Anda di halaman 1dari 21

STEP 1

1. Tolerabilitas : tolenransi kaitan dengan kadar obat yg dapat diterima/dapat dioleransi

STEP 2

1. Apa pengertian dari uji pre klinik?


2. Apa tujuan dilakukan uji pre klinik? Ada berapa tahap?
3. Apa tahapan dan skema uji pre klinik?
4. Bagaimana uji pre klinik dapat memperkirakan dari tolerabilitas keamaanan dari khasiat obat?
5. Apa saja kendala dalam uji pre klinik?
6. Apa saja macam dari uji toksisitas?
7. Apa saja ketentuan umum dari uji toksisitas?
8. Apa saja hewan yg dapat dijadikan hewan coba? Apa syaratnya?
9. Apa saja prinsip etika dalam mengenakan hewan coba?

STEP 3

1. Apa pengertian dari uji pre klinik?


Uji pre klinik merupakan uji yg dilakukan pada hewan coba atau bahan biologi lain dengan
tujuan membuktikan khasiatnya scr ilmiah terhadap suatu zat yg berkhasiat untuk obat.
Uji yang dipersyaratkan untuk obat tradisional yang berupa OHT tetapi untuk obat lain seperti
fitofarmaka butuh uji pre klinik juga dan uji klinik . setelah tahap selesai obat tradisional yg akan
dikembangkan menjadi fitofarmaka. Dapat dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba
untuk melihat keamaanan dan efek farmakologis,farmakodinamik dan farmakokinetik untuk
melihat efek pada manusia. Yg mengarah ke klinis : fitofarmaka.
Manfaatnya :
- dapat memprediksi dari efek toksikologui obat terhadap manusia terkait dengan tahapan.
- Dapat memprediksi obat farmakodinamik dan farmakokinetik
- Dapat digunakan sbg screening awal untuk penentuan dosis obat

2. Apa tujuan dilakukan uji pre klinik? Ada berapa tahap?


Tujuan :
- Membuktikan kebenaran khasiat dan keamaan suatu bahan yg duiduga berkhasiat/terhadap
bahan obat yg beredaer dimasyarakat yg belum diuji sebelumnya. Seperti jamu perlu uji ppre
klinik.
-
Tahapan:
- Uji farmakologis
- Farmakodinamik
- farmakokinetik
- Uji toksikologi

Secara garis besar uji farmakologis dan uji toksikologi. Masuk ke dalam uji farmakologis berupa ujji
farmakodinamik dan uji farmakokinetik.

3. Apa tahapan dan skema uji pre klinik?


Skema
Skema : tahap seleksi  uji farmakologi (uji invitro dan inivivo yg berupa farmakodinamik dan
farmakokinetik)uji toksisitas (uji keamanan , ada akut, sub akut, kronik, dan spesifik)uji
farmakodinamikpengembangan sediaan obat(formulasi yg digunakan) fitokimia dan
standarisasi obatuji klinik.

Skema : tahap seleksi (memilih obat yg akan dilakukan uji pra klinik dan uji klinik)uji pra
klinik (terkait uji toksisitas umum dan khhusus)uji farmakologi (ada farmakologi sendiri ada
yg berupa farmakodinamik dan farmakokinetik)pengembangan sediaan obat dari formulasi
hewan coba uji klinik

Tahapan:
- Uji seleksi : untuk memilih jenis obat tradisional untuk pengujian dan pengembangan.
Berdasarkan prioritas pengembangan yg digariskan oleh departemen kesehatan. Pemlihihan
uji seleksi dibagi jadi 3 : jenis obat tradisional (memiliki khasiat untuk penyait teratas dalam
morbiditas dan mortaklitas), jenis obat tradisional yg diperkirakan mempunyai khasiat untuk
penyakit tertentu berdasarkan pengalaman pemakain, jenis obat tradisional yg diperkirakan
merupakan alternative yg jarang untuk penyakit tertentu contoh untuk mengobati kencing
batu.
- Uji farmakologi : untuk cari khasiat dan kemanannya (dari farmakodinamik dari ekstrak )
bias secara in vitro dan invivo. Biasanya menggunakan syarat hewn uji minimal mencit
minimal 2 species
- - uji toksiokologi terdiri dari uji toksisitas umum dan khusus . Umum (akut,sub kronis,
kronik) tujuan untuk menilai dari keamanan obat.
Uji toksikologi umum :

Akut : dilakukan gejala dan nilai keamanan obat dari LD 50. Berdasarkan waktunya akut
maksimal 24 jam pertama

Sub kronis : berdasarkan waktunya 1-3 bulan. Tidak lebih dari 10% umurnya

Kronik : sepanjang hidupnya. Missal kelinci 6 bulan ya brarti 6 bulan.

Uji toksikologi khusus :

Teratogenik dilihat missal mengandung mengakibatkan kecactan atau tdk pada janin

Karsinogenik dilihat apakah pertumbuhan sel menyebabkan gangguan atau tdk

Mutasi menyebabkan adanya perubahan rangkaian toksik ada perubahan DNA atau tidak

Parameter yg bias diamati :

- Gejala dari tanda yg muncul


- Perubahan BB
- Perubahan nafsu makan
- Apakah ada gejala diare atau tidak
- Darah rutin
- Kimia darah meliputi SGOP SGPT, fungsi ginjal, gula darah, lipid, histopatologi hepar

Tahap farmakodinamik : untuk mengetahui efek dari obat herbal ke tubuh. Pakai hewan uji coba ,
ditetiliti in vivo dan in vitro. Akan lebih bergantung pada sarana dan prasarana.

