Anda di halaman 1dari 7

Nama : Muthia Uzaya

Kelas : B

NIM : M0620031

TUGAS KIMIA MEDISINAL PENGEMBANGAN OBAT

• UJI PRAKLINIK

Uji praklinik adalah suatu uji yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
keamanan dan kebenaran khasiat suatu bahan uji secara ilmiah yang dilakukan melalui uji
toksisitas dan uji aktivitas.. Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji
ini diperoleh informasi tentang efek farmakologis, profil farmakokinetik dan toksisitas calon
obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat pada
reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya bila dianggap perlu maka
dilakukan uji pada hewan. Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu seperti mencit,
tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primate. Pada dasarnya
uji praklinik merupakan sebuah pengujian pada hewan uji yang dapat dikerjakan secara in vivo
maupun in vitro. Uji praklinik selain memakai hewan, telah dikembangkan pula berbagai uji in
vitro untuk menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker
menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji
antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan uji khasiat pada hewan) tetapi belum semua uji
dapat dilakukan secara in vitro.
Uji praklinik umumnya terdiri dari beberapa pengujian dimana pengujian tersebut
meliputi preparasi bahan aktif terkait preformulasi dan formulasi (design dosis);
pengembangan dan validasi metode analitik dan bioanalitik; metabolisme dan farmakokinetik
(PK farmakokinetik); toksikologi; terkait ADME yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi.

1. Uji Toksisitas

Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi tingkat ketoksikan suatu zat/bahan
yang akan digunakan sebagai obat, dimana hasil uj diperoleh dapat memberikan gambaran
tentang kadar ketoksikan obat tersebut. Secara umum uji toksisitas obat dibagi dalam 2 bagian
yakni uji toksisitas in vitro (suatu uji yang dilaksanakan diluar tubuh hewan coba) dan uji
toksisitas in vivo (di dalam tubuh hewan coba).

Uji toksisitas in vitro adalah suatu uji untuk menentukan tingkat ketoksikan suatu bahan
yang di uji menggunakan media biakan bahan biologi tertentu yang merupakan subjek dari
pengujian. Pada umumnya uji toksisitas in vitro hanya untuk obat terbatas saja, sebagai contoh
uji obat antiinfeksi (antibiotik) menggunakan kultur media bakteri penyebab penyakit, obat
antivirus menggunakan kultur jaringan untuk perkembangbiakan virus tertentu, obat antikanker
menggunakan kultur jaringan sel kanker (sel myeloma) atau sel normal (fibrobalas) dan
anthelmintik (obat cacing) menggunakan kultur/media cacing dapat tumbuh dan berkembang,
demikian pula terhadap obat antijamur.
Hasil uji toksisitas in vitro adalah mengetahui besarnya konsentrasi bahan uji yang
dapat membunuh 50% (lethal concentration 50% = LC50) dari bahan biologi yang di kultur/di
benihkan, disamping juga dapat menentukan aktivitas suatu bahan uji dalam menghambat atau
membunuh penyebab penyakit secara in vitro. Sedangkan untuk mengetahui keamanan bahan
uji yang telah lolos melalui uji toksisitas in vitro, masih dilakukan tahapan uji toksisitas in vivo
sebelum pelaksanaan uji lebih lanjut.

Uji toksisitas in vivo adalah suatu uji toksisitas yang dilakukan pada hewan coba,
dengan tujuan untuk menentukan tingkat ketoksikan suatu zat/bahan terhadap perubahan fungsi
fisiologis maupun perubahan yang bersifat patologis pada organ vital dalam kurun waktu
tertentu. Berdasarkan lama waktu terjadinya efek toksik maka uji toksisitas umum dibagi atas
tiga bagian yakni uji toksisitas akut, uji toksisitas subkronis dan uji toksisitas kronis, sedangkan
uji toksisitas khusus meliputi uji teratogenik, uji kasinogenik dan uji mutagenic. Untuk kriteria
tingkat toksistas suatu bahan umumnya diklasifikasikan sebagai berikut.

