STEP 2
STEP 3
Secara garis besar uji farmakologis dan uji toksikologi. Masuk ke dalam uji farmakologis berupa ujji
farmakodinamik dan uji farmakokinetik.
Skema : tahap seleksi (memilih obat yg akan dilakukan uji pra klinik dan uji klinik)uji pra
klinik (terkait uji toksisitas umum dan khhusus)uji farmakologi (ada farmakologi sendiri ada
yg berupa farmakodinamik dan farmakokinetik)pengembangan sediaan obat dari formulasi
hewan coba uji klinik
Tahapan:
- Uji seleksi : untuk memilih jenis obat tradisional untuk pengujian dan pengembangan.
Berdasarkan prioritas pengembangan yg digariskan oleh departemen kesehatan. Pemlihihan
uji seleksi dibagi jadi 3 : jenis obat tradisional (memiliki khasiat untuk penyait teratas dalam
morbiditas dan mortaklitas), jenis obat tradisional yg diperkirakan mempunyai khasiat untuk
penyakit tertentu berdasarkan pengalaman pemakain, jenis obat tradisional yg diperkirakan
merupakan alternative yg jarang untuk penyakit tertentu contoh untuk mengobati kencing
batu.
- Uji farmakologi : untuk cari khasiat dan kemanannya (dari farmakodinamik dari ekstrak )
bias secara in vitro dan invivo. Biasanya menggunakan syarat hewn uji minimal mencit
minimal 2 species
- - uji toksiokologi terdiri dari uji toksisitas umum dan khusus . Umum (akut,sub kronis,
kronik) tujuan untuk menilai dari keamanan obat.
Uji toksikologi umum :
Akut : dilakukan gejala dan nilai keamanan obat dari LD 50. Berdasarkan waktunya akut
maksimal 24 jam pertama
Sub kronis : berdasarkan waktunya 1-3 bulan. Tidak lebih dari 10% umurnya
Teratogenik dilihat missal mengandung mengakibatkan kecactan atau tdk pada janin
Mutasi menyebabkan adanya perubahan rangkaian toksik ada perubahan DNA atau tidak
Tahap farmakodinamik : untuk mengetahui efek dari obat herbal ke tubuh. Pakai hewan uji coba ,
ditetiliti in vivo dan in vitro. Akan lebih bergantung pada sarana dan prasarana.
Tahap pengembangan sediaan : supaya bentuk sediaan yg akan diberikan ke manusia akan
memenuhi persyaratan kualitas dan estetik. Syarat kualitas :
- Tidak memberikan rasa yg menyebabkan kegagalan pengujian, contoh bau menyengat pada
bawang
- Mempunyai ketersediaan hayati yg baik.
- Fitokimia dan standarisasi. Jika belum diketahui kandangungan aktif maka dilakukan
pengujian klinik. Dalam pembuatan profil komatogram akan terlarut dengan standarisasi
polar. Lalu dilanjutkan standarissi
4. Bagaimana uji pre klinik dapat memperkirakan dari tolerabilitas keamaanan dari khasiat obat?
Uji pre klinik ada farmakologis dan uji toksisitas bias memperkirakan tolerabilitas keamanan.
Untuk menilai dari kerja obat mulai dari absorbs , dilihat toksisitasnya dan keamanan kadar obat
pada hewan uji coba memiliki efek samping atau tidak, bias dillihat dengan pengamatan.
Membuktikan secara ilmiah.
Keamanan dilihat uji toksiisitas, hasil dapat dievaluasi beberapa kriteria berdasarkan GHS . ada
beberapa penggolongan sediaan uji, ada kematian pada hewan coba berapa., nanti dikategorikan .
penggolongan keamanan generally dilihat berdasarkan LD 50 kususnya yg ada ditikus ,
diklasifikasikan toksisitas kategori berdasarkan LD.
Uji seleksi
STEP 5
Uji pre klinik merupakan uji yang dilakukan setelah tahap seleksi obat tradisional yang
akan dikembangkan menjandi fitofarmaka. Uji pre klinik dapat dilakukan secara in vitro maupun
in vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas (keamanannya) dan efek farmakologis,
farmakodinamik dan farmakokinetiknya untuk melihat efek pada manusia. Bentuk sediaan yang
akan diberikan disesuaikan dengan rencana pemberian pada manusia.
Sumber:
Dewoto, H. R. 2007. Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka. Jakarta: Departemen
Farmakologi FK UI.
Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini diperoleh
informasi tentang efek farmakologis, profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada
mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat pada reseptor dengan
kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya bila dianggap perlu maka dilakukan uji pada
hewan.
Uji praklinik selain memakai hewan, telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro
untuk menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker
menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji
antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan uji khasiat pada hewan tetapi belum semua
uji dapat dilakukan secara in vitro. Uji toksisitas sampai saat ini masih tetap dilakukan pada
hewan percobaan, belum ada metode lain yang menjamin hasil yang menggambarkan toksisitas
pada manusia, untuk masa yang akan datang perlu dikembangkan uji toksisitas secara in vitro.
Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan percobaan maka
selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik).
Sumber:
I Made Jawi. Peran Prosedur Uji Praklinik dan Uji Klinik Dalam Pemanfaatan Obat Herbal
Semua obat baru menjalani pengujian praklinis ekstensif pada preparasi jaringan rusak dan kultur sel, preparasi organ
hewan terisolasi, dan hewan utuh. upaya dilakukan untuk menentukan berbagai efek toksik dan terapeutik
Sumber:
Katzung & Trevor's Pharmacology Examination and Board Review, 11th Edition
2. Pengujian Farmakologik
a. Penapisan aktivis farmakologik diperlukan bila belum terdapat petunjuk mengenai khasiat.
b. Bila telah ada petunjuk mengenai khasiat maka langsung dilakukan pemastian khasiat.
Penapisan efek farmakologi ditujukan untuk melihat kerja farmakologik pada system biologic
yang dapat merupakan petuniuk terhadap adanya khasiat terapetik. Pengujian dapat dilakukan
secara in vivo maupun in vitro pada hewan coba sesuai. Petunjuk tentang khasiat calon
fitofarmaka seyogyanya diperoleh dari percobaan in vivo pada hewan mamalia yang sesuai,
sedapat mungkin dikaitkan dengan model penyakitnya pada manusia. Tidak semua khasiat
terapetik calon obat bisa diperkirakan secara langsung dari model-model percobaan hewan.
Beberapa khasiat yang mungkin bisa diperkirakan dari uji penapisan dengan model percobaan
hewan misalnya daya analgetik, daya menidurkan, anti hipertensia, anti diabetes, anti arthritis dll.
Kegunaan uji penapisan farmakologik sebenarnya adalah untuk menghindari pemborosan dalam
tahap uji lebih lanjut. Hasil positif dapat digunakan untuk perkiraan kemungkinan efek pada
manusia.
Pada tahap ini, dilakukan desain uji farmakologis sesuai dugaan efek farmakologis kandidat
obat/ekstrak. Fokus pada uji tahap ini adalah farmakodinamik ekstrak dan mekanisme dugaan
kerja obat. Desain uji dilakukan baik invitro (beberapa kandidat obat) maupun invivo. Uji
farmakologis bertujuan terutama mengetahui efek farmakologis dan profil farmakodinamik
ekstrak kandidat obat. BPOM mensyaratkan hewan uji yang digunakan minímal mencit atau
tikus, sedang WHO merekomendasikan minimal 2 spesies. Uji farmakologis ini dapat digunakan
sebagai prediktor efek pada manusia tetapi tidak selalu linier. Artinya tidak semua yang berefck
pada hewan uji juga akan beretek pada manusia dan sebaliknya.
3. PengujianToksisitas
Uji ketoksikan ini menilai kemananan obat secara umum. Uji ketoksikan ekstrak/obat dibagi
dalam uji ketoksikan akut, subkronis dan kronis. Uji teratogenik, mutagenik maupun
karsinogenik suatu kandidat obat termasuk didalam kelompok uji ketokiskan khusus.
- Uji ketoksikan akut
Uji ketoksikan akut dilakukan untuk:
a) Menilai gejala dan tanda toksik akut pada hewan uji
b) Menentukan spectrum keamanan obat pada hewan
c) Mencari LD50
Lethal dose 50 merupakan rentang dosis yang menyebabkan hewan u mati. LD diaikan aasar
uu menentukan sitat/potensi ketoksikan suatu ekstrak senyawa.
- Uji ketoksikan subkronis
Uji ketoksikan subkronis dan kronis terutama dilakukan pada kandidat obat yang penggunaannya
pada manusia berulang atau berlangsung lama. Contoh adalah obat obat diabetes mellitus, obat
hipertensi maupun obat untuk dislipidemia. Lamanya tergantung seberapa lama obat tersebut
biasa digunakan pada manusia, di bawah merupakan gambaran lamanya uji ketoksikan berdasar
lamanya penggunaan obat tersebut pada manusia
Pada uji ketoksikan subkronis dan kronis parameter yang diamati antara lain:
1. Gejala-gejala /tanda yang muncul
2. Perubahan BB (bobot badan)
3. Perubahan nafsu makan Agresivitas
4. Gejala diare
5. Darah rutin
6. Kimia darah meliputi fungsi hepar (SGOT,SGPT), fungsi ginjal (ureum,kreatinín), gula darah,
profil lipid dan lain-lain
7. Pada akhir percobaan dilakukan pemeriksaan histopatologi organ vital antara lain: hepar,
ginjal, usus, lambung paru)
- Uji teratogenik
Uji teratogenik merupakan uji untuk mengetahui apakah obat berpotensi menimbulkarn kecacatan
pada janin. Desain uji adalah sebagai berikut:
a. Hewan yang dibuntingkan
b. Diberi paparan ekstrak po selama kebuntingan
c. Dilakukan terminasi kehamilan dan dilakukan pembedahan pada hewan uji yang bunting
d. Ditentukan jumlah hewan uji yang mati, mengalami resorpsi, berat fetus, panjang fetus, tetus
yang mengalami hemoragi dan mortologI abnormal tetus, yang semuanya dibandingkan dengan
kontrol. Uji teratogenik penting terutama pada obat yang potensi Penggunanannya pada ibu hamil
besar.
- Uji mutagenik
Uji mutagenik jarang dilakukan dan tidak menjadi persyaratan dalam pengembangan obat
tradisional. Maksud dari uji ini adalah apakah kandidat ekstrak/obat berpotensi menimbulkan
mutasi genetik
- Uji kasinogenik
Sama seperti uji mutagenik, uji karsinogenik jarang dilakukan. Uji ini bertujuan mengetahui
apakah ekstrak berpotensi menginduksi kanker pada sel normal.
4. Pengujian Farmakodinamik
Uji yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh farmakologi pada berbagai sistem biologi
baik secara in vitro maupun in vivo.
Dimaksudkan agar bentuk sediaan fitofarmaka yang akan diberikan pada manusia nantinya
memenuhi persyaratan kualitas maupun estetika. Syarat-syarat yang sesuai dengan cara
pemberian baik peroral maupun cara lain harus diperhatikan secara khusus.
Yang perlu mendapat perhatian, sediaan calon fitofarmaka harus:
- Tidak memberikan bau dan rasa yang menyebabkan kegagalan pengujian (contoh pada
bawang putih)
- Mempunyai ketersediaan hayati yang baik, hasil uji farmakologi dan uji klinik yang
meragukan kadang disebabkan ketersediaan hayati calon fitofarmaka yang tidak memadai
7. Pengujian klinik
Sumber:
Zainuddin, M., 2018. Peran Pendidikan Tinggi Dalam Meningkatkan Kemandirian Bangsa Melalui Pengembangan
Kearifan Lokal Obat Tradisional. Prosiding Seminar Nasional Sains, Teknologi dan Analisis.
Herbal Medicine: Suatu Tujuan Farmakologis Dr. dr. EM Sutrisna, M.Kes.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 761/Menkes/SK/IX/1992 Tentang Pedoman Fitofarmaka
4. Bagaimana uji pre klinik dapat memperkirakan dari tolerabilitas keamanan dari khasiat obat?
Jawab:
Uji toksisitas pada uji praklinik digunakan untuk mendeteksi tingkat ketoksikan suatu zat/bahan
yang akan digunakan sebagai obat. Hasil yang diperoleh dari pelaksanaan uji toksisitas dapat
memberikan informasi tentang tingkat keamanan suatu zat/bahan pada hewan coba atau bahan
biologi lainnya sebelum zat/bahan tersebut digunakan di klinik. Sedangkan uji aktivitas (khasiat)
obat adalah suatu uji untuk menentukan kebenaran khasiat suatu bahan uji yang dibuktikan secara
ilmiah dengan menggunakan metodologi dan parameter yang ditentukan berdasarkan tujuan
penggunaan bahan uji yang akan dipakai di klinik.
Uji toksisitas akut dilakukan selain untuk menentukan bahaya pemaparan suatu bahan secara
akut, juga untuk menentukan batas keamanan (margin of safety) suatu bahan dengan menentukan
dosis yang menyebabkan kematian 50% pada hewan coba (lethal dose 50% = LD50)
Sumber:
Meles, D. K., 2010. Peran Uji Praklinik Dalam Bidang Farmakologi. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair
(AUP).
B. Sediaan Uji
Hasil uji toksisitas sangat tergantung pada sifat zat yang diuji. Sediaan uji untuk uji toksisitas
berupa zat yang dapat larut atau tersuspensi dalam air atau dapat larut dalam minyak, yang dapat
berasal dari tanaman, hewan maupun hasil sintesis organik.
1. Sediaan uji yang berupa zat kimia memerlukan informasi berikut:
a. Identitas bahan
b. Sifat fisiko- kimia
c. Kemurnian
d. Kadar cemaran
2. Sediaan uji yang berupa simplisia tanaman obat memerlukan informasi berikut:
a. Nama latin dan nama daerah tanaman
b. Deskripsi daerah penanaman
c. Bagian tanaman yang digunakan
d. Pemerian simplisia
e. Cara pembuatan dan penanganan simplisia
f. Kandungan kimia simplisia
E. Kelompok Kontrol
Pada setiap percobaan digunakan kelompok kontrol yang diberi pelarut/pembawa sediaan uji dan
digunakan juga kelompok kontrol tanpa perlakuan tergantung dari jenis uji toksisitas.
G. Hewan Uji
Dipertimbangkan berdasarkan:
(1) sensitivitas,
(2) cara metabolisme sediaan uji yang serupa dengan Manusia,
(3) kecepatan tumbuh,
(4) mudah tidaknya cara penanganan sewaktu dilakukan percobaan
Kriteria Inklusi:
1. Jelas: asal, jenis, dan galur, jenis kelamin, usia, berat badan
2. Biasanya digunakan hewan muda dewasa, dengan variasi bobot tidak lebih dari 20%.
Luas area kandang per ekor hewan menurut Cage Space Guidelines For Animals Used In
Biomedical Research (2008):
Mencit (berat 15 – 25 g)
Luas alas kandang 77,4 cm2, tinggi 12,7 cm
Tikus (berat 100 – 200 g)
Luas alas kandang 148,4 cm2 , tinggi 17,8 cm
Kelinci (berat 2 – 4 kg)
Luas alas kandang 270 cm2 , tinggi 40,64 cm
Marmut (berat 300 – 350 g)
Luas alas kandang 387 cm2, tinggi 17,18 cm
L. ANALISIS DATA
Data yang diperoleh pada uji toksisitas dianalisis dengan metode statistik yang sesuai.
M. PELAPORAN
Setiap data atau informasi yang diperoleh harus dicatat serta di dokumentasikan secara rinci dan
sistematik. Data yang dicantumkan di dalam laporan harus sesuai dengan cara yang telah
ditetapkan di dalam masingmasing pedoman uji.
Sumber:
1. Adianingsih, O. R., 2018. Uji Pre-Klinik dan Uji Klinik Obat Tradisional, s.l.: Program Studi Sarjana Farmasi
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
2. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang
Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo
Mencit
Bila dibutuhkan hewan coba dalam jumlah banyak, misalnya pada evaluasi
terhadap toksisitas akut dan kemampuan karsinogenik, maka hewan yang paling sesuai
untuk itu adalah mencit. Kekurangannya adalah kesulitan memperoleh darah dalam
jumlah yang cukup untuk rangkaian pemeriksaan hematologi.
Tikus
Tikus tampaknya merupakan spesies ideal untuk uji toksikologi karena berat
badannya dapat mencapai 500 gram sehingga lebih mudah dipegang, dikendalikan atau
dapat diambil darahnya dalam jumlah yang relative besar.
Anjing
Anjing dengan bulu pendek dan berat sekitar 12 kg paling sesuai untuk uji
toksikologi. Umur paling baik dipakai adalah 14-16 minggu, sementara dibutuhkan 4
minggu untuk adaptasi dengan lingkungan yang baru.
Primata
Pengguanaan kera lebih menguntungkan dibandingkan pemakaian hewan-hewan
lain, terutama dalam hal berat badan dan postur tubuhnya yang menyerupai manusia.
Postur seperti ini memungkinkan untuk mencatat observasi penting terutama bila
neuropathy perifer merupakan manifestasi toksik. Kerugiannya perlu banyak hewan yang
dibutuhkan untuk uji fertilitas karena produktivitasnya rendah.
Satwa
Mencit Tikus Marmut Kelinci Anjing Manusia
Primata
(20g) (200g) (400g) (1,5kg) (12kg) (70kg)
(4kg)
Mencit
1,0 7,0 12,25 27,8 64,1 124,2 387,9
(20g)
Tikus
0,14 1,0 1,74 3,9 9,2 17,8 56,0
(200g)
Marmut
0,08 0,57 1,0 2,25 5,2 10,2 31,5
(400g)
Kelinci
0,04 0,25 0,44 1,0 2,4 4,5 14,2
(1,5kg)
Satwa
Primata 0,016 0,11 0,19 0,42 1,0 1,9 6,1
(4kg)
Anjing 0,008 0,06 0,10 0,22 0,52 1,0 3,1
(12kg)
Manusia
0,0026 0,018 0,031 0,07 0,16 0,32 1,0
(70kg)
Konversi Dosis antar Jenis Subjek Uji berdasarkan Laurence dan Bacharach (1964)
Pengujian dengan hewan coba harus memperhatikan aspek perlakuan yang manusiawi
terhadap hewan-hewan tersebut, sesuai dengan prinsip 5F (Freedom) :
Bebas dari rasa tidak nyaman disediakan lingkungan bersih dan paling sesuai dengan biologi
hewan percobaan yang dipilih, dengan perhatian terhadap: siklus cahaya, suhu, kelembaban
lingkungan, dan fasilitas fisik seperti ukuran kandang untuk kebebasan bergerak, kebiasaan
hewan untuk mengelompok atau menyendiri.
Bebas dari rasa nyeri, trauma, dan penyakit dengan menjalankan program kesehatan/promotif,
pencegahan (bioskuriti, vaksinasi dan medikasi), meminimalkan rasa nyeri (analgesik, anasthesia
dan euthanasia) dan pemantauan, serta pengobatan sesuai penyakit tehadap hewan percobaan jika
diperlukan. Penyakit dapat diobati dengan catatan tidak mengganggu penelitian yang sedang
dijalankan. Bebas dari nyeri diusahakan dengan memilih prosedur yang memini-malisasi nyeri
saat melakukan tindakan invasif, yaitu dengan menggunakan analgesia dan anesthesia ketika
diperlukan. Euthanasia dilakukan dengan metode yang manusiawi oleh orang yang terlatih untuk
meminimalisasi atau bahkan meniadakan penderitaan hewan coba.
Bebas dari ketakutan dan stress jangka panjang ,dengan menciptakan lingkungan yang dapat
mencegah stress, misalnya memberikan masa adaptasi/aklimatisasi, memberikan latihan prosedur
penelitian untuk hewan. Semua prosedur dilakukan oleh tenaga yang kompeten, terlatih, dan
berpengalaman dalam merawat/memperlakukan hewan percobaan untuk meminimalisasi stres.
Bebas mengekspresikan tingkah laku alami dengan memberikan ruang dan fasilitas yang sesuai
dengan kehidupan biologi dan tingkah laku spesies hewan percobaan. Hal tersebut dilakukan
dengan memberikan sarana untuk kontak sosial (bagi spesies yang bersifat sosial), termasuk
kontak sosial dengan peneliti; menempatkan hewan dalam kandang secara individual,
berpasangan atau berkelompok; memberikan kesempatan dan kebebasan untuk berlari dan
bermain.
Sumber:
Ridwan, E. 2013. Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan. Jakarta : Komite Etik Penelitian
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.