Anda di halaman 1dari 10

NAMA : INE AULIA RAMADINI (201851126)

MATA UJIAN : KIMIA MEDISINAL


DOSEN PENGAMPU : SIVA FAUZIAH M.FARM., APT
KELAS : REG SIANG
SEMESTER / SKS : 5 / 3 SKS
HARI/TANGGAL UJIAN : SELASA / 10 NOVEMBER 2020

KERJAKAN SOAL DENGAN BAIK DAN BENAR !

1. Jelaskan secara lengkap dan terstruktur terkait tahapan serta uji-uji yang
dilakukan pada proses penemuan obat baru/pencarian senyawa aktif !

Dijawab :

Pengembangan bahan obat diawali dengan sintesis atau isolasi dari berbagai sumber yaitu dari
tanaman (glikosida jantung untuk mengobati lemah jantung), jaringan hewan (heparin untuk
mencegah pembekuan darah), kultur mikroba (penisilin G sebagai antibiotik pertama), urin manusia
(choriogonadotropin) dan dengan teknik bioteknologi dihasilkan human insulin untuk menangani
penyakit diabetes. Dengan mempelajari hubungan struktur obat dan aktivitasnya maka pencarian
zat baru lebih terarah dan memunculkan ilmu baru yaitu kimia medisinal dan farmakologi
molekular. Proses penemuan obat baru merupakan langkah yang sangat panjang dan melibatkan
berbagai disiplin ilmu. Secara garis besar, penelitian dan pengembangan suatu obat dibagi menjadi
beberapa tahapan sbb:

1. Sintesis dan screening molekul.


2. Studi pada hewan percobaan.
3. Studi pada manusia yang sehat (healthy volunteers).
4. Studi pada manusia yang sakit (pasien).
5. Studi pada manusia yang sakit dengan populasi diperbesar.
6. Studi lanjutan (post marketing surveillance)

Sintesis dan screening molekul, merupakan tahap awal dari rangkaian penemuan suatu obat. Pada
tahap ini berbagai molekul atau senyawa yang berpotensi sebagai obat disintesis, dimodifikasi atau
bahkan direkayasa untuk mendapatkan senyawa atau molekul obat yang diinginkan. Oleh karena
penelitian obat biasanya ditargetkan untuk suatu daerah tertapetik yang khas, potensi relatif pada
produk saingan dan bentuk sediaan untuk manusia bisa diketahui. Serupa dengan hal tersebut, ahli
kimia medisinal mungkin mendalami kelemahan molekul tersebut sebagai hasil usaha untuk
mensintesis senyawa tersebut. Setelah disintesis, suatu senyawa melalui proses screening, yang
melibatkan pengujian awal obat pada sejumlah kecil hewan dari jenis yang berbeda (biasanya 3
jenis hewan) ditambah uji mikrobiologi untuk menemukan adanya efek senyawa kimia yang
menguntungkan. Meskipun ada faktor lucky (kebetulan) dalam upaya ini, umumnya pendekatannya
cukup terkontrol berdasarkan struktur senyawa yang telah diketahui. Pada tahap ini sering kali
dilakukan pengujian yang melibatkan teratogenitas, mutagenesis dan karsinogenitas, di samping
pemeriksaan LD50, toksisitas akut dan kronik. Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon
obat. Dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan
toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat
pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya dipandang perlu menguji
pada hewan utuh. Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci,
marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata. Hewan-hewan ini sangat berjasa
bagi pengembangan obat. Karena hanya dengan menggunakan hewan utuh dapat diketahui apakah
obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan atau tidak. Setelah diperoleh bahan calon
obat, maka selanjutnya calon obat tersebut akan melalui serangkaian uji yang memakan waktu yang
panjang dan biaya yang tidak sedikit sebelum diresmikan sebagai obat oleh Badan pemberi izin.
Biaya yang diperlukan dari mulai isolasi atau sintesis senyawa kimia sampai diperoleh obat baru
lebih kurang US$ 500 juta per obat. Uji yang harus ditempuh oleh calon obat adalah uji praklinik
dan uji klinik. Yaitu :

- Uji praklinik
Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini diperoleh informasi tentang
efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada mulanya yang
dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi
atau organ terisolasi, selanjutnya dipandang perlu menguji pada hewan utuh. Hewan yang baku
digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa
uji menggunakan primata, hewan-hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan obat. Hanya dengan
menggunakan hewan utuh dapat diketahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis
pengobatan atau aman. Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi :
• Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis
• Kerusakan genetik (genotoksisitas, mutagenisitas)
• Pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas)
• Kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas)

Selain toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat farmakokinetik obat meliputi absorpsi,
distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan
apakah dapat diteruskan dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli
teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang
akan diuji pada manusia. Di samping uji pada hewan, untuk mengurangi penggunaan hewan
percobaan telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk menentukan khasiat obat contohnya
uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan
mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan uji khasiat pada hewan
tetapi belum semua uji dapat dilakukan secara in vitro. Uji toksisitas sampai saat ini masih tetap
dilakukan pada hewan percobaan, belum ada metode lain yang menjamin hasil yang
menggambarkan toksisitas pada manusia, untuk masa yang akan datang perlu dikembangkan uji
toksisitas secara in vitro. Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada
hewan percobaan maka selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik). Uji pada manusia harus diteliti
dulu kelayakannya oleh komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki.
- Uji klinik
Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu :
a. Fase I , calon obat diuji pada sukarelawan sehat untuk mengetahui apakah sifat yang diamati
hewan percobaan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan dosis dengan
efek yang ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat pada manusia.

b. Fase II, calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efikasi pada penyakit yang diobati. Yang
diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang potensial dengan efek samping rendah atau
tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan
obat.

c. Fase III melibatkan kelompok besar pasien, di sini obat baru dibandingkan efek dan
keamanannya terhadap obat pembanding yang sudah diketahui. Selama uji klinik banyak
senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat digunakan. Akhirnya obat baru hanya lolos 1 dari
lebih kurang 10.000 senyawa yang disintesis karena risikonya lebih besar dari manfaatnya atau
kemanfaatannya lebih kecil dari obat yang sudah ada. Keputusan untuk mengakui obat baru
dilakukan oleh badan pengatur nasional, di Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan,
di Amerika Serikat oleh FDA (Food and Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada,
di Inggris oleh MHRA (Medicine and Healthcare Product Regulatory Agency), di negara
Eropah lain oleh EMEA ( European Agency for the Evaluation of Medicinal Product) dan di
Australia oleh TGA (Therapeutics Good Administration). Untuk dapat dinilai oleh badan
tersebut, industri pengusul harus menyerahkan data dokumen uji praklinik dan klinik yang
sesuai dengan indikasi yang diajukan, efikasi dan keamanannya harus sudah ditentukan dari
bentuk produknya (tablet, kapsul dll.) yang telah memenuhi persyaratan produk melalui kontrol
kualitas. Pengembangan obat tidak terbatas pada pembuatan produk dengan zat baru, tetapi
dapat juga dengan memodifikasi bentuk sediaan obat yang sudah ada atau meneliti indikasi
baru sebagai tambahan dari indikasi yang sudah ada. Baik bentuk sediaan baru maupun
tambahan indikasi atau perubahan dosis dalam sediaan harus didaftarkan ke Badan POM dan
dinilai oleh Komisi Nasional Penilai Obat Jadi. Pengembangan ilmu teknologi farmasi dan
biofarmasi melahirkan new drug delivery system terutama bentuk sediaan seperti tablet lepas
lambat, sediaan liposom, tablet salut enterik, mikroenkapsulasi dll. Kemajuan dalam teknik
rekombinasi DNA, kultur sel dan kultur jaringan telah memicu kemajuan dalam produksi bahan
baku obat seperti produksi insulin dll. Setelah calon obat dapat dibuktikan berkhasiat sekurang-
kurangnya sama dengan obat yang sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi si pemakai
maka obat baru diizinkan untuk diproduksi oleh industri sebagai legal drug dan dipasarkan
dengan nama dagang tertentu serta dapat diresepkan oleh dokter.
d. Fase IV, setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran (post marketing
surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai usia dan ras, studi ini
dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai terapeutik dan pengalaman jangka
panjang dalam menggunakan obat. Setelah hasil studi fase IV dievaluasi masih memungkinkan
obat ditarik dari perdagangan jika membahayakan sebagai contoh cerivastatin suatu obat
antihiperkolesterolemia yang dapat merusak ginjal, Entero-vioform (kliokuinol) suatu obat
antidisentri amuba yang pada orang Jepang menyebabkan kelumpuhan pada otot mata (SMON
disease), fenil propanol amin yang sering terdapat pada obat flu harus diturunkan dosisnya dari
25 mg menjadi tidak lebih dari 15 mg karena dapat meningkatkan tekanan darah dan kontraksi
jantung yang membahayakan pada pasien yang sebelumnya sudah mengidap penyakit jantung
atau tekanan darah tinggi , talidomid dinyatakan tidak aman untuk wanita hamil karena dapat
menyebabkan kecacatan pada janin, troglitazon suatu obat antidiabetes di Amerika Serikat
ditarik karena merusak hati .

2. Tentukan nama obat, respon biologis dan hubungan antara gugus fungsional-
aktivitas biologis di bawah ini:

Dijawab :

a. Sulfat

Sulfat (IUPAC bahasa Inggris: sulfate atau sulphate) adalah anion poliatomik dengan
rumus empiris SO42-. Garam, turunan asam, sulfat peroksida banyak digunakan dalam
industri. Sulfat digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari. Sulfat dapat juga
digunakan untuk menyebut garam dari asam sulfat dan beberapa senyawa lain yang
terbuat asam tersebut. Sulfat merupakan sejenis anion poliatom dengan rumus empiris
SO42- dengan massa molekul 96.06 satuan massa atom; ia terdiri dari atom pusat sulfur
dikelilingi oleh empat atom oksigen dalam susunan tetrahidron. sulfat bermuatan cas
dua negatif dan merupakan basa konjugat ion hidrogen sulfat (bisulfat), HSO4-, yaitu
bes konjugat asam sulfat, H2SO4. Terdapat sulfat organik seperti dimetil sulfat yang
merupakan senyawa kovalen dengan rumus (CH3O)2SO2, dan merupakan ester asam
sulfat. Konjugasi dengan sulfat lebih sedikitterjadi dibanding konjugasi dengan
glukoronat (glukoronidasi), hal ini disebabkan karena keterbatasan jumlah sulfat
inorganik dalam mamalia dan jumlah gugus fungsional (fenol, alkohol, arilamin, N-
hidroksi) yang mengalami reaksi konjugasi dengan sulfat lebih sedikit. Ada tiga enzim
sebagai katalis dalam reaksi konjugasi sulfat. Sulfat inorganik diaktifkan oleh ATP-
sulfurilase (sulfat adenililtransferase) yangmengkatalisis reaksi dengan ATP untuk
menghasilkan adenosin 5’-fosfo-sulfat(APS)yang akan mengalami fosforilasi dengan
katalisAPS fosfokinase (adenililsulfat kinase) yang mengkatalisis reaksi sehingga
menghasilkan 3’-fosfoadenosin 5’-fosfosulfat (PAPS) yang merupakan koenzim
untukdigunakan dalam sulfatasi. Molekul akseptor (RXH) mengalami reaksi sulfatasi
dengan dikatalisis oleh sulfotransferase menjadi konjugat sulfat dan melepaskan 3’-
fosfoadenosin 5’-fosfat (PAP).Ada berbagai macam enzim sulfotransferase yang
terdapat pada hati dan jaringan yang lainnya. Substrat utama utama untuk enzim ini
adalah adalah senyawa fenol, tetapi alkohol alifatis, amina, dan thiol (meskipun kurang
reaktif). Seringkali glukoronidasi dan sulfatasi terjadi pada substrat yang sama tetapi
Km untuk sulfatasi biasanya lebih kecil sehingga sulfatasi lebih sering terjadi (lebih
dominan).Perbedaan ikatan dengan substrat dimana sulfotransferase merupakan enzim
sitoplasmik (soluble) dan glukoronosiltransferase merupakan enzim mikrosomal
(membran). Bronkodilator albuterol dimetabolismekan menjadi senyawaan sulfat ester.
b. Spironolakton

Spironolakton ditandai dengan aktivitas antimineral kortikoid yang tinggi, aktivitas


antiandrogenik sedang, dan penghambatan steroidogenesis yang lemah, di antara aktivitas
lain yang lebih kecil. Spironolakton adalah prodrug , jadi sebagian besar aksinya
sebenarnya dimediasi oleh berbagai metabolit aktifnya . Bentuk aktif utama dari
spironolakton adalah 7α-thiomethylspironolactone (7α-TMS) dan canrenone (7α-
desthioacetyl-δ 6 -spironolactone). Spironolakton adalah antimineralokortikoid yang manjur
. Artinya, ini adalah antagonis dari reseptor mineralokortikoid (MR), target biologis dari
mineralokortikoid seperti aldosteron dan 11-deoksikortikosteron . Dengan memblokir MR,
spironolakton menghambat efek mineralokortikoid dalam tubuh. Aktivitas
antimineralokortikoid spironolakton bertanggung jawab atas kemanjuran terapeutiknya
dalam pengobatan edema , tekanan darah tinggi , gagal jantung , hiperaldosteronisme , dan
asites akibat sirosis . Ia juga bertanggung jawab atas banyak efek samping spironolakton,
seperti frekuensi kencing , dehidrasi , hiponatremia , tekanan darah rendah , kelelahan ,
pusing , asidosis metabolik , penurunan fungsi ginjal , dan risiko hiperkalemia . Karena
aktivitas antimineralokortikoid spironolakton, kadar aldosteron meningkat secara signifikan
dengan pengobatan, mungkin mencerminkan upaya tubuh untuk mempertahankan
homeostasis . Spironolakton adalah antiandrogen sedang. Artinya, ini adalah antagonis dari
reseptor androgen (AR), target biologis androgen seperti testosteron dan dihidrotestosteron
(DHT). Dengan memblokir AR, spironolakton menghambat efek androgen dalam tubuh.
Aktivitas antiandrogenik spironolakton terutama bertanggung jawab atas kemanjuran
terapeutiknya dalam pengobatan kondisi kulit dan rambut yang bergantung pada androgen
seperti jerawat , seborrhea , hirsutisme , dan pola rambut rontok dan hiperandrogenisme
pada wanita, pubertas dini pada anak laki-laki dengan testotoksikosis , dan sebagai
komponen terapi hormon feminisasi untuk wanita transgender . Ia juga terutama
bertanggung jawab atas beberapa efek sampingnya, seperti nyeri payudara , ginekomastia ,
feminisasi , dan demaskulinisasi pada pria. [114] [181] Blokade pensinyalan androgen di
payudara menghalangi kerja estrogen dalam jaringan ini. [182] Meskipun berguna sebagai
antiandrogen pada wanita, yang memiliki kadar testosteron rendah dibandingkan pria,
spironolakton digambarkan memiliki aktivitas antiandrogenik yang relatif lemah.
Spironolakton adalah penghambat steroidogenesis lemah. Artinya, ia menghambat enzim
steroidogenik , atau enzim yang terlibat dalam produksi hormon steroid . Spironolakton dan
/ atau metabolitnya telah ditemukan secara in vitro untuk menghambat secara lemah
berbagai enzim steroidogenik termasuk enzim pembelahan rantai samping kolesterol , 17α-
hidroksilase , 17,20-lyase , 5α-reduktase , 3β-hidroksisteroid dehidrogenase , 11β-
hidroksilase , 21-hidroksilase , dan aldosteron sintase (18-hidroksilase). Namun, meskipun
dosis spironolakton yang sangat tinggi dapat sangat menurunkan kadar hormon steroid pada
hewan, spironolakton telah menunjukkan efek campuran dan tidak konsisten pada kadar
hormon steroid dalam studi klinis, bahkan pada dosis klinis yang tinggi. [163]
Bagaimanapun, kadar sebagian besar hormon steroid, termasuk testosteron dan kortisol ,
biasanya tidak berubah oleh spironolakton pada manusia, yang mungkin sebagian terkait
dengan peningkatan regulasi kompensasi mereka. perpaduan. Penghambatan
steroidogenesis yang lemah dari spironolakton mungkin berkontribusi pada kemanjuran
antiandrogeniknya sampai tingkat tertentu dan dapat menjelaskan efek sampingnya dari
ketidakteraturan menstruasi pada wanita. Namun, penghambatan sintesis androgennya
mungkin tidak signifikan secara klinis. Spironolakton telah ditemukan dalam beberapa
penelitian untuk meningkatkan kadar estradiol , suatu estrogen , meskipun banyak
penelitian lain tidak menemukan perubahan kadar estradiol. Mekanisme bagaimana
spironolakton meningkatkan kadar estradiol tidak jelas, tetapi mungkin melibatkan
penghambatan inaktivasi estradiol menjadi estron dan peningkatan konversi perifer
testosteron menjadi estradiol. Patut dicatat bahwa spironolakton telah ditemukan secara in
vitro untuk bertindak sebagai penghambat lemah 17β-hidroksisteroid dehidrogenase 2 ,
enzim yang terlibat dalam konversi estradiol menjadi estron. Peningkatan kadar estradiol
dengan spironolakton mungkin terlibat dalam pemeliharaan kepadatan tulang dan efek
sampingnya seperti nyeri payudara, pembesaran payudara, dan ginekomastia pada wanita
dan pria.

c. Hidroklortiazid

Hidroklortiazid adalah meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan sejumlah air (Anderson
et al., 2002). Efek natriuresis dan kloruresis ini disebabkan oleh penghambatan mekanisme
reabsobsi natrium dan klorida pada tubulus kontortus distal pars konvulata. Hidroklortiazid
juga meningkatkan ekskresi ion K+, ion bikarbonat, Mg2+, phospor, dan iodida.,
sedangkan ekskresi Ca2+menurun (Anderson et al.,2002). Karena eksresi ion kalium
bertambah maka hal ini bisa menyebabkan hipokalemi, tetapi hal ini dapat dicegah dengan
pemberian kalium klorida atau kombinasi dengan diuretika hemat kalium Pada penderita
hipertensi, tiazid menurunkan tekanan darah bukan saja karena efek diuretiknya, tetapi juga
karena efek langsung terhadap arteriol sehingga terjadi vasodilatasi. Pada penderita
diabetes insipidus tiazid memiliki efek berlawanan sehingga dapat mengurangi diuresis,
tetapi mekanisme yang mendasarinya belum diketahui secara pasti.

3. Saat ini banyak bermunculan penyakit baru yang mengancam dunia, jelaskan
bagaimana pendekatan modern bekerja agar obat untuk membasmi penyakit
tersebut segera ditemukan !
Dijawab :

Sebagian besar obat baru atau produk obat ditemukan atau dikembangkan melalui satu atau
lebih dari enam pendekatan berikut:
- Identifikasi atau elusidasi target obat baru
- Desain obat baru yang rasional berdasarkan pemahaman akan mekanisme biologik, struktur
reseptor, dan struktur obat.
- Modifikasi molekul terkait secara kimiawi.
- Skrining terhadap aktivitas biologik produk-produk alamiah, kumpulan berbagai unsur
kimiawi yang telah ditemukan sebelumnya, dan kumpulan berbagai peptida, asam nukleat,
dan molekul organik lainnya.
- Bioteknologi dan kloning menggunakan gen untuk menghasilkan berbagai peptida dan
protein. Upaya untuk menemukan target dan pendekatan dalam pengembangan dan
penemuan obat baru terus dilakukan melalui berbagai penelitian dalam bidang genomik,
proteomik, asam nukleat dan farmakologi molekuler untuk terapi medikamentosa.
Peningkatan jumlah target obat pada penyakit secara signifikan hendaknya memotivasi
pembaruan dan peningkatan obat.
- Kombinasi berbagai obat yang telah dikenal untuk mendapatkan efek aditif atau sinergistik
atau reposisi obat tersebut untuk keperluan pengobatan yang baru.

4. Berikan 1 contoh obat antiadebetes dan jelaskan secara farmakokinetik jika


diadministrasikan secara oral !

Dijawab :

- Absorpsi
Bioavailabilitas absolut dari metformin hidroklorida tablet 500 mg, diberikan pada
kondisi pasien berpuasa, adalah sekitar 50% ‒ 60%. Makanan menurunkan
kecepatan absorpsi metformin. Waktu puncak plasma sediaan regular adalah 2-3
jam, sedangkan sediaan extended release adalah 4-8 jam. Konsentrasi plasma
secara stabil dapat dicapai dalam waktu 24‒48 jam, umumnya <1 µg/mL. Pada uji
klinis, pemberian metformin hidroklorida tablet, bahkan pada dosis maksimum
sekalipun, kadar plasma maksimum tidak melebihi 5 mcg/mL Pada dosis reguler,
efek maksimum metformin dapat terjadi dalam dua minggu.

- Distribusi
Ikatan metformin dengan protein plasma adalah minimal, dan dapat diabaikan.
Volume distribusi: 650 L, pada obat kerja reguler. Metformin dapat terdistribusi
masuk ke dalam eritrosit.

- Metabolism
Metformin tidak melalui efek lintas pertama di hepar.

- Eliminasi
Renal clearance berkisar 3,5 kali lebih besar daripada creatinine clearance. Pada
penggunaan tablet metformin kerja reguler, renal clearance sekitar 450‒540
mL/menit. Ekskresi metformin 90% terjadi di urin, dalam bentuk tidak berubah.
Sekitar 90% dari dosis obat yang diabsorpsi, diekskresikan ke urin dalam waktu
24 jam pertama, setelah konsumsi metformin per oral. Waktu paruh plasma sekitar
6,2 jam. Waktu paruh dalam darah adalah sekitar 17,6 jam. Hal ini berkenaan
dengan massa eritrosit yang dapat menjadi kompartemen dalam pendistribusian
obat ini.

5. Jelaskan interaksi Obat-Reseptor dan Respon Biologisnya dari obat Klorokuin !


Dijawab :

Chloroquine, atau klorokuin, merupakan suatu 4-aminoquinolin sintetik yang diformulasikan sebagai
garam fosfat untuk penggunaan oral. Farmakodinamik chloroquine dalam tubuh adalah efektif
membunuh skizon dalam darah, dengan cara merusak membrane sel parasit melalui proses oksidatif.
Selain itu, chloroquine juga memiliki efek imunomodulator dan antiinflamasi, serta dapat menghambat
replikasi beberapa virus. Akumulasi chloroquine pada limfosit dan makrofag menyebabkan obat ini
memiliki kemampuan antiinflamasi sehingga digunakan dalam terapi beberapa penyakit seperti
rheumatoid arthritis, lupus eritematosus sistemik, dan sarkoidosis yang ditandai dengan overproduksi
tumor necrosis factor α (TNFα) oleh makrofag alveolar. Chloroquine mengurangi sekresi berbagai
sitokin proinflamatori, khususnya TNFα. Chloroquine juga mengurangi ekspresi permukaan reseptor
TNFα pada human monocytic cell line dan mengurangi pensinyalan TNFα yang dimediasi reseptor.
Mekanisme kerja lain dari chloroquine adalah dengan menghambat aktivitas lisosom dan autofagi.
Chloroquine meningkatkan pH kompartemen endosomal sehingga mengganggu maturasi lisosom.
Gangguan terhadap fungsi lisosom ini dapat mengganggu fungsi limfosit dan memiliki efek
imunomodulator bahkan efek anti-inflamasi. Lisosom terlibat dalam pemrosesan antigen dan presentasi
MHC (major histocompatibility complex) kelas II sehingga secara tidak langsung membantu aktivasi
imun. Chloroquine juga mengganggu presentasi antigen melalui jalur lisosomal. Chloroquine dapat
mengurangi produksi berbagai tipe sitokin antiinflamasi, seperti IL-1, IFNα, dan TNF.Farmakokinetik
chloroquine, atau klorokuin, adalah diabsorpsi secara cepat di saluran cerna, kemudian didistribusikan
berikatan dengan protein plasma, dan dimetabolisme dalam hepar. Bioavailabilitas mencapai 78-89%,
waktu paruh eliminasi sampai 20-60 hari, sehingga obat ini diekskresikan melalui urin dalam waktu
lama.

- Absorbsi

Setelah diberikan secara oral, bