mempercepat penemuan obat dan meringkas proses pengembangan obat.
Kebanyakan uji praklinik melibatkan penggunaan hewan. Binatang seperti tikus,
ayam, monyet, dan kelinci percobaan (guinea pig) biasanya digunakan dalam uji
praklinik. Para peneliti menguji produk pada hewan dan kemudian mengamati
efeknya pada kesehatan hewan. Produk hanya lulus uji praklinik jika tidak
memengaruhi hewan dengan cara yang berbahaya. Pengujian pada manusia hanya
disetujui jika produk tidak memiliki efek berbahaya yang teramati pada hewan.
Uji farmakologi merupakan salah satu persyaratan uji untuk calon obat. Dari
uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi) dan profil
farmakokinetik (meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat) calon
obat. Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci,
marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata, hewan-hewan ini
sangat berjasa bagi pengembangan obat.
Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat diteruskan
dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi
farmasi dalam pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat
yang akan diuji pada manusia.
Tahap-Tahap Pengembangan dan Penilaian Obat
Meneliti dan skrining bahan obat.
Mensintesis dan meneliti zat/senyawa analog dari obat yang sudah ada dan
diketahui efek farmakologinya
Meneliti dan mensintesis dan membuat variasi struktur
Dikembangkan obat alami dengan serangkaian pengujian yang dilaksanakan
secara sistematik, terencana dan terarah untuk mendapatkan data farmakologik
yang mempunyai nilai terapetik
Uji teratogenik
Istilah untuk menyatakan toksisitas suatu zat:
Dosis Letal (LD)
Jumlah yang betul-betul masuk ke dalam tubuh organism uji yang menyebabkan respons
berupa kematian organism uji
Untuk mencari dosis aman menggunakan LD50 (dosis yang mematikan 50% organism
uji)
Konsentrasi letal (LC)
Konsentrasi zat yang berada di luar tubuh organism yang menyebabkan respons berupa
kematian organisme uji
Mempermudah menentukan konsentrasi zat yang aman yang boleh ada di lingkungan
Istilah toksisitas yang lain untuk menentukan dosis aman :
NOEL (no observed effect level)
NOAEL (no observed adverse effect level)
Uji Toksisitas
Tujuan: menilai efek akut, subakut, dan kronis
Uji dilakukan berdasarkan waktu merupakan kendala utama
3 (tiga) kelompok uji toksisitas:
1) Uji akut/ uji tingkat I uji jangka pendek
2) Uji subkronis/ uji tingkat II
3) Uji kronis/ uji tingkat III
Tujuan Observasi yang
dilakukan :
Skrining kedua
terhadap mutagenisiti
Uji teratologi & uji
reproduktif Uji
teratologi & uji
reproduktif
Uji farmakokinetik
Uji perilaku Uji perilaku
Uji interaksi, seperti
sinergisme,
antagonisme dan aditivisme semuanya diselesaikan dalam waktu dua-setengah tahun
Tujuannya untuk menguji :
Mutagenisiti pada mamalia
Karsinonegisiti pada tikus selama 2 tahun
Karsinonegisiti pada tikus selama 2 tahun
Farmakokinetika pada manusia bila relevan
Klinis pada manusia
Data epidemiologis untuk efek terhadap
ekposur akut dan kronis
Pengujian suatu zat, tergantung pada
penggunaannya dan kemungkinan eksposur
yang dapat diterima kemungkinan eksposur
yang dapat diterima manusia/masyarakat
Respons yang dilihat : respons sangat ringan sampai pada yang parah (kematian)
Yang penting :
respons dapat diukur secara kuantitatif
Respons yag diteliti akan memperlihatkan korelasi matematis yang konsisten
Terdapat variasi respons antar spesies Terdapat variasi respons antar spesies
Respons yang sering dilihat : kematian
karena kesulitan dalam menentukan hewan uji mati atau immobil saja
perhatikan periode waktu observasi sehingga waktu terjadi kematian diketahu
Interaksi yang dapat terjadi :
1) Interaksi Kimia
Interaksi karena reaksi kimiawi yang menimbulkan senyawa baru yang bersifat lebih toksis
2) Interaksi Biologis
interaksi yang terjadi dengan tubuh organisme yang menimbulkan efek berlebih maupun
berkurang
Interaksi sangat dipengaruhi oleh dosis xenobiotik
3) Interaksi antar xenobiotik dapat menimbulkan efek
Aditif
Sinergistik
Antagonistik
3. Indicator (cara penilaian) uji masing- masing uji preklinik (uji farmakodinamik dan uji
toksisitas )sesuai system organ yang terkena ?
