Anda di halaman 1dari 38

FITOFARMAKA

Nur Ermawati, S.Far, Apt.


FITOFARMAKA
• Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam
yang telah dibuktikan keamanan dan
khasiatnya secara ilmiah dengan uji
praklinik dan uji klinik, bahan baku dan
produk jadinya telah di standarisasi.
• Untuk kelompok Fitofarmaka, klaim khasiat
harus dibuktikan berdasarkan uji klinik dan
jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat
pembuktian medium dan tinggi.
FITOFARMAKA
Fitofarmaka harus memenuhi kriteria :
a. Aman dan sesuai dg persyaratan yg ditetapkan
b.Klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji
klinik
c. Telah dilakukan standarisasi bahan baku
maupun produk jadinya
d.Memenuhi persyaratan mutu yg berlaku
FITOFARMAKA
TAHAP PENGEMBANGAN DAN PENGUJIAN
FITOFARMAKA
1. Tahap Seleksi
2. Tahap biological screening
3. Tahap penelitian farmakodinamika
4. Tahap pengujian toksisitas lanjut ( multiple
doses )
5. Tahap pengembangan sediaan ( formulasi )
6. Tahap uji klinik pada manusia
Standar Bahan Baku Dan Bentuk
Sediaan Fitofarmaka
• Bahan baku Fitofarmaka dapat berupa simplisia atau
sediaan galenik yang harus memenuhi persyaratan yang
tertera dalam Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope
Indonesia atau Materia Medika Indonesia.
• Bila pada ketiga buku persyaratan tersebut tidak tertera
paparannya, boleh menggunakan ketentuan dalam buku
persyaratan mutu negara lain atau pedoman lain.
• Penggunaan ketentuan atau persyaratan lain di luar
Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indone sia dan
Materia Medika Indonesia harus mendapat persetujuan
pada waktu pendaftaran Fitofarmaka.
Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik

• Dalam rangka pengembangan obat tradisional


(Red: Obat Bahan Alam Indonesia) ke arah
Fitofarmaka tersebut perlu adanya suatu
pedoman.
• Hal ini diatur dalam Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia nomor 761/
MENKES/SK/IX/1992 tentang Pedoman
Fitofarmaka dan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia nomor 56/MENKES/SK/I/2000
tentang Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat
Tradisional.
• Dasar pemikirannya adalah bahwa obat
tradisional baik dalam bentuk simplisia
tunggal maupun ramuan sebagian besar
penggunaan dan kegunaannya masih
berdasarkan pengalaman.
• Data yang meliputi kegunaan, dosis dan efek
samping sebagian besar belum didasarkan
pada landasan ilmiah, karena penggunaan
obat tradisional baru didasarkan kepada
kepercayaan terhadap informasi berdasarkan
pengalaman.
TATA LAKSANA PENGEMBANGAN
PEMANFAATAN OBAT TRADISIONAL
• dilakukan melalui beberapa langkah.
• Setelah dilakukan observasi dan penilaian
pemakaian obat tradisional di masyarakat dan
ternyata obat tradisional tersebut berkhasiat
secara empirik dan tidak memperlihatkan efek
samping maka dilakukan:
Langkah I
• Uji praklinik yang menentukan keamanan
melalui uji toksisitas dan menentukan khasiat
melalui uji farmakologi
• Langkah II : Standardisasi secara sederhana;

Langkah III : Teknologi farmasi yang


menentukan identitas secara seksama sampai
dapat dibuat produk yang terstandardisasi;
• Langkah IV : Uji klinik pada orang sakit dan
atau orang sehat.
UJI KLINIK
Melakukan uji klinik secara sembarangan berarti
• membuang biaya besar
• memboroskan waktu
• membahayakan subyek manusia dalam uji
klinik
• hasilnya menyesatkan dokter-dokter lain yang
mempercayai hasil uji tsb, sehingga
membahayakan banyak orang.
Prinsip Dasar Uji Klinik
1. bersifat prospektif-experimental, obat/stimulus yang
diterima penderita sengaja direncanakan dan ditentukan
sendiri oleh peneliti
• persiapan yang cermat harus dilakukan, dituangkan
dalam bentuk protokol yang lengkap.

