Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM PENGEMBANGAN OBAT

TRADISIONAL

TAHAPAN UJI KLINIK

Dosen Pengampu: apt. Ratna Wijayatri, M. Sc.

Nama Anggota Kelompok 2 :

1. Sofia Daffa Azizah 18.0605.0002

2. Bagus Sampurno 18.0605.0004

3. Nurfitriyah 18.0605.0012

4. Alifia Astri Kurniasih 18.0605.0028

5. Fenny Widya Santoso 18.0605.0044

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG

Tahun 2021
A. Pendahuluan
Pemanfaatan obat herbal sebagai obat alternative atau obat komplementer sangat
meningkat saat ini. Promosi obat herbal dalam berbagai media yang menawarkan
berbagai keunggulan juga meningkat. Peningkatan pemanfaatan obat herbal yang tidak
disertai peningkatan kemampuan untuk memilih obat yang berkwalitas tentu akan
merugikan masyarakat. Untuk itu maka pemerintah khususnya departemen kesehatan
melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia telah mengatur tentang
pemanfaatan obat herbal dengan peraturan no 13 Tahun 2014 tentang Pedoman Uji
Klinik Obat Herbal. Obat herbal yang baik dan boleh dipilih untuk digunakan dalam
pengobatan tentu harus memenuhi persyaratan yang sesuai dalam peraturan tersebut
(Jawi,2016).
Secara umum dasar penemuan obat-obatan termasuk obat herbal adalah melalui
beberapa prosedur yang diyakini memiliki nilai kebenaran. Cara yang paling pertama
dikenal adalah berdasarkan pengalaman empiris secara turun-temurun. Cara ini
menghasilkan beberapa obat yang dikelompokkan sebagai obat tradisional dan jamu.
Penemuan obat kedua adalah melalui prosedur yang lebih ilmiah yaitu dengan memahami
tempat kerja obat sehingga dipahami interaksi obat dengan reseptor. Penemuan dengan
cara ini biasanya dapat menjelaskan bagaimana mekanisme efek terapi dan efek samping
dari obat tersebut. Cara yang ketiga proses penemuan obat adalah cara kebetulan dalam
meneliti atau perjalanan pemanfaatan obat tertentu. Cara ini juga cukup sering terjadi
dalam penemuan obat baru. Cara penemuan obat baru yang ke 4 adalah melalui skrining
(Jawi,2016).
Sesungguhnya ke 4 cara penemuan obat tersebut memerlukan metode pembuktian
yang dapat dipercaya dan memiliki nilai secara ilmiah. Metode yang disepakati saat ini
dan telah ditetapkan dengan peraturan dari Badan POM adalah metode uji praklinik dan
uji klinik. Uji praklinik dan uji klinik adalah suatu pengujian khasiat serta keamanan obat
sebelum digunakan secara luas. Uji praklinik dilakukan pada hewan sedangkan uji klinik
dilakukan pada manusia. Pada dasarnya uji praklinik dan uji klinik adalah suatu usaha
untuk memastikan efektivitas, keamanan dan gambaran efek samping yang sering timbul
pada manusia akibat pemberian suatu obat. Bila uji klinik tidak dilakukan maka dapat
terjadi malapetaka pada banyak orang bila langsung dipakai secara umum seperti pernah
terjadi dengan talidomid (Jawi,2016).
Uji pra klinis dan uji klinis merupakan tahapan yang penting dalam penemuan dan
pengembangan obat. Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk kandidat obat, dari
ujiini diperoleh informasi tentang efek farmakologi, profil farmakokinetik dan toksisitas
dari kandidat obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian
ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi (in vitro),
selanjutnyapengujian praklinis dilakukan pada hewan utuh (in vivo) (Hairunisa,2019).
Uji praklinik dalam bidang farmakologi adalah suatu uji yang dilakukan pada
hewan coba dan atau pada bahan biologi lainnya seperti kultur jaringan dan kultur biakan
kuman, dengan tujuan untuk membuktikan kebenaran khasiat dan keamanan secara
ilmiah terhadap suatu bahan/zat yang diduga berkhasiat obat. Pada umumnya uji
praklinik dilaksanakan dengan tujuan untuk penelitian suatu bahan yang diduga
berkhasiat obat dan atau terhadap bahan obat yang telah lama beredar di masyarakat
tetapi belum dibuktikan khasiat dan kemanannya secara ilmiah seperti jamu untuk
ditingkatkan statusnya menjadi obat herbal terstandar (OHT) atau obat fitofarmaka
(Dewa,2017).
Kajian dalam bidang Ilmu Farmakologi menyebutkan bahwa untuk penemuan
obat sekurang-kurangnya dilakukan melalui 1 dari 4 metode pendekatan ilmiah yaitu:
a. Pendekatan berdasarkan penggunaan obat secara ”empirik”, yakni penggunaan
metode pengobatan yang dilakukan secara turun temurun, sesuai dengan norma yang
berlaku di masyarakat.
b. Pendekatan berdasarkan ”terjadinya respons obat” yakni adanya ikatan struktur kimia
obat dengan reseptor yang spesifik, yang akan menyebabkan perubahan konformasi
reseptor baik bersifat seluler, molekuler dan biokimiawi serta enzimatis yang
menyebabkan timbulnya respons obat.
c. Penemuan obat ”secara kebetulan” (to happen), seperti penemuan Penicillin pertama
kali oleh Alfred Flemming (1926) yakni secara kebetulan dalam biakan kuman yang
di kultur ditemukan beberapa koloni kuman dalam satu biakan ada yang tumbuh dan
ada pula yang tidak tumbuh.
d. Pendekatan melalui proses ”skrening” yakni melalui proses pemisahan secara
bertahap terhadap bahan yang diduga berkhasiat obat (Dewa,2017).
Uji klinik adalah suatu pengujian khasiat obat baru pada manusia, dimana
sebelumnya diawali oleh pengujian pada binatang atau uji pra klinik. Pada dasarnya uji
klinik memastikan efektivitas, keamanan dan gambaran efek samping yang sering timbul
pada manusia akibat pemberian suatu obat. Menggunakan manusia sehat atau sakit dalam
eksperimen dibenarkan dalam ilmu kedokteran karena akan bermanfaat bagi masyarakat
banyak untuk memahami efek obat tersebut sehingga dapat digunakan pada masyarakat
luas dengan lebih yakin tentang efektifitas dan keamanannya (Rahmatini,2020).
Bila uji klinik seperti ini tidak dilakukan maka dapat terjadi malapetaka pada
banyak orang bila langsung dipakai secara umum seperti pernah terjadi dengan talidomid
(1959-1962) dan obat kontrasepsi pria (gosipol) di Cina. Setiap obat yang ditemukan
melalui eksperimen in vitro atau hewan coba tidak terjamin bahwa khasiatnya benar-
benar akan terlihat pada penderita. Pengujian pada manusia sendirilah yang dapat
“menjamin” apakah hasil in vitro atau hewan sama dengan manusia. Penapisan
efektivitas terakhir ini dibuktikan melalui uji klinik obat (Rahmatini,2020).

B. Pengertian Uji Klinik dan Pra Klinik


Uji Klinik adalah kegiatan penelitian dengan mengikutsertakan subjek manusia
disertai adanya intervensi produk uji, untuk menemukan atau memastikan efek klinik,
farmakologik dan atau farmakodinamik lainnya, dan atau mengidentifikasi setiap
reaksi yang tidak diinginkan, dan atau mempelajari absorbsi, distribusi, metabolisme
dan ekskresi dengan tujuan untuk memastikan keamanan dan atau efektifitas produk
yang diteliti. Cara Uji Klinik yang Baik, yang selanjutnya disebut CUKB, adalah
standar untuk disain, pelaksanaan, pencapaian, pemantauan, audit, perekaman,
analisis, dan pelaporan uji klinik yang memberikan jaminan bahwa data dan hasil yang
dilaporkan akurat dan terpercaya, serta bahwa hak, integritas, dan kerahasiaan subjek
uji klinik dilindungi. Uji klinik yang dilakukan di Indonesia dalam rangka
pengembangan produk termasuk uji klinik yang diinisiasi oleh peneliti dengan tujuan
untuk pengembangan produk yang akan dipasarkan, harus dimintakan persetujuan
pelaksanaan uji klinik kepada Badan POM (BPOM RI, 2014).
Uji klinik adalah suatu pengujian khasiat obat baru pada manusia, dimana
sebelumnya diawali oleh pengujian pada binatang atau uji pra klinik. Pada dasarnya
uji klinik memastikan efektivitas, keamanan dan gambaran efek samping yang sering
timbul pada manusia akibat pemberian suatu obat. Menggunakan manusia sehat atau
sakit dalam eksperimen dibenarkan dalam ilmu kedokteran karena akan bermanfaat
bagi masyarakat banyak untuk memahami efek obat tersebut sehingga dapat
digunakan pada masyarakat luas dengan lebih yakin tentang efektifitas dan
keamanannya (Rahmatini, 2010).

C. Tahapan Uji Klinik


Uji klinik pada obat herbal sama seperti uji klinik pada obat kimia, yaitu terdiri atas 4
fase.
a. Fase I
Fase ini merupakan pengujian suatu obat baru untuk pertama kalinya pada
manusia. Obat tradisional diujikan pada sukarelawan sehat, pada fase ini ditentukan
keamanan suatu obat dan tolerabilitas obat tradisional. Hal yang diteliti yaitu
keamanan obat, bukan efetifitasnya dan dilakukan pada sukarelawan sehat. Tujuan
fase ini ialah menentukan besarnya dosis tunggal yang dapat diterima, artinya yang
tidak menimbulkan efek samping serius. Dosis oral (lewat mulut) yang diberikan
pertama kali pada manusia biasanya 1/50 x dosis minimal yang menimbulkan efek
pada hewan. Tergantung dari data yang diperoleh pada hewan, dosis berikutnya
ditingkatkan sedikit-sedikit atau dengan kelipatan dua sampai diperoleh efek
farmakologik atau sampai timbul efek yang tidak diinginkan. Untuk mencari efek
toksik yang mungkin terjadi dilakukan pemeriksaan hematologi, faal hati, urin rutin
dan bila perlu pemeriksaan lain yang lebih spesifik.
Hasil penelitian farmakokinetika ini digunakan untuk meningkatkan pemilihan
dosis pada penelitian selanjutnya. Selain itu, hasil dibandingkan dengan hasil uji pada
hewan coba sehingga diketahui pada spesies hewan mana obat tersebut mengalami
proses farmakokinetika seperti pada manusia. Bila spesies ini dapat ditemukan maka
dilakukan penelitian toksisitas jangka panjang pada hewan. Uji klinik fase I ini
dilaksanakan secara terbuka, artinya tanpa pembanding dan tidak tersamar, pada
sejumlah kecil subjek dengan pengamatan intensif oleh orang-orang ahli dibidangnya,
dan dikerjakan di tempat yang sarananya cukup lengkap. Total jumlah subjek pada
fase ini bervariasi antara 20-50 orang (Euis Reni Yuslianti, 2016) (Rahmatini, 2015).
b. Fase II
Fase ini merupakan obat dicobakan untuk pertama kalinya pada sekelompok kecil
penderita yang kelak akan diobati dengan calon obat. Tujuannya untuk melihat
apakah efek farmakologik yang tampak pada fase I berguna atau tidak untuk
pengobatan. Fase II ini dilaksanakan oleh orang orang yang ahli dalam masing-
masing bidang yang terlibat.
Pada fase II awal, pengujian efek terapi obat dikerjakan secara terbuka karena
masih merupakan penelitian eksploratif. Pada tahap ini biasanya belum dapat diambil
kesimpulan yang definitif mengenai efek obat yang bersangkutan karena terdapat
berbagai faktor yang mempengaruhi hasil pengobatan, misalnya perjalanan klinik
penyakit, keparahannya, efek placebo dan lain lain.
Untuk membuktikan bahwa suatu obat berkhasiat, perlu dilakukan uji klinik
komparatif yang membandingkannya dengan placebo, atau bila penggunaan plasebo
tidak memenuhi syarat etik, obat dibandingkan dengan obat standard yang telah
dikenal. Ini dilakukan pada akhir fase II atau awal fase III, tergantung dari siapa yang
melakukan, seleksi penderita, dan monitoring penderitanya. Untuk menjamin
validitas uji klinik komparatif ini, alokasi penderita harus acak dan pemberian obat
dilakukan secara tersamar ganda. Ini disebut uji klinik acak tersamar ganda
berpembanding. Fase II ini tercakup juga penelitian dosis-efek untuk menentukan
dosis optimal yang akan digunakan selanjutnya, serta penelitian lebih lanjut mengenai
eliminasi obat, terutama metabolisme. Jumlah subjek yang mendapat obat baru pada
fase ini antara 100-200 penderita (Rahmatini, 2015).
c. Fase III
Uji klinik fase III dilakukan untuk memastikan bahwa suatu obat-baru benar-
benar berkhasiat (sama dengan penelitian pada akhit fase II) dan untuk mengetahui
kedudukannya dibandingkan dengan obat standar. Uji klinis definitif, melibatkan
kelompok besar pasien, di sini obat baru dibandingkan efek dan keamanannya
terhadap obat pembanding yang sudah diketahui. Pada uji klinik fase III ini biasanya
pembandingan dilakukan dengan plasebo, obat yang sama tapi dosis berbeda, obat
standard dengan dosis ekuiefektif, atau obat lain yang indikasinya sama dengan dosis
yang ekuiefektif. Pengujian dilakukan secara acak dan tersamar ganda. Hasil uji
klinik fase III menunjukkan bahwa obat baru ini cukup aman dan efektif, maka obat
dapat diizinkan untuk dipasarkan. Jumlah penderita yang diikut sertakan pada fase III
ini paling sedikit 500 orang(Euis Reni Yuslianti, 2016) (Rahmatini, 2015) .
d. Fase IV
Fase ini sering disebut post marketing drug surveillance karena dosis optimal
sudah diketahui dan produk herbal sudah dipasarkan. Fase ini tujuannya adalah untuk
mengetahui efek toksik yang sangat jarang dan tidak ditemukan pada uji klinik
terdahulu.
Penelitian fase IV merupakan survei epidemiologi menyangkut efek samping
maupun efektifitas Pada fase IV ini dapat diamati efek samping yang frekuensinya
rendah atau yang timbul setelah pemakaian obat bertahun-tahun lamanya, efektifitas
obat pada penderita berpenyakit berat atau berpenyakit ganda, penderita anak atau
usia lanjut, atau setelah penggunaan berulangkali dalam jangka panjang, dan masalah
penggunaan berlebihan, dan penyalahgunaan. Fase IV dapat juga berupa uji klinik
jangka panjang dalam skala besar untuk menentukan efek obat terhadap morbiditas
dan mortalitas sehingga datanya menentukan status obat yang bersangkutan dalam
terapi. Waktu yang diperlukan untuk pengembangan suatu obat baru, mulai dari
sintesis bahan kimianya sampai dipasarkan, mencapai waktu 10 tahun atau lebih.
Setelah suatu obat dipasarkan dan digunakan secara luas, dapat ditemukan
kemungkinan manfaat lain yang mulanya muncul sebagai efek samping. Obat
demikian kemudian diteliti kembali di klinik untuk indikasi yang lain, tanpa melalui
uji fase I. Hal ini terjadi pada golongan salisilat yang semula ditemukan sebagai
antireumatik dan anti piretik. Efek urikosurik dan antiplateletnya ditemukan
belakangan. Hipoglikemik oral juga ditemukan dengan cara serupa (Zulkarnain et al.,
2021) (Rahmatini, 2015).

D. Pembahasan
1. Uji pra klinik
Uji pra klinik ini dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba untuk
melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya. Bentuk sediaan dan cara pemberian
pada hewan coba disesuaikan dengan rencana pemberian pada manusia. Menurut
pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional yang dikeluarkan Direktorat Jenderal
POM Departemen Kesehatan RI hewan coba yang digunakan untuk sementara satu
spesies tikus atau mencit, sedangkan WHO menganjurkan pada dua spesies (Dewoto,
2007). Uji farmakodinamik pada hewan coba digunakan untuk memprediksi efek
pada manusia, sedangkan uji toksisitas dimaksudkan untuk melihat keamanannya.
a. Uji toksisitas
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji
toksisitas khusus yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan
karsinogenisitas (Dewoto, 2007). Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk
menentukan LD50 (Lethal Dose 50) yaitu dosis yang mematikan 50% hewan
coba, menilai berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik pada organ, dan cara
kematian.
Untuk pemberian dosis tunggal cukup dilakukan uji toksisitas akut. Pada
uji toksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan, sedangkan
pada uji toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan atau lebih. Uji
toksisitas subkronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui efek toksik obat
tradisional pada pemberian jangka lama.
Jurnal ilmiah yang berjudul “Uji Toksisitas Subkronik Kombinasi Ekstrak
Daun Uncaria gambir dan Caesalpinia sappan” bertujuan untuk menguji
keamanan ekstrak-ekstrak ini terhadap tikus galur Sprague Dawley. Formula
herbal (FH) mengandung ekstrak Uncaria gambir (gambir) dan Caesalinia sappan
(secang) terbukti menurunkan asam urat secara in vivo (Ningsih et al., 2017).
Tikus dikelompokkan secara acak menjadi 4 kelompok, yaitu dosis 1 (75 mg/kg
BB), dosis 2 (300 mg/kg BB), dosis 3 (1200 mg/kg BB) dan kontrol pembawa.
F0rmula herbal diberikan secara per oral selama 7 minggu dan hasilnya
menunjukkan bahwa pemberian ketiga dosis uji tidak menyebabkan gangguan
biokimia darah, hematologi darah dan gambaran histopatologi ginjal, hati,
jantung, usus halus, dan lambung (Ningsih et al., 2017).
Jurnal ilmiah berjudul” Toksisitas Akut dan Subkronis Ramuan Ekstrak
Kelor dan Klabet sebagai Pelancar ASI dan Penambah Gizi” meneliti tentang uji
keamanan penggunaan campuran ramuan ekstrak kelor dan klabet sebagai
pelancar ASI dan penambah gizi. Pada uji toksisitas akut digunakan tikus putih
(Rattus norvegicus) galur Wistar sebanyak 50 ekor yang dibagi dalam 5 kelompok
dosis dan pada uji toksisitas subkronis digunakan tikus putih (Rattus norvegicus),
galur Wistar sebanyak 40 ekor yang dibagi dalam 4 kelompok dosis. Hasil
penelitian perhitungan LD50 ekstrak biji klabet dan daun kelor (1:1)
menghasilkan harga LD50 semu > 4.000 mg/200g bb sehingga campuran bahan
tersebut termasuk dalam golongan bahan practically non toxic (PNT) (Widowati
et al., 2014). Pada uji toksisitas subkronis pemberian ramuan ekstrak klabet dan
kelor (1:1) masih menunjukkan keadaan normal pada fungsi hati dan ginjal
(Widowati et al., 2014). Jadi kesimpulan penelitian ini adalah campuran ekstrak
kelor dan klabet masuk dalam golongan non toksik dan menunjukkan keadaan
normal hati dan ginjal bila dikonsumsi normal dalam jangka waktu yang lama.
Uji toksisitas khusus (teratogenitas, mutagenitas dan karsinogenitas) tidak
merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat tradisional agar masuk ke tahap
uji klinik. Uji toksisitas khusus dilakukan secara selektif bila:
a) Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensial menimbulkan
efek khusus seperti kanker, cacat bawaan.
b) Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuan usia subur
c) Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkait dengan penyakit
tertentu misalnya kanker.
d) Obat digunakan secara kronik

Dalam jurnal ilmiah yang berjudul” Uji Mutagenitas dan Anti Kanker Ekstrak
Aseton dan N-Heksana dari Kulit Batang Sesoot (Garcinia picrorrhiza Miq.)”
dapat disimpulkan bahwa ekstrak Sesoot mempunyai efek anti-mutagenik
terhadap mutagen standar sehingga sangat potensial untuk dikembangkan sebagai
anti kanker (Radji et al., 2004). Penelitian ini menggunakan metode Ames dengan
menggunakan Salmonella typhimurium TA 97, TA 98 TA 100, TA 102, dan
Escherichia coli WP2 (Radji et al., 2004).
Jurnal ilmiah yang berjudul” Uji Aktivitas Antimutagenik Ekstrak Etanol
Daun Kemangi (Ocimum Basilicum L. ) terhadap Mencit dengan Menggunakan
Metode Mikronukleus Assay” bertujuan untuk mengetahui potensi antimutagenik
ekstrak etanol daun kemangi terhadap mencit (Mus musculus L.) dengan
menggunakan metode uji mikronukleus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum L.) dengan dosis 50
mg/kgBB, 100mg/kgBB, dan 200 mg/kgBB yang diberikan selama 7 hari secara
oral mampu menurunkan jumlah persentase sel eritrosit polikromatik (PCE) yang
bermikronukleus yang diamati melalui preparat apusan sumsum tulang paha
mencit (Rahmawati & Tabran, 2015). Hal ini berarti bahwa ekstrak etanol daun
kemangi (Ocimum basilicum L.) memiliki aktivitas anti mutagenik ditandai
dengan semakin tingginya dosis ekstrak etanol daun kemangi yang diberikan pada
sel eritrosit sumsum tulang paha mencit maka semakin meningkatnya persentase
penurunan sel mikronukleus PCE (Rahmawati & Tabran, 2015).

b. Uji Farmakodinamik
Uji ini bertujuan untuk meneliti efek farmakodinamik dan menelusuri
mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat tradisional tersebut.
Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba. Cara pemberian
obat tradisional yang diuji dan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara
pemberiannya pada manusia. Hasil positif secara in vitro dan in vivo pada hewan
coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan kemungkinan efek pada manusia
2 Uji klinik
Uji klinik pada manusia hanya dapat dilakukan apabila obat tradisional tersebut
telah terbukti aman dan berkhasiat pada uji pra klinik. Uji klinik dilakukan pada
manusia untuk mempelajari efek farmakodinamik, farmakokinetik, dan efek samping
(Poerwosusanta et al., 2018). Uji klinik juga dilakukan pada vaksin, metode
pencegahan penyakit, teknik pembedahan, radioterapi, terapi fisik dan psikologis,
metode diagnosis atau program Pendidikan. Pada uji klinik obat tradisional seperti
halnya dengan uji klinik obat moderen, maka prinsip etik uji klinik harus dipenuhi.
Sukarelawan harus mendapat keterangan yang jelas mengenai penelitian dan
memberikan informed-consent sebelum penelitian dilakukan.
Berbeda dengan uji klinik obat modern, dosis yang digunakan umumnya
berdasarkan dosis empiris tidak didasarkan dose-ranging study. Kesulitan yang
dihadapi adalah dalam melakukan pembandingan secara tersamar dengan plasebo
atau obat standar. Obat tradisional mungkin mempunyai rasa atau bau khusus
sehingga sulit untuk dibuat tersamar.
Saat ini belum banyak uji klinik obat tradisional yang dilakukan di Indonesia
meskipun nampaknya cenderung meningkat dalam lima tahun belakangan ini.
Kurangnya uji klinik yang dilakukan terhadap obat tradisional antara lain karena:
 Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan uji klinik
 Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telah terbukti
berkhasiat dan aman pada uji pra klinik.
 Perlunya standardisasi bahan yang diuji
 Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuan dosis berdasarkan
dosis empiris, selain itu kandungan kimia tanaman tergantung pada
banyak faktor
 Kekuatiran produsen akan hasil yang negatif terutama bagi produk yang
telah laku di pasaran
Salah satu uji klinik obat herbal dapat dilihat pada jurnal ilmiah berjudul” Potensi
Ekstrak Bawang Dayak (Eleutherine sp) Sebagai Obat Herbal Terstandar (OHT) pada
Pengobatan Medis”. Berdasarkan studi etnofarmakologi, tanaman ini dimanfaatkan
masyarakat suku Dayak sebagai obat diabetes, stroke, kanker payudara, anti hipertensi,
mempercepat penutupan luka, dan pengobatan jantung (Poerwosusanta et al., 2018).
Meski sudah digunakan turun temurun dan riset yang berkelanjutan, bawang Dayak
belum dimanfaatkan dokter formal untuk pengobatan klinis. Oleh karena itu,
penelitian ini menunjukkan uji klinik bawang Dayak sampai pada fase 4
(Poerwosusanta et al., 2018) dimana obat herbal ini sudah dipasarkan dan pasien
masih dimonitor tentang efek samping jangka panjangnya.

E. Kesimpulan
1. Uji klinik pra klinik di lakukan agar ada efek yang merugikan bagi pemakai obat
herbal.
2. Belum banyak penelitian yang menyimpulkan uji klinik obat tradisional sehingga
perlu di dorong agar obat tradisional menjadi alternatif terapi.
3. Obat tradisional memiliki keuntungan efek samping yang lebih sedikit mudah di
peroleh dan lebih murah di bandingkan obat kimia.

