HERBAL
STEP 1
Scientification of jamu :
pembuktian ilmiah jamu melalui
penelitian berbasis pelayanan kesehatan, yang memiliki tujuan untuk
memberikan landasan ilmiah atau evidence base secara empirik
Clinical trials
:
pengujian pada manusia untuk mengetahui
atau memastikan adanya efek farmakologi tolerabilitas, keamanan,
dan manfaat klinik untuk pengobatan penyakit.
STEP 2
1. Definisi clinical trials ?
2. Tujuan clinical trials ?
3. Tahap-tahap clinical trials ?
4. Tahap-tahap scientification jamu ?
5. Tujuan scientification jamu ?
6. Definisi scientifikasi jamu ?
7. Syarat-syarat scientification jamu?
8. Perbedaan fitofarmaka dan scientifikasi jamu ?
9. Kendala pada scientifikasi jamu ?
10.
Peraturan pemerintah terhadap klinik yang menggunakan
pengobatan herbal ?
STEP 3
1. Definisi clinical trials ?
Pengujian pada manusia untuk mengetahui atau memastikan
adanya efek farmakologi tolerabilitas, keamanan, dan manfaat klinik
untuk pengobatan penyakit.
2. Tujuan clinical trials ?
untuk membuktikan atau menilai manfaat klinik suatu obat,
pengobatan atau strategi terapi secara objektif dan benar.
untuk mendapatkan fitofarmaka yang dapat dipertanggung
jawabkan keamanan dan manfaatnya
memastikan keamanan dan manfaat klinik fitofarmaka dalam
pencegahan dan pengobatan penyakit maupun gejala penyakit.
3. Tahap-tahap clinical trials ?
Ada 4 fase:
Tenaga asisten
D3 OT dan atau pengobat tradisional
Tenaga administrasi
Sarana yg meliputi
Ruang tunggu
Ruang pendaftaran
Ruang rekam medis
Ruang peracikan
Ruang diskusi
Ruang apotik jamu
2. Klinik jamu tipe B
Syarat
Dokter selaku penanggung jawab
D3 pengobat tradisional
Tenaga admin
Sarana
Perawatan medis
Ruang tunggu
Ruang pendaftaran
Ruang peracikan jamu
Klinik scientifikasi jamu Hortus Medicus Tawang mangu Tipe A
Ada 5 dokter dengan pelatihan herbat, 1 apoteker yng berpengalaman
dgr obat , 3 asisten apoteker
Cara untuk mendiagnosis sama dengan pengobatan konfensional
Kriteria jamu :
1. Aman
3. Mutu bagus
4. Khasiat telah dibuktikan secara empiris
8. Perbedaan fitofarmaka dan jamu yang terscientifikasi ?
o Menurut prodaknya :
1. Ramuannya :
F satu simlisia dan tidak lebih dari 5
J tidak ada batasan jumlah simplisia
2. Penelitian
Fberdasarkan uji farmakodinamik, farmakologi, toksisitas hingga
uji klinik
J formula turun temurun, formula baru
3. Sediaan
F oral dan topical
tolerabilitas,
keamanan
dan
manfaat
klinik
untuk
tes untuk mengevaluasi efektivitas dan keamanan obat atau alat medis
dengan memantau efek mereka pada sekelompok besar orang. Uji klinik
adalah salah satu tahapan akhir dari proses penelitan yang panjang dan
hati-hati. Ada empat jenis uji klinik yang dapat dilakukan:
Uji coba pengobatan baru (seperti obat baru, pendekatan baru untuk operasi
atau terapi, kombinasi baru dari perawatan, atau metode baru seperti terapi
gen).
Uji coba tes skrining baru untuk menemukan penyakit, terutama pada tahap
awal.
Sebagian besar uji klinik yang melibatkan pengujian obat baru berlangsung dalam
serangkaian langkah-langkah teratur yang disebut fase. Hal ini memungkinkan
peneliti untuk bertanya dan menjawab pertanyaan dengan cara yang menghasilkan
informasi yang dapat dipercaya tentang obat dan keselamatan pasien.
http://kamuskesehatan.com/arti/uji-klinik/
Memastikan keamanan dan manfaat klinik fitofarmaka pada manusia dalam pencegahan atau pengobatan
ganda
(randomized
double-blind
controlled
clinical
trial)
merupakan desain uji klinik baku emas (gold standard). Uji klinik pada
manusia hanya dapat dilakukan apabila obat tradisional/obat herbal
tersebut telah terbukti aman dan berkhasiat pada uji preklinik. Pada uji
klinik obat tradisional seperti halnya dengan uji klinik obat moderen, maka
prinsip etik uji klinik harus dipenuhi. Sukarelawan harus mendapat
keterangan yang jelas mengenai penelitian dan memberikan informed-consent
sebelum penelitian dilakukan, dan diberi ethical clearance. Standardisasi
sediaan merupakan hal yang penting untuk dapat menimbulkan efek yang
terulangkan (reproducible)
Menurut Deklarasi Helsinki uji klinik terdiri dari 4 fase.
1. Fase I calon uji pada sukarelawan sehat untuk mendapatkan hasil yang
sama dengan hewan percobaan. Biasanya dilakukan terhadap 50-150
sukarelawan yang sehat
2. Fase II calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efi kasi pada
penyakit yang diobati. Dilakukan terhadap 100-200 pasien.
Fase II awal
: dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas,
tanpa pembanding. Jumlah pasien 100-200; dilakukan uji toksisitas
kronik, uji sediaan bahan obat
Fase II akhir
:dilakukan pada
pembanding.
3. Fase III efikasi dan keamanan obat baru dibandingkan obat pembanding
efeknya pada kelompok besar yang sakit. Pasien yang dilibatkan biasanya 505000 orang.
Setelah calon obat dibuktikan berkhasiat, mirip obat yang sudah ada dan
menunjukkan keamanan bagi si pemakai, maka obat baru diizinkan untuk
diproduksi oleh industri sebagai legal drug. Obat dipasarkan dengan nama
dagang tertentu yang dapat diresepkan oleh dokter.
-
Selama uji klinik banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat
digunakan. Akhirnya obat baru hanya lolos 1 dari lebih kurang 10.000
senyawa yang disintesis karena risikonya lebih besar dari manfaatnya atau
jangka panjang dalam menggunakan obat. Setelah hasil studi fase ini
dievaluasi, masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika
membahayakan.
Sebagai contoh cerivastatin, suatu obat antihiperkolesterolemia yang dapat
merusak ginjal. Talidomid dinyatakan tidak aman untuk wanita hamil karena
dapat menyebabkan kecacatan janin. Sedangkan troglitazon suatu obat
antidiabetes di Amerika Serikat ditarik karena merusak hati.
Prof
Dr
Ellin
Yulinah,
Farmakolog
Institut
Teknologi
Bandung.
http://www.trubusonline.co.id/mod.php?
mod=publisher&op=printarticle&artid=1467
http://www.kalbe.co.id/index.php?
mn=med&tipe=cdk&detail=printed&cat=det&det_id=141
a.
b.
c.
d.
Fase
Fase
Fase
Fase
Untuk obat tradisional yang sudah lama beredar luas di masyarakat dan tidak
menunjukkan efek samping yang merugikan, setelah mengalami uji preklinik dapat
langsung dilakukan uji klinik dengan pembanding. Untuk obat tradisional yang
belum digunakan secara luas harus melalui uji klinik pendahuluan (fase I dan II)
guna mengetahui tolerabilitas pasien terhadap obat tradisional tersebut.
Berbeda dengan uji klinik obat modern, dosis yang digunakan umumnya
berdasarkan dosis empiris tidak didasarkan dose-ranging study. Kesulitan yang
dihadapi adalah dalam melakukan pembandingan secara tersamar dengan plasebo
atau obat standar. Obat tradisional mungkin mempunyai rasa atau bau khusus
sehingga sulit untuk dibuat tersamar.
Saat ini belum banyak uji klinik obat tradisional yang dilakukan di Indonesia
meskipun nampaknya cenderung meningkat dalam lima tahun belakangan ini.
Kurangnya uji klinik yang dilakukan terhadap obat tradisional antara lain karena:
a. Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan uji klinik
b. Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telah terbukti
berkhasiat dan aman pada uji preklinik
c. Perlunya standardisasi bahan yang diuji
d. Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuan dosis berdasarkan
dosis empiris, selain itu kandungan kimia tanaman tergantung pada banyak
faktor.
e. Kekuatiran produsen akan hasil yang negatif terutama bagi produk yang
telah laku di pasaran
Setelah melalui penilaian oleh Badan POM, dewasa ini terdapat sejumlah obat
bahan alam yang digolongkan sebagai obat herbal terstandar dan dalam jumlah
lebih sedikit digolongkan sebagai fitofarmaka.
(Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 8, Agustus 2007)
digunakan untuk menentukan jumlah dan jenis atom carbon (C) penyusun
senyawa,
sedangkan H-NMR digunakan untuk menentukan struktur absolut senyawa
dengan melihat informasi tentang jumlah dan jenis hidrogen (H) penyusun
senyawa, konfigurasi dan stereokimiawi (Silverstein, et al, 1981; Friebolin
2005)
Penentuan potensi senyawa aktif
Obat bahan alam yang memenuhi standar baik secara kimia, biologi maupun
farmasi termasuk jaminan kualitas produk.
Standarisasi berdasarkan atas kandungan senyawa aktif adalah standarisasi
yang bersifat spesifik bagi bahan yang diteliti, dan berbeda dengan
standarisasi non spesifik yang berdasarkan atas hasil pengukuran fisis
seperti kadar air, kadar larut asam, etanol dll.
Standarisasi berdasarkan senyawa aktif berhubungan langsung dengan
derajat biologi dan merupakan salah satu parameter yang akan
diperhitungkan dalam uji stabilitas dan uji klinis. Penentuan Standarisasi
senyawa aktif calon obat dilakukan pada masing-masing tahapan isolasi baik
dari bahan dasar, hasil ekstraksi dan hasil fraksinasi yang mempunyai nilai
Uji potensi dengan hewan meliputi uji toksikologi untuk menilai keamanan dan
uji farmakodinamik untuk membuktikan khasiat produk.
Uji toksisitas akut merupakan pengujian sampel dengan dosis tunggal yang
dapat memperlihatkan efek toksik, sedangkan toksisitas subkronis
menggunakan minimal 3 tingkatan dosis yang berbeda yang diberikan selama
1-3 bulan. Penggunaan secara kronis seperti pengobatan hipertensi harus
disertai data karsinogenik, mutagenik dan teratogenik. Uji farmakodinamik
menggunakan metode tertentu untuk membuktikan secara ilmiah khasiat atau
efek dari obat bahan alam tersebut. Pedoman ini akan memberikan petunjuk
secara garis besar prinsip-prinsip yang harus dipenuhi apabila akan melakukan
uji efek farmakologi obat bahan alam(Anonim, 2004).
Legitimasi dan formalitas
Anonim, 2004, Penyusun Pedoman Penelitian Obat Bahan Alam , Pusat Riset
Obat dan Makanan, Badan POM, Jakarta
Grimminger, W., 1996, Quality Requirements for Herbal Drugs That
Contain Minimally Processed Plant Material, USP open conference on
botanicals for medicinal and dietary uses: standards and information issues,
P 7-13, The united States Pharmacopeial Convention, Inc, Maryland
http://mot.farmasi.ugm.ac.id/files/33Edisi%20khusus%20des%2006_bu
%20mae.pdf
pengujian
farmakologik
pada
hewan
coba
yang
syarat-syarat
ilmiah
dan
metodelogi suatu uji klinik untuk pengembangan dan evaluasi khasiat klinik
Uji klinik fitofarmaka hanya dapat dilakukan oleh tim peneliti yang
mempunyai keahlian, pengalaman, kewenangan, dan tanggungjawab dalam
penyelesaiannya.
Jalur saintifikasi
Jadi ada 3 jalur pengembangan tanaman obat
- Jalur penggunaan jamu untuk terapi kedokteran modern ada pada jalur
-
http://www.farmako.uns.ac.id/perhipba/wpcontent/uploads/2012/01/MU.2.p
df
9. Perbedaan fitofarmaka dan scientifikasi jamu ?
http://www.farmako.uns.ac.id/perhipba/wp-content/uploads/2012/01/MU.2.pdf
10.
Perbedaan uji klinik fitofarmaka dengan scientifikasi jamu? (mulai
dari prosesnya)
11.
Kendala pada scientifikasi jamu ?
o Saintifi kasi Jamu adalah upaya terobosan dalam rangka mempercepat
penelitian di sisi hilir, yakni pengujian terkait manfaat dan keamanan
jamu untuk upaya promotif, preventif, kuratif, paliatif, dan rehabilitatif,
dengan membentuk jejaring dokter yang mampu melaksanakan
penelitian berbasis pelayanan.
http://www.farmako.uns.ac.id/perhipba/wpcontent/uploads/2012/01/MU.2.p
df
STEP 4
Uji klinik
Tahap I
Tahap II awal
RCT
DOUBLE
BLIND
DESIGN
Fitofarmaka
Scientifikasi
Tahap I
Tahap II awal
Tahap II akhir
Tahap II akhir
Tahap III
Tahap III
Tahap IV
Jamu
Terscientifikasi