• protokol uji klinik itu perlu diuji dan disempurnakan melalui


penelitian pendahuluan (pilot study). Dalam penelitian
pendahuluan dapat ditentukan

1. ketepatan pemilihan penderita,


2. kelancaran wawancara, ketepatan pengukuran respons
penderita dan kerja sama antar peneliti.
3. dari penelitian pendahuluan dapat diramalkan jumlah
penderita yang dapat diikutkan dalam penelitian
2. BER TUJUAN MENYEMBUHKAN PENDERITA

• Dalam sejarah perkembangan ilmu pengobatan


tercatatbahwa experimentasi pada manusia tidak
selalu bertujuan untuk penyembuhan.
• Pada zaman Romawi kuno penguasa dan dokter
mencobakan zat racun dan sekaligus meneliti khasiat
antidot pada narapidana atau tawanan perang.
• Dalam era Kedokteran Modern, kengerian akan
experimentasi yang dilakukan oleh Nazi terhadap
orang Yahudi telah mendorong lahirnya Kode
Nuremberg, yang kemudian disempurnakan menjadi
Deklarasi Helsinki
DEKLARASI HELSINKI
• experimentasi klinis harus memenuhi prinsip-prinsip moral
dan ilmu pengetahuan.
• hanya boleh dikerjakan atau diawasi oleh orang-orang yang
mempunyai keahlian.
• manfaat yang hendak diperoleh penderita harus jauh
melebihi risiko yang terkandung.
• penderita harus diberitahu tentang seluk beluk penelitian
yang hendak dijalani, dan ia harus bebas untuk menolak
atau menerima keikutsertaannya dalam penelitian itu.
• setiap saat penderita boleh menarik diri
• peneliti harus segera menghentikan penelitian bila timbul
gejala -gejala yang mengancam kesehatan dan jiwa
penderita.
3. HARUS ADA PEMBANDING

• respons penderita terhadap pengobatan bukan saja


berasal dari obat yang hendak diberikan, tetapi dapat pula
berasal dari tindakan lain yang diberikan bersama obat.
• Sebagai pembanding terhadap obat yang diteliti biasanya
kelompok kelola menerima obat lain (obat standard) atau
placebo. Kegunaan placebo dalam uji klinik terutama
adalah untuk memisahkan "placebo effect" dari efek
obat yang sesungguhnya
• Dengan adanya kelompok pembanding dalam uji
klinikdapat diketahui pengobatan mana yang lebih
efektif dan lebih aman sehingga kemajuan dalam
pengobatan yang rasional dapat terjamin
perkembangannya.
4. HARUS BEBAS DARI BIAS
• Bias adalah tiap proses pada setiap tahap penentuan sikap dan
pendapat yang cenderung memberikan hasil dan kesimpulan yang
secara sistematik berbeda dari yang sebenarnya.

• Bila dalam suatu uji klinik disimpulkan bahwa satu obat lebih baik
dari yang lainnya, maka hal ini mungkin timbul karena,

a)kelompok experimental dan kelola tidak mempunyai data dasar


yang sama (tidak seimbang)
b)obat yang diselidiki lebih superior dari obat standar atau placebo,
c)adanya perbedaan yang kecil dari efek obat yang berubah
menjadi nyata karena efek obat yang satu diperkuat oleh faktor-
faktor dalam kelompok yang menguntungkan.

• Faktor a dan c ini adalah merupakan bias yang hanya dapat


disingkirkan dengan alokasi teracak.
Fase-fase Uji klinik
• Suatu uji klinik sebenarnya bertujuan meng-
kuantifikasikan tingkat manfaat dan risiko suatu
obat baru.
• Setiap zat yang aktif untuk terapi pasti
mengandung sejumlah risiko akibat aktivitasnya
dalam mempengaruhi fungsi-fungsi tubuh.
• Dalam percobaan pre-klinik belum dipakai subyek
manusia.Pengaruh-pengaruh suatu obat-baru
diselidiki pada hewan percobaan. Begitu obat
mulai dicoba pada manusia, dimulailah suatu
uji klinik, uji klinik fase I.
• Pada hewan, dalam penelitian pra-klinik, telah
diteliti sifat-sifat farmakologik suatu obat
baru. Namun sulitnya tidak semua sifat
farmakologik yang terlihat pada hewan juga
terlihat pada manusia. Misalnya Litchfield
(1962) menunjukkan bahwa dari 89
pengaruh obat yang berbeda-beda, hanya 33
terlihat pada manusia.
• Jadi tujuan penelitian fase ini ialah meneliti
sifat-sifat farmakologik obat tsb. sehingga
tercapai efek terapetik maksimum.
Fase I
• calon obat diuji pada sukarelawan sehat untuk
mengetahui apakah sifat yang diamati pada
hewan percobaan juga terlihat pada manusia.
Pada fase ini ditentukan hubungan dosis
dengan efek yang ditimbulkannya dan profil
farmakokinetik obat pada manusia.
• Tujuan penelitian fase ini ialah meneliti sifat-sifat
farmakologik obat tsb. sehingga tercapai efek
terapetik maksimum. Biasanya dilakukan
terhadap 50-150 sukarelawan yang sehat.
• Karena selalu ada bahaya pada percobaan
pertama, sebaiknya percobaan dilakukan di
rumah sakit, yang siap menanggulangi bahaya
efek samping yang mungkin timbul.
• Sukarelawan biasanyadiambil dari karyawan
industri farmasi yang ingin mengembangkan
obat itu (biasanya dengan imbalan uang).
Sulitnya sumber subyek ini biasanya terbatas
jumlahnya.
• Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan
POM) menetapkan sembilan tanaman obat
unggulan yang telah diteliti atau diuji secara
klinis.
• Sembilan tanaman obat unggulan tersebut yaitu
sambiloto (Andrographis paniculata Ness), jambu
biji (Psidium guajava L), jati belanda (Guazuma
ulmifolia Lmk var. tomentosa K. Schum), cabe
jawa (Piper retrofractum Vahl.), temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.), jahe merah
(Zingiberis officinale Rosc. Var Rubrum), kunyit
(Curcuma domestica Val.), mengkudu (Morinda
citrifolia L.) dan salam (Eugenia polyantha Wight/
Syzygium polyanthu).
• Uji klinis sembilan tanaman obat unggulan itu
ditujukan untuk mengetahui fungsi sambiloto sebagai
anti-neoplasma, jambu biji sebagai anti-demam
berdarah, jati belanda sebagai penurun hiperlipidemia,
cabe jawa sebagai androgenik, temulawak sebagai
penurun hiperlipidemia, jahe merah sebagai anti-
neoplasma, kunyit sebagai penurun hiperlipidemia,
mengkudu sebagai penurun kadar gula darah dan
salam sebagai penurun kadar gula darah.
Secara tradisional sembilan tanaman itu sudah sering
digunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit.
Misalnya sambiloto untuk demam, kencing manis,
radang. jambu biji untuk disentri, kecacingan.
Fase II
• calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efikasi
pada penyakit yang diobati. Yang diharapkan dari obat
adalah mempunyai efek yang potensial dengan efek
samping rendah atau tidak toksik.
• untuk menentukan dosis terapi si obat. Tujuan utama
dari percobaan-percobaan di sini ialah meneliti apakah
suatu obat baru berguna untuk satu (atau lebih)
indikasi klinik. Dilakukan terhadap 100-200 pasien.
• Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan dan uji
stabilitas bentuk sediaan obat.
• Fase ini dimulai ketika orang sakit (pasien) pertama kali digunakan
sebagai subyek dan bukan sukarelawan sehat.
• Penelitian-penelitian awal mungkin bersifat tanpa - kontrol
(uncontrolled). Dulu penelitian begini sering dikecam, namun
sebenarnya bila dilakukan dengan benar, banyak informasi
berharga yang dapat diperoleh. Penelitian di sini harus cukup
memadai agar perkiraan perbandingan keuntungan : kerugian
dapat diketahui seawal mungkin.
• Dapat diperoleh pula informasi tentang efek samping serta
perkiraan manfaat klinik dalam hubungannya dengan konsentrasi
obat dalam cairan tubuh dan jaringan-jaringan (farmakokinetik).
• Eliminasi obat dari tubuh (yang juga dilakukan pada penelitian fase
I) harus dicheck juga pada pasien karena pada orang sakit mungkin
eliminasi obat berbeda akibat perubahan fungsi tubuh
(farmakodinamika)
• Penelitian awal ini biasanya cukup aman
karena dimulai dengan obat yang meskipun
baru, tapi dengan dosis yang kecil dan dosis
tunggal, pada beberapa orang pasien yang
dimonitor dengan ketat.
• Penambahan dosis, penambahan frekuensi
pemberian, dan penambahan populasi pasien
hanya dilakukan bila penelitian awal ini
memberi hasil yang baik.
Fase III
• untuk memastikan efek terapi, efek samping dan
keamanan. Yang dipakai sebagai pembanding adalah obat
standar dan placebo. 
• Keputusan untuk memasuki fase 3 diambil bila para
peneliti yakin bahwa rasio manfaat : risiko obat itu dapat
diterima.  Pasien yang dilibatkan biasanya 50-5000 orang.
Uji ini mutlak perlu untuk registrasi obat baru ke FDA.
• Selama uji klinik banyak senyawa calon obat dinyatakan
tidak dapat digunakan. Akhirnya obat baru hanya lolos 1
dari lebih kurang 10.000 senyawa yang disintesis karena
risikonya lebih besar dari manfaatnya atau
kemanfaatannya lebih kecil dari obat yang sudah ada.
• Keputusan untuk mengakui obat baru
dilakukan oleh badan pengatur nasional, di
Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan
Makanan, di Amerika Serikat oleh FDA (Food
and Drug Administration), di Kanada oleh
Health Canada, di Inggris oleh MHRA
(Medicine and Healthcare Product Regulatory
Agency), di negara Eropah lain oleh EMEA
( European Agency for the Evaluation of
Medicinal Product) dan di Australia oleh TGA
(Therapeutics Good Administration).
• Untuk dapat dinilai oleh badan tersebut,
industri pengusul harus menyerahkan data
dokumen uji praklinik dan klinik yang sesuai
dengan indikasi yang diajukan, efikasi dan
keamanannya harus sudah ditentukan dari
bentuk produknya (tablet, kapsul dll.) yang
telah memenuhi persyaratan produk melalui
kontrol kualitas.
• Pengembangan obat tidak terbatas pada
pembuatan produk dengan zat baru, tetapi
dapat juga dengan memodifikasi bentuk
sediaan obat yang sudah ada atau meneliti
indikasi baru sebagai tambahan dari indikasi
yang sudah ada. Baik bentuk sediaan baru
maupun tambahan indikasi atau perubahan
dosis dalam sediaan harus didaftarkan ke
Badan POM dan dinilai oleh Komisi Nasional
Penilai Obat Jadi.
• Pengembangan ilmu teknologi farmasi dan
biofarmasi melahirkan new drug delivery
system terutama bentuk sediaan seperti
tablet lepas lambat, tablet salut enterik, dll.
• Kemajuan dalam teknik rekombinasi DNA,
kultur sel dan kultur jaringan telah memicu
kemajuan dalam produksi bahan baku obat
seperti produksi insulin dll.
• Setelah calon obat dapat dibuktikan
berkhasiat sekurang-kurangnya sama dengan
obat yang sudah ada dan menunjukkan
keamanan bagi si pemakai maka obat baru
diizinkan untuk diproduksi oleh industri
sebagai legal drug dan dipasarkan dengan
nama dagang tertentu serta dapat diresepkan
oleh dokter.
• Pada akhir fase III
• harus telah ada bukti-bukti tentang indikasi-
indikasi dan dosis obat, juga tentang
keamanannya untuk penggunaan jangka panjang
bila ada indikasi untuk itu. Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan : Apakah obat
berakumulasi dalam tubuh? Apakah toksisitas
meningkat dengan penggunaan jangka panjang?
insidensi dan tingkat beratnya efek samping
harus dimonitor dengan cermat.
kekurangan dalam fase II
dan III

