Anda di halaman 1dari 7

NAMA : FATIN WAFIQ AZISAH

NIM : 18031014030
KELAS : 21A12

TUGAS METODE FARMAKOLOGI

Metode yang disepakati saat ini dan telah ditetapkan dengan peraturan dari Badan
POM adalah metode uji praklinik dan uji klinik. Uji praklinik dan uji klinik adalah suatu
pengujian khasiat serta keamanan obat sebelum digunakan secara luas (Anonim,2014;
Mahan, 2014). Uji praklinik dilakukan pada hewan sedangkan uji klinik dilakukan pada
manusia. Pada dasarnya uji praklinik dan uji klinik adalah suatu usaha untuk memastikan
efektivitas, keamanan dan gambaran efek samping yang sering timbul pada manusia akibat
pemberian suatu obat. Bila uji klinik tidak dilakukan maka dapat terjadi malapetaka pada
banyak orang bila langsung dipakai secara umum seperti pernah terjadi dengan talidomid.

1. Jelaskan mengenai uji praklinik!


Uji praklinik, atau disebut juga studi pengembangan atau uji non-klinik,atau uji efek
farmakologik, adalah tahap penelitian yang terjadi sebelum uji klinik atau pengujian pada
manusia. Uji praklinik memiliki satu tujuan utama yaitu mengevaluasi keamanan suatu
produk yang baru. Produk yang umum menjalani uji praklinik adalah obat-obatan,
peralatan medis, kosmetik, dan solusi terapi gen. Informasi yang diperoleh dengan
menafsirkan data dalam uji praklinik sangat bermanfaat untuk mendeteksi serta
mencegah produk berbahaya dan beracun agar tidak merugikan lingkungan dan
masyarakat. Melalui penelitian ini, peneliti dapat mempercepat penemuan obat dan
meringkas proses pengembangan obat. Pengujian pada manusia hanya disetujui jika
produk obat tidak memiliki efek berbahaya pada hewan coba pada uji praklinik (Mahan,
2014).

Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini diperoleh
informasi tentang efek farmakologis, profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada
mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat pada reseptor
dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya bila dianggap perlu maka
dilakukan uji pada hewan. Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu seperti
mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata.

Penelitian dengan hewan dapat diketahui apakah obat aman atau menimbulkan
efek toksik pada dosis pengobatan. Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk
mengevaluasi: Toksisitas akut atau kronis, kerusakan genetik (genotoksisitas,
mutagenisitas), pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas) atau
teratogenisitas.

Penelitian pada hewan juga dapat mempelajari sifat farmakokinetik obat meliputi
absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Semua hasil pengamatan pada
hewan menentukan apakah obat dapat diteruskan dengan uji pada manusia. Ahli
farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat,
menghasilkan bentukbentuk sediaan obat yang akan diuji pada manusia.

Uji praklinik selain memakai hewan, telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro
untuk menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker
menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji
antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan uji khasiat pada hewan (Thorat et
al.,2010) tetapi belum semua uji dapat dilakukan secara in vitro. Uji toksisitas sampai
saat ini masih tetap dilakukan pada hewan percobaan, belum ada metode lain yang
menjamin hasil yang menggambarkan toksisitas pada manusia, untuk masa yang akan
datang perlu dikembangkan uji toksisitas secara in vitro. Setelah calon obat dinyatakan
mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan percobaan maka selanjutnya diuji pada
manusia (uji klinik).
2. Jelaskan mengenai uji klinik!
Uji klinik adalah pengujian khasiat dan keamanan obat pada manusia yang dapat
“menjamin” apakah hasil in vitro atau hasil pada hewan coba sama dengan pada
manusia. Uji klinik terdiri dari 4 fase (Rahmatini, 2010) – 5 fase, yaitu Uji klinik fase 0,
(Thorat et al.,2010; Mahan,2014) uji klinik fase I, Uji klinik fase II, uji klinik fase III dan uji
klinik fase IV (Mahan, 2014).

Uji Klinik Fase I. Pada uji fase 1, calon obat diuji pada sukarelawan sehat (25-50)
untuk mengetahui apakah sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada
manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan
profil farmakokinetik obat pada manusia. Meskipun tujuan dari fase I ini adalah untuk
mendapatkan dosis maksimum yang dapat ditoleransi, namun studi fase I ini diatur untuk
mencegah keracunan berat. Dosis oral yang dianjurkan adalah 1/50 dosis minimal pada
hewan yang dapat menimbulkan efek. Dosis tersebut dinaikan2 kali lipat secara pelan-
pelan sampai terjadi efek farmakologis atau terjadi efek yang tidak diinginkan(Rahmatini,
2010). Jika obat yang hendak diuji memiliki toksisitas yang signifikan, seperti pada kasus
terapi kanker dan AIDS, pasien sukarelawan dengan penyakit yang berkaitanlah yang
digunakan pada fase I. Percobaan fase I dilakukan untuk menentukan apakah manusia
dan hewan memperlihatkan respon yang berbeda secara signifikan terhadap obat dan
untuk menentukan batas rentang dosis klinis aman yang memungkinkan. Percobaan ini
“terbuka”; dimana penguji dan subyek mengetahui apa yang diberikan selama
percobaan. Banyak dugaan keracunan terdeteksi pada fase ini. Pengukuran
farmakokinetik(penyerapan, waktu paruh, dan metabolisme) biasanya dilakukan pada
fase I. Hasil studi fase I(khususnya farmakokinetik) dapat dibandingkan dengan studi
pada hewan mana yang paling mirip untuk melakukan uji toksisitas kronis pada hewan
tersebut (Rahmatini, 2010).

Uji Klinik Fase II. Pada uji klinik fase 2 maka calon obat diuji pada pasien tertentu
(100-200), diamati efikasi pada penyakit yang diobati. Yang diharapkan dari obat adalah
mempunyai efek yang potensial dengan efek samping rendah atau tidak toksik. Pada
fase ini mulai dilakukan pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan obat. Rentang
toksisitas yang lebih luas mungkin saja terdeteksi pada fase ini, dimana uji fase II
biasanya dilakukan pada pusat-pusat klinis khusus misal rumah sakit pendidikan. Fase II
dapat dipisahkan menjadi fase IIA dan IIB.Fase IIA khusus untuk menentukan dosis dan
IIB untuk menentukan efikasi dari obat (Thorat et al.,2010).

Uji Klinik Fase III. Uji klinik fase 3, melibatkan kelompok besar pasien (mencapai
ribuan, 300-3000 orang pasien), biasanya multicenter. Pada fase ini obat baru
dibandingkan efek dan keamanannya dengan obat pembanding yang sudah diketahui.
Untuk dapat dinilai oleh badan tersebut, industri pengusul harus menyerahkan data
dokumen uji praklinik dan klinik yang sesuai dengan indikasi yang diajukan, efikasi dan
keamanannya harus sudah ditentukan dari bentuk produknya (tablet, kapsul dll.) yang
telah memenuhi persyaratan produk melalui kontrol kualitas.

Setelah calon obat dapat dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama dengan


obat yang sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi si pemakai maka obat baru
diizinkan untuk diproduksi oleh industri sebagai legal drug dan dipasarkan dengan nama
dagang tertentu serta dapat diresepkan oleh dokter.

Keputusan untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan pengatur nasional, di
Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, di Amerika Serikat oleh FDA (Food
and Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada, di Inggris oleh MHRA
(Medicine and Healthcare Product Regulatory Agency), di negara Eropa lain oleh EMEA
(European Agency for the Evaluation of Medicinal Product) dan di Australia oleh TGA
(Therapeutics Good Administration).

Uji Klinik Fase IV. Uji klinik ini dilakukan setelah obat dipasarkan, sehingga disebut
juga studi pasca pemasaran (post marketing surveillance) yang diamati pada pasien
dengan berbagai kondisi, berbagai usia dan ras, studi ini dilakukan dalam jangka waktu
lama untuk melihat nilai terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan
obat. Setelah hasil studi fase IV dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari
perdagangan jika membahayakan, sebagai contoh Cerivastatin suatu obat
antihiperkolesterolemia yang dapat merusak ginjal, Entero-vioform (kliokuinol) suatu obat
antidisentri amuba yang pada orang Jepang menyebabkan kelumpuhan pada otot mata
(SMON disease), fenilpropanolamin yang sering terdapat pada obat flu harus diturunkan
dosisnya dari 25 mg menjadi tidak lebih dari 15 mg karena dapat meningkatkan tekanan
darah dan kontraksi jantung yang membahayakan pada pasien yang sebelumnya sudah
mengidap penyakit jantung atau tekanan darah tinggi, talidomid dinyatakan tidak aman
untuk wanita hamil karena dapat menyebabkan kecacatan pada janin, troglitazon suatu
obat antidiabetes di Amerika Serikat ditarik karena merusak hati.

3. Jelaskan mengenai uji toksisitas!


Toksisitas merupakan istilah dalam toksikologi yang didefinisikan sebagai
kemampuan senyawa untuk menyebabkan kerusakan atau injuri. Istilah toksisitas
merupakan istilah kualitatif yang terjadi atau tidak terjadinya kerusakan yang tergantung
pada jumlah unsur senyawa toksik yang terabsorbsi. Proses pengrusakan ini baru terjadi
apabila pada organ target telah telah menumpuk menjadi satu dalam jumlah yang cukup
dari bagian toksik atau metabolitnya, begitu pula hal ini bukan berarti bahwa penumpukan
yang tertinggi dari agen toksik itu berada di organ target, tetapi bisa juga ditempat lain.
Selanjutnya, untuk sebagian besar senyawa toksik pada konsentrasi yang tinggi dalam
tubuh akan menimbulkan kerusakan yang lebih banyak. Konsentrasi senyawa toksik
dalam tubuh merupakan jumlah racun yang dipaparkan, kemudian berkaitan dengan
kecepatan absorbsinya, jumlah yang diserap, dan berhubungan dengan distribusi,
metabolisme maupun ekskresi senyawa toksik tersebut (Mansur, 2008).

Tujuan akhir dari uji toksikologi dan penelitian lainnya yang berkaitan menilai
keamanan atau resiko toksikan pada manusia, idealnya data yang dikumpulkan dari
manusia. Tetapi kerena hambatan etik tidak memungkinkan langsung dilakukan uji
toksisitas pada manusia. Oleh karena itu uji toksikologi umumnya dilakukan pada
binatang, hewan sel tunggal, atau sel kultur. Dari data-data tersebut dilakukan
ekstrapolasi ke manusia guna memenuhi tujuan akhir dari uji toksikologi tersebut
(Hodgson, 2000).

Uji toksisitas terdiri dari toksisitas umum (seperti akut, subkronis, kronis) dan
toksisitas khusus (seperti mutagenik, teratogenik dan karsinogenik) (Depkes RI, 2000).
4. Apa itu LD50, ED50 dan indeks terapi beserta contohnya!
Dosis obat adalah jumlah atau takaran tertentu dari suatu obat yang memberikan
efek tertentu terhadap suatu penyakit atau gejala sakit. Dosis maksimum adalah dosis
(takaran) yang terbesar yang dapat diberikan kepada orang dewasa untuk pemakaian
sekali dan sehari tanpa membahayakan. Ad infinitum merupakan suatu peringkat tertentu
yang akan tercapai dimana tidak ada lagi peningkatan dalam respon walau dosis obat
ditambah atau ditingkatkan. Respon ini dikenal dengan respon maksimum. Sebaliknya
dosis minimum yang dapat memberikan respon yang nyata disebut sebagai dosis
ambang dan responnya disebut respon ambang.

Untuk menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada populasi diperlukan
satu kisaran dosis. Jika dibuat distribusi frekuensi dari individu yang responsif (dalam %)
pada kisaran dosis tersebut (dalam log dosis), dosis yang menimbulkan efek terapi pada
50% individu tersebut disebut dosis terapi median atau dosis efektif median (=ED50).
Dosis letal median (=LD50) ialah dosis yang menimbulkan kematian pada 50% individu,
sedangkan TD50 ialah dosis toksik 50%. Obat ideal menimbulkan efek terapi pada
semua pasien tanpa menimbulkan efek toksik pada seorang pasien.

Oleh karena itu:

TD 1
Indeks terapi ¿ adalah lebih tepat,
ED 99

TD 1
Dan untuk obat ideal ¿ 1
ED 99

Akan tetapi, nilai-nilai ekstrim tersebut tidak dapat ditentukan dengan teliti karena
letaknya dibagian kurva yang melengkung dan bahkan hampir mendatar.

Dosis merupakan jumlah tertentu dari obat yang dapat digunakan untuk mencapai
efek terapi. Dosis dibagi 5 jenis yaitu dosis minimum, lazim, maksimum, toksik dan letal.
Untuk menyatakan toksisitas akut suatu obat, umumnya dipakai ukuran LD50 (medium
lethal dose 50) yaitu suatu dosis yang dapat membunuh 50% dari sekelompok binatang
percobaan. Demikian juga sebagai ukuran dosis efektif (dosis terapi) yang umum
digunakan sebagai ukuran ialah ED 50 (median effective dose), yaitu dosis yang
memberikan efek tertentu pada 50% dari sekelompok binatang percobaan. LD50
ditentukan dengan memberikan obat dalam dosis yang bervariasi (bertingkat) kepada
sekelompok binatang percobaan. Setiap binatang diberikan dosis tunggal. Setelah jangka
waktu tertentu (misalnya 24 jam) sebagian biantang percobaan ada yang mati, dan
persentase ini diterakan dalam grafik yang menyatakan hubungan dosis (pada absis) dan
persentase binatang yang mati (pada ordinat). Dalam studi farmakodinamik di
laboratorium, indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam rasio berikut:

TD 50 LD 50
Indeks terapi ¿ atau
ED 50 E D 50

LD50 merupakan suatu hasil dari pengujian (assay) dan bukanlah pengukuran
kuantitatif. LD 50 bukanlah merupakan nilai mutlak, dan akan bervariasi dari satu
laboratorium ke laboratorium lain, dan bisa jadi pada laboratorium yang sama akan
berbeda hasilnya setiap kali dilakukan percobaan (Ganiswara et al, 2007).

Ada berbagai metode perhitungan LD50 yang umum digunakan antara lain metode
MillerTainter, metode Reed-Muench, dan metode Kärber. Dalam metode Miller-Tainter
digunakan kertas grafik khusus yaitu kertas logaritma-probit yang memiliki skala
logaritmik sebagai absis dan skala probit (skala ini tidak linier) sebagai ordinat. Pada
kertas ini dibuat grafik antara persen mortalitas terhadap logaritma dosis. Metode Reed-
Muench didasarkan pada nilai kumulatif jumlah hewan yang hidup dan jumlah hewan
yang mati. Diasumsikan bahwa hewan yang mati dengan dosis tertentu akan mati
dengan dosis yang lebih besar, dan hewan yang hidup akan hidup dengan dosis yang
lebih kecil. Metode Kärber prinsipnya menggunakan rataan interval jumlah kematian
dalam masing-masing kelompok hewan dan selisih dosis pada interval yang sama
(Soemardji et al, 2009).

Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua pasien tanpa menimbulkan efek
toksik pada seorang pasienpun, oleh karena itu, (Ganiswara et al, 2007).
DAFTAR PUSTAKA

Mansur, 2008. Toksikologi dan Distribusi agent Toksik Edisi 2. UI Press: Jakarta.

Thorat S B, Banarjee S K, Gaikwad D D, Jadhav S L, Thorat R M. 2010. Clinical Trial: A


Review. International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research,
Volume 1, Issue 2, p 101-106.

Mahan V L. 2014. Clinical Trial Phases. International Journal of Clinical Medicine, 5, 1374-
1383

Anonim 2014. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
No 13 Tahun 2014 Tentang Pedoman Uji Klinik Obat Herbal. Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia.

Rahmatini.2010. Evaluasi Khasiat dan Keamanan Obat (Uji Klinik), Majalah Kedokteran
Andalas No.1. Vol.34 hal 31-38

Wirasuta I Made Agus G dan Niruri Rasmaya, 2016. Toksikologi Umum. Buku Ajar. Jurusan
Farmasi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam: Universitas Udayana.

Hodgson, E., Levi P.E. 2000. A Textbook of Modern Toxicology 2nd Ed. McGraw-Hill Higher
Education: Singapore.

Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Derektorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan: Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2000. Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat Tradisional.
Direktorat Pengawasan Obat Tradisional: Jakarta.

Jenova Rika, 2009. Uji Toksisitas Akut Yang Diukur Dengan Penentuan LD50 Ekstrak Herba
Putri Malu (Mimosa pudica l.) Terhadap Mencit balb/c. Laporan Akhir Penelitian
Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang.

Ridwan, E. (2013): Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan. J


Indon Med Assoc, Volum: 63, Nomor: 3.

Heiserman, D.L. (2011) :Factors Which Influence Drug Dosage Effects. USA : SweetHaven
Publishing Services

Anda mungkin juga menyukai