Anda di halaman 1dari 13

RANCANGAN

FITOFARMAKA
Disusun Oleh :
Imelda Ayu Sagita
Semester 5B
Standardisasi farmasitikal obat tradisional merupakan hal yang perlu
diperhatikan dalam rangka pengembangan obat tradisional Indonesia menjadi
obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Persyaratan mutu ekstrak/simplisia
terdiri atas berbagai parameter standar umum dan parameter spesifik.
Standardisasi menjamin bahwa produk akhir obat tradisional mempunyai nilai
parameter yang konstan dan ditetapkan terlebih dahulu. Standardisasi
farmasitikal terdiri dari standardisasi simplisia, standardisasi metode pembuatan
sediaan termasuk pelarut yang digunakan, dan standardisasi sediaan jadi.
Persyaratan mutu simplisia sejumlah tanaman tertera dalam buku Farmakope
Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia, dan Materia Medika Indonesia.
Standardisasi farmasitikal juga dilanjutkan dengan tahapan pengujian
keamanan, pengujian khasiat preklinik (in vitro dan in vivo) serta pengujian
klinik ke manusia menuju obat fitofarmaka yang dapat dipakai dipelayanan
kesehatan.
Parameter standar spesifik yang harus pertama dijelaskan dan
diinventarisasi adalah identitas asal simplisia dan uji organoleptik. Identitas
simplisia meliputi nama latin yang divalidasi dengan hasil determinasi
tumbuhan atau simplisia dari institusi terakreditasi dan asal daerah simplisia
berasal. Uji organoleptik terdiri dari bau simplisia dengan indra penciuman, rasa
simplisia dengan indra pengecapan, serta warna dan bentuk simplisia dengan
indra penglihatan,

Parameter standar non-spesifik atau parameter standar umum yaitu hasil uji
laboratorik terdiri dari uji simplisia secara makroskopik dan mikroskopik.
Pemeriksaan diantaranya, melakukan pemeriksaan irisan atau serbuk yang
berguna untuk menganalisis penyusun/komposisi fragmen, karakteristik,
mendapatkan informasi kebenaran simplisia, adanya pengotoran fragmen, dan
kemungkinan penggantian/ pemalsuan obat.
TAHAPAN PENGEMBANGAN OBAT
HERBAL

STANDARISASI
SELEKSI UJI PRAKLINIK KLINIK UJI
SEDERHANA

UJI UJI
TOKSISITAS FARMAKODINAMIK
SELEKSI
Sebelum penelitian, dilakukan pemilihan jenis obat tradisional yang akan
dikembangkan. Kriteria yang menjadi prioritas adalah :
● Diharapkan yang berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas
dalam angka kejadiannya → berdasarkan pola penyakit.
● Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu.
● Meruapakan alternatef yang lebih jarang untuk penyakit tertentu, seperti
AIDS dan kanker.
UJI PREKLINIK
• Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba untuk
melihat toksisitas dan efek farmakodimiknya.
• Bentuk sediaan dan cara pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan
rencana pemberian pada manusia.
• Menurut pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional WHO
menganjurkan pada dua spesies.
• Uji farmakodinamik pada hewan coba digunakan untuk memprediksi efek
pada manusia, sedangkan uji toksisitas dimaksudkan untuk melihat
keamanannya.
NEXT UJI PREKLINIK

Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji
toksisitas khusus.
• Uji toksisitas akut merusak untuk menentukan LD, yaitu dosis mematikan
50% hewan coba, menilai berbagai gejala toksik, spectrum efek toksik pada
organ, dan cara kematian.
• Uji toksisitas subkronikobat diberikan selama 1 atau 3 bulan.
• Uji toksisitas kronik obat diberikan selama 6 bulan atau lebih.
NEXT UJI PREKLINIK
● Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat
tradisional agar masuk ke tahap uji klinik. Uji toksisitas khusus dilakukan
secara selektif bila :
- Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensi menimbulkan efek
khusus sepeti kanker, cacat bawaan.
- Obat potensi digunakan oleh perempuan usia subur.
- Obat tradisional secara epidemiologic diduga terkait dengan penyakit
tertentu misalnya kanker.
NEXT UJI PREKLINIK
B. Uji farmakodinamik
● Penelitian farmakodinamik obat tradisionanl bertujuan untuk meneliti efek
farmakodinamik dan menelusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek
dari obat tradisional tersebut.
● Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba. Cara
pemberian obat tradsisional yang diuji dan bentuk sediaan disesuaikan dengan
cara pemberiannya pada manusia.
● Hasil positif secara in vitro dan in vivo pada hewan coba hanya dapat dipakai
untuk perkiraan kemungkinan efek pada manusia.
STANDARISASI SEDERHANA

Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia, membuang identitas, dan


menentukan bentuk sediaan yang sesuai. Bentuk sediaan yang akan
berbeda mempengaruhi efeknya.
UJI KLINIK
● Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional atau obat
herbal harus dibuktikan khasiat dan keamanannya melalui uji klinik.
● Uji klink pada manusia hanya dapat dilakukan apabila obat
tradsisional atau obat herbal tersebut terbukti aman dan berkhasiat
pada uji preklinik.
TAHAPAN UJI KLINIK PADA
MANUSIA
1. Uji Klinis Tahap I → Keamanan obat.
2. Uji Klinis Tahap II → Efek farmakologinya dan penetapan dosis optimal (pasien yang
diseleksi).
3. Uji Klinis Tahap III → Ujji terhadap pasien yang tidak diseleksi dan siap dipasarkan.
4. Uji Klinis Tahap IV → Survey epidemiologic, efektivitas, keamanan ( efek samping)
obat.

● Untuk obat tradsisional yang sudah lama beredar luas dan tidak menunjukan efek
samping yang merugikan, setelah uji preklinik dapat dilakukan uji kinik dengan
pembanding.
● Untuk obat yang belum beredar luas harus melalui uji klinik pendahuluan (fase I dan
fase II) guna mengetahui toler abilitas pasien terhadap obat tradsisional tersebut.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai