0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
11 tayangan38 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang fitofarmaka, yaitu sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah melalui uji praklinik dan klinik. Fitofarmaka harus memenuhi kriteria keamanan, klaim khasiat didukung uji klinik, dan telah distandarisasi. Juga dibahas tahap pengembangan dan pengujian fitofarmaka serta standar bahan baku dan bentuk sediaannya.
Dokumen tersebut membahas tentang fitofarmaka, yaitu sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah melalui uji praklinik dan klinik. Fitofarmaka harus memenuhi kriteria keamanan, klaim khasiat didukung uji klinik, dan telah distandarisasi. Juga dibahas tahap pengembangan dan pengujian fitofarmaka serta standar bahan baku dan bentuk sediaannya.
Dokumen tersebut membahas tentang fitofarmaka, yaitu sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah melalui uji praklinik dan klinik. Fitofarmaka harus memenuhi kriteria keamanan, klaim khasiat didukung uji klinik, dan telah distandarisasi. Juga dibahas tahap pengembangan dan pengujian fitofarmaka serta standar bahan baku dan bentuk sediaannya.
FITOFARMAKA • Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di standarisasi. • Untuk kelompok Fitofarmaka, klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik dan jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian medium dan tinggi. FITOFARMAKA Fitofarmaka harus memenuhi kriteria : a. Aman dan sesuai dg persyaratan yg ditetapkan b.Klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik c. Telah dilakukan standarisasi bahan baku maupun produk jadinya d.Memenuhi persyaratan mutu yg berlaku FITOFARMAKA TAHAP PENGEMBANGAN DAN PENGUJIAN FITOFARMAKA 1. Tahap Seleksi 2. Tahap biological screening 3. Tahap penelitian farmakodinamika 4. Tahap pengujian toksisitas lanjut ( multiple doses ) 5. Tahap pengembangan sediaan ( formulasi ) 6. Tahap uji klinik pada manusia Standar Bahan Baku Dan Bentuk Sediaan Fitofarmaka • Bahan baku Fitofarmaka dapat berupa simplisia atau sediaan galenik yang harus memenuhi persyaratan yang tertera dalam Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia atau Materia Medika Indonesia. • Bila pada ketiga buku persyaratan tersebut tidak tertera paparannya, boleh menggunakan ketentuan dalam buku persyaratan mutu negara lain atau pedoman lain. • Penggunaan ketentuan atau persyaratan lain di luar Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indone sia dan Materia Medika Indonesia harus mendapat persetujuan pada waktu pendaftaran Fitofarmaka. Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik
• Dalam rangka pengembangan obat tradisional
(Red: Obat Bahan Alam Indonesia) ke arah Fitofarmaka tersebut perlu adanya suatu pedoman. • Hal ini diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 761/ MENKES/SK/IX/1992 tentang Pedoman Fitofarmaka dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 56/MENKES/SK/I/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat Tradisional. • Dasar pemikirannya adalah bahwa obat tradisional baik dalam bentuk simplisia tunggal maupun ramuan sebagian besar penggunaan dan kegunaannya masih berdasarkan pengalaman. • Data yang meliputi kegunaan, dosis dan efek samping sebagian besar belum didasarkan pada landasan ilmiah, karena penggunaan obat tradisional baru didasarkan kepada kepercayaan terhadap informasi berdasarkan pengalaman. TATA LAKSANA PENGEMBANGAN PEMANFAATAN OBAT TRADISIONAL • dilakukan melalui beberapa langkah. • Setelah dilakukan observasi dan penilaian pemakaian obat tradisional di masyarakat dan ternyata obat tradisional tersebut berkhasiat secara empirik dan tidak memperlihatkan efek samping maka dilakukan: Langkah I • Uji praklinik yang menentukan keamanan melalui uji toksisitas dan menentukan khasiat melalui uji farmakologi • Langkah II : Standardisasi secara sederhana;
Langkah III : Teknologi farmasi yang
menentukan identitas secara seksama sampai dapat dibuat produk yang terstandardisasi; • Langkah IV : Uji klinik pada orang sakit dan atau orang sehat. UJI KLINIK Melakukan uji klinik secara sembarangan berarti • membuang biaya besar • memboroskan waktu • membahayakan subyek manusia dalam uji klinik • hasilnya menyesatkan dokter-dokter lain yang mempercayai hasil uji tsb, sehingga membahayakan banyak orang. Prinsip Dasar Uji Klinik 1. bersifat prospektif-experimental, obat/stimulus yang diterima penderita sengaja direncanakan dan ditentukan sendiri oleh peneliti • persiapan yang cermat harus dilakukan, dituangkan dalam bentuk protokol yang lengkap.
• protokol uji klinik itu perlu diuji dan disempurnakan melalui
penelitian pendahuluan (pilot study). Dalam penelitian pendahuluan dapat ditentukan
1. ketepatan pemilihan penderita,
2. kelancaran wawancara, ketepatan pengukuran respons penderita dan kerja sama antar peneliti. 3. dari penelitian pendahuluan dapat diramalkan jumlah penderita yang dapat diikutkan dalam penelitian 2. BER TUJUAN MENYEMBUHKAN PENDERITA
• Dalam sejarah perkembangan ilmu pengobatan
tercatatbahwa experimentasi pada manusia tidak selalu bertujuan untuk penyembuhan. • Pada zaman Romawi kuno penguasa dan dokter mencobakan zat racun dan sekaligus meneliti khasiat antidot pada narapidana atau tawanan perang. • Dalam era Kedokteran Modern, kengerian akan experimentasi yang dilakukan oleh Nazi terhadap orang Yahudi telah mendorong lahirnya Kode Nuremberg, yang kemudian disempurnakan menjadi Deklarasi Helsinki DEKLARASI HELSINKI • experimentasi klinis harus memenuhi prinsip-prinsip moral dan ilmu pengetahuan. • hanya boleh dikerjakan atau diawasi oleh orang-orang yang mempunyai keahlian. • manfaat yang hendak diperoleh penderita harus jauh melebihi risiko yang terkandung. • penderita harus diberitahu tentang seluk beluk penelitian yang hendak dijalani, dan ia harus bebas untuk menolak atau menerima keikutsertaannya dalam penelitian itu. • setiap saat penderita boleh menarik diri • peneliti harus segera menghentikan penelitian bila timbul gejala -gejala yang mengancam kesehatan dan jiwa penderita. 3. HARUS ADA PEMBANDING
• respons penderita terhadap pengobatan bukan saja
berasal dari obat yang hendak diberikan, tetapi dapat pula berasal dari tindakan lain yang diberikan bersama obat. • Sebagai pembanding terhadap obat yang diteliti biasanya kelompok kelola menerima obat lain (obat standard) atau placebo. Kegunaan placebo dalam uji klinik terutama adalah untuk memisahkan "placebo effect" dari efek obat yang sesungguhnya • Dengan adanya kelompok pembanding dalam uji klinikdapat diketahui pengobatan mana yang lebih efektif dan lebih aman sehingga kemajuan dalam pengobatan yang rasional dapat terjamin perkembangannya. 4. HARUS BEBAS DARI BIAS • Bias adalah tiap proses pada setiap tahap penentuan sikap dan pendapat yang cenderung memberikan hasil dan kesimpulan yang secara sistematik berbeda dari yang sebenarnya.
• Bila dalam suatu uji klinik disimpulkan bahwa satu obat lebih baik dari yang lainnya, maka hal ini mungkin timbul karena,
a)kelompok experimental dan kelola tidak mempunyai data dasar
yang sama (tidak seimbang) b)obat yang diselidiki lebih superior dari obat standar atau placebo, c)adanya perbedaan yang kecil dari efek obat yang berubah menjadi nyata karena efek obat yang satu diperkuat oleh faktor- faktor dalam kelompok yang menguntungkan.
• Faktor a dan c ini adalah merupakan bias yang hanya dapat
disingkirkan dengan alokasi teracak. Fase-fase Uji klinik • Suatu uji klinik sebenarnya bertujuan meng- kuantifikasikan tingkat manfaat dan risiko suatu obat baru. • Setiap zat yang aktif untuk terapi pasti mengandung sejumlah risiko akibat aktivitasnya dalam mempengaruhi fungsi-fungsi tubuh. • Dalam percobaan pre-klinik belum dipakai subyek manusia.Pengaruh-pengaruh suatu obat-baru diselidiki pada hewan percobaan. Begitu obat mulai dicoba pada manusia, dimulailah suatu uji klinik, uji klinik fase I. • Pada hewan, dalam penelitian pra-klinik, telah diteliti sifat-sifat farmakologik suatu obat baru. Namun sulitnya tidak semua sifat farmakologik yang terlihat pada hewan juga terlihat pada manusia. Misalnya Litchfield (1962) menunjukkan bahwa dari 89 pengaruh obat yang berbeda-beda, hanya 33 terlihat pada manusia. • Jadi tujuan penelitian fase ini ialah meneliti sifat-sifat farmakologik obat tsb. sehingga tercapai efek terapetik maksimum. Fase I • calon obat diuji pada sukarelawan sehat untuk mengetahui apakah sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat pada manusia. • Tujuan penelitian fase ini ialah meneliti sifat-sifat farmakologik obat tsb. sehingga tercapai efek terapetik maksimum. Biasanya dilakukan terhadap 50-150 sukarelawan yang sehat. • Karena selalu ada bahaya pada percobaan pertama, sebaiknya percobaan dilakukan di rumah sakit, yang siap menanggulangi bahaya efek samping yang mungkin timbul. • Sukarelawan biasanyadiambil dari karyawan industri farmasi yang ingin mengembangkan obat itu (biasanya dengan imbalan uang). Sulitnya sumber subyek ini biasanya terbatas jumlahnya. • Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) menetapkan sembilan tanaman obat unggulan yang telah diteliti atau diuji secara klinis. • Sembilan tanaman obat unggulan tersebut yaitu sambiloto (Andrographis paniculata Ness), jambu biji (Psidium guajava L), jati belanda (Guazuma ulmifolia Lmk var. tomentosa K. Schum), cabe jawa (Piper retrofractum Vahl.), temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.), jahe merah (Zingiberis officinale Rosc. Var Rubrum), kunyit (Curcuma domestica Val.), mengkudu (Morinda citrifolia L.) dan salam (Eugenia polyantha Wight/ Syzygium polyanthu). • Uji klinis sembilan tanaman obat unggulan itu ditujukan untuk mengetahui fungsi sambiloto sebagai anti-neoplasma, jambu biji sebagai anti-demam berdarah, jati belanda sebagai penurun hiperlipidemia, cabe jawa sebagai androgenik, temulawak sebagai penurun hiperlipidemia, jahe merah sebagai anti- neoplasma, kunyit sebagai penurun hiperlipidemia, mengkudu sebagai penurun kadar gula darah dan salam sebagai penurun kadar gula darah. Secara tradisional sembilan tanaman itu sudah sering digunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Misalnya sambiloto untuk demam, kencing manis, radang. jambu biji untuk disentri, kecacingan. Fase II • calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efikasi pada penyakit yang diobati. Yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang potensial dengan efek samping rendah atau tidak toksik. • untuk menentukan dosis terapi si obat. Tujuan utama dari percobaan-percobaan di sini ialah meneliti apakah suatu obat baru berguna untuk satu (atau lebih) indikasi klinik. Dilakukan terhadap 100-200 pasien. • Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan obat. • Fase ini dimulai ketika orang sakit (pasien) pertama kali digunakan sebagai subyek dan bukan sukarelawan sehat. • Penelitian-penelitian awal mungkin bersifat tanpa - kontrol (uncontrolled). Dulu penelitian begini sering dikecam, namun sebenarnya bila dilakukan dengan benar, banyak informasi berharga yang dapat diperoleh. Penelitian di sini harus cukup memadai agar perkiraan perbandingan keuntungan : kerugian dapat diketahui seawal mungkin. • Dapat diperoleh pula informasi tentang efek samping serta perkiraan manfaat klinik dalam hubungannya dengan konsentrasi obat dalam cairan tubuh dan jaringan-jaringan (farmakokinetik). • Eliminasi obat dari tubuh (yang juga dilakukan pada penelitian fase I) harus dicheck juga pada pasien karena pada orang sakit mungkin eliminasi obat berbeda akibat perubahan fungsi tubuh (farmakodinamika) • Penelitian awal ini biasanya cukup aman karena dimulai dengan obat yang meskipun baru, tapi dengan dosis yang kecil dan dosis tunggal, pada beberapa orang pasien yang dimonitor dengan ketat. • Penambahan dosis, penambahan frekuensi pemberian, dan penambahan populasi pasien hanya dilakukan bila penelitian awal ini memberi hasil yang baik. Fase III • untuk memastikan efek terapi, efek samping dan keamanan. Yang dipakai sebagai pembanding adalah obat standar dan placebo. • Keputusan untuk memasuki fase 3 diambil bila para peneliti yakin bahwa rasio manfaat : risiko obat itu dapat diterima. Pasien yang dilibatkan biasanya 50-5000 orang. Uji ini mutlak perlu untuk registrasi obat baru ke FDA. • Selama uji klinik banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat digunakan. Akhirnya obat baru hanya lolos 1 dari lebih kurang 10.000 senyawa yang disintesis karena risikonya lebih besar dari manfaatnya atau kemanfaatannya lebih kecil dari obat yang sudah ada. • Keputusan untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan pengatur nasional, di Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, di Amerika Serikat oleh FDA (Food and Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada, di Inggris oleh MHRA (Medicine and Healthcare Product Regulatory Agency), di negara Eropah lain oleh EMEA ( European Agency for the Evaluation of Medicinal Product) dan di Australia oleh TGA (Therapeutics Good Administration). • Untuk dapat dinilai oleh badan tersebut, industri pengusul harus menyerahkan data dokumen uji praklinik dan klinik yang sesuai dengan indikasi yang diajukan, efikasi dan keamanannya harus sudah ditentukan dari bentuk produknya (tablet, kapsul dll.) yang telah memenuhi persyaratan produk melalui kontrol kualitas. • Pengembangan obat tidak terbatas pada pembuatan produk dengan zat baru, tetapi dapat juga dengan memodifikasi bentuk sediaan obat yang sudah ada atau meneliti indikasi baru sebagai tambahan dari indikasi yang sudah ada. Baik bentuk sediaan baru maupun tambahan indikasi atau perubahan dosis dalam sediaan harus didaftarkan ke Badan POM dan dinilai oleh Komisi Nasional Penilai Obat Jadi. • Pengembangan ilmu teknologi farmasi dan biofarmasi melahirkan new drug delivery system terutama bentuk sediaan seperti tablet lepas lambat, tablet salut enterik, dll. • Kemajuan dalam teknik rekombinasi DNA, kultur sel dan kultur jaringan telah memicu kemajuan dalam produksi bahan baku obat seperti produksi insulin dll. • Setelah calon obat dapat dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama dengan obat yang sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi si pemakai maka obat baru diizinkan untuk diproduksi oleh industri sebagai legal drug dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu serta dapat diresepkan oleh dokter. • Pada akhir fase III • harus telah ada bukti-bukti tentang indikasi- indikasi dan dosis obat, juga tentang keamanannya untuk penggunaan jangka panjang bila ada indikasi untuk itu. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan : Apakah obat berakumulasi dalam tubuh? Apakah toksisitas meningkat dengan penggunaan jangka panjang? insidensi dan tingkat beratnya efek samping harus dimonitor dengan cermat. kekurangan dalam fase II dan III
• *Jumlah pasien terbatas
• *Lama pemberian obat terbatas • *Populasi pasien terbatas Fase IV • setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran (post marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai usia dan ras, studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat. • uji klinik setelah obat dipasarkan, jika diminta oleh badan yang berwenang. • Dapat dikatakan bahwa fase 4 mencakup semua penelitian yang dilakukan setelah obat baru mendapat izin untuk pemasarannya. • Oleh sebab itu penelitian fase 4 harus di-disain untuk mengungkapkan: Efek samping akibat penggunaan kronik; Manfaat obat dalam penggunaan jangka panjang; Data-data komparatif lainnya dalam penggunaan jangka panjang; Non-responder; Penggunaan-penggunaan baru dan indikasi baru; Penilaian kemungkinan penyalahgunaan obat; Penilaian kemungkinan penggunaan obat secara berlebihan; Interaksi obat dan kompatibilitasnya dengan zat-zat lain. • Setelah hasil studi fase IV dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika membahayakan sebagai contoh cerivastatin suatu obat antihiperkolesterolemia yang dapat merusak ginjal. • Entero-vioform (kliokuinol) suatu obat antidisentri amuba yang pada orang Jepang menyebabkan kelumpuhan pada otot mata (SMON disease). • fenil propanol amin yang sering terdapat pada obat flu harus diturunkan dosisnya dari 25 mg menjadi tidak lebih dari 15 mg karena dapat meningkatkan tekanan darah dan kontraksi jantung yang membahayakan pada pasien yang sebelumnya sudah mengidap penyakit jantung atau tekanan darah tinggi . • talidomid dinyatakan tidak aman untuk wanita hamil karena dapat menyebabkan kecacatan pada janin, troglitazon suatu obat antidiabetes di Amerika Serikat ditarik karena merusak hati .