Tahap pengembangan sediaan : supaya bentuk sediaan yg akan diberikan ke manusia akan
memenuhi persyaratan kualitas dan estetik. Syarat kualitas :

- Tidak memberikan rasa yg menyebabkan kegagalan pengujian, contoh bau menyengat pada
bawang
- Mempunyai ketersediaan hayati yg baik.
- Fitokimia dan standarisasi. Jika belum diketahui kandangungan aktif maka dilakukan
pengujian klinik. Dalam pembuatan profil komatogram akan terlarut dengan standarisasi
polar. Lalu dilanjutkan standarissi
4. Bagaimana uji pre klinik dapat memperkirakan dari tolerabilitas keamaanan dari khasiat obat?
Uji pre klinik ada farmakologis dan uji toksisitas bias memperkirakan tolerabilitas keamanan.
Untuk menilai dari kerja obat mulai dari absorbs , dilihat toksisitasnya dan keamanan kadar obat
pada hewan uji coba memiliki efek samping atau tidak, bias dillihat dengan pengamatan.
Membuktikan secara ilmiah.
Keamanan dilihat uji toksiisitas, hasil dapat dievaluasi beberapa kriteria berdasarkan GHS . ada
beberapa penggolongan sediaan uji, ada kematian pada hewan coba berapa., nanti dikategorikan .
penggolongan keamanan generally dilihat berdasarkan LD 50 kususnya yg ada ditikus ,
diklasifikasikan toksisitas kategori berdasarkan LD.

5. Apa saja kendala dalam uji pre klinik?


- Faktor biaya
- Kurangnya riset terpadu di bidang pengembangan obat
- Belum terintegrasi nya produk obat tradisional dalam pelayanan kesehatan formal.
- Teknik ada yang terlewat ada salah, terutama yg in vivo menggunakan alat khusus yg
canggih, missal ada kendala akan mempengaruhi hasilnya
- Keterbatasan bahan baku membutuhkan bahan yg banyak
6. Apa saja ketentuan umum dari uji toksisitas?
- Dilihat etical buy, punya prinsip setiap pengujian yg menggunakan sample hewan hewan dari
etical etik,
- Dilihat dari sediaan uji, khususnya obat tradisional seperti nama latin, deskripsi darah
penanaman, bagian tanaman, dan kandungan kimia,
- Penyiapan uji/pembuataan sediaan uji dibuat untuk penggunaan pada manusia.
- Suhu pemanasan tdk boleh menghilangkan zat yg berkhasiat pada obatnya
- Dilihat dari dosis uji mencakup dosis yg setara pada dosis manusia.
- Cara pemberian sediaan uji bi lewat IV,IM,IS, per oral dll
- Dilihat dari hewan uji
- Dilihat dari kondisi ruangan , suhu, kelembaban yg sesuai
- Cara mengorbankan hewan uji bisa dengan euthanasia .
7. Apa saja hewan yg dapat dijadikan hewan coba? Apa syaratnya?

8. Apa saja prinsip etika dalam mengenakan hewan coba?


STEP 4

Uji seleksi

Kesepakatan uji seleksi dalam konsep map

STEP 5

1. Apa pengertian dari uji pre klinik?


2. Apa tujuan dilakukan uji pre klinik? Ada berapa tahap?
3. Apa tahapan dan skema uji pre klinik?
Skema
4. Bagaimana uji pre klinik dapat memperkirakan dari tolerabilitas keamaanan dari khasiat obat?
5. Apa saja kendala dalam uji pre klinik?
6. Apa saja ketentuan umum dari uji toksisitas?
7. Apa saja hewan yg dapat dijadikan hewan coba? Apa syaratnya?
8. Apa saja prinsip etika dalam mengenakan hewan coba?

STEP 6 (Belajar Mandiri)


STEP 7

1. Apa pengertian dari uji pre klinik?


Jawab:
Yang dimaksud dengan uji praklinik dalam bidang farmakologi adalah suatu uji yang
dilakukan pada hewan coba dan atau pada bahan biologi lainnya seperti kultur jaringan dan kultur
biakan kuman untuk membuktikan kebenaran khasiat dan keamanan secara ilmiah terhadap suatu
bahan/zat yang diduga berkhasiat obat sebelum dilakukan uji klinik.
Sumber:
Meles, D. K., 2010. Peran Uji Praklinik Dalam Bidang Farmakologi. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair
(AUP).

Uji pre klinik merupakan uji yang dilakukan setelah tahap seleksi obat tradisional yang
akan dikembangkan menjandi fitofarmaka. Uji pre klinik dapat dilakukan secara in vitro maupun
in vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas (keamanannya) dan efek farmakologis,
farmakodinamik dan farmakokinetiknya untuk melihat efek pada manusia. Bentuk sediaan yang
akan diberikan disesuaikan dengan rencana pemberian pada manusia.
Sumber:
Dewoto, H. R. 2007. Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka. Jakarta: Departemen
Farmakologi FK UI.

Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini diperoleh
informasi tentang efek farmakologis, profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada
mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat pada reseptor dengan
kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya bila dianggap perlu maka dilakukan uji pada
hewan.
Uji praklinik selain memakai hewan, telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro
untuk menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker
menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji
antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan uji khasiat pada hewan tetapi belum semua
uji dapat dilakukan secara in vitro. Uji toksisitas sampai saat ini masih tetap dilakukan pada
hewan percobaan, belum ada metode lain yang menjamin hasil yang menggambarkan toksisitas
pada manusia, untuk masa yang akan datang perlu dikembangkan uji toksisitas secara in vitro.
Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan percobaan maka
selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik).
Sumber:
I Made Jawi. Peran Prosedur Uji Praklinik dan Uji Klinik Dalam Pemanfaatan Obat Herbal
Semua obat baru menjalani pengujian praklinis ekstensif pada preparasi jaringan rusak dan kultur sel, preparasi organ
hewan terisolasi, dan hewan utuh. upaya dilakukan untuk menentukan berbagai efek toksik dan terapeutik
Sumber:
Katzung & Trevor's Pharmacology Examination and Board Review, 11th Edition

2. Apa tujuan dilakukan uji pre klinik? Ada berapa tahap?


Jawab:
Pada umumnya uji praklinik dilaksanakan dengan tujuan untuk penelitian suatu bahan
yang diduga berkhasiat obat dan atau terhadap bahan obat yang telah lama beredar di masyarakat
tetapi belum dibuktikan khasiat dan kemanannya secara ilmiah seperti jamu untuk ditingkatkan
statusnya menjadi obat herbal terstandar (OHT) atau obat fitofarmaka.
Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional yang akan
dikembangkan menjadi fitofarmaka. Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in vivo pada
hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya. Bentuk sediaan dan cara
pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan rencana pemberian pada manusia. Menurut
pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional yang dikeluarkan Direktorat Jenderal POM
Departemen Kesehatan RI hewan coba yang digunakan untuk sementara satu spesies tikus atau
mencit, sedangkan WHO menganjurkan pada dua spesies. Uji farmakodinamik pada hewan
coba digunakan untuk memprediksi efek pada manusia, sedangkan uji toksisitas
dimaksudkan untuk melihat keamanannya.
Agar obat tradisional dapat diterima di pelayanan kesehatan formal/profesi dokter, maka
hasil data empirik harus didukung oleh bukti ilmiah adanya khasiat dan keamanan
penggunaannya pada manusia. Bukti tersebut hanya dapat diperoleh dari penelitian yang
dilakukan secara sistematik.
Tahapan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka adalah sebagai berikut:
1. Seleksi
2. Uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farmakodinamik
3. Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pembuatan sediaan terstandar
4. Uji klinik

Uji praklinik, yaitu uji pada hewan coba, meliputi :


- Uji toksisitas akut dan subkronik/kronik, untuk membuktikan keamanan
- Uji toksisitas khusus seperti uji teratogenic, mutagenic, iritasi, sensitisasi, dan lain-lain
- Uji farmakodinamik, untuk membuktikan khasiat
Bila hasil uji praklinik menunjukkan aman dan berkhasiat serta telah dilakukan
standardisasi, maka untuk bahan yang memiliki riwayat empiris dapat didaftarkan OHT.
Sumber:
1. Dewoto, H. R. 2007. Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka. Jakarta: Departemen
Farmakologi FK UI.
2. Meles, D. K., 2010. Peran Uji Praklinik Dalam Bidang Farmakologi. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan
Unair (AUP).

3. Apa tahapan dan skema uji pre klinik?


Skema
Jawab:

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan R.I. Nomor : 761/Menkes/Sk/Ix/1992 Tentang


Pedoman Fitofarmaka, Telah Diatur Rencana Kerangka Tahap-Tahap Pengembangan
fitofarmaka supaya fitofarmaka dapat dipertanggung jawabkan keamanan dan khasiatnya dalam
pemakaiannya pada manusia, maka pengembangan obat tradisional tersebut harus mencakup
berbagai tahap pengujian dan pengembangan secara sistematik. Tahap-tahap ini meliputi:
1. Pemilihan (Seleksi)
Pemilihan jenis obat tradisional yang akan mengalami pengujian dan pengembangan kearah
fitofarmaka berdasarkan prioritas yang digariskan oleh Departemen Kesehatan Republik
Indonesia Prioritas pemilihan diberikan kepada:
a. Jenis obat tradisional yang diharapkan mempunyai khasiat untuk penyakit-penyakit yang
menduduki urutan atas dalam morbiditas (pola penyakit).
b. Jenis obat tradisional yang diperkirakan mempunyai khasiat untuk penyakit-penyakit tertentu
berdasarkan inventarisasi pengalaman pemakaian.
c. Jenis obat tradisional yang diperkirakan merupakan alternatif yang jarang (atau satu satunya
alternatif) untuk penyakit tertentu. Misalnya untuk obat kencing batu (kalkuli) AIDS dan kanker.
Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk meneliti tanaman obat yang mendadak populer di
kalangan masyarakat. Sebagai contoh banyak penelitian belakangan ini dilakukan terhadap
tanaman Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) yang diklaim antara lain bermanfaat untuk
penderita diabetes melitus dan buah merah (Pandanus conoideus Lamk.) yang diklaim antara lain
dapat menyembuhkan kanker dan AIDS.

2. Pengujian Farmakologik
a. Penapisan aktivis farmakologik diperlukan bila belum terdapat petunjuk mengenai khasiat.
b. Bila telah ada petunjuk mengenai khasiat maka langsung dilakukan pemastian khasiat.
Penapisan efek farmakologi ditujukan untuk melihat kerja farmakologik pada system biologic
yang dapat merupakan petuniuk terhadap adanya khasiat terapetik. Pengujian dapat dilakukan
secara in vivo maupun in vitro pada hewan coba sesuai. Petunjuk tentang khasiat calon
fitofarmaka seyogyanya diperoleh dari percobaan in vivo pada hewan mamalia yang sesuai,
sedapat mungkin dikaitkan dengan model penyakitnya pada manusia. Tidak semua khasiat
terapetik calon obat bisa diperkirakan secara langsung dari model-model percobaan hewan.
Beberapa khasiat yang mungkin bisa diperkirakan dari uji penapisan dengan model percobaan
hewan misalnya daya analgetik, daya menidurkan, anti hipertensia, anti diabetes, anti arthritis dll.
Kegunaan uji penapisan farmakologik sebenarnya adalah untuk menghindari pemborosan dalam
tahap uji lebih lanjut. Hasil positif dapat digunakan untuk perkiraan kemungkinan efek pada
manusia.

Pada tahap ini, dilakukan desain uji farmakologis sesuai dugaan efek farmakologis kandidat
obat/ekstrak. Fokus pada uji tahap ini adalah farmakodinamik ekstrak dan mekanisme dugaan
kerja obat. Desain uji dilakukan baik invitro (beberapa kandidat obat) maupun invivo. Uji
farmakologis bertujuan terutama mengetahui efek farmakologis dan profil farmakodinamik
ekstrak kandidat obat. BPOM mensyaratkan hewan uji yang digunakan minímal mencit atau
tikus, sedang WHO merekomendasikan minimal 2 spesies. Uji farmakologis ini dapat digunakan
sebagai prediktor efek pada manusia tetapi tidak selalu linier. Artinya tidak semua yang berefck
pada hewan uji juga akan beretek pada manusia dan sebaliknya.

3. PengujianToksisitas
Uji ketoksikan ini menilai kemananan obat secara umum. Uji ketoksikan ekstrak/obat dibagi
dalam uji ketoksikan akut, subkronis dan kronis. Uji teratogenik, mutagenik maupun
karsinogenik suatu kandidat obat termasuk didalam kelompok uji ketokiskan khusus.
- Uji ketoksikan akut
Uji ketoksikan akut dilakukan untuk:
a) Menilai gejala dan tanda toksik akut pada hewan uji
b) Menentukan spectrum keamanan obat pada hewan
c) Mencari LD50
Lethal dose 50 merupakan rentang dosis yang menyebabkan hewan u mati. LD diaikan aasar
uu menentukan sitat/potensi ketoksikan suatu ekstrak senyawa.
- Uji ketoksikan subkronis
Uji ketoksikan subkronis dan kronis terutama dilakukan pada kandidat obat yang penggunaannya
pada manusia berulang atau berlangsung lama. Contoh adalah obat obat diabetes mellitus, obat
hipertensi maupun obat untuk dislipidemia. Lamanya tergantung seberapa lama obat tersebut
biasa digunakan pada manusia, di bawah merupakan gambaran lamanya uji ketoksikan berdasar
lamanya penggunaan obat tersebut pada manusia
Pada uji ketoksikan subkronis dan kronis parameter yang diamati antara lain:
1. Gejala-gejala /tanda yang muncul
2. Perubahan BB (bobot badan)
3. Perubahan nafsu makan Agresivitas
4. Gejala diare
5. Darah rutin
6. Kimia darah meliputi fungsi hepar (SGOT,SGPT), fungsi ginjal (ureum,kreatinín), gula darah,
profil lipid dan lain-lain
7. Pada akhir percobaan dilakukan pemeriksaan histopatologi organ vital antara lain: hepar,
ginjal, usus, lambung paru)

- Uji teratogenik
Uji teratogenik merupakan uji untuk mengetahui apakah obat berpotensi menimbulkarn kecacatan
pada janin. Desain uji adalah sebagai berikut:
a. Hewan yang dibuntingkan
b. Diberi paparan ekstrak po selama kebuntingan
c. Dilakukan terminasi kehamilan dan dilakukan pembedahan pada hewan uji yang bunting
d. Ditentukan jumlah hewan uji yang mati, mengalami resorpsi, berat fetus, panjang fetus, tetus
yang mengalami hemoragi dan mortologI abnormal tetus, yang semuanya dibandingkan dengan
kontrol. Uji teratogenik penting terutama pada obat yang potensi Penggunanannya pada ibu hamil
besar.
- Uji mutagenik
Uji mutagenik jarang dilakukan dan tidak menjadi persyaratan dalam pengembangan obat
tradisional. Maksud dari uji ini adalah apakah kandidat ekstrak/obat berpotensi menimbulkan
mutasi genetik

- Uji kasinogenik
Sama seperti uji mutagenik, uji karsinogenik jarang dilakukan. Uji ini bertujuan mengetahui
apakah ekstrak berpotensi menginduksi kanker pada sel normal.

4. Pengujian Farmakodinamik
Uji yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh farmakologi pada berbagai sistem biologi
baik secara in vitro maupun in vivo.

5. Pengembangan Sediaan (formulasi)

Dimaksudkan agar bentuk sediaan fitofarmaka yang akan diberikan pada manusia nantinya
memenuhi persyaratan kualitas maupun estetika. Syarat-syarat yang sesuai dengan cara
pemberian baik peroral maupun cara lain harus diperhatikan secara khusus.
Yang perlu mendapat perhatian, sediaan calon fitofarmaka harus:
- Tidak memberikan bau dan rasa yang menyebabkan kegagalan pengujian (contoh pada
bawang putih)
- Mempunyai ketersediaan hayati yang baik, hasil uji farmakologi dan uji klinik yang
meragukan kadang disebabkan ketersediaan hayati calon fitofarmaka yang tidak memadai

6. Penapisan Fitokimia dan Standarisasi Sediaan


Jika sebelum diketahui kandungan aktifnya, tahap pertama yang harus dilakukan bersama
pengujian klinik dalam pembuatan profil kromatogram bertahap dengan pelarut non polar, semi
polar dan polar. Selanjutnya dilakukan standarisasi sediaan dengan menggunakan zat identitas.
Penelitian fitokimia lanjut adalah penentuan kandungan kimia aktif. Jika kandungan kimia aktif
sediaan sudah diketahui, maka dapat dilakukan standarisasi sediaan berdasarkan atas kadar
kandungan aktif tersebut.

7. Pengujian klinik
Sumber:
Zainuddin, M., 2018. Peran Pendidikan Tinggi Dalam Meningkatkan Kemandirian Bangsa Melalui Pengembangan
Kearifan Lokal Obat Tradisional. Prosiding Seminar Nasional Sains, Teknologi dan Analisis.
Herbal Medicine: Suatu Tujuan Farmakologis Dr. dr. EM Sutrisna, M.Kes.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 761/Menkes/SK/IX/1992 Tentang Pedoman Fitofarmaka

4. Bagaimana uji pre klinik dapat memperkirakan dari tolerabilitas keamanan dari khasiat obat?
Jawab:
Uji toksisitas pada uji praklinik digunakan untuk mendeteksi tingkat ketoksikan suatu zat/bahan
yang akan digunakan sebagai obat. Hasil yang diperoleh dari pelaksanaan uji toksisitas dapat
memberikan informasi tentang tingkat keamanan suatu zat/bahan pada hewan coba atau bahan
biologi lainnya sebelum zat/bahan tersebut digunakan di klinik. Sedangkan uji aktivitas (khasiat)
obat adalah suatu uji untuk menentukan kebenaran khasiat suatu bahan uji yang dibuktikan secara
ilmiah dengan menggunakan metodologi dan parameter yang ditentukan berdasarkan tujuan
penggunaan bahan uji yang akan dipakai di klinik.
Uji toksisitas akut dilakukan selain untuk menentukan bahaya pemaparan suatu bahan secara
akut, juga untuk menentukan batas keamanan (margin of safety) suatu bahan dengan menentukan
dosis yang menyebabkan kematian 50% pada hewan coba (lethal dose 50% = LD50)
Sumber:
Meles, D. K., 2010. Peran Uji Praklinik Dalam Bidang Farmakologi. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair
(AUP).

5. Apa saja kendala dalam uji pre klinik?


Jawab:
Terdapat berbagai keterbatasan dalam uji praklinis yang penting untuk diketahui antara lain
sebagai berikut:
1. Uji toksisitas merupakan uji yang menyita waktu dan mahal. Diperlukan waktu sekitar 2
sampai 6 tahun untuk mengumpulkan dan menganalisa data serta memperkirakan indeks
terapeutik (suatu perbandingan antara jumlah senyawa yang memberikan efek terapeutik dan
yang menyebabkan efek toksik) obat sebelum dianggap layak uji pada manusia.
2. Diperlukan jumlah yang besar hewan percobaan untuk mendapatkan data praklinis yang sahih
(valid). Para ilmuwan menaruh perhatian besar akan hal ini, dan berbagai kemajuan telah dicapai
untuk menurunkan jumlah hewan yang digunakan dengan tetap mempertahankan kesahihan data.
Kultur sel dan jaringan dengan berbagai metode in vitro makin banyak digunakan, namun nilai
perkiraan yang dihasilkan masih sangat terbatas. Walaupun demikian, beberapa golongan
masyarakat berusaha untuk menghentikan semua uji menggunakan hewan percobaan dengan
alasan yang tidak berdasar bahwa hal ini tidak diperlukan lagi.
3. Ekstrapolasi indeks terapeutik dan data toksisitas dari hewan ke manusia dapat memberikan
perkiraan untuk sebagian besar toksisitas tetapi tidak seluruhnya. Untuk menemukan suatu proses
yang lebih maju, dibentuklah Predictive Safety Testing Consortium, yakni suatu badan yang
merupakan gabungan lima perusahaan farmasi terbesar di Amerika Serikat denganFood and Drug
Administration (FDA) sebagai badan penasehat, untuk memperkirakan keamanan suatu
pengobatan sebelum diujikan pada manusia. Hal ini dicapai dengan cara menggabungkan
berbagai metode laboratorium yang dikembangkan secara internal dalam tiap perusahaan farmasi.
4. Untuk kepentingan statistik, berbagai efek samping yang jarang ditemui tidak mungkin
dideteksi.
Sumber:
Lily, et al., 2011. Discovery and Development of Drug, s.l.: Program Magister Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.

6. Apa saja ketentuan umum dari uji toksisitas?


Jawab:
A. Ethical Clearance
Setiap pengujian yang menggunakan sampel dari hewan perlu dibuat ethical clearance dari
komisi etik.

B. Sediaan Uji
Hasil uji toksisitas sangat tergantung pada sifat zat yang diuji. Sediaan uji untuk uji toksisitas
berupa zat yang dapat larut atau tersuspensi dalam air atau dapat larut dalam minyak, yang dapat
berasal dari tanaman, hewan maupun hasil sintesis organik.
1. Sediaan uji yang berupa zat kimia memerlukan informasi berikut:
a. Identitas bahan
b. Sifat fisiko- kimia
c. Kemurnian
d. Kadar cemaran

2. Sediaan uji yang berupa simplisia tanaman obat memerlukan informasi berikut:
a. Nama latin dan nama daerah tanaman
b. Deskripsi daerah penanaman
c. Bagian tanaman yang digunakan
d. Pemerian simplisia
e. Cara pembuatan dan penanganan simplisia
f. Kandungan kimia simplisia

C. Penyiapan/Pembuatan Sediaan Uji


Sediaan uji dapat dibuat dengan bermacam-macam cara, sesuai dengan sifat sediaan uji dan
cara pemberiannya. Sediaan uji dapat berupa:
1. Formulasi dalam media cair
a. Jika sediaan uji larut dalam air, sediaan uji harus dibuat dalam bentuk larutan dalam air.
b. Bila sediaan uji tidak larut dalam air, sediaan uji dibuat dalam bentuk suspensi menggunakan
gom arab 3 - 5%, CMC (carboxy methyl celullose) 0,3 – 1,0% atau dengan zat pensuspensi lain
yang inert secara farmakologi. -10-
c. Bila tidak dapat dilakukan dengan cara – cara tersebut diatas, sediaan uji dilarutkan dalam
minyak yang tidak toksik, misalnya minyak zaitun atau minyak jagung.
2. Campuran pada makanan
Pada uji toksisitas dengan pemberian berulang seperti pada uji toksisitas subkronis, dengan
pertimbangan kepraktisan, sediaan uji dapat diberikan dengan mencampur dalam makanan atau
minuman hewan uji. Dosis yang diberikan harus tetap, berdasarkan berat badan dan perhitungan
jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi setiap hari.
8. Sediaan uji simplisia tanaman obat
Pembuatan sediaan uji simplisia tanaman obat dibuat seperti penggunaan pada manusia atau cara
lain yang sesuai, misalnya penyarian dengan etanol. Penyarian menggunakan air dapat dilakukan
dengan cara diseduh, direbus atau dengan cara penyarian yang lain selama dapat menjamin
tersarinya kandungan simplisia secara sempurna. Pada pemekatan untuk mencapai dosis yang
diinginkan, maka suhu pemanasan tidak boleh menyebabkan berkurangnya kandungan zat
berkhasiat. Simplisia yang mengandung minyak atsiri, penyiapan dan pemekatan sediaan uji
dilakukan dalam wadah tertutup dan dilakukan penyaringan setelah dingin. Penyarian dengan
menggunakan etanol dapat dilakukan dengan cara dingin, misalnya maserasi, perkolasi, atau
dengan cara panas misalnya direbus, disoksletasi, direfluks dan selanjutnya disaring kemudian
diuapkan untuk menghilangkan etanol dan sisa penguapan dilarutkan dalam air dan disuspensikan
menggunakan tragakan 1-2%, CMC 1-2% (sesuai kebutuhan), atau bahan pensuspensi lain yang
sesuai.
D. Dosis Uji
- Dosis uji harus mencakup dosis yang setara dengan dosis penggunaan yang lazim pada
manusia.
- Dosis lain meliputi dosis dengan faktor perkalian tetap yang mencakup dosis yang setara
dengan dosis penggunaan lazim pada manusia sampai mencapai dosis yang dipersyaratkan
untuk tujuan pengujian atau sampai batas dosis tertinggi yang masih dapat diberikan pada
hewan uji.

E. Kelompok Kontrol
Pada setiap percobaan digunakan kelompok kontrol yang diberi pelarut/pembawa sediaan uji dan
digunakan juga kelompok kontrol tanpa perlakuan tergantung dari jenis uji toksisitas.

F. Cara Pemberian Sediaan Uji


a. Rute peroral (PO)
b. Topikal
c. Injeksi intravena (IV)
d. Injeksi intraperitoneal (IP)
e. Injeksi subkutan (SK)
f. Injeksi intrakutan (IK)
g. Inhalasi
h. Melalui rektal, dll.

G. Hewan Uji
Dipertimbangkan berdasarkan:
(1) sensitivitas,
(2) cara metabolisme sediaan uji yang serupa dengan Manusia,
(3) kecepatan tumbuh,
(4) mudah tidaknya cara penanganan sewaktu dilakukan percobaan

Kriteria Inklusi:
1. Jelas: asal, jenis, dan galur, jenis kelamin, usia, berat badan
2. Biasanya digunakan hewan muda dewasa, dengan variasi bobot tidak lebih dari 20%.

H. Kondisi Ruangan dan Pemeliharaan Hewan Uji


a. Suhu ruangan: 22° ± 3° C
b. Kelembaban: relatif 30–70%,
c. Penerangan: 12 jam terang 12 jam gelap
d. Pakan sesuai standar, minum diberikan tanpa batas (ad libitum)
e. Kandang yang terbuat dari material yang kedap air, kuat dan mudah dibersihkan
f. Ruangan selalu bersih, tidak bising

Luas area kandang per ekor hewan menurut Cage Space Guidelines For Animals Used In
Biomedical Research (2008):
Mencit (berat 15 – 25 g)
Luas alas kandang 77,4 cm2, tinggi 12,7 cm
Tikus (berat 100 – 200 g)
Luas alas kandang 148,4 cm2 , tinggi 17,8 cm
Kelinci (berat 2 – 4 kg)
Luas alas kandang 270 cm2 , tinggi 40,64 cm
Marmut (berat 300 – 350 g)
Luas alas kandang 387 cm2, tinggi 17,18 cm

I. Cara Mengorbankan Hewan Uji


- Euthanasia : Hewan dibius (anastesi) terlebih dahulu, kemudian dipisahkan dari hewan
lainnya
- Teknik mengorbankan hewan uji :
a. Cara dislokasi leher untuk hewan kecil seperti mencit, tikus
b. Cara anastesi secara inhalasi atau penyuntikan
c. Cara pengeluaran darah melalui vena jugularis / arteri karotis

J. Cara Penandaan Hewan Uji


K. Cara Memegang (Handling) Hewan Uji

L. ANALISIS DATA
Data yang diperoleh pada uji toksisitas dianalisis dengan metode statistik yang sesuai.

M. PELAPORAN
Setiap data atau informasi yang diperoleh harus dicatat serta di dokumentasikan secara rinci dan
sistematik. Data yang dicantumkan di dalam laporan harus sesuai dengan cara yang telah
ditetapkan di dalam masingmasing pedoman uji.

Sumber:
1. Adianingsih, O. R., 2018. Uji Pre-Klinik dan Uji Klinik Obat Tradisional, s.l.: Program Studi Sarjana Farmasi
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
2. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang
Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo

7. Apa saja hewan yg dapat dijadikan hewan coba? Apa syaratnya?


Jawab:

Pada prinsipnya jenis hewan yang digunakan untuk uji farmakodinamik


sebaiknya adalah hewan model yang sudah teruji (established). Bila hewan model ini
belum ada , maka pemilihan jenis hewan harus mempertimbangkan sensitifitas, cara
metabolism sediaan uji yang serupa dengan manusia, serta mudah tidaknya penanganan
saat pengujian.
Hewan yang digunakan pada uji farmakodinamik harus diketahui asal
perolehan, jenis dan galur, jenis kelamin, usia, berat badan dan harus sehat.
Biasanya digunakan hewan dengan variasi bobot tidak lebih dari 20% serta belum
pernah digunakan dalam pengujian lain.
Adapun hewan percobaan yang sering digunakan untuk pemeriksaan adalah:
mencit (laboratory mouse), tikus (laboratory rat), kelinci dan marmut. Hewan-
hewan ini biasanya dipilih berdasarkan beberapa persyaratan, antara lain : sehat, berat
tertentu, jenis kelamin tertentu dan digunakan dalam jumlah tertentu pula. Syarat-
syarat tersebut memiliki pengertian yang luas dan tidak mudah dipenuhi. Oleh karenanya
diperlukan beberapa pemeriksaan atau pengamatan terlebih dahulu terhadap :
a. Hewan percobaan : yaitu meliputi strain yang menyangkut background image tentang
sifat-sifat khasnya, manajemen pemeliharaan, umur yang dikaitkan dengan berat
badannya, jenis kelamin dan data fisiologisnya. Dengan demikian jelas bahwa strain
hewan percobaan harus sesuai atau cocok dengan tujuan pemeriksaan. Tiap negara
terutama negara maju biasanya mengembangkan strain hewan sendiri, agar dapat
menemukan hewan yang baik untuk kondisi negara tersebut. Dapat diambil contoh, di
Jepang telah dikembangkan strain lokal di samping memelihara strain dari luar
negeri.
b. Lingkungan : yaitu meliputi temperatur ruangan; kelembaban ruangan; tekanan udara;
sirkulasi udara; tempat hidupnya (kandang) baik mengenai ukuran, bahan maupun
bentuknya; bedding (alas kandang); kebisingan suara dan personil yang menangani;
keadaan nutrisinya (makanan dan minuman). Dengan terciptanya suatu lingkungan
yang baik, akan memberikan kesempatan pada hewan percobaan untuk hidup dan
bertumbuh sesuai dengan bakat atau sifat-sifat genetik yang dimilikinya.
Menurut Short, D.J dan Woodnott, D.P. (1963) dalam bukunya Manual of
Laboratory Animal Practice and Techniques, jenis-jenis hewan percobaan mencit,
marmut dan kelinci temperatur ruangan yang direkomendasikan adalah : 22,2°C; 15,5°C
dan 12,77°C, sedangkan kelembaban relatif bervariasi antara 45-55% untuk semua hewan
tersebut. Keadaan semacam ini sukar dicapai terutama untuk daerah dataran rendah.
c. Uji performan atau prestasi hewan percobaan : yaitu untuk menentukan kemampuan
hewan percobaan dalam memberikan suatu reaksi atau mempertahankan sifat khas
dari populasinya. Untuk pemeriksaan ini diperlukan kepastian kelompok hewanatau
keseragaman genetik, hingga variasi individuil tidak banyak.

Mencit
Bila dibutuhkan hewan coba dalam jumlah banyak, misalnya pada evaluasi
terhadap toksisitas akut dan kemampuan karsinogenik, maka hewan yang paling sesuai
untuk itu adalah mencit. Kekurangannya adalah kesulitan memperoleh darah dalam
jumlah yang cukup untuk rangkaian pemeriksaan hematologi.

Tikus
Tikus tampaknya merupakan spesies ideal untuk uji toksikologi karena berat
badannya dapat mencapai 500 gram sehingga lebih mudah dipegang, dikendalikan atau
dapat diambil darahnya dalam jumlah yang relative besar.

Anjing
Anjing dengan bulu pendek dan berat sekitar 12 kg paling sesuai untuk uji
toksikologi. Umur paling baik dipakai adalah 14-16 minggu, sementara dibutuhkan 4
minggu untuk adaptasi dengan lingkungan yang baru.

Primata
Pengguanaan kera lebih menguntungkan dibandingkan pemakaian hewan-hewan
lain, terutama dalam hal berat badan dan postur tubuhnya yang menyerupai manusia.
Postur seperti ini memungkinkan untuk mencatat observasi penting terutama bila
neuropathy perifer merupakan manifestasi toksik. Kerugiannya perlu banyak hewan yang
dibutuhkan untuk uji fertilitas karena produktivitasnya rendah.

Satwa
Mencit Tikus Marmut Kelinci Anjing Manusia
Primata
(20g) (200g) (400g) (1,5kg) (12kg) (70kg)
(4kg)
Mencit
1,0 7,0 12,25 27,8 64,1 124,2 387,9
(20g)
Tikus
0,14 1,0 1,74 3,9 9,2 17,8 56,0
(200g)
Marmut
0,08 0,57 1,0 2,25 5,2 10,2 31,5
(400g)
Kelinci
0,04 0,25 0,44 1,0 2,4 4,5 14,2
(1,5kg)
Satwa
Primata 0,016 0,11 0,19 0,42 1,0 1,9 6,1
(4kg)
Anjing 0,008 0,06 0,10 0,22 0,52 1,0 3,1
(12kg)
Manusia
0,0026 0,018 0,031 0,07 0,16 0,32 1,0
(70kg)
Konversi Dosis antar Jenis Subjek Uji berdasarkan Laurence dan Bacharach (1964)

Kriteria Hewan Uji Yang Digunakan Dalam Uji Farmakodinamik:

No. Jenis Hewan Bobot minimal Rentang Umur

1. Mencit 20g 6-8 minggu

2. Tikus 120g 6-8 minggu

3. Marmut 250g 4-5 minggu

4. Kelinci 1800g 8-9 bulan


Sumber:
Peraturan Badan POM No. 18 tahun 2021 tentang Pedoman Uji Farmakodinamik Praklinik Obat Tradisional
Kusumawati. 2004. Bersahabat Dengan Hewan Coba.Yogyakarta:Gadjah Mada University Press

8. Apa saja prinsip etika dalam mengenakan hewan coba?


Jawab:
Dalam hal memanfaatkan hewan percobaan untuk penelitian kesehatan digunakan prinsip 3R,
yaitu:
a. Replacement: suatu usaha meminimalkan penggunaan hewan coba yang dapat diganti dengan
media lain seperti media kultur atau sejenisnya maupun dengan metode statistik. Ada dua
alternatif untuk replacement:
- Replacement relatif, yaitu tetap memanfaatkan hewan percobaan sebagai donor organ,
jaringan atau sel
- Replacement absolut, yaitu tidak memerlukan bahan dari hewan, melainkan memanfaatkan
galur sel (cell lines) atau program komputer.
b. Reduction: usaha meminimalkan jumlah atau pengurangan pemakaian hewan coba, dengan
bantuan ilmu statistik, program komputer, dan teknik-teknik biokimia serta tidak mengulangi
penelitian dengan hewan percobaan apabila tidak perlu.
c. Refinement: perlakuan yang pantas terhadap semua organisme agar bebas dari 5R yaitu rasa
lapar dan haus (hunger & thirst), rasa sakit (discomfort pain), rasa takut dan tekanan (injury
fear & distress), rasa bebas untuk mengekspresikan/menunjukkan perilaku alamiahnya (to
express natural behavior) serta pengkayaan lingkungan. Mengurangi ketidaknyamanan yang
diderita oleh hewan percobaan sebelum, selama, dan setelah penelitian, misalnya dengan
pemberian analgetik.

Pengujian dengan hewan coba harus memperhatikan aspek perlakuan yang manusiawi
terhadap hewan-hewan tersebut, sesuai dengan prinsip 5F (Freedom) :

a. Freedom from Hunger and Thirst


Bebas dari rasa lapar dan haus dengan memberikan akses makanan dan air minum yang sesuai
dengan jumlah yang memadai baik jumlah dan komposisi nutrisi untuk kesehatannya. Makanan
dan air minum memadai dari kualitas, dibuktikan melalui analisa proximate makanan, analisis
mutu air minum, dan uji kontaminasi secara berkala. Analisis pakan hewan untuk mendapatkan
komposisi pakan, menggunakan metode standar.

b. Freedom from Discomfort

Bebas dari rasa tidak nyaman disediakan lingkungan bersih dan paling sesuai dengan biologi
hewan percobaan yang dipilih, dengan perhatian terhadap: siklus cahaya, suhu, kelembaban
lingkungan, dan fasilitas fisik seperti ukuran kandang untuk kebebasan bergerak, kebiasaan
hewan untuk mengelompok atau menyendiri.

c. Freedom from Injury, Pain, and Diseases

Bebas dari rasa nyeri, trauma, dan penyakit dengan menjalankan program kesehatan/promotif,
pencegahan (bioskuriti, vaksinasi dan medikasi), meminimalkan rasa nyeri (analgesik, anasthesia
dan euthanasia) dan pemantauan, serta pengobatan sesuai penyakit tehadap hewan percobaan jika
diperlukan. Penyakit dapat diobati dengan catatan tidak mengganggu penelitian yang sedang
dijalankan. Bebas dari nyeri diusahakan dengan memilih prosedur yang memini-malisasi nyeri
saat melakukan tindakan invasif, yaitu dengan menggunakan analgesia dan anesthesia ketika
diperlukan. Euthanasia dilakukan dengan metode yang manusiawi oleh orang yang terlatih untuk
meminimalisasi atau bahkan meniadakan penderitaan hewan coba.

d. Freedom from Fear and Distress

Bebas dari ketakutan dan stress jangka panjang ,dengan menciptakan lingkungan yang dapat
mencegah stress, misalnya memberikan masa adaptasi/aklimatisasi, memberikan latihan prosedur
penelitian untuk hewan. Semua prosedur dilakukan oleh tenaga yang kompeten, terlatih, dan
berpengalaman dalam merawat/memperlakukan hewan percobaan untuk meminimalisasi stres.

e. Express Natural Behaviour

Bebas mengekspresikan tingkah laku alami dengan memberikan ruang dan fasilitas yang sesuai
dengan kehidupan biologi dan tingkah laku spesies hewan percobaan. Hal tersebut dilakukan
dengan memberikan sarana untuk kontak sosial (bagi spesies yang bersifat sosial), termasuk
kontak sosial dengan peneliti; menempatkan hewan dalam kandang secara individual,
berpasangan atau berkelompok; memberikan kesempatan dan kebebasan untuk berlari dan
bermain.

Sumber:
Ridwan, E. 2013. Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan. Jakarta : Komite Etik Penelitian
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

Anda mungkin juga menyukai