4. Langkah-langkah uji pre klinik ?
(hafid)
Hewan coba
Beberapa cara penandaan hewan lab. Dilakukan untuk mengetahui kelompok hewan yang diperlakukan
berbeda dengan kelompok lain. Penandaan ini dapat dilakukan secara permanen untuk penelitian jangka panjang
(kronis), sehingga tanda tersebut tidak mudah hilang. Yaitu : dengan ear tag (anting bernomor), tatoo pada ekor,
melubangi daun telinga dan elektronik transponder.
Pengambilan darah
Pada umumnya pengambilan darah terlalu banyak pada hewan kecil dapat menyebabkan shok
hipovolemik, stress dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Tetapi bila dilakukan pengambilan sedikit
darah tetapi sering, juga dapat menyebabkan anemia. Pada umumnya pengambilan darah dilakukan
sekitar 10% dari total volume darah dalam tubuh dan dalam selang waktu 2-4 minggu. Atau sekitar 1%
dengan interval 24 jam. Total darah yang diambil sekitar 7,5% dari bobot badan. Diperkirakan pemberian
darah tambahan (exsanguination) sekitar setengah dari total volume darah. Contohnya: Bobot 25g, total
volume darah 1,875 ml, maksimum pengambilan darah 0,1875 ml, maka pemberian exsanguination
0,9375 ml.
Pengambilan darah dapat dilakukan pada lokasi tertentu dari tubuh, yaitu:
- vena lateral dari ekor
- sinus orbitalis mata
- vena saphena
- langsung dari jantung
- vena pectoralis externa yang ada di bagian ventral sayap (unggas)
Apabila hewan mati atau sekarat sebalum penelitian berakhir maka harus dinekropsi dan diambil
sampel jaringannya untuk pemeriksaan lebih lanjut sesuai dengan protokol penelitian, termasuk
pemeriksaan histopatologik(Mangkoewidjojo, 2006).
Pada akhir eksperimen, dokter hewan atau orang berkompeten harus memutuskan hewan
dibiarkan hidup atau harus dieutanasi. Tidak boleh ada hewan dibiarkan hidup jika sekiranya menunjukkan
nyeri permanen atau menderita, hewan tidak dibenarkan digunakan lebih dari satu kali eksperimen yang
dapat menimbulkan nyeri atau menderita (Mangkoewidjojo, 2006).
c. Euthanasi
1. Metode yang digunakan harus berperikemanusiaan
2. Tidak berpengaruh pada pemeriksaan organ atau jaringan yang memang tertulis dalam protokol
eksperimen
3. Metode harus terpecaya, efektif, ekonomis, mudah dilaksanakan dan harus aman bagi petugas
laboratorium
4. Harus dilakukan oleh petugas yang mendapat perlatihan yang memadai
5. Hewan harus ditangani dengan hati-hati untuk meminimalkan penderitaan “berteriak” atau teramon
yang dapat menyebabkan takut hewan lain
Metode yang dipakai pada euthnasi adalah metode fisik-mekanik atau metode farmako-kimia termasuk
inhalasi. Sesudah hewan mati dilakukan mikropsi jika eksperimen perlu pemeriksaan lebih lanjut, sampel
jaringan diambil dan dofiksas dalam formalin bufer 10% untuk pemeriksaan histopatologik. Pemeriksaan
histopatologik sangat penting dalam ekspentasi mengevaluasi uji keamanan suatu obat/uji toksikologik,
karena bukti morfologik jaringan dalam proses patologik merupakan perubahan paling konsisten yang
dapat diidentifikasi akibat prosestoksik jaringan untuk pemeriksaan lain non-histopatologik, disiapkan
sesuai prosedur yang diperlukan tanpa disfiksasi dalam formalin (Mangkoewidjojo, 2006).
3. Legislasi yang mengatur Laboratory Animal Walfare
a. Pasal 66 UU No. 18 Tahun 2009:
Bagian Kedua: Kesejahteraan Hewan
Pasal 66
(1) Untuk kepentingan kesejahteraan hewan dilakukan tindakan yang berkaitan dengan penangkapan dan
penanganan; penempatan dan pengandangan; pemeliharaan dan perawatan; pengangkutan;
pemotongan dan pembunuhan; serta perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap hewan.
(2) Ketentuan mengenai kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara manusiawi yang meliputi:
a. penangkapan dan penanganan satwa dari habitatnya harus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan-undangan di bidang konservasi;
b. penempatan dan pengandangan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga memungkinkan hewan
dapat mengekspresikan perilaku alaminya;
c. pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan dilakukan dengan sebaikbaiknya
d. sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan,
serta rasa takut dan tertekan;
e. pengangkutan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa takut dan
tertekan serta bebas dari penganiayaan;
f. penggunaan dan pemanfaatan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari
penganiayaan dan penyalahgunaan;
g. pemotongan dan pembunuhan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari
rasa sakit, rasa takut dan tertekan, penganiyaan, dan penyalahgunaan; dan
h. perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari tindakan penganiayaan dan penyalahgunaan.
(3) Ketentuan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kesejahteraan hewan diberlakukan bagi semua
jenis hewan bertulang belakang dan sebagian dari hewan yang tidak bertulang belakang yang dapat
merasa sakit.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Penjelasan Pasal 66 ayat 4:
Ayat (4)
Termasuk dalam ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri, antara lain, adalah pengembangan
KomiteKesejahteraan Hewan Nasional untuk membina komisi kesejahteraan hewan laboratorium di
berbagai instansi dalamrangka pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan.
Selain itu pemilihan jenis hewan yg dipilih pun harus tepat menggambarkan kondisi
yg diinginkan. Contohnya :
- untuk obat fertilitas digunakan hewan uji tikus/rat galur Sprague Dowley/SD bukan
Wistar atau jenis tikus lainnya, krn tikus jenis SD memiliki anak banyak shg pengamatan
akan lbh baik dg jumlah sample yg banyak.
- Utk uji painkiller digunakan mencit/mice jika utk menilai nyeri ringan yakni dengan
penyuntikan asam asetat glacial ke peritoneum mencit, tapi jika sasarannya nyeri tekanan
digunakan tikus bias Wistar atau SD, karena tikus akan dijepit ekornya atau telapak
jarinya dengan alat tertentu, sementara kalo nyeri berupa panas, digunakan boleh mencit
atau tikus krn hewan akan diletakkan di hot plate.
- Utk antidiabetika, seharusnya digunakan babi atau sapi yg pankreasnya banyak kemiripan
dg manusia, namun dengan tikus sudah cukup dengan adanya keterbatasan subyek uji
- Utk antiemetik/anti muntah digunakan burung merpati, krn bisa dirangsang utk muntah
berkali-kali sbg kuantifikasi, sementara hewan lain hanya muntah sekali.
- Utk obat antihipertensi, digunakan kucing atau anjing teranestesi, krn system
kardiovaskulernya paling mirip dg manusia
- Utk obat antiinflamasi digunakan baik tikus yang disuntik karagenan di bawah kulitnya
shg melepuh atau telinga mencit disuntik croton oil, bahkan kaki tikus sering dipotong
utk menimbang udem yg terbentuk
- utk antipiretik/penurun panas, digunakan kelinci utk diukur suhu duburnya setelah
disuntik pyrogen
- Utk asam urat digunakan ayam/burung yg dikasih makan jus hati ayam (ayam makan
ayam) krn metabolisme asam urat pada manusia mirip dg yg terjadi dg biokimiawi di
keluarga burung.
- Uji stamina digunakan tikus atau mencit, krn tubuhnya kuat dan tahan di dalam air,
hewan diuji dg berenang dan lari di treadmill.
- Uji libido, digunakan tikus dalam keadaan estrus/siap menerima pejantan.
- Utk uji kanker, digunakan punggung tikus yg diimplan dg sel kanker, atau paru-paru
tikus setelah dipejankan benzo(a)pirena
Hasilnya berupa : efek farmakologi, dosis terapi ED50=dosis yang menghasilkan 50%
efek maksimum.
REFERENSI:
Hau, J., & Hoosier Jr., G. L. (2003). Handbook of Laboratory Animal Science Second
Edition. Boca Raton: CRC Press.
Sulaksono, M. E. (1987). Dilema Pada Hewan Percobaan Untuk Pemeriksaan Produk
Biologis. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI.
Cara pemilihan
Mencit
Bila dibutuhkan hewan coba dalam jumlah banyak, misalnya pada evaluasi
terhadap toksisitas akut dan kemampuan karsinogenik, maka hewan yang
paling sesuai untuk itu adalah mencit. Kekurangannya adalah kesulitan
memperoleh darah dalam jumlah yang cukup untuk rangkaian pemeriksaan
hematologi.
Tikus
Tikus tampaknya merupakan spesies ideal untuk uji toksikologi karena berat
badannya dapat mencapai 500 gram sehingga lebih mudah dipegang,
dikendalikan atau dapt diambil darahnya dalam jumlah yang relative besar.
Ada dua sifat utama yang membedakan tikus dengan hewan percobaan
lainnya, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak
lazim pada tempat bermuara esofagus ke dalam lambung sehingga
mempermudah proses pencekokan perlakuan menggunakan sonde lambung,
dan tidak mempunyai kandung empedu (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
Selain itu, tikus hanya mempunyai kelenjar keringat di telapak kaki. Ekor tikus
menjadi bagian badan yang paling penting untuk mengurangi panas tubuh.
Mekanisme perlindungan lain adalah tikus akan mengeluarkan banyak ludah
dan menutupi bulunya dengan ludah tersebut (Sirois 2005).
Terdapat tiga galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu yang
biasa digunakan sebagai hewan percobaan yaitu (Malole dan Pramono 1989) :
- galur Sprague dawley berwarna albino putih, berkepala kecil dan ekornya
lebih panjang dari badannya,
- galur Wistar ditandai dengan kepala besar dan ekor yang lebih pendek, dan
- galur Long evans yang lebih kecil daripada tikus putih dan memiliki warna
hitam pada kepala dan tubuh bagian depan.
Tikus yang digunakan dalam penelitian adalah galur Sprague Dawley berjenis
kelamin jantan berumur kurang lebih 2 bulan. Tikus Sprague Dawley dengan
jenis kelamin betina tidak digunakan karena kondisi hormonal yang sangat
berfluktuasi pada saat mulai beranjak dewasa, sehingga dikhawatirkan akan
memberikan respon yang berbeda dan dapat mempengaruhi hasil penelitian
(Kesenja 2005). Tikus putih galur ini mempunyai daya tahan terhadap penyakit
dan cukup agresif dibandingkan dengan galur lainnya (Harkness dan Wagner
1983).
Anjing
Anjing dengan bulu pendek dan berat sekitar 12 kg paling sesuai untuk uji
toksikologi. Umur paling baik dipakai adalah 14-16 minggu, sementara
dibutuhkan 4 minggu untuk adaptasi dengan lingkungan yang baru.
Primata
Pengguanaan kera lebih menguntungkan dibandingkan pemakaian hewan-
hewan lain, terutama dalam hal berat badan dan postur tubuhnya yang
menyerupai manusia. Postur seperti ini memungkinkan untuk mencatat
observasi penting terutama bila neurophaty perifer merupakan manifestasi
toksik. Kerugiannya perlu banyak hewan yang dibutuhkan untuk uji fertilitas
karena produktivitasnya rendah.
(Kusumawati.2004.Bersahabat dengan hewan coba.Yogyakarta:Gadjah Mada
University Press) dan
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56395/Bab%20II
%20Tinjauan%20Pustaka.pdf?sequence=4