Anda di halaman 1dari 33

LBM 5

HERBAL

STEP 1

Scientification of jamu :
pembuktian ilmiah jamu melalui
penelitian berbasis pelayanan kesehatan, yang memiliki tujuan untuk
memberikan landasan ilmiah atau evidence base secara empirik
Clinical trials
:
pengujian pada manusia untuk mengetahui
atau memastikan adanya efek farmakologi tolerabilitas, keamanan,
dan manfaat klinik untuk pengobatan penyakit.

STEP 2
1. Definisi clinical trials ?
2. Tujuan clinical trials ?
3. Tahap-tahap clinical trials ?
4. Tahap-tahap scientification jamu ?
5. Tujuan scientification jamu ?
6. Definisi scientifikasi jamu ?
7. Syarat-syarat scientification jamu?
8. Perbedaan fitofarmaka dan scientifikasi jamu ?
9. Kendala pada scientifikasi jamu ?
10.
Peraturan pemerintah terhadap klinik yang menggunakan
pengobatan herbal ?
STEP 3
1. Definisi clinical trials ?
Pengujian pada manusia untuk mengetahui atau memastikan
adanya efek farmakologi tolerabilitas, keamanan, dan manfaat klinik
untuk pengobatan penyakit.
2. Tujuan clinical trials ?
untuk membuktikan atau menilai manfaat klinik suatu obat,
pengobatan atau strategi terapi secara objektif dan benar.
untuk mendapatkan fitofarmaka yang dapat dipertanggung
jawabkan keamanan dan manfaatnya
memastikan keamanan dan manfaat klinik fitofarmaka dalam
pencegahan dan pengobatan penyakit maupun gejala penyakit.
3. Tahap-tahap clinical trials ?
Ada 4 fase:

Fase 1 pada manusia sehat


Untuk menentukan dosis tunggal yang dapat diterima manusia
Fase 2 pada 100 200 orang penderita
Untuk melihat efek farmakologi pada fase 1 berguna atau
tidak
Fase 2 awal : sudah ijin BPOM, tanpa pembanding
Fase 2 akhir: dengan pembanding
Fase 3 pada sekitar 500 penderita
Untuk memastikan bahwa suatu obat benar-benar berhasiat
Fase 4 pada obat yang telah dipasarkan
Untuk menentukan pola obat yang ada di masyarakat serta
pola keamanan
dan efektifitas
4. Tahap-tahap scientification jamu ?
tanaman jamu diambil zat aktif diolah menjadi obat modern (baru
ditemukan akhir-akhir ini) pelayanan modern apa bila sudah sesuai
syarat pelayanan komplementer pelayanan modern (RS)
data deskriptif :
saintifikasi jamu studi etmomedicine & etmofarmakologi
formula turun temurun & formula baru orientasi produk
komplementer produk fitofarmaka
5. Tujuan scientification jamu ?
1. Memberikan landasan ilmiah (evidence base) penggunaan jamu
secara empiris melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan
2. Mendiring terbentuknya jejaring dokter, dokter gigi, dan tenaga
kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam upaya prefentif, promotif,
rehabilitative melalui penggunaan jamu. tidak ada kuratif,
sehingga harus ada penjelasan kepada pasien secara jelas dan
hanya sebagai komplementer
3. Meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasiien dengan
penggunaan jamu
4. Meningkatkan penyediaaan jamu yang aman memiliki khasiat nyata
yang teruji secara ilmiah dan dimanfaatkan secara luas untuk
pengibatan sendiri maupun pelayanan kesehatan
Diberikan setelah mendapatkan persetujuan tindakan ke pasien
6. Definisi scientifikasi jamu ?
pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan
kesehatan, yang memiliki tujuan untuk memberikan landasan ilmiah
atau evidence base secara empirik
7. Syarat-syarat klinik scientification jamu?
1. Klinik jamu terdiri dari tipe A dan tipe B
Tipe A hrs memenuhi persyaratan ketenagaan
Asisten apoteker

Tenaga asisten
D3 OT dan atau pengobat tradisional
Tenaga administrasi
Sarana yg meliputi
Ruang tunggu
Ruang pendaftaran
Ruang rekam medis
Ruang peracikan
Ruang diskusi
Ruang apotik jamu
2. Klinik jamu tipe B
Syarat
Dokter selaku penanggung jawab
D3 pengobat tradisional
Tenaga admin
Sarana
Perawatan medis
Ruang tunggu
Ruang pendaftaran
Ruang peracikan jamu
Klinik scientifikasi jamu Hortus Medicus Tawang mangu Tipe A
Ada 5 dokter dengan pelatihan herbat, 1 apoteker yng berpengalaman
dgr obat , 3 asisten apoteker
Cara untuk mendiagnosis sama dengan pengobatan konfensional
Kriteria jamu :
1. Aman
3. Mutu bagus
4. Khasiat telah dibuktikan secara empiris
8. Perbedaan fitofarmaka dan jamu yang terscientifikasi ?
o Menurut prodaknya :
1. Ramuannya :
F satu simlisia dan tidak lebih dari 5
J tidak ada batasan jumlah simplisia
2. Penelitian
Fberdasarkan uji farmakodinamik, farmakologi, toksisitas hingga
uji klinik
J formula turun temurun, formula baru
3. Sediaan
F oral dan topical

J simplisia kering, ekstrak


4. Level
F obat modern
J tidak seperti obat modern tetapi memiliki EMB
9. Perbedaan uji klinik fitofarmaka dengan scientifikasi jamu? (mulai dari
prosesnya)
o Uji klinik fitofarmaka dilihat dari apa yang diteliti, tujuan,
design RCT double blind
o Scientifikasi jamu hanya sampai fase 2 akhir tidak sampai fase
4 (yang seharusnya boleh beredar sampai dengan fase4),
menggunakan uji RCT
10.

Kendala pada scientifikasi jamu ?


Jamu telah digunakan turun temurun yang berkhasiat untuk
menjaga kesehatan dan menyembuhkan penyakit
Paradikma masyarakat cendorong ke kedokteran modern bukan
ke pengobatan tradisional
Hanya dokter herbal terapi medis yang dapat meresepkan
scientifikasi jamu

Apa kendalanya dalam proses scientifikasi jamu???


11.
Peraturan pemerintah terhadap klinik yang menggunakan
pengobatan herbal ?
Permenkes 003/MENKES/PER?1/2010
Pasal 8
Pasal 9:
1. Klinik jamu harus memiliki ijin dari kepala dinas kesehatan
kabupaten kota setempat
2. Ijin dari no.1 diberikan 5 th dan dapat diperpanjang
kembali selama memenuhi persyaratan
Pasal 10 :
1. Klinik jamu harus memiliki kerjasama rujukan pasien dengan rumah
sakit
2. Untuk merujuk pelayanan jamu dilakukan di RS yang memberikan
pelayanan dan penelitian komplementen alternative sesuai dengan
PERPU yang berlaku
3. Untuk rujukan pengobatan jamu dilakukan di RS yang memberikan
pelayanan dan penelitian komplementen alternative sesuai dengan
PERPU yang berlaku

4. Dalam menangani pasien scientifikasi jamu dokter, dan drg di rumah


sakit rujukan wajib mendiskusikan penyakit pasien dengan dr atau drg
yang merujuknya
5. Dr/drg yang mengirim rujukan dapat meminta konsultasi kpda komisi
daerah atau nasional saintifikasi jamu
Ketenaga jerjaan Pasal 11, Pasal 12
Persetujuan tindakan PAsal 13
STEP 7
1. Definisi clinical trials ?
Definisi
-

Pengujian pada manusia, untuk mengetahui atau memastikan adanya efek


farmakologik,

tolerabilitas,

keamanan

dan

manfaat

klinik

untuk

pencegahan penyakit, pengobatan penyakit atau pengobatan gejala


penyakit.
-

tes untuk mengevaluasi efektivitas dan keamanan obat atau alat medis
dengan memantau efek mereka pada sekelompok besar orang. Uji klinik
adalah salah satu tahapan akhir dari proses penelitan yang panjang dan
hati-hati. Ada empat jenis uji klinik yang dapat dilakukan:

Uji coba pengobatan baru (seperti obat baru, pendekatan baru untuk operasi
atau terapi, kombinasi baru dari perawatan, atau metode baru seperti terapi
gen).

Uji coba pencegahan dengan pendekatan baru, seperti obat-obatan, vitamin,


mineral, atau suplemen lain yang dipercaya dapat menurunkan risiko penyakit
tertentu.

Uji coba tes skrining baru untuk menemukan penyakit, terutama pada tahap
awal.

Uji coba peningkatan kualitas hidup (juga disebut percobaan perawatan


pendukung) mengeksplorasi cara untuk meningkatkan kenyamanan dan kualitas
hidup bagi pasien.

Sebagian besar uji klinik yang melibatkan pengujian obat baru berlangsung dalam
serangkaian langkah-langkah teratur yang disebut fase. Hal ini memungkinkan
peneliti untuk bertanya dan menjawab pertanyaan dengan cara yang menghasilkan
informasi yang dapat dipercaya tentang obat dan keselamatan pasien.
http://kamuskesehatan.com/arti/uji-klinik/

2. Tujuan clinical trials ?


o

Memastikan keamanan dan manfaat klinik fitofarmaka pada manusia dalam pencegahan atau pengobatan

penyakit maupun gejala penyakit.


Untuk mendapatkan fitofarmaka yang dapat dipertanggungjawabkan keamanan dan manfaatnya.

3. Tahap-tahap clinical trials ?


Tahap-tahap uji klinik
Sebelum suatu obat dapat digunakan secara luas perlu dilakukan
pengujian melalui berbagai tahap. Tahap-tahap uji klinik yg hrs dilalui
oleh setiap obat :
1. Uji klinik fase I:
Diujikan pada manusia (sukarelawan sehat),baik untuk melihat
efek farmakologik maupun efek samping. Tujuan uji klinik pada fase ini
adalah:
a. Melihat adanya efek samping dan toleransi subjek thd obat
yang diujikan,b.Menilai hubungan dosis dan efek obat, c.Melihat sifat
kinetik obat yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi.
2. Uji klinik fase II:
Bertujuan untuk melihat kemungkinan efek terapetik dari obat yang
diujikan.
Pada tahap ini uji klinik dilakukan secara terbuka tanpa kontrol
(uncontrolled trial). Mengingat subjek yang digunakan terbatas, hasil
dan kesimpulan yang diperoleh belum dapat digunakan sebagai bukti
adanya kemanfaatan klinik obat.
3. Uji klinik fase III:
Dalam tahap ini obat diuji atas dasar prinsip-prinsip metodologi ilmiah
yang ketat.
Mengingat hasil yang diperoleh dari uji klinik fase III ini harus memberi
kesimpulan definitif mengenai ada/tidaknya kemanfaatan klinik obat,
makadiperlukan metode pembandingan ya ng terkontrol (controlled
clinical trial). Di sini obat yang diuji dibandingkan dengan obat
standard yang sudah terbukti kemanfaatannya (kontrol positif)
dan/atau plasebo (kontrol negatif).

4. Uji klinik fase IV (post marketing surveillance).


Uji tahap ini dilakukan beberapa saat setelah obat
dipasarkan/digunakan secara luas di masyarakat.
Uji ini bertujuan untuk mendeteksi adanya efek samping yang jarang
dan serius (rare and serious adverse effects) pada populasi, serta efek
samping lain yang tidak terdeteksi pada uji klinik fase I, II dan III.
Uji klinis
Fase 1: Sehat, Konfirmasi temuan pada uji praklinis, Kinetik, Dinamik
dan efek farmakoterapi, ESO dan tolerabilitas
Fase 2: Pasien, Studi pendahuluan pada pasien, Uji manfaat pada
pasien terbatas
Kinetik, Penentuan dosis, Lingkup terapi, ESO dan tolerabilitas
Fase 3: Pasien, Bukti manfaat & Keamanan, Bukti manfaat Keamanan,
Dosis regimen
Fase 4: Populasi pasien, Penggunaan luas pada populasi pasien, ESO
yang jarang

Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional/obat herbal harus


dibuktikan khasiat dan keamanannya melalui uji klinik. Seperti halnya dengan
obat moderen maka uji klinik berpembanding dengan alokasi acak dan
tersamar

ganda

(randomized

double-blind

controlled

clinical

trial)

merupakan desain uji klinik baku emas (gold standard). Uji klinik pada
manusia hanya dapat dilakukan apabila obat tradisional/obat herbal
tersebut telah terbukti aman dan berkhasiat pada uji preklinik. Pada uji
klinik obat tradisional seperti halnya dengan uji klinik obat moderen, maka
prinsip etik uji klinik harus dipenuhi. Sukarelawan harus mendapat
keterangan yang jelas mengenai penelitian dan memberikan informed-consent
sebelum penelitian dilakukan, dan diberi ethical clearance. Standardisasi

sediaan merupakan hal yang penting untuk dapat menimbulkan efek yang
terulangkan (reproducible)
Menurut Deklarasi Helsinki uji klinik terdiri dari 4 fase.
1. Fase I calon uji pada sukarelawan sehat untuk mendapatkan hasil yang
sama dengan hewan percobaan. Biasanya dilakukan terhadap 50-150
sukarelawan yang sehat
2. Fase II calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efi kasi pada
penyakit yang diobati. Dilakukan terhadap 100-200 pasien.
Fase II awal
: dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas,
tanpa pembanding. Jumlah pasien 100-200; dilakukan uji toksisitas
kronik, uji sediaan bahan obat
Fase II akhir

:dilakukan pada

pasien jumlah terbatas, dengan

pembanding.

3. Fase III efikasi dan keamanan obat baru dibandingkan obat pembanding
efeknya pada kelompok besar yang sakit. Pasien yang dilibatkan biasanya 505000 orang.
Setelah calon obat dibuktikan berkhasiat, mirip obat yang sudah ada dan
menunjukkan keamanan bagi si pemakai, maka obat baru diizinkan untuk
diproduksi oleh industri sebagai legal drug. Obat dipasarkan dengan nama
dagang tertentu yang dapat diresepkan oleh dokter.
-

Selama uji klinik banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat
digunakan. Akhirnya obat baru hanya lolos 1 dari lebih kurang 10.000
senyawa yang disintesis karena risikonya lebih besar dari manfaatnya atau

kemanfaatannya lebih kecil dari obat yang sudah ada.


Keputusan untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan pengatur
nasional, di Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan,
o di Amerika Serikat oleh FDA (Food and Drug Administration),
o di Kanada oleh Health Canada,
o di Inggris oleh MHRA (Medicine and Healthcare Product
Regulatory Agency), di negara Eropah lain oleh EMEA ( European

Agency for the Evaluation of Medicinal Product) dan di Australia


-

oleh TGA (Therapeutics Good Administration).


Untuk dapat dinilai oleh badan tersebut, industri pengusul harus
menyerahkan data dokumen uji praklinik dan klinik yang sesuai dengan
indikasi yang diajukan, efikasi dan keamanannya harus sudah ditentukan
dari bentuk produknya (tablet, kapsul dll.) yang telah memenuhi

persyaratan produk melalui kontrol kualitas.


Pengembangan obat tidak terbatas pada pembuatan produk dengan zat
baru, tetapi dapat juga dengan memodifikasi bentuk sediaan obat yang
sudah ada atau meneliti indikasi baru sebagai tambahan dari indikasi yang
sudah ada. Baik bentuk sediaan baru maupun tambahan indikasi atau
perubahan dosis dalam sediaan harus didaftarkan ke Badan POM dan
dinilai oleh Komisi Nasional Penilai Obat Jadi. Pengembangan ilmu
teknologi farmasi dan biofarmasi melahirkan new drug delivery system
terutama bentuk sediaan seperti tablet lepas lambat, sediaan liposom,
tablet salut enterik, mikroenkapsulasi dll. Kemajuan dalam teknik
rekombinasi DNA, kultur sel dan kultur jaringan telah memicu kemajuan

dalam produksi bahan baku obat seperti produksi insulin dll.


Setelah calon obat dapat dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama
dengan obat yang sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi si pemakai
maka obat baru diizinkan untuk diproduksi oleh industri sebagai legal drug
dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu serta dapat diresepkan oleh
dokter.

4. Fase IV setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pascapemasaran


yang diamati pada pasien dalam berbagai kondisi, usia, dan ras. Studi ini
dilakukan pada jangka waktu lama untuk melihat terapeutik dan pengalaman

jangka panjang dalam menggunakan obat. Setelah hasil studi fase ini
dievaluasi, masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika
membahayakan.
Sebagai contoh cerivastatin, suatu obat antihiperkolesterolemia yang dapat
merusak ginjal. Talidomid dinyatakan tidak aman untuk wanita hamil karena
dapat menyebabkan kecacatan janin. Sedangkan troglitazon suatu obat
antidiabetes di Amerika Serikat ditarik karena merusak hati.
Prof

Dr

Ellin

Yulinah,

Farmakolog

Institut

Teknologi

Bandung.

http://www.trubusonline.co.id/mod.php?
mod=publisher&op=printarticle&artid=1467
http://www.kalbe.co.id/index.php?
mn=med&tipe=cdk&detail=printed&cat=det&det_id=141

a.
b.
c.
d.

Fase
Fase
Fase
Fase

I: terbuka, tanpa kontrol


II: paralel, acak, tersamar
III: paralel, acak, tersamar
IV: studi observasional atau paralel

Untuk obat tradisional yang sudah lama beredar luas di masyarakat dan tidak
menunjukkan efek samping yang merugikan, setelah mengalami uji preklinik dapat
langsung dilakukan uji klinik dengan pembanding. Untuk obat tradisional yang
belum digunakan secara luas harus melalui uji klinik pendahuluan (fase I dan II)
guna mengetahui tolerabilitas pasien terhadap obat tradisional tersebut.
Berbeda dengan uji klinik obat modern, dosis yang digunakan umumnya
berdasarkan dosis empiris tidak didasarkan dose-ranging study. Kesulitan yang
dihadapi adalah dalam melakukan pembandingan secara tersamar dengan plasebo
atau obat standar. Obat tradisional mungkin mempunyai rasa atau bau khusus
sehingga sulit untuk dibuat tersamar.
Saat ini belum banyak uji klinik obat tradisional yang dilakukan di Indonesia
meskipun nampaknya cenderung meningkat dalam lima tahun belakangan ini.
Kurangnya uji klinik yang dilakukan terhadap obat tradisional antara lain karena:
a. Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan uji klinik

b. Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telah terbukti
berkhasiat dan aman pada uji preklinik
c. Perlunya standardisasi bahan yang diuji
d. Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuan dosis berdasarkan
dosis empiris, selain itu kandungan kimia tanaman tergantung pada banyak
faktor.
e. Kekuatiran produsen akan hasil yang negatif terutama bagi produk yang
telah laku di pasaran
Setelah melalui penilaian oleh Badan POM, dewasa ini terdapat sejumlah obat
bahan alam yang digolongkan sebagai obat herbal terstandar dan dalam jumlah
lebih sedikit digolongkan sebagai fitofarmaka.
(Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 8, Agustus 2007)

Fitofarmaka adalah obat herbal yang telah mengalami beberapa proses


penelitian hingga pada tahap uji klinis (uji pada manusia). Sehingga pada obat
herbal dapat diketahui langsung efek dan khasiatnya dan bisa disejajarkan
dengan obat kimia yang sudah beredar dipasaran (Anonim, 2013)

Fitofarmaka adalah sediaan obat yang telah dibuktikan keamanan dan


khasiatnya, bahan bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang telah
mementuh persyaratan (Permenkes RI No.760, 1992).
Contoh bahan dari obat herbal yang sudah termasuk didalam fitofarmaka
(anonim, 2013) yaitu:
1. Meniran
2. Jamur Ling Zhi

Tahapan Legitimasi Fitofarmaka


Isolasi senyawa aktif

Isolasi senyawa aktif berfungsi untuk menentukan fungsional jenis


senyawa atau perkiraan jenis senyawa pada bahan herbal sebagai
standarisasi senyawa aktif untuk menetukan khasiat bahan obat ideal
berdasarkan sisi efektivitas, efisiensi dan terjangkaunya harga oleh
masyarakat.
Isolasi melalui fitokimia dilakukan dengan cara megisolasi senyawa yang
terkandung dalam suatu bahan kemudian diuji aktivitasnya menggunakan
metode tertentu. Pengambilan senyawa dilakukan dengan prioritas senyawa
utama (major compound) dilanjutkan dengan senyawa-senyawa lainnya.
Pendekatan Fitokimia terdapat beberapa kendala antara lain waktu
pengerjaan lama dan biaya mahal. Isolasi dengan pendekatan bioassay guided
isolation dilakukan dengan cara mengisolasi bahan dengan pemantauan uji
aktivitas pada setiap tahap pengerjaannya baik dari tahap ekstraksi,
partisi, fraksinasi maupun isolasinya. Sistem pendekatan ini cukup
menguntungkan karena waktunya cepat dan biaya lebih murah, serta langsung
diketahui senyawa mana yang bertanggung jawab terhadap aktivitas tersebut
(Wahyuono, 2005)
Identifikasi senyawa aktif

Identifikasi dilakukan menentukan struktur kimia hasil isolasi dari bahan


alam. Struktur kimiawi berfungsi untuk mengetahui mekanisme aktifitas
dan digunakan sebagai senyawa identitas untuk standarisasi bahan alam.
Identifikasi dapat dilakukan dengan penetapan titik lebur, kristalografi,
derivatisasi dan ciri spektrum violet (UV), infrared (IR), massa (MS) dan
nuklir magnetik resonansi (NMR).
Senyawa hasil isolasi yang telah dikenal identitasnya, identifikasinya dapat
menggunakan perbandingan antara kromatogram dan spektrum senyawa yang
diteliti dengan kromatogram dan spektrum pembanding senyawa yang telah
ada dalam literatur, sedangkan untuk senyawa baru, struktur senyawa dapat
ditentukan berdasarkan penafsiran secara spektroskopi yaitu menggunakan
spektra (UV, IR, MS dan NMR).
Spektra UV digunakan untuk melihat keberadaan ikatan rangkap
terkonjunggasi serta pengaruh dari pelarut,
sedangkan spektra IR digunakan untuk melihat keberadaan gugus fungsional
dalam suatu senyawa dan perkiraan jenis senyawa.
Spektra MS digunakan untuk mendeteksi berat molekul (BM), informasi
elemen (unsur) penyusun senyawa secara kualitatif. Spektra 13C-NMR

digunakan untuk menentukan jumlah dan jenis atom carbon (C) penyusun
senyawa,
sedangkan H-NMR digunakan untuk menentukan struktur absolut senyawa
dengan melihat informasi tentang jumlah dan jenis hidrogen (H) penyusun
senyawa, konfigurasi dan stereokimiawi (Silverstein, et al, 1981; Friebolin
2005)
Penentuan potensi senyawa aktif

Penentuan potensi senyawa aktif dilakukan dengan membandingkan antara


bahan yang teliti dengan pembanding obat yang telah beredar dan
digunakan secara klinis.
Uji praklinik merupakan persyaratan calon obat sehingga diperoleh informasi
tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan toksisitas calon
obat.
Dengan menggunakan hewan uji dapat diketahui apakah obat menimbulkan
efek toksik pada dosis pengobatan.
Pengujian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi efek toksik
bahan yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis, kerusakan
genetik (genotoksitas, mutagenisitas), pertumbuhan tumor (onkogenisitas
atau karsinogenesitas), serta kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas).
Selain toksisitas, uji pada hewan dapat mempelajari sifat farmakokinetik
obat meliputi absorbsi distribusi metabolisme dan eliminasi obat. Semua hasil
pengamatan pada hewan menentukan apakah calon obat dapat diteruskan
dengan uji pada manusia (Anonim, 2000; Anonim, 2004)
Penentuan kadar senyawa aktif

Obat bahan alam yang memenuhi standar baik secara kimia, biologi maupun
farmasi termasuk jaminan kualitas produk.
Standarisasi berdasarkan atas kandungan senyawa aktif adalah standarisasi
yang bersifat spesifik bagi bahan yang diteliti, dan berbeda dengan
standarisasi non spesifik yang berdasarkan atas hasil pengukuran fisis
seperti kadar air, kadar larut asam, etanol dll.
Standarisasi berdasarkan senyawa aktif berhubungan langsung dengan
derajat biologi dan merupakan salah satu parameter yang akan
diperhitungkan dalam uji stabilitas dan uji klinis. Penentuan Standarisasi
senyawa aktif calon obat dilakukan pada masing-masing tahapan isolasi baik
dari bahan dasar, hasil ekstraksi dan hasil fraksinasi yang mempunyai nilai

parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan terlebih dahulu (Sticher,


1996; Grimminger, 1996)
Uji potensi produk
-

Uji potensi dengan hewan meliputi uji toksikologi untuk menilai keamanan dan
uji farmakodinamik untuk membuktikan khasiat produk.
Uji toksisitas akut merupakan pengujian sampel dengan dosis tunggal yang
dapat memperlihatkan efek toksik, sedangkan toksisitas subkronis
menggunakan minimal 3 tingkatan dosis yang berbeda yang diberikan selama
1-3 bulan. Penggunaan secara kronis seperti pengobatan hipertensi harus
disertai data karsinogenik, mutagenik dan teratogenik. Uji farmakodinamik
menggunakan metode tertentu untuk membuktikan secara ilmiah khasiat atau
efek dari obat bahan alam tersebut. Pedoman ini akan memberikan petunjuk
secara garis besar prinsip-prinsip yang harus dipenuhi apabila akan melakukan
uji efek farmakologi obat bahan alam(Anonim, 2004).
Legitimasi dan formalitas

Keputusan untuk mengakui keberadaan obat baru secara formal dilakukan


oleh badan pengatur nasional, di Indonesia oleh BPOM-RI,
sedangkan di Amerika Serikat oleh FDA ( Food and drug Administration).
Untuk dapat di nilai oleh badan tersebut, industri pengusul harus
menyertakan data dokumen uji praklinik dan klinik yang sesuai dengan indikasi
yang diajukan, efikasi dan keamanan harus sudah ditentukan dari bentuk
produk yang memenuhi persyaratan produk melalui kontrol kualitas (Anonim,
2004; Blumenthal, 1996)

Anonim, 2004, Penyusun Pedoman Penelitian Obat Bahan Alam , Pusat Riset
Obat dan Makanan, Badan POM, Jakarta
Grimminger, W., 1996, Quality Requirements for Herbal Drugs That
Contain Minimally Processed Plant Material, USP open conference on
botanicals for medicinal and dietary uses: standards and information issues,
P 7-13, The united States Pharmacopeial Convention, Inc, Maryland
http://mot.farmasi.ugm.ac.id/files/33Edisi%20khusus%20des%2006_bu
%20mae.pdf

Siverstein, R. M. Bassler, G. C., and Morrill, T. C., 1981, Spectrometric


Identification of Organic Compounds, John Wilry & sons, New York
Sticher, O., 1996, Challenge in the Standardization and Quality Control of
Natural Product, USP Open Conference on Botanicals of Medicinal and
Dietary Uses : Standards and information issues, p.91-95 , The United
States Pharmacopeial Convention, Inc, Maryland.
Syarat uji klinik
Terhadap calon fitofarmaka dapat dilakukan pengujian klinik pada manusia
apabila sudah melalui penelitian toksisitas dan kegunaan pada hewan coba
yang sesuai dan dinyatakan memenuhi syarat yang membenarkan dilakukan
pengujian klinik pada manusia.
Alasan untuk melaksanakan uji klinik terhadap suatu fitofarmaka dapat
didasarkan pada:
a. Adanya data

pengujian

farmakologik

pada

hewan

coba

yang

menunjukkan bahwa calon fitofarmaka tersebut mempunyai aktivitas


farmakologik yang sesuai dengan indikasi yang menjadi tujuan uji klinik
fitofarmaka tersebut.
b. Adanya pengalaman empiric dan / atau histori bahwa fitofarmaka
tersebut mempunyai manfaat klinik dalam pencegahan dan pengobatan

penyakit atau gejala penyakit.


Uji klinik fitofarmaka harus memenuhi

syarat-syarat

ilmiah

dan

metodelogi suatu uji klinik untuk pengembangan dan evaluasi khasiat klinik

suatu obat baru.


Uji klinik fitofarmaka merupakan suatu kegiatan pengujian multi disiplin.
Uji klinik fitofarmaka harus memenuhi prinsip-prinsip etika sejak
perencanaan sampai pelaksanaan dan penyelesaian uji klinik. Setiap
pengujian harus mendapatkan ijin kelaikan etik (ethical clearance) dari
panitia etika penelitian biomedik pada manusia.

Uji klinik fitofarmaka hanya dapat dilakukan oleh tim peneliti yang
mempunyai keahlian, pengalaman, kewenangan, dan tanggungjawab dalam

pengujian klinik dan evaluasi khasiat klinik obat.


Uji klinik fitofarmaka hanya dapat dilakukan oleh unit-unit pelayanan dan
penelitian yang memungkinkan untuk pelaksanaan suatu uji klinik, baik
dipandang dari segi kelengkapan sarana, keahlian personalia, maupun
tersedianya pasien yang mencukupi. Pengujian klinik dalam unit-unit
pelayanan kesehatan diluar sentra uji fitofarmaka, misalnya di puskesmas
atau rumah sakit harus mendapatkan supervise dan monitoring dari sentra
unit fitofarmaka

sejak perencanaan, pelaksanaan sampai dengan

penyelesaiannya.

4. Tahap-tahap scientification jamu ?

Jalur saintifikasi
Jadi ada 3 jalur pengembangan tanaman obat
- Jalur penggunaan jamu untuk terapi kedokteran modern ada pada jalur
-

2, yaitu saintifikasi jamu


Jalur ke tiga merupakan jalur
bukan tenaga kesehatan

terpisah, dengan pemberi pelayanan

Kemajuan saintifikasi jamu


Hasil sementara: cukup menjanjikan
Ke 4 ramuan memberi dampak penyembuhan dan relatif aman untuk
digunakan
Ramuan anti glikemia: masih terasa pahit
Ramuan anti hiperurisemia, ada peningkatan SGPT/SGOT, meski masih
dalam batas normal
Akan ditingkatkan kekuatan bukti ilmiah,

dengan disain Randomized

Control Trial without double blind


Balitbangkes akan bertanggung jawab terhadap metoda penelitiannya.
Setelah jamu terbukti secara saintifik bermanfaat diserahkan ke
pemegang program untuk diaplikasikan di jaringan pelayanan kesehatan
Perlu koordinasi dengan IDI, apakah jamu tersaintifikasi boleh
diberikan oleh dokter praktek, atau harus melalui pelatihan dulu
Metodologi saintifikasi jamu

Uji preklinik: Uji toksisitas dan efikasi pada hewan coba


Uji klinik dengan disain pre-post intervention di Klinik Hortus Medicus
B2P2TOOT Tawangmangu
Uji klinik Randomized Clinical Trial

(dengan kontrol) tetapi tidak

tersamar (not blinding)


Regulasi
Saintifikasi jamu masih bernaung dalam program penelitian dan
pelayanan (lit-yan)
Dokter yang melakukan harus dilatih dulu selama 50 jam
Bila jamu telah tersaintifikasi, selanjutnya ke jalur profesi (IDI),
apakah langsung boleh diterapkan oleh dokter atau ada syarat lain
Saat ini IDI sedang membahas masalah ini
http://www.farmako.uns.ac.id/perhipba/wpcontent/uploads/2012/01/MU.
2.pdf

5. Tujuan scientification jamu ?


6. Definisi scientifikasi jamu ?
Definisi
Dalam rangka menyediakan bukti ilmiah terkait mutu,
keamanan, dan manfaat obat tradisional (jamu), maka
Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Kesehatan
RI, telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan
No. 03/MENKES/PER/2010
tentang
Saintifikasi
Jamu.
Saintifikasi Jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui
penelitian berbasis pelayanan kesehatan.2 Salah satu
tujuannya adalah memberikan landasan ilmiah (evidenced
based) penggunaan jamu secara empirik melalui penelitian
berbasis pelayanan yang dilakukan di sarana pelayanan
kesehatan, dalam hal ini klinik pelayanan jamu/dokter praktik
jamu. Untuk menjalankan Saintifikasi Jamu sesuai dengan
Peraturan Menteri Kesehatan No. 03/MENKES/PER/2010, maka
telah ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan No.1334 Tahun
2010 tentang Komisi Nasional Saintifikasi Jamu, yang salah
satu tugasnya adalah menyusun pedoman metodologi
penelitian jamu.
http://www.litbang.depkes.go.id/riset-jamu

7. Syarat-syarat klinik scientification jamu?


Di no 8
8. Syarat-syarat saintifikasi jamu

http://www.farmako.uns.ac.id/perhipba/wpcontent/uploads/2012/01/MU.2.p
df
9. Perbedaan fitofarmaka dan scientifikasi jamu ?

http://www.farmako.uns.ac.id/perhipba/wp-content/uploads/2012/01/MU.2.pdf

10.
Perbedaan uji klinik fitofarmaka dengan scientifikasi jamu? (mulai
dari prosesnya)

11.
Kendala pada scientifikasi jamu ?
o Saintifi kasi Jamu adalah upaya terobosan dalam rangka mempercepat
penelitian di sisi hilir, yakni pengujian terkait manfaat dan keamanan
jamu untuk upaya promotif, preventif, kuratif, paliatif, dan rehabilitatif,
dengan membentuk jejaring dokter yang mampu melaksanakan
penelitian berbasis pelayanan.

o Saintifikasi Jamu berupaya mengembangkan Body of Knowledge sistem


Pengobatan Tradisional Indonesia (termasuk jamulogi) ke arah
kedokteran integratif dengan pendekatan terapi secara holistik.
o Metodologi penelitian Saintifikasi Jamu dalam menguji manfaat dan
keamanan jamu menggunakan pendekatan holistik, sehingga luaran
klinis tidak saja diukur dengan ukuran objektif (hasil laboratorium dan
pengukuran) namun juga dengan ukuran subjektif (self-responded
outcome, skor penyakit, dan kualitas hidup).
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/hsr/article/viewFile/2994/
2227
12.
Peraturan pemerintah terhadap klinik yang menggunakan
pengobatan herbal ?

PerMenkes 003/2010: Saintifikasi Jamu


KepMenkes No. 1334/2010: Komisi Nasional Saintifikasi Jamu

http://www.farmako.uns.ac.id/perhipba/wpcontent/uploads/2012/01/MU.2.p
df

STEP 4

Uji Klinik Obat Herbal Tradisional

Uji klinik

Tahap I

Tahap II awal

RCT

DOUBLE
BLIND

DESIGN
Fitofarmaka

Scientifikasi

Tahap I

Tahap II awal

Tahap II akhir

Tahap II akhir

Tahap III

Tahap III

Tahap IV

Jamu
Terscientifikasi

Anda mungkin juga menyukai