2. Uji Aktivitas

Uji aktivitas (khasiat) adalah suatu uji untuk menentukan kebenaran khasiat suatu bahan uji
yang dibuktikan secara ilmiah pada hewan coba atau pada bahan biologi tertentu dengan
metodologi dan parameter yang akan di uji ditentukan berdasarkan tujuan penggunaan bahan
uji yang akan dipakai di klinik. Seperti halnya uji toksisitas, pada uji aktivitas dikenal uji
aktivitas in vitro dan uji aktivitas in vivo. Pada uji aktivitas secara in vitro dilaksanakan
terhadap jenis obat terbatas seperti obat antimikroba, obat anti kanker, obat anti parasit dan anti
jamur, menggunakan media tertentu sebagai subjek penelitian. Namun demikian bahan uji yang
telah dibuktikan aktivitasnya secara in vitro masih harus dilanjutkan dengan uji aktivitas in
vivo pada hewan coba. Sebagai contoh uji aktivitas untuk obat antikanker setelah dilakukan uji
aktivitas bahan uji secara in vitro yakni pengaruh bahan uji terhadap perkembangbiakan sel
mieloma sebagai model sel kanker secara in vitro, maka pengujian selanjutnya dilakukan uji
aktivitas secara in vivo pada hewan coba yang di buat menderita kanker. Hewan coba yang
dibuat menderita kanker tergantung pada jenis kanker dan stadium kanker serta penggunaan
bahan uji untuk mencegah atau untuk mengobati kanker, yang disesuaikan dengan penggunaan
bahan uji yang akan di pakai di klinik. Demikian pula uji aktivitas terhadap bahan yang
berkhasiat antihiperglikemia secara in vivo, maka hewan coba yang dipakai dibuat menderita
hiperglikemia terlebih dahulu. Tujuan dari uji aktivitas pada hewan coba dimaksudkan untuk
membuktikan kebenaran khasiat obat secara ilmiah

• UJI KLINIK

Uji Klinik adalah salah satu jenis penelitian eksperimen, terencana yang mengikut
sertakan subjek manusia dimana peneliti memberikan perlakuan atau intervensi pada subjek
penelitian. Kemudian efek dari penelitian tersebut diukur dan di analisis. Pada dasarnya Uji
Klinik memastikan efektivitas, keamanan dan gambaran efek samping yang sering timbul pada
manusia akibat pemberian suatu intervensi. Intervensi dapat berupa obat, vaksin, obat
tradisional, alat kesehatan dan lainnya yang dinamakan sebagai produk uji.

Uji Klinik adalah kegiatan penelitian dengan mengikutsertakan subjek manusia disertai
adanya intervensi Produk uji, untuk menemukan atau memastikan efek klinik, farmakologik
dan/atau farmakodinamik lainnya, dan/atau mengidentifikasi setiap reaksi yang tidak
diinginkan, dan/atau mempelajari absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi dengan tujuan
untuk memastikan keamanan dan/atau efektivitas produk yang diteliti.Menggunakan manusia
sehat atau sakit dalam eksperimen dibenarkan dalam ilmu kedokteran karena akan bermanfaat
bagi masyarakat banyak untuk memahami efek obat tersebut sehingga dapat digunakan pada
masyarakat luas dengan lebih yakin tentang efektivitas dan keamanannya.

1. Uji Klinik Fase I

Pada fase ini pengujian suatu obat baru untuk pertama kalinya pada manusia. Hal yang
diteliti adalah keamanan obat pada sukarelawan sehat. Tujuan pada fase ini adalah menentukan
besarnya dosis tunggal yang dapat diterima, artinya tidak menimbulkan efek samping serius.
Dosis oral yang diberikan pertama kali pada manusia biasanya 1/50 x No Observed Adverse
Effect Level (NOAEL) dari hewan coba yang paling sensitif terhadap produk ujinya .
Penentuan dosis untuk Uji Klinik pada fase ini sumber datanya dirujuk dari brosur penelitian.
Berdasarkan dari data yang diperoleh pada hewan, dosis berikutnya ditingkatkan bertahap atau
dengan kelipatan dua sampai diperoleh efek farmakologik atau sampai timbul efek yang tidak
diinginkan. Untuk mencari efek toksik yang mungkin terjadi, dilakukan pemeriksaan
hematologi, faal hati, urin rutin dan bila perlu pemeriksaan lain yang lebih spesifik.
Pada fase ini juga dievaluasi toleransi, sifat farmakodinamika, farmakokinetika pada
subjek yang diberi obat yang diujikan. Jumlah subjek pada fase ini bervariasi antara 20 – 100
orang, dengan harapan akan didapatkan standard deviattion (SD) yang tidak terlalu besar. Bila
SD sangat lebar maka dibutuhkan. sampel yang lebih besar lagi. Hasil penelitian
farmakokinetika ini digunakan untuk menentukan pemilihan dosis pada penelitian selanjutnya.
Selain itu, hasil ini dibandingkan dengan hasil uji pada hewan coba sehingga diketahui pada
species hewan mana obat tersebut mengalami proses farmakokinetika seperti pada manusia.
Bila spesies ini dapat ditemukan maka dilakukan penelitian toksisitas jangka panjang pada
hewan tersebut.

Pada pengujian obat baru, Uji Klinik fase I untuk obat yang toksik atau obat kanker
tidak dilakukan pada orang sehat, tapi pada penderita kanker atau pasien penderita penyakit
sesuai dengan obat yang akan diujikan. Pada fase ini wajib didampingi oleh spesialis
farmakologi klinik, dan dokter yang kompeten sesuai dengan produk yang diuji (misalnya
cardiologist, oncologist). Informasi yang diperoleh dari Uji Klinik fase I ini diperlukan sebagai
dasar untuk melakukan Uji Klinik fase berikutnya.