• *Jumlah pasien terbatas


• *Lama pemberian obat terbatas
• *Populasi pasien terbatas
Fase IV
• setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi
pasca pemasaran (post marketing
surveillance) yang diamati pada pasien
dengan berbagai kondisi, berbagai usia dan
ras, studi ini dilakukan dalam jangka waktu
lama untuk melihat nilai terapeutik dan
pengalaman jangka panjang dalam
menggunakan obat.
• uji klinik setelah obat dipasarkan, jika diminta oleh
badan yang berwenang. 
• Dapat dikatakan bahwa fase 4 mencakup semua
penelitian yang dilakukan setelah obat baru mendapat
izin untuk pemasarannya. 
• Oleh sebab itu penelitian fase 4 harus di-disain untuk
mengungkapkan: Efek samping akibat penggunaan
kronik; Manfaat obat dalam penggunaan jangka
panjang; Data-data komparatif lainnya dalam
penggunaan jangka panjang; Non-responder;
Penggunaan-penggunaan baru dan indikasi baru;
Penilaian kemungkinan penyalahgunaan obat;
Penilaian kemungkinan penggunaan obat secara
berlebihan; Interaksi obat dan kompatibilitasnya
dengan zat-zat lain. 
• Setelah hasil studi fase IV dievaluasi masih memungkinkan
obat ditarik dari perdagangan jika membahayakan sebagai
contoh cerivastatin suatu obat antihiperkolesterolemia
yang dapat merusak ginjal.
• Entero-vioform (kliokuinol) suatu obat antidisentri
amuba yang pada orang Jepang menyebabkan kelumpuhan
pada otot mata (SMON disease).
• fenil propanol amin yang sering terdapat pada obat flu
harus diturunkan dosisnya dari 25 mg menjadi tidak lebih
dari 15 mg karena dapat meningkatkan tekanan darah
dan kontraksi jantung yang membahayakan pada
pasien yang sebelumnya sudah mengidap penyakit jantung
atau tekanan darah tinggi .
• talidomid dinyatakan tidak aman untuk wanita hamil
karena dapat menyebabkan kecacatan pada janin,
troglitazon suatu obat antidiabetes di Amerika Serikat
ditarik karena merusak hati .

Anda mungkin juga menyukai