F. Daftar Pustaka
Hairunisa.2019. Sulitnya Menemukan Obat Baru di Indonesia. Majalah Farmasetika,
4 (1) 2019, 16-21
Rahmatini.2020. Evaluasi Khasiat dan Pengamanan Obat (Uji Klinik).Majalah
Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni 2020
Ketut Dewa. 2017. Peran Uji Klinik Dalam Bidang Farmakologi. ADLN-
Perpustakaan Universitas Airlangga
I Made Jawi. 2016. Peran Prosedur Uji Klinik Dan Uji Klinik Dalam Pemanfaatan
Obat Herbal. Farmakologi FK UNUD

untuk pengembangan obat tradisional indonesia. Dentika Dental Journal, 19(2), 179–
185.

Rahmatini. (2015). Evaluasi Khasiat Dan Keamanan Obat (Uji Klinik). Majalah
Kedokteran Andalas, 34(1), 31. https://doi.org/10.22338/mka.v34.i1.p31-38.2010

Zulkarnain, Z., Triyono, A., Ardiyanto, D., & Saryanto, S. (2021). Uji Klinik Keamanan
Ramuan Jamu Penurun Kolesterol. Jurnal Kefarmasian Indonesia, 11(1), 8–16.
https://doi.org/10.22435/jki.v11i1.3186

BPOM RI. (2014). Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2014. Bpom, 2014, 1–16.

Dewoto, H. R. (2007). Pengembangan Obat Tradisional Indonesia menjadi Fitofarmaka.


Majalah Kedokteran Indonesia, 57(7), 205–11.

Euis Reni Yuslianti, B. M. B. (2016). Standardisasi farmasitikal bahan alam menuju


fitofarmaka untuk pengembangan obat tradisional indonesia. Dentika Dental
Journal, 19(2), 179–185.
Ningsih, S., Agustini, K., Nizar, & Damayanti, R. (2017). Uji Toksisitas Subkronik
Kombinasi Ekstrak Daun Uncaria gambir dan Caesalpinia sappan Indonesia adalah
salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam yang secang dan gambir
secara tunggal telah in vitro pada sel Vero 10 sel intestinal IEC - 6. Jurnal
Kefarmasian Indonesia, 7(1), 34–45.

Poerwosusanta, H., Ali, M., Noor, Z., Mintaroem, K., & Widjajanto, E. (2018). Potensi
Ekstrak Bawang Dayak (Eleutherine sp) Sebagai Obat Herbal Terstandar (OHT)
Pada Pengobatan Medis. Jurnal Ilmiah Ibnu Sina, 3(2), 242–251.

Radji, M., Sumiati, A., & Indani, N. (2004). Uji Mutagenitas dan Anti kanker Ekstrak
Aseton dan N-Heksana dari Kulit Batang Sesoot (Garcinia picrorrhiza Miq.).
Majalah Ilmu Kefarmasian, 1(2), 69–78. https://doi.org/10.7454/psr.v1i2.3371

Rahmatini. (2010). Evaluasi Khasiat Dan Keamanan Obat (Uji Klinik). Majalah
Kedokteran Andalas, 34(1), 31–38. https://doi.org/10.22338/mka.v34.i1.p31-
38.2010

Rahmatini. (2015). Evaluasi Khasiat Dan Keamanan Obat (Uji Klinik). Majalah
Kedokteran Andalas, 34(1), 31. https://doi.org/10.22338/mka.v34.i1.p31-38.2010

Rahmawati, R., & Tabran, T. (2015). Uji Aktivitas Antimutagenik Ekstrak Etanol Daun
Kemangi (Ocimum basilicum L.) Terhadap Mencit Dengan Menggunakan Metode
Mikronukleus Assay. Jurnal Biotek, 3(1), 96–106.

Widowati, L., Winarno, M. W., Intan, P. R., Teknologi, P., & Kesehatan, T. (2014).
Toksisitas Akut dan Subkronis Ramuan Ekstrak Kelor dan Klabet sebagai Pelancar
ASI dan Penambah Gizi Lucie. Jurnal Kefarmasian Indonesia, 4(2), 51–66.

Zulkarnain, Z., Triyono, A., Ardiyanto, D., & Saryanto, S. (2021). Uji Klinik Keamanan
Ramuan Jamu Penurun Kolesterol. Jurnal Kefarmasian Indonesia, 11(1), 8–16.
https://doi.org/10.22435/jki.v11i1.3186

Anda mungkin juga menyukai