2. Uji Klinik Fase II

Pada Uji Klinik fase II obat diujikan pada kelompok yang lebih besar (100 - 300
orang/subjek) untuk menilai bagaimana obat tersebut bekerja dan menilai keamanannya,
apakah efek farmakologik yang tampak pada fase I berguna atau tidak untuk pengobatan. Pada
fase II perlu pengawasan yang ketat. Untuk membuktikan bahwa suatu obat berkhasiat, perlu
dilakukan uji klinik komparatif yang membandingkannya dengan placebo, atau bila
penggunaan plasebo tidak memenuhi syarat etik, obat dibandingkan dengan obat standard yang
telah dikenal. Ini dilakukan pada akhir fase II atau awal fase III, tergantung dari siapa yang
melakukan, seleksi penderita, dan monitoring penderitanya. Untuk menjamin validitas uji
klinik komparatif ini, alokasi penderita harus acak dan pemberian obat dilakukan secara
tersamar ganda. Ini disebut uji klinik acak tersamar ganda berpembanding. Umumnya fase II
ini dibagi dalam 2 tahap yaitu: IIA dan IIB. Pada fase IIA tanpa pembanding, sedangkan pada
fase IIB perlu pembanding. Pada fase IIA dirancang untuk menilai dosis yang diperlukan atau
berapa dosis obat harus diberikan, sedangkan pada fase IIB dirancang untuk menilai efikasi
atau menilai kemampuan obat tersebut bekerja sesuai dosis yang diresepkan. Pada
pengembangan obat baru, kegagalan umumnya terjadi pada fase II ini, yaitu didapatkan obat
bekerja tidak sesuai seperti yang direncanakan atau ditemukan efek toksik. Pada fase II ini
wajib didampingi oleh spesialis farmakologi klinik, dan dokter spesialis yang terkait dengan
penyakit yang diderita responden / pasien

3. Uji Klinik Fase III

Pada Uji Klinik fase III dilakukan evaluasi secara keseluruhan dari pengobatan yang
dilakukan dan dirancang untuk membandingkan efikasi dari pengobatan baru dengan
pengobatan standar. Jadi fase III dilakukan untuk memastikan bahwa suatu obat baru benar-
benar berkhasiat ( sama dengan Uji Klinik fase IIB ) yaitu dengan membandingkannya dengan
obat standar yang sudah terbukti kemanfaatannya (kontrol positif) dan/atau dengan placebo
(kontrol negatif, obat yang sama tapi dosis berbeda, obat standard dengan dosis ekuiefektif,
atau obat lain yang indikasinya sama dengan dosis yang ekuiefektif. Pengujian dilakukan
secara acak dan tersamar ganda. . Uji Klinik fase III ini dilakukan secara acak dan terkontrol
pada kelompok pasien yang besar jumlahnya (500 - 3000 orang) dan dibandingkan untuk waktu
yang lama, serta merupakan uji yang sulit untuk merancang dan melaksanakannya, terutama
pada pengobatan penyakit kronik.\ Jumlah sampel yang dibutuhkan pada fase ini dapat
dilakukan dengan penghitungan statistik sesuai tujuan Uji Klinik. Bila hasil uji klinik fase III
menunjukkan bahwa obat baru ini cukup aman dan efektif, maka obat dapat diizinkan untuk
dipasarkan.

4. Uji Klinik Fase IV

Uji Klinik fase IV dikenal juga “post marketing surveillance” atau Uji Klinik paska
pemasaran, karena uji ini dilakukan sebagai pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan.
Fase ini bertujuan menentukan pola penggunaan obat di masyarakat serta pola efektivitas dan
keamanannya pada penggunaan yang sebenarnya. Penelitian pada fase IV merupakan survei
epidemiologi menyangkut efek samping maupun efektivitas obat. Pada Uji Klinik fase ini dapat
menjaring efek samping yang belum terdeteksi pada fase III, sehingga pada fase IV ini dapat
melihat terjadinya efek samping yang timbul setelah pemakaian jangka panjang. Pada fase IV
dapat diamati : 1) Efek samping yang frekuensinya rendah atau yang timbul setelah pemakaian
obat bertahun–tahun lamanya; 2) Efektivitas obat pada penderita berpenyakit berat atau
berpenyakit ganda, penderita anak atau usia lanjut, atau setelah penggunaan berulangkali dalam
jangka panjang; dan 3) Masalah penggunaan berlebihan, penyalahgunaan, dan lain-lain. Uji
fase IV dapat juga berupa Uji Klinik jangka panjang dalam skala besar untuk menentukan efek
obat terhadap morbiditas dan mortalitas sehingga datanya menentukan status obat yang
bersangkutan dalam terapi. Tahapan Tata Laksana Persetujuan Uji Klinik berdasarkan
Keputusan dari Peraturan Kepala BPOM RI No. 21 tahun 2015 meliputi tahap pertama
dilakukan evaluasi dokumen, kemudian pada tahap kedua Uji Klinik Prapemasaran dan tahap
ketiga Uji Klinik Pascapemasaran

Anda mungkin juga menyukai