Step 2
1. Apa definisi , karakteristik dan syarat obat tradisional dan perbedaan jamu, obat
tradisional terstandar, fitofarmaka?
2. Apa kelebihan dan kekurangan serta macam2 dari obat tradisional ?
3. Apa perbedaan obat tradisional dan obat modern ?
4. Apa saja macam-macam bentuk sediaan obat tradisional ?
5. Apakah Uji yang digunakan untuk obat tradisional ?
6. Apa saja macam2 bentuk pengobatan konvensional ?
7. Apa hambatan dalam pelaksanaan Trad-CAM ?
8. Apa saja ruang lingkup dari Trad-CAM ?
9. Siapa yang boleh melakukan pengobatan Trad-CAM ?
10. Apa saja jenis-jenis pelayanan komplementer alternatif ?
Step 3
1. Apa definisi , karakteristik dan syarat obat tradisional dan perbedaan jamu, obat
tradisional terstandar, fitofarmaka?
Obat tradisional :Bahan atau ramuan dari alami dari hewan dan tumbuhan . -
Bahan dan kandungan tidak jelas, blm ada bukti ilmiah masi berdasarkan data
empiris, efek samping lebih kecil, proses reaksi lebih lambat,
Jamu : obat tradisional Indonesia.
Obat tradisional
Jamu OHT Fitofarmaka
- Bahan baku blm - Sdh -sdh terstadarisasi
terstandarisasi terstandarisasi - Uji preklinik
- Sesuai dengan - Uji kimiawi dan (toxisitas dan
farmakope uji farmako farmakodinamik )
Indonesia, (preklinik) dan klinik
ekstrafarmakope - Krn sudah diakui
indonesia, secara medis jdi bisa
material medika digunakan
Indonesia
- Syarat uji blm
preklinik dan klinik
- Berdasarkan
khasiat dan
kepercayaan
1. Apa definisi , karakteristik dan syarat obat tradisional dan perbedaan jamu, obat
tradisional terstandar, fitofarmaka?
Jamu adalah obat tradisional yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu
tersebut. Jamu disajikan secara tradisional dalam bentuk seduhan, pil, atau cairan. Umumnya,
obat tradisional ini dibuat dengan mengacu pada resep peninggalan leluhur. Jamu tidak
memerlukan pembuktian ilmiah secara uji klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris. Selain
adanya klaim khasiat yang dibuktikan secara empiris, jamu juga harus memenuhi persyaratan
keamanan dan standar mutu.
Definisi
Obat tradisional Indonesia. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa
bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari
bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, No: HK.00.05.41.1384
Tentang Kriteria Dan Tata Laksanan Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Tersntandar
dan Fitofarmaka
Syarat
Logo berupa “RANTING DAUN TERLETAK DALAM LINGKARAN”, dan ditmpatkan pada
bagian atas sebelah kiri dari wadah/pembungkus/brosur. Logo tersebut dicetak dengan
warna hijau diatas dasar putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo
Tulisan “JAMU” harus jelas dan mudah dibaca, dicetak dengan warna hitam di atas dasar
warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan tulisan “JAMU”.
Peraturan Perundang-Undangan Dibidang Obat Tradisional, Obat Herbal Tersnadar dan
Fitofarmaka
Kriteria
Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
Klaim khasiat dibuktikan berdasarakan data empiris
Memenuhi persyaratan yang telah berlaku.
Peraturan Perundang-Undangan Dibidang Obat Tradisional, Obat Herbal Tersnadar dan
Fitofarmaka
Merupakan obat tradisional yang disajikan dari hasil ekstraksi atau penyarian bahan alam, baik
tanaman obat, hewan, maupun mineral. Dalam proses pembuatannya, dibutuhkan peralatan
yang tidak sederhana dan lebih mahal dari jamu. Obat herbal terstandar umumnya ditunjang
oleh pembuktian ilmiah berupa penelitian praklinis. Penelitian ini meliputi standarisasi
kandungan senyawa berkhasiat dalam bahan penyusun, standarisasi pembuatan ekstrak yang
higienis, serta uji toksisitas akut maupun kronis.
Definisi
Sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah
dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah di standarisasi.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, No: HK.00.05.41.1384
Tentang Kriteria Dan Tata Laksanan Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal
Tersntandar dan Fitofarmaka
Syarat
Logo berupa “JARI-JARI DAUN (3 PASANG) TERLETAK DALAM LINGKARAN, dan
ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari wadah/pembungkus/brosur. Logo
tersebut dicetak dengan warna hijau diatas dasar putih atau warna lain yang menyolok
kontras dengan warna logo.
Tulisan “OBAT HERBAL TERSTANDAR” harus jelas dan mudah dibaca, dicetak dengan
warna hitam di atas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan
tulisan “OBAT HERBAL TERSTANDAR”.
Kriteria
Aman dibuktikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan
Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/pra klinik
Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk
Peraturan Perundang-Undangan Dibidang Obat Tradisional, Obat Herbal Tersnadar dan
Fitofarmaka
Contoh :
Secara ringkas kesimpulan dari penjelasan di atas beserta logonya (logo biasanya terletak di
pembungkus, wadah, etiket, atau brosur Obat Tradisional tersebut) masing-masing tabel di
bawah ini adalah sebagai berikut :
Definisi
Sediaan obat yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya, bahan bakunya terdiri dari
simplisia atau sediaan galenik yang telah memenuhi persyaratan yang berlaku.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, No: 760/Menkes/PER/IX/1992 tentang
Fitofarmaka
Syarat
Logo berupa “JARI-JARI DAUN (YANG KEMUDIAN MEMBENTUK BINTANG)
TERLETAK DALAM LINGKARAN, dan ditmpatkan pada bagian atas sebelah kiri dari
wadah/pembungkus/brosur. Logo tersebut dicetak dengan warna hijau diatas dasar
putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo.
Tulisan “FITOFARMAKA” harus jelas dan mudah dibaca, dicetak dengan warna hitam
di atas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan tulisan
“FITOFARMAKA”.
Peraturan Perundang-Undangan Dibidang Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan
Fitofarmaka
Ramuan
Standar Bahan Baku
Zat Kimia berkhasiat
Penggunaan zat kimia berkhasiat ( tunggal murni) dalam fitofarma dilarang
Bentuk Sediaan
Standar Fitofarmaka
Setiap fitofarmaka harus dapat dijamin kebenaran komposisi, keseragaman, komponen
aktif dan keamanannya baik secara kualitatif maupun kuantitatif. PAda analisis terhadap
ramuan, sebagai baku pembanding digunakan zat utama atau zat identitas lainnya.
Secara bertahap industry harus mempertajam perhatian terhadap galur fitokimia
simplisia yang digunakan.
Khasiat
Pernyataan khasiat harus menggunakan istilah medic, seperti diuretic, spasmolitik,
analgetik, antipiretik.
Dukungan Penelitian
Didukung oleh hasil pengujian, dengna protocol pengujian yang jelas dan dapat
dipertanggung jawabkan. Pengujian meliputi toksisitas, uji efek farmakologik, uji klinik,uji
kualitas dan pengujian lain yang dipersyaratkan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, No: 760/Menkes/PER/IX/1992 tentang
Fitofarmaka
Kriteria
Aman sesuai dengna persyaratan yang ditetapkan
Klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik
Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi
Memenuhi persyaratan yang telah berlaku
Peraturan Perundang-Undangan Dibidang Obat Tradisional, Obat Herbal Tersnadar dan
Fitofarmaka
Uji klinik
Adalah pengujian pada manusia, untuk mengetahui atau memastikan adanya efek
farmakologi tolerabilitas, keamanan dan manfaat klinik untuk pencegahan penyakit atau
pengobatan segala penyakit.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, No: 760/Menkes/PER/IX/1992 tentang
Fitofarmaka
Syarat ujinya
Uji pra klinik
Uji klinis
Uji klinis fase 1 : untuk melihat keamanan dan tolerasnsi yang dilakukan terhadap
sukarelawan yang sehat.
Uji klinis fase 2 : terhadap sejumlah pasien di RS untuk menggunakan keputusan
arah penggunaan dan dosis serta uji khasiat dan keamanan terhadap pasien.
Uji klinis fase 3 : terhadap pasien dalam jumlah besar.
Uji klinis fase 4 : melihat efek setelah di pasarkan
Kriteria
Harus di buat dalam bentuk ekstrak atau fraksi yang terstandar
Jaminan (quality) kualitas, dimana bahan simplisia dan produk akhir harus memenuhi
persyaratan tentang keajegan dari kandungan aktif
Jaminan safety (keamanan), dimana produk akhir harus aman atay tidak toksik pada
hewan coba yang dipersyaratkan.
Contoh
Contoh-contoh Fitofarmaka:
Nodiar (POM FF 031 500 361)
(PT. Kimia Farma)
Komposisi :
Attapulgite 300 mg
Psidii Folium ekstrak 50 mg
Curcumae domesticae Rhizoma ekstrak 7,5 mg
Sebagai anti diare
Tensigrad Agromed ( POM FF 031 300 031, POM FF 031 300 041)
(PT. Phapros)
Komposisi:
Apii Herba ekstrak 95 mg
Sebagai anti hipertensi
Lambang
Keterangan Logo berupa “RANTING Logo berupa “JARI-JARI •Logo berupa “JARI-JARI
Lambang DAUN TERLETAK DALAM DAUN (3 PASANG) DAUN (YANG KEMUDIAN
TERLETAK DALAM MEMBENTUK BINTANG)
LINGKARAN”, dan
LINGKARAN, dan TERLETAK DALAM
ditmpatkan pada bagian ditempatkan pada bagian LINGKARAN, dan
atas sebelah kiri dari atas sebelah kiri dari ditmpatkan pada bagian
wadah/pembungkus/brosur. wadah/pembungkus/brosur. atas sebelah kiri dari
Logo tersebut dicetak wadah/pembungkus/brosur.
Logo tersebut dicetak
dengan warna hijau diatas Logo tersebut dicetak
dengan warna hijau diatas dasar putih atau warna lain dengan warna hijau diatas
dasar putih atau warna lain yang menyolok kontras dasar putih atau warna lain
yang menyolok kontras dengan warna logo. yang menyolok kontras
dengan warna logo.
dengan warna logo
Tulisan “OBAT HERBAL
TERSTANDAR” harus jelas
Tulisan “JAMU” harus jelas dan mudah dibaca, dicetak •Tulisan “FITOFARMAKA”
dan mudah dibaca, dicetak dengan warna hitam di atas harus jelas dan mudah
dasar warna putih atau dibaca, dicetak dengan
dengan warna hitam di
warna lain yang menyolok warna hitam di atas dasar
atas dasar warna putih kontras dengan tulisan warna putih atau warna lain
atau warna lain yang “OBAT HERBAL yang menyolok kontras
menyolok kontras dengan TERSTANDAR”. dengan tulisan
“FITOFARMAKA”.
tulisan “JAMU”.
Definisi Jamu adalah obat tradisional Sediaan obat bahan alam Sediaan obat yang telah
yang berisi seluruh bahan yang telah dibuktikan dibuktikan keamanan dan
tanaman yang menjadi keamanan dan khasiatnya khasiatnya, bahan bakunya
penyusun jamu tersebut. secara ilmiah dengan uji terdiri dari simplisia atau
praklinik dan bahan sediaan galenik yang telah
bakunya telah di memenuhi persyaratan
standarisasi. yang berlaku.
Kriteria •Aman sesuai dengan •Aman dibuktikan sesuai Aman sesuai dengna
persyaratan yang ditetapkan dengan persyaratan yang persyaratan yang
telah ditetapkan
ditetapkan
•Klaim khasiat dibuktikan
berdasarakan data empiris •Klaim khasiat dibuktikan Klaim khasiat harus
secara ilmiah/pra klinik dibuktikan berdasarkan
•Memenuhi persyaratan yang
uji klinik
telah berlaku. •Telah dilakukan
standarisasi terhadap Telah dilakukan
bahan baku yang standarisasi terhadap
digunakan dalam produk bahan baku yang
digunakan dalam produk
jadi Memenuhi
persyaratan yang telah
berlaku
Pembuatan mengacu pada resep Ditunjang oleh pembuktian telah terstandar dgn uji
peninggalan leluhur ilmiah berupa penelitian klinis pada manusia.
praklinis. Penelitian ini
tidak memerlukan pembuktian meliputi standarisasi
ilmiah secara uji klinis, tetapi kandungan senyawa
cukup dengan bukti empiris berkhasiat dalam bahan
penyusun, standarisasi
pembuatan ekstrak yang
higienis, serta uji
toksisitas akut maupun
kronis.
Contoh 1.JAMU GEMPUR BATU 1.Diapet ® SOHO, OHT •Nodiar (POM FF 031 500
(AIR MANCUR) diare (mencret) 361) (PT. Kimia Farma)
- Sonchi fol (daun
tempuyung). 2.Fitolac ® Kimia Farma, Komposisi :
OHT laktagoga (pelancar
- Strobilanthi fol (daun Attapulgite 300 mg
ASI)
kejibeling).
- Orthosiphonis fol (daun 3.Fitogaster ® Kimia Farma, Psidii Folium ekstrak 50 mg
kumis kucing). OHT karminatif (peluruh
kentut) Curcumae domesticae
- Phyllanthi herba (herba
Rhizoma ekstrak 7,5 mg
meniran).
4.Glucogard ® Phapros,
- Imperata rad (akar OHT diabetes (kencing Sebagai anti diare
alang-alang).
manis)
•Rheumaneer (POM FF
- Pinnatae rad (akar aren).
5.Irex Max ® Bintang 032 300 351) (PT. Nyonya
2. JAMU SIRNA KARANG
Toedjoe, OHT lemah Meneer)
(CAP JAGO)
syahwat (impoten -
- Strobilanthus crispus Komposisi:
aphrodisiaka)
(kejibeling)
Curcumae domesticae
- Ortosiphon stamineus 6.Kiranti Pegal Linu ®
Rhizoma 95 mg
(kumis kusing) Orang Tua, OHT pegal linu
Komposisi:
Komposisi:
Eurycomae Radix 50 mg
Royal jelly 5 mg
2. Apa kelebihan dan kekurangan serta macam2 dari obat tradisional ?
Agar obat tradisional dapat diterima di pelayanan kesehatan formal/profesi dokter, maka
hasil data empirik harus didukung oleh bukti ilmiah adanya khasiat dan keamanan
penggunaannya pada manusia. Bukti tersebut hanya dapat diperoleh dari penelitian yang
dilakukan secara sistematik. Tahapan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka
adalah sebagai berikut.
1. Seleksi
Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihan jenis obat tradisional/obat herbal
yang akan diteliti dan dikembangkan. Jenis obat tradisional/obat herbal yang diprioritaskan
untuk diteliti dan dikembangkan adalah:
a. Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam angka
kejadiannya (berdasarkan pola penyakit)
b. Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu
c. Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu, seperti AIDS dan kanker.
Sembilan spesies tanaman yang dipilih sebagai tanaman unggulan untuk diteliti lebih
lanjut, termasuk uji klinik, adalah cabe jawa (Piper retrofractum Vahl.), temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.), kunyit (Curcuma domestica Val.), jati belanda (Guazuma
ulmifolia Lamk.), sambiloto (Andrographis paniculata Nees.), jahe (Zingiber officinale
Rosc.), mengkudu (Morinda citrifolia L.), salam (Eugenia polyantha Wight.), dan jambu biji
(Psidium guajava L.).
Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk meneliti tanaman obat yang mendadak populer
di kalangan
masyarakat. Sebagai contoh banyak penelitian belakangan ini dilakukan terhadap tanaman
Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) yang diklaim antara lain bermanfaat untuk
penderita diabetes melitus dan buah merah (Pandanus conoideus Lamk.) yang diklaim
antara lain dapat menyembuhkan kanker dan AIDS.
2. Uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farmakodinamik
Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional yang akan
dikembangkan menjadi fitofarmaka. Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in vivo
pada hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya. Bentuk sediaan
dan cara pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan rencana pemberian pada
manusia. Menurut pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional yang dikeluarkan
Direktorat Jenderal POM Departemen Kesehatan RI hewan coba yang digunakan untuk
sementara satu spesies tikus atau mencit, sedangkan WHO menganjurkan pada dua
spesies. Uji farmakodinamik pada hewan coba digunakan untuk memprediksi efek pada
manusia, sedangkan uji toksisitas dimaksudkan untuk melihat keamanannya.
Uji Toksisitas
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji toksisitas khusus
yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsinogenisitas. Uji toksisitas akut
dimaksudkan untuk menentukan LD50 (lethal dose50) yaitu dosis yang mematikan 50%
hewan coba, menilai berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik pada organ, dan cara
kematian. Uji LD50 perlu dilakukan untuk semua jenis obat yang akan diberikan pada
manusia. Untuk pemberian dosis tunggal cukup dilakukan uji toksisitas akut. Pada uji
toksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan, sedangkan pada uji
toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan atau lebih. Uji toksisitas subkronik
dan kronik bertujuan untuk mengetahui efek toksik obat tradisional pada pemberian
jangka lama. Lama pemberian sediaan obat pada uji toksisitas ditentukan berdasarkan
lama pemberian obat pada manusia (Tabel 4).
Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat tradisional
agar masuk ke tahap uji klinik. Uji toksisitas khusus dilakukan secara selektif bila:
a. Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensial menimbulkan efek khusus
seperti kanker, cacat bawaan.
b. Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuan usia subur
c. Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkait dengan penyakit tertentu
misalnya kanker.
d. Obat digunakan secara kronik
Uji Farmakodinamik
Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk meneliti efek
farmakodinamik dan menelusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat
tradisional tersebut. Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba.
Cara pemberian obat tradisional yang diuji
dan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara pemberiannya pada manusia. Hasil positif
secara in vitro dan in vivo pada hewan coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan
kemungkinan efek pada manusia
3. Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pembuatan sediaan terstandar
Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia penentuan identitas, dan menentukan
bentuk sediaan yang sesuai. Bentuk sediaan obat herbal sangat mempengaruhi efek yang
ditimbulkan. Bahan segar berbeda efeknya dibandingkan dengan bahan yang telah
dikeringkan. Proses pengolahan seperti direbus, diseduh dapat merusak zat aktif
tertentu yang bersifat termolabil. Sebagai contoh tanaman obat yang mengandung
minyak atsiri atau glikosida tidak boleh dibuat dalam bentuk decoct karena termolabil.
Demikian pula prosedur ekstraksi sangat mempengaruhi efek sediaan obat herbal yang
dihasilkan. Ekstrak yang diproduksi dengan jenis pelarut yang berbeda dapat memiliki
efek terapi yang berbeda karena zat aktif yang terlarut berbeda. Sebagai contoh daun jati
belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) memiliki tiga jenis kandungan kimia yang diduga
berperan untuk pelangsing yaitu tanin, musilago, alkaloid. Ekstraksi yang dilakukan dengan
etanol 95% hanya melarutkan alkaloid dan sedikit tanin, sedangkan ekstraksi dengan air
atau etanol 30% didapatkan ketiga kandungan kimia daun jati belanda yaitu tanin,
musilago, dan alkaloid tersari dengan baik
4. Uji klinik
Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional/obat herbal harus dibuktikan
khasiat dan keamanannya melalui uji klinik. Seperti halnya dengan obat moderen maka uji
klinik berpembanding dengan alokasi acak dan tersamar ganda (randomized double-
blind controlled clinical trial) merupakan desain uji klinik baku emas (gold standard). Uji
klinik pada manusia hanya dapat dilakukan apabila obat tradisional/obat herbal tersebut
telah terbukti aman dan berkhasiat pada uji preklinik. Pada uji klinik obat tradisional
seperti halnya dengan uji klinik obat moderen, maka prinsip etik uji klinik harus dipenuhi.
Sukarelawan harus mendapat keterangan yang jelas mengenai penelitian dan memberikan
informed-consent sebelum penelitian dilakukan. Standardisasi sediaan merupakan hal
yang penting untuk dapat menimbulkan efek yang terulangkan (reproducible). Uji klinik
dibagi empat fase yaitu:
Fase I : dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk menguji keamanan
dan tolerabilitas obat tradisional
Fase II awal : dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas,tanpa
pembanding
Fase II akhir : dilakukan pada pasien jumlah terbatas, denganpembanding
Fase III : uji klinik definitif
Fase IV : pasca pemasaran,untuk mengamati efek samping yang jarang
atau yang lambat timbulnya
Untuk obat tradisional yang sudah lama beredar luas di masyarakat dan tidak menunjukkan
efek samping yang merugikan, setelah mengalami uji preklinik dapat langsung dilakukan
uji klinik dengan pembanding. Untuk obat tradisional yang belum digunakan secara luas
harus melalui uji klinik pendahuluan (fase I dan II) guna mengetahui tolerabilitas pasien
terhadap obat tradisional tersebut.
Berbeda dengan uji klinik obat modern, dosis yang digunakan umumnya berdasarkan dosis
empiris tidak didasarkan dose-ranging study. Kesulitan yang dihadapi adalah dalam
melakukan pembandingan secara tersamar dengan plasebo atau obat standar. Obat
tradisional mungkin mempunyai rasa atau bau khusus sehingga sulit untuk dibuat
tersamar.
Saat ini belum banyak uji klinik obat tradisional yang dilakukan di Indonesia meskipun
nampaknya cenderung meningkat dalam lima tahun belakangan ini. Kurangnya uji klinik
yang dilakukan terhadap obat tradisional antara lain karena:
a. Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan uji klinik
b. Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telah terbukti berkhasiat dan
aman pada uji preklinik
c. Perlunya standardisasi bahan yang diuji
d. Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuan dosis berdasarkan dosis
empiris, selain itu kandungan kimia tanaman tergantung pada banyak faktor.
e. Kekuatiran produsen akan hasil yang negatif terutama bagi produk yang telah laku
di pasaran
Setelah melalui penilaian oleh Badan POM, dewasa ini terdapat sejumlah obat bahan alam
yang digolongkan sebagai obat herbal terstandar dan dalam jumlah lebih sedikit
digolongkan sebagai fitofarmaka.
(Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 8, Agustus 2007)