Anda di halaman 1dari 21

MODUL

METODOLOGI PENELITIAN

PETUNJUK PRAKTIKUM LBM 1

MENYUSUN LATAR BELAKANG PENELITIAN

Hadi Sarosa
Atina Hussaana
Titiek Sumarawati
Endang Lestari

FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA


2020

1
Semester :4
Modul : Metodologi Penelitian

LBM :1

Topik ketrampilan : Menyusun latar belakang penelitian

A. SASARAN BELAJAR

1. Mahasiswa mampu mengidentifikasi masalah, besar masalah penelitian, kronologis


dan upaya penyelesaian masalah penelitian
2. Mahasiswa mampu mengidentifikasi tujuan penelitian, manfaat penelitian
3. Mahasiswa mampu memahami dan membuat latar belakang yang berisikan masalah,
besar masalah, kronologis dan upaya penyelesian masalah dengan penelitian

B. RENCANA PEMBELAJARAN

Waktu praktikum 4× 50 menit

Panduan Tutor 1. 50 menit pertama, instruktur menjelaskan kaidah


penyusunan latr belakang, serta informasi-informasi yang
harus tersedia dalam atar belakang
2. Instruktur juga menjelaskan prinsip deduksi yang
tergambar dalam latar belakang
3. Tutor membagi kelompok menjadi 5 kelompok
4. Tutor membagikan tugas kepada mahasiswa untuk
menganalisis artikel publikasi yang disediakan
5. Tutor memberikan waktu 20 menit kepada kelompok
untuk berdiskusi dan menyiapkan presentasi
6. Tutor mempersilahkan tiap kelompok untuk
mempresentasikan hasil diskusi dan mempersilahkan
kelompok lain untuk memberikan komentar/ masukan/
klarificasi, dll. (50 menit)
7. 80 menit selanjutnya adalah membimbing mahasiswa
untuk menyusun BAB I rencana penelitiannya

Tugas Mahasiswa Membaca dan memahami petunjuk skill lab, Berdiskusi dan
menjalankan tugas

2
Petunjuk

Pembuatan Bab I : Pendahuluan

Pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan
manfaat penelitian. Penelitian selalu diawali dengan masalah penelitian. Masalah penelitian
merupakan kesenjangan antara kenyataan (empiris) dengan teori (logika) yang menimbulkan
rasa tidak puas. Merumuskan pertanyaan penelitian atau yang disebut konseptualisasi
masalah, ada 2 hal yang harus diperhatikan yaitu pertama berhubungan dengan masalah
(substansi) yang dipertanyakan dan kedua cara menjawab pertanyaan tersebut
(metodologinya)

Latar belakang masalah memuat uraian yang berkaitan dengan permasalahan yang
dikemukakan serta penjelasan mengapa masalah tersebut dipandang menarik dan penting
untuk diteliti. Pada latar belakang harus memuat minimal 4 aspek yaitu masalah, besar
masalah, kronologi masalah dan upaya penyelesaian dengan penelitian yang masih harus
dibuktikan kebenarannya.

Masalah penelitian dapat dikelompokan menjadi 3 katagori yaitu masalah filosofis,


masalah kebijakan dan masalah ilmiah.Masalah filosofis jika gejala-gejala empirisnya tidak
sesuai dengan pandangan hidup yang ada dalam masyarakat, misalnya pengobatan dengan
mengunakan air rendaman batu ponari, perilaku hubungan seks sebelum nikah di kalangan
remaja, gejala empiris tidak sesuai dengan norma etis dan keagamaan yang dianut oleh
masyarakat. Masalah kebijakan yaitu perilaku-perilaku atau kenyataan yang tidak sesuai
dengan apa yang diharapkan oleh si pembuat kebijakan, misalnya kwalitas pendidikan yang
tidak sesuai dengan tujuan pendidikan. Sedangkan masalah ilmiah adalah kenyataan-
kenyataan yang tidak sesuai dengan teori.

Besar masalah merupakan kedudukan masalah penelitian terhadap permasalahan


yang lebih luas atau dapat juga diuraikan dampak yang ditimbulkan jika masalah tersebut
dibiarkan saja, sehingga tergambar pentingnya penelitian dilakukan. Urutan atau kronologi
masalah merupakan urutan terjadinya masalah penelitian, atau menguraikan penelitian-
penelitian yang sudah pernah dilakukan yang terkait dengan variabel-variabel penelitian atau
masalah penelitian dengan subyek penelitian, metode penelitian dll yang berbeda dengan
penelitian yang akan dilaksanakan. Jadi pada kronologis terlihat perbedaan penelitian yang
akan dilakukan dengan penelitian yang penah dilakukan baik subyek, metode penelitian dll.
Dalam latar belakang masalah memuat upaya yang akan dilakukan dengan penelitian yaitu,
diuraikan metodologi untuk menjawab masalah penelitian.

3
Rumusan masalah dijelaskan secara spesifik masalah yang akan diteliti dan dinyatakan
dalam bentuk kalimat tanya. Kalimat tersebut mempermasalahkan suatu variabel atau
mempertanyakan hubungan antar dua atau lebih variabel.

Tujuan penelitian merupakan pernyataan untuk menjawab masalah. Tujuan yang


ingin dicapai, dapat dibedakan menjadi tujuan umum dan khusus. Tujuan umum masih
bersifat umum sedangkan tujuan khusus berisi tujuan untuk mencapai tujuan khusus, jadi
lebih rinci atau spesifik pengukuran variabel besar dan variabel tergantungnya (dapat dilihat
pada contoh latar belakang)

Manfaat penelitian terdiri dari manfaat teoritis yaitu untuk pengembangan ilmu dan
manfaat praktis untuk pemecahan masalah-masalah praktis

Contoh Bab I Pendahuluan

Peranan Vitamin C pada Fagositosis Makrofag Terhadap C. Albicans

Disusun oleh
Melok Tin H
Arief Budiyanto
Y Widodo Wirohadidjojo

1) Latar Belakang

Fungsi Primer sistem imum pada tubuh terhadap berbagai mikroorganisme patogen
antara lain ditentukan tingginya respon imun yang dibawa sejak lahir (innate Immune
response) diantaranya didapat dari mikronutrien (Susana CR, et.al., 2002; Liu J,et.al., 2003).
Mikronutrien yang berasal baik dari sayuran, buah maupun suplemen, melalui sekresi sitokin
dan regulasi innate immune response akan menyebabkan timbulnya respo imun adaptif
(adaptive respon immune), yang akan melawan mikroorganisme(Susana CR, et.al., 2002).
Mikronutrien yang diketahui dapat meningkatkan respon imun antara lain adalah antioksidan
yang meliputi vitamin E, C, Karotenoid dan selenium (Susana CR, et.al., 2002; Akyon Y, 2002;
Han SN & Meydani SN, 2000). Berbagai penelitian menunjukan bahwa vitamin E dan C
merupakan antioksidan poten yang mempunyai peranan meningkatkan respon imun baik
pada proses perlekatan (adherence), kemotaksis, fagositosis maupun produksi anion
superoksida dengan melalui respon proliferatif limfosit, stimulasi proses fagositosis (Fuente
MDL, et.al., 1998) makrofag (Del RM, et.al., 1998) dan sel polimorfonuklear terutama
neutrofil (Krause R, et.al., 2001; Levy R, et.al., 1996). Pada berbagai mekanisme tersebut
ternyata stimulasi proses fagositosis baik oleh makrofag ataupun netrofil memegang peranan
penting dalam meningkatkan respon imun adaptif( “mikronutrien berpengaruh
meningkatkan respon imun adatif melalui respon proliferatif limfosit, stimulasi proses
fagositosis, makrofag dan sel polimorfonuklear terutama neutrofil”)

4
Selama ini penelitian peran suplementsi vitamin E terhadap stimulasi proses
fagositosis neutrofil dalam meningkatkan respon imun telah banyak diteliti (Tanaka J, et.al.,
1979; Fuente MDL, et.al., 1998), sedangkan peranan suplemantasi vitamin C dalam
meningkatkan respon imun melalui stimulasi fagositosis makrofag belum banyak diteliti dan
masih terbatas pada jenis mikroorganisme patogen, yaitu bakteri dan virus(Akyon, et.al.,
2002; Levy R, et.al., 1996; HermilaH, 1992; Hernaz A, et.al., 1990).(Masalah penelitian :
penelitian Vitamin C menstimuli fagositosis makrofag belum banyak diteliti dan masih
terbatas pada jenis mikroorganisme patogen, yaitu bakteri dan virus)

Berbagai penelitian telah banyak menunjukan bahwa peranan antioksidan, yaitu


vitamin C adalah meningkatkan respon imun pada berbagai penyakit, baik infeksi bakteri
maupun virus. Pada infeksi virus, sebagai contoh influensa, pemberian vitamin C mempunyai
efek imunoregulator dan efek antiviral sehingga selain mengurangi simtom juga dapat
menghambat atomekanisme penyakit. Diduga pada penelitian yang menggunakan isolasi sel
imun baik secara in vivo maupun in vitro pada binatang maupun manusia, pemberian vitamin
C dapat menyebabkan peningkatan respon imun melalui peningkatan produksi molekul
imunoregulasi yaitu sitokin. Pada infeksi bakteri vitamin C mempunyai peranan menghambat
oksidasi dan menghambat kolonisasi bakteri. Dengan demikian peranan vitamin C selain
sebagai antioksidan, ternyata juga mempunyai peranan anti mikroba (Akyon, et.al., 2002;
Levy R, et.al., 1996; Fuente MDL, et.al.1998).(kronologis/urutan masalah : Vitamin C selain
sebagai antioksidan juga sebagai anti mikroba dengan meningkatkan respon imun)

Makrofag dapat berasal dari monosit yang mengalami maturasi akibat pacuan
granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GMCSF) atau paparan antigen. Makrofag
dapat mengenali antigen dinding sel jamur (mannan) kemudian menfagositosis dan merusak
antigen tersebut. Pada infeksi jamur, termasuk C.albicans, respon imun innate diduga juga
berperan penting. Kegagalan fagositosis makrofag terhadap C.albicans diduga mendasari
terjadinya vulvitis Kandidosis pada penderita diabetes (Fidel PL & Sobel JD, 1996). Infeksi
kandida juga sering dijumpai pada penggunaan kontrasepsi oral, pengunaan kortikosteroid
dan penderita imunokompromis.(Besar Masalah : kegagalan makrofag terhadap C.albicans
diduga yang mendasari terjadinya infeksi kandidosis )

Hasil penelitian dewasa ini menunjukan bahwa pemberian vitamin C dapat


menstimulasi proses fagositosis makrofag, melalui pelepasan sitokin terutama IFNg yang
dengan cara meregulasi sistem imun terjadi perbaikan respon imun (Del RM, et.al., 1998).
Stimulasi proses fagositosis makrofag akibat pemberian vitamin C dapat dinilai , antara lain
berdasarkan peningkatan jumlah mikroorganisme yang difagositosis oleh makrofag. (upaya
penyelesaian dengan penelitian yang masih harus dibuktikan kebenarannya)

2) Perumusan Masalah

5
Apakah pemberian vitamin C berpengaruh pada aktifitas fagositosis makrofag terhadap C.
Albicans

3) Tujuan penelitian
a) Umum

Mengetahui peranan vitamin C pada aktifitas fagositosis makrofag terhadap C. Albicans

b) Khusus
i) Mengetahui aktifitas fagositosis makrofag dengan pemberian vitamin C dosis 200
mg/ml terhadap C. Albicans
ii) Mengetahui aktifitas fagositosis makrofagdengan pemberian vitamin C dosis 100
mg/ml terhadap C. albicans
iii) Mengetahui aktifitas fagositosis makrofag dengan pemberian vitamin C dosis 50
mg/ml terhadap C. albicans
iv) Mengetahui aktifitas fagositosis makrofag dengan pemberian vitamin C dosis 25
mg/ml terhadap C. Albicans
v) Mengetahui aktifitas fagositosis makrofag tanpa pemberian vitamin C terhadap C.
Albicans
vi) Mengetahui perbedaan aktifitas fagositosis antar berbagai kelompok dosis
pemberian vitamin C, dan tanpa pemberian vitamin C

4) Manfaat Penelitian
a) Manfaat teoritis
Vitamin C selain sebagai antioksidan dan antimikroba dapat juga berperan sebagai
antifungi
b) Manfaat praktis
Pemberian vitamin C dapat menurunkan kejadian penyakit candidiasis pada penderita
kencing manis, penggunaan kontrasepsi oral, pengunaan kortikosteroid dan penderita
imunokompromis

6
LATIHAN 1.

Pendahuluan
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor yang unik karena etiologi dan distribusi
endemiknya.1,2 Faktor etnik dan daerah juga mempengaruhi risiko penyakit.1 Insiden KNF
yang berbeda secara geografis dan etnik juga berhubungan dengan virus Epstein-Barr.3
Secara gobal, diperkirakan terdapat 65.000 kasus baru dan 38.000 kematian yang disebabkan
oleh penyakit ini pada tahun 2000.
Insiden kanker ini cukup jarang di beberapa negara, yakni hanya 0,6% dari semua keganasan.
Insiden KNF di Amerika 1-2 kasus per 100.000 lakilaki dan 0,4 kasus per 100.000 perempuan.
Namun tumor ini sangat banyak ditemukan di negara lain dan pada kelompok tnik tertentu,
seperti di Cina, Asia Tenggara, Afrika Utara dan daerah Arctic.3-5 Insiden KNF tertinggi di
dunia dijumpai pada penduduk daratan Cina bagian Selatan,2,4-6 khususnya suku Kanton di
propinsi Guang Dong dan aerah Guangxi dengan angka mencapai lebih dari 50 per 100.000
penduduk pertahun.6,7
Indonesia termasuk alah satu negara dengan prevalensi penderita KNF yang termasuk tinggi
di luar Cina.8 Data registrasi kanker di Indonesia berdasarkan histopatologi tahun 2003
menunjukan bahwa KNF menempati urutan pertama dari semua tumor ganas primer pada
laki – laki dan urutan ke 8 pada perempuan .9
Selama periode tahun 2006-2008, dari data Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas, RSUP. Dr M.Djamil Padang dan RSUD. Achmad Muchtar
Bukittinggi, didapatkan 45 kasus KNF di wilayah propinsi Sumatera Barat. Dari keseluruhan
KNF tersebut, proporsi KNF subtype nonkeratinizing carcinoma (WHO-2) dan undifferentiated
carcinoma (WHO-3) adalah sama banyak, yaitu masing-masing 37,8%.10
Karsinoma nasofaring lebih sering pada lakilaki dibanding perempuan.3-5 Kanker ini dapat
mengenai semua umur dengan insidens meningkat setelah usia 30 tahun dan mencapai
7
puncak pada umur 40-60 tahun.3 Kasus KNF juga pernah dilaporkan terjadi pada anak-anak
dibawah usia 15 tahun.11 Sayang sekali tumor ganas ini tidak mempunyai gejala yang spesifik,
bahkan seringkali tanpa gejala, sehingga hal ini menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis
dan terapi. Bahkan pada lebih dari 70% kasus gejala pertama berupa limfadenopati servikal,
yang merupakan metastasis KNF.3,5
Berdasarkan klasifikasi histologi WHO tahun 1978, KNF dibagi menjadi tiga subtipe yaitu;
squamous cell carcinoma (WHO-1), nonkeratinizing carcinoma (WHO-2) dan undifferentiated
carcinoma (WHO-3).3 Undifferentiated carcinoma (WHO-3) merupakan subtipe histologi yang
utama di daerah endemik, sementara WHO-1 jarang (<5%).12 Terdapat tiga faktor etiologi
utama yang berhubungan dengan KNF yaitu infeksi EBV, kerentanan genetic dan faktor
lingkungan.2,3,7 Di daerah endemik, infeksi EBV terutama berkaitan dengan KNF subtipe
WHO-2 dan WHO-3, sedangkan untuk subtipe WHO-1 masih menjadi perdebatan.2,3,11
Virus Epstein-Barr yang ditransmisikan melalui saliva yang terinfeksi ke tempat pertama
infeksinya, yaitu sel-sel epitel orofaring akan memasuki sel, bersifat menetap (persisten),
tersembunyi (laten) dan sepanjang masa (long life).Hal ini membuat sel yang terinfeksi
menjadi immortal melalui induksi transformasi pertumbuhan yang permanen.14
Infeksi EBV yang laten dan persisten tersebut pada KNF menunjukkan pola laten tipe II yang
ditandai dengan ekspresi EBV nuclear antigen (EBNA) -1, latent membrane protein (LMP) -1,
2 dan EBVencoded RNA (EBER).3,15 LMP-1 merupakan gen laten EBV yang pertama
ditemukan yang dapat mentransformasi galur sel dan merubah fenotip sel karena potensial
onkogeniknya.15 LMP-1 merupakan onkogen virus yang mirip reseptor permukaan sel yang
dapat mencegah sel yang terinfeksi EBV dari apoptosis dengan menginduksi protein anti-
apoptotik seperti BCL-2, A20 dan MCL-1. LMP-1 juga terlibat dalam jalur pensinyalan yang
mengatur proliferasi sel dan apoptosis yaitu memicu progresifitas dan proliferasi sel melalui
siklus sel (fase G1/S) dan inhibisi apoptosis.14,15
Gen p53 merupakan salah satu dari gen supresor tumor. Gen ini mendeteksi kerusakan DNA,
membantu perbaikan DNA melalui penghentian fase G1 dari siklus sel dan memicu gen yang
memperbaiki DNA. Sel yang mengalami kerusakan DNA dan tidak dapat diperbaiki diarahkan
oleh p53 untuk mengalami apoptosis. Apabila terjadi kehilangan p53 secara homozigot,
kerusakan DNA tidak dapat diperbaiki dan mutasi akan terfiksasi pada sel yang membelah
sehingga sel akan mengalami transformasi keganasan.7
8
Gen p53 merupakan gen yang sering mengalami mutasi pada tumor manusia. Hampir lebih
dari 50% tumor pada manusia mengandung mutasi gen ini.7,16 Fungsi gen p53 dapat
diinaktivasi oleh berbagai mekanisme, diantaranya oleh beberapa virus DNA tertentu. Salah
satu virus DNA tersebut mungkin EBV. Virus Epstein-Barr dapat mengikat protein p53 normal
dan menghilangkan fungsi protektifnya.7 Penelitian imunohistokimia memperlihatkan bahwa
infeksi EBV pada KNF berhubungan dengan akumulasi protein p53, bukan dengan protein
BCL-2. Namun penelitian lain menyimpulkan bahwa EBV merupakan faktor etiologi yang
penting yang mungkin melibatkan over ekspresi p53 dan BCL-2.16
Perkembangan KNF melibatkan hilangnya gen supresor tumor. Namun mekanisme inhibisi
supresor tumor ini, unik pada KNF. Pada kebanyakan kanker kepala dan leher, kadar p53 yang
rendah disebabkan oleh mutasi. Namun, p53 pada KNF tidak mengikuti pola klasik ini.17 Tidak
adanya mutasi p53 pada KNF memberi kesan bahwa suatu protein virus dapat mengganggu
fungsi p53.18 Dari suatu penelitian didapatkan bahwa sel-sel KNF mempunyai kadar p53 yang
meningkat, dengan kadar LMP-1 yang tinggi berkorelasi dengan ekspresi p53 yang lebih tinggi.
Mutasi p53 relatif jarang pada KNF, sehingga mayoritas p53 yang diekspresikan adalah wild
type.Wild type p53 ini gagal menginduksi apoptosis pada KNF.17 Pemeriksaan ekspresi LMP-
1 dan p53 bisa dilakukan secara imunohistokimia (IHK) dari jaringan tumor KNF.
Pada penelitian ini ingin dibuktikan korelasi antara ekspresi Latent Membrane Protein -1 virus
Epstein-Barr dengan ekspresi p53 pada karsinoma nasofaring.

1. Perumusan Masalah
Apakah terdapat korelasi antara ekspresi Latent Membrane Protein -1 virus Epstein-Barr
dengan ekspresi p53 pada karsinoma nasofaring?

2. Tujuan Penelitian
Tujuan umum
Mengetahui korelasi antara ekspresi Latent Membrane Protein -1 virus Epstein-Barr dengan
ekspresi p53 pada karsinoma nasofaring

Tujuan khusus

9
1. Untuk mengetahui ekspresi latent membrane protein -1 virus Wpstein Barr ada
carcinoma nasofaring
2. Untuk mengetahui ekspresi p53 pada carcinoma nasofaring

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis ke berbagai pihak lain antara
lain :
1. Sebagai landasan bagi penelitian terkait cancer

10
Latihan 2

OBESITAS SEBAGAI FAKTOR RISIKO

KEJADIAN HIPERTENSI Dl RUMAH SAKIT

ROEMANI MUHAMMADIYAH SEMARANG

(PERIODE 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2006)

BAB I

PENDAHULUAN

3. Latar Belakang
Obesitas atau kegemukan adalah suatu keadaan dimana seseorang mempunyai
kelebihan berat badan sebanyak lebih dari 20 % dari berat badan idealnya. Obesitas
dapat terjadi apabila kalori yang masuk ke dalam tubuh melebihi kalori yang dibutuhkan
untuk aktivitas sehari-hari. Akibat kelebihan kalori dan kurangnya aktivitas fisik, terjadilah
penimbunan lemak di bagianbagian tertentu dalam tubuh. Penyebab lainnya adalah gaya
hidup dan pola makan masyarakat modem yang lebih banyak mengkonsumsi lemak (fast
food) (Candrawinata, 2003). Obesitas merupakan kelainan metabolik yang paling sering
diderita manusia, yang sampai sekarang masih merupakan persoalan baik dalam hal
menjelaskan patogenesisnya maupun dalam upaya mendapatkan pengobatan yang
berhasil. Di Indonesia, masyarakat luas menganggap obesitas sebagai pertanda
kemakmuran dan sedikit diantaranya yang menyadari bahwa obesitas mempunyai kaitan
dengan berbagai penyakit serius seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), penyakit
jantung koroner, diabetes melitus dan penyakit pernafasan (Sukaton, dkk., 2000). Batas
tekanan darah sama atau di atas 160/95mmHg dinyatakan sebagai hipertensi (Sidabutar
dan Wiguno, 2000).

Prevalensi kegemukan pada penduduk cukup tinggi. Pada penelitian di Kelurahan


Kayu Putih, Jakarta Timur (1993) didapatkan 39,1% responden laki-laki mempunyai status
obesitas dan 52,3% responden wanita berstatus obesitas. Angka ini menunjukan 10
peningkatan dari penelitian sebelumnya yaitu 4,2% kegemukan pada responden pria dan
17,1% kegemukan pada responden wanita (Sukaton, dkk≪, 2000).

Kegemukan dapat mengurangi kemolekan tubuh, kegemukan juga bisa


mengurangi kegesitan gerak badan dan kerap lebih mudah menimbulkan kelelahan.
(Candrawinata, 2003) Selain itu Obesitas menimbulkan beragam gangguan kesehatan
11
diantaranya orang dengan obesitas lebih berisiko untuk terjadinya hipertensi, penyakit
gula, terjadinya penyakit jantung dan bisa membuat umur seseorang cenderung menjadi
lebih pendek.(Anggoro, 2003). Berdasarkan penelitian Darmono (1996) melaporkan
bahwa 1,8-28,6% penduduk yang berusia di atas 20 tahun adalah penderita hipertensi.
Dan prevalensi hipertensi berkisar antara 8,6-10%. Dan sebanyak 20% diantaranya
menderita obesitas. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Rohmah dkk
(1997), yang meneliti pelajar sekolah menengah tingkat atas di Jakarta, dari 3612 pelajar
SMA di Jakarta dengan umur 15-21 tahun, didapatkan 3,3% menderita hipertensi dan
50% diantaranya berstatus gemuk (Chandrawinata, 2003). Melihat adanya perbedaan
angka di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang "Obesitas Sebagai
Faktor Risiko Terjadinya Hipertensi di Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang
Periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2006". Adapun tempat penelitian
dilakukan di Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah, Semarang dikarenakan data
mengenai penyakit tersebut lengkap.

4. Perumusan Masalah
Apakah obesitas sebagai faktor risiko kejadian Hipertensi di RS Roemani
Muhammadiyah Semarang?

5. Tujuan Penelitian
5.1. Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan antara obesitas sebagai faktor risiko dengan
kejadian hipertensi.

5.2. Tujuan khusus


3. Untuk mengetahui berapa pasien obesitas yang terjadi di RS Roemani
Muhammadiyah Semarang
4. Untuk mengetahui berapa pasien hipertensi yang terjadi di RS Roemani
Muhammadiyah Semarang
5. Untuk mengetahui berapa pasien hipertensi yang berasal dari obesitas yang
terjadi di RS Roemani Muhammadiyah Semarang
6. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis ke berbagai pihak
lain antara lain :

1. Mengetahui hubungan antara obesitas sebagai faktor risiko dengan kejadian


hipertensi
Mengetahui seberapa besar pengaruh obesitas sebagai faktor risiko kejadian
hipertensi.

12
Latihan 3

PENGARUH PEMBERIAN KLOROFILIN TERHADAP KADAR HEMOGLOBIN

Studi Eksperimental pada Tikus Galur Wistar yang Diberi Larutan Timbal Nitrat
Pb(NO3 )2 

BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Sebagian besar penyakit diawali oleh adanya reaksi oksidasi yang berlebihan
dalam tubuh. Reaksi oksidasi dapat terjadi setiap saat. Reaksi ini menimbulkan radikal
bebas yang sangat aktif, yang dapat merusak struktur serta fungsi sel (Winarsi, 2007).
Beberapa ahli biokimia menyebutkan bahwa radikal bebas merupakan salah satu
bentuk senyawa oksigen reaktif, yang secara umum diketahui sebagai senyawa yang
memiliki elektron yang tidak berpasangan (Winarsi, 2007). Radikal bebas bisa
terbentuk oleh berbagai macam faktor. Tanpa disadari, di dalam tubuh akan terbentuk
radikal bebas secara terus menerus, baik melalui proses metabolisme sel normal,
peradangan, kekurangan gizi, dan akibat respons terhadap pengaruh dari luar tubuh,
seperti polusi lingkungan, ultraviolet (UV), asap rokok dan lain sebagainya (Winarsi
2007).

Stres oksidatif (oxidative stress) merupakan ketidakseimbangan antara radikal


bebas (prooksidan) dan antioksidan yang dipicu oleh dua kondisi umum yaitu
kurangnya antioksidan dan kelebihan produksi radikal bebas. Target utama radikal
bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta unsur DNA
termasuk karbohidrat (Winarsi, 2007). Eritrosit salah satu sel yang kaya akan asam
lemak tak jenuh dan memiliki konsentrasi oksigen yang cukup tinggi sehingga sangat
mudah terkena perusakan peroksidasi akibat peracunan logam. Serangan radikal
bebas terhadap molekul sekelilingnya akan menyebabkan reaksi berantai, yang
kemudian menghasilkan senyawa radikal bebas baru (Sadikin,2001).

Aktivitas antioksidan enzimatis merupakan sistem pertahanan utama terhadap


kondisi stress oksidatif (Winarsi, 2007). Menurut Mousa (2002) pajanan timbal yang
terus menerus akan menurunkan aktivitas enzim antioksidan seperti Glutatione

13
peroxidase (GPx), Superoxide dismutase (SOD), catalase dan Total Antioxidant serum
(TAS).

Tubuh memerlukan suatu substansi penting yang dapat membantu melindungi


tubuh dari serangan radikal bebas dan meredam dampak negatifnya. Pemberian
antioksidan akan menurunkan kejadian penyakit degeneratif, aterosklerosis, dan
meningkatkan status imunologis (Winarsi, 2007). Antioksidan merupakan senyawa
yang mampu menghambat oksidasi molekul target sehingga dapat melawan atau
menetralisir radikal bebas (Tranggono, 2008). Berdasarkan sumbernya ada dua jenis
antioksidan yaitu antioksidan alami dan antioksidan sintesis. Berdasarkan interaksinya
terdapat antioksidan enzim, antioksidan pencegah dan antioksidan pemutus rantai
reaksi. Klorofilin merupakan antioksidan yang memiliki sifat antioksidan lebih tinggi
dari klorofil. Hal ini disebabkan karena logamnya tersubstitusi dengan Cu (tembaga)
(Ferruzzi, 2002). Klorofilin dengan inti Cu dapat berperan sebagai donor elektron bagi
radikal bebas (Blokhina, 2003). Dengan demikian radikal bebas tidak lagi mencari
pasangan elektron karena kondisi konfigurasi elektronnya telah stabil.

2. Perumusan Masalah
“Adakah pengaruh pemberian klorofilin terhadap kadar hemoglobin (Hb) pada tikus
galur wistar yang diinduksi larutan timbal nitrat?”

3. Tujuan Penelitian
3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui pengaruh klorofilin terhadap kadar hemoglobin pada tikus
putih jantan galur wistar yang diinduksi oleh larutan timbal nitrat.

3.2 Tujuan khusus


3.2.1 Melihat perbedaan kadar hemoglobin tikus yang mendapat perlakuan
– perlakuan berbeda :
3.2.1.1 Mengetahui kadar hemoglobin tikus putih jantan galur
wistar yang diberikan larutan timbal nitrat.
3.2.1.2 Mengetahui kadar hemoglobin tikus putih jantan galur
wistar yang diberi larutan timbal nitrat dan klorofilin.
3.2.1.3 Mengetahui kadar hemoglobin tikus putih jantan galur
wistar yang diberi cairan klorofilin.
3.2.2 Mengetahui perbedaan kadar hemoglobin antara kelompok tikus
jantan galur wistar yang diberi timbal nitrat, tikus jantan galur wistar
yang diberi timbal nitrat dan klorifilin, kemudian kelompok tikus jantan
galur wistar yang diberi klorofilin

4. Manfaat Penelitian
4.1. Manfaat pengembangan ilmu
14
Sebagai sumber informasi dan bahan pengembangan penelitian bagi peneliti
selanjutnya.

15
Latihan 4
OVALOSITOSIS HEREDITER : ANALISIS MOLEKULAR OVALOSITOSIS HEREDITER ASIA
TENGGARA (ASO) DI BANGKA, SUMATERA SELATAN

BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Ovalositosis Asia Tenggara (SAO) adalah penyakit herediter asimtomatik yang
ditandai oleh terdapatnya lebih dari dua puluh persen eritrosit berbentuk oval di dalam
tubuh penderita (Lee G.R, et al., 1999). Pada pemeriksaan darah tepi penderita ovalosit
herediter, persentase ovalosit bisa mencapai 90 %. Frekuensi penderita ovalositosis
herediter lebih tinggi di daerah endemis malaria oleh karena survival penderita tersebut
untuk tinggal di daerah endemis malaria lebih tinggi daripada orang dengan eritrosit
normal. Di daerah endemis malaria frekuensi penderita ovalosit herediter mencapai 30
% (Nagel, 2002)

SAO diturunkan menurut pola autosomal dominan. Bentuk klinis terdapat


pada penderita heterozigot, sedangkan keadaan homozigot adalah letal. Ovalosit sangat
kaku (rigid) dibandingkan eritrosit normal, tidak fleksibel saat melewati kapiler yang lebih
kecil dari diameter eritrosit sehingga mudah ruptur. Di pihak lain, ovalosit resisten
terhadap beberapa galur parasit malaria. Gejala klinis anemia hemolitik sangat minimal
bahkan sebagian besar penderita asimtomatik. Keadaan asimtomatik ini terjadi oleh
karena mekanisme kompensasi dengan bukti tingginya retikulosit pada sebagian besar
penderita SAO. Riwayat hiperbilirubinemia berat waktu neonatus juga sering terjadi pada
penderita SAO (Laosombat V, et.al., 1999). Keadaan homozigot adalah letal dengan
didapatkan fakta seringnya abortus pada pasangan penderita SAO

SAO sangat menarik oleh karena khusus terdapat di daerah Asia Tenggara
(Malaysia, Thailand, Filipina, Indonesia) dan Melanesia. Secara molekuler penyebab SAO
juga khusus dan tidak terdapat pada bentuk ovalositosis/eliptositosis herediter lain.
Penyebab SAO adalah delesi pada gena band 3. Protein band 3 adalah salah satu protein
sitoskeleton pembentuk jaring rangka membran eritrosit. Selain sebagai protein
struktural protein band 3 mempunyai banyak fungsi lain (multifungsi). Protein band 3
berpenran pada pertukaran anion melalui membran eritrosit, dan oleh karena fungsinya
ini protein band 3 juga disebut protein anion exchanger 1 (AE1). Proses ini
memungkinkan eritrosit membawa karbondioksida (CO2). Diduga AE1 juga mempunyai
fungsi khusus di ginjal, oleh karena mutasi SAO juga berperan pada asidosis tubuloar

16
renal distal (Bruce LJ, et.al., 1997).Band 3 juga merupakan protein penanda golongan
darah non ABO, yaitu antigen golongan darah Wra dan Dia (Anstee DJ, et.al., 1995)

SAO disebabkan oleh delesi gena protein band 3 (EPB3). Gena ini terdapat pada
lengan panjang kromosom 17 terdiri dari 20 ekson yang tersebar sepanjang sekitar 18-20
kb. Delesi sebesar 27 bp terletak pada ekson 11, sehingga 9 asam amino hilang pada
posisi 400-408 dari protein band 3 normal (Jarolim P,et. al., 1991) Posisi 400-408 adalah
bagian transmembran pertama protein band 3. Delesi 9 asam amino pada posisi 400-408
akan meningkatkan rigiditas membran dan mengakibatkan deformitas membran (Liu
SC,et.al., 1990)

Penelitian ovalosit herediter di Indonesia masih sangat sedikit. Pengenalan


kasus ovalositosis secara klinis juga sangat jarang terlihat. Dengan besarnya daerah
endemis malaria di Indonesia kemungkinan kejadian SAO di Indonesia adalah sangat
tinggi. Dalam keadaan heterozigot secara klinis asimtomatis tetapi dengan tingginya
frekuensi heterozigot kemungkinan besar sangat berpengaruh terutama angka
mortalitas dan reproduksi di daerah endemis malaria

2. Tujuan penelitian
a. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan SAO dengan delesi gena EPB3 dan keberlangsungan pola
penurunan SAO di Bangka Sumatera Selatan

b. Tujuan khusus
Menyelidiki hubungan dengan diteliti pada satu keluarga yang meliputi 3 generasi.

3. Manfaaat Penelitian
Dapat mengetahui keberlangsungan pola penurunan SAO di Sumatera Selatan

17
Latihan 5

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang sering d" umpai di bagian THTKL dan
menempati frekuensi tertinggi dari seluruh keganasan di daerah kepala dan leher. Di
Indonesia karsinoma nasofaring menduduki urutan keempat dari seluruh keganasan setelah
kanker mulut rahim, payudara, dan kulit.1
Penyebab malnutrisi dan cachexia pada penderita kanker sangat kompleks dan multifaktor.
Secara umum dapat digolongkan menjadi penyebab primer dan penyebab sekunder.
Serotonin dan bombesin yang disekresikan oleh sel tumor bisa menekan selera makan
sehingga terjadi anoreksia. Teori lain sebagai penyebab cachexia pada penderita kanker
adalah tumor nekrosis faktor atau TNF, tetapi masih merupakan suatu kajian.2,3 Faktor
psikologis, depresi maupun kecemasan merupakanpenyebab primer tidak langsung.
Penyebab sekunder adalah efek samping terapi baik kemoterapi, radioterapi maupun
pembedahan. Terapi radiasi pada pasien karsinoma nasofaring menyebabkan stomatitis,
mukositis, nyeri, penurunan sekresi kelenjar ludah, menekan sensasi rasa dan kerusakan gigi.
Hal ini mengakibatkan berkurangnya asupan nutrisi secara oral dan menyebabkan penurunan
daya tahan tubuh, mudah terkena infeksi dan penurunan berat badan. Masalah sosial
ekonomi, kurangnya perawatan diri, dan terbatasnya sumber daya juga ikut berpengaruh.

Masalah penelitian:
Apakah terdapat perubahan status gizi pada pasien karsinoma nasofaring yang menjalani
radioterapi dengan Cobalt- 60.

Tujuan penelitian:
Tujuan umum:
Mengetahui perubahan status gizi pada pasien karsinoma nasofaring yang menjalani
radioterapi dengan Cobalt- 60.

Tujuan khusus:
- Mengetahui status gizi pasien karsinoma nasofaring sebelum menjalani radioterapi
dengan Cobalt-60
- Mengetahui status gizi pasien karsinoma nasofaring setelah menjalani radioterapi
dengan Cobalt-60
- Mengetahui perbedaan status gizi pasien karsinoma nasofaring sebelum dan
sesudah menjalani radioterapi dengan Cobalt-60

Manfat Penelitian:

18
- Memberikan informasi mengenai pengaruh radioterapi dengan Cobalt-60 terhadap
status gizi
- Memjadi landasan bagi penelitian selanjutnya

19
Latihan 6

MAKARA, KESEHATAN, VOL. 8, NO. 2, DESEMBER 2004: 53-58

POTENSI PENYEBARAN HIV DARI PENGGUNA NAPZA SUNTIK


KE MASYARAKAT UMUM

Besral, Budi Utomo, Andri Prima Zani

Departemen Biostatistika dan Kependudukan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas


Indonesia,
Depok 16424, Indonesia
E-mail: besral@ui.edu

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besaran potensi penularan HIV dari pengguna
NAPZA suntik ke masyarakat umum. Penelitian ini menggunakan data sekunder hasil Survei
Surveilans Perilaku di Jakarta tahun 2000 yang dilaksanakan Pusat Penelitian Kesehatan
Universitas Indonesia. Metode yang digunakan untuk perhitungan potensi penularan
didasarkan pada konsep probabilitas. Penularan HIV dari penggunan NAPZA suntuk ke
masyarakat umum dapat terjadi jika pengguna NAPZA suntik melakukan hubungan seksual
tanpa menggunakan kondom. Pada hasil penelitian didapatkan bahwa potensi penyebaran HIV
dari pengguna NAPZA suntik ke masyarakat umum sangat besar. Dari 27,300 pengguna
NAPZA suntik di DKI (tahun 2000) akan ada 1.062—3.368 kasus baru HIV per tahun, atau
akan ada 389 – 1.245 kasus baru HIV per tahun per 10.000 pengguna NAPZA suntik.Untuk
meminimalkan potensi penyebaran HIV dari pengguna NAPZA suntik ke masyarakat umum
perlu dilaksanakan beberapa strategi antara lain:
penggunaan alat suntik yang steril, detoksifikasi dan mencari pengganti suntikan, komunikasi
informasi dan edukasi mengenai dampak buruk NAPZA dan HIV/AIDS, mengurangi
peredaran NAPZA, kampanye kondom dengan cara meningkatkan akses pengguna NAPZA
terhadap kondom, dan peningkatan peran aktif masyarakat dalam pemberantasan NAPZA serta
menerima bekas pengguna NAPZA yang telah sembuh tanpa diskriminasi.

1. Pendahuluan

Penambahan kasus baru penderita Human Immuno deficiency Virus (HIV) yang disumbangkan
oleh pengguna Narkotika dan Penggunaan Zat Additive (NAPZA) suntik cukup besar.
Departemen Kesehatan (Depkes) melaporkan bahwa humbangan pengguna NAPZA suntik
terhadap semua kasus HIV di Indonesia sebesar 19,9% -- 22,1% sampai tahun 2001 dan 2003
1.Salah satu penyebabnya adalah angka prevalensi HIV pada kalangan pengguna NAPZA
suntik yang meningkat tajam, sampai tahun 2002 angka tersebut bervariasi antara 10% - 80%.
Di Australia dan Amerika, angkanya berkisar 10 – 25%, sedangkan di Eropa berkisar 40 –
85%, di Asia antara 10 – 80%, dan di Indonesia berkisar 40 – 80% pada tahun 2001 2. Rumah
Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) tahun

20
2001 melaporkan 40% - 60% pasien pengguna NAPZA suntik telah terinfeksi HIV 3. Begitu
juga laporan lembaga – lembaga yang melakukan tes HIV pada pengguna NAPZA suntik pada
tahun 2001, lebih dari 50% telah terinfeksi HIV. Meningkat tajamnya prevalensi HIV pada
pengguna NAPZA suntik disebabkan oleh penggunaan jarum dan alat suntik yang tidak steril
ditambah dengan praktek penyuntikan berkelompok. Penelitian di beberapa negara
mendapatkan perilaku kelompok ini sangat rentan tertular HIV dan penyakit lain melalui
penggunaan jarum suntik secara bergantian tanpa melakukan sterilisasi yang memadai 5.
Survei pengguna NAPZA suntik di DKI Jakarta tahun 2000 memperlihatkan bahwa lebih dari
50% penyuntikan dilakukan secara berkelompok sebanyak 2 – 10 pengguna. Sebagian besar
menggunakan jarum suntik dan semprit secara bergantian. Sterilisasi alat dan jarum suntik
tidak dilakukan dengan baik, sebagian besar melaporkan hanya menggunakan air dingin untuk
membersihkan alat dan jarum suntik bekas pakai Perilaku seks pada pengguna NAPZA suntik
dicurigai menjadi penyebab menyebarnya HIV dari pengguna NAPZA suntik ke masyarakat
umum. Felton dari Rusia melaporkan pengguna NAPZA suntik yang sering berbagi jarum
suntik juga melakukan hubungan seks tidak terlindungi dan mempunyai banyak pasangan seks
di Irlandia melaporkan lebih dari 50% pengguna NAPZA suntik tidak pernah menggunakan
kondom dalam berhubungan seks dengan pasangan tetapnya dan 32,6% tidak pernah
menggunakan kondom ketika berhubungan seks dengan pasangan tidak tetapnya dan sebagian
besar pasangan tersebut bukan pengguna NAPZA suntik.Begitu juga Pusat Penelitian
Kesehatan UI, pada survei yang dilakukan di DKI Jakarta, Bandung dan Surabaya tahun 2000
menemukan sebagian besar pengguna NAPZA suntik pernah berhubungan seks dengan lebih
dari satu pasangan, termasuk dengan penjaja seks komersil. Proporsi berhubungan seks dengan
penjaja seks komersil bervariasi tiap daerah, antara 20% – 80%. Penggunaan kondom dalam
berhubungan seks sangatlah rendah, hanya 5 – 25% responden saja yang selalu menggunakan
kondom Perilaku seks yang tidak menggunakan kondom akan berpotensi untuk menyebarkan
HIV dari pengguna NAPZA suntik ke masyarakat umum. Tujuan studi ini adalah untuk
mengetahui seberapa besar potensi penyebaran HIV dari pengguna NAPZA suntik ke
masyarakat umum di DKI Jakarta.

21

Anda mungkin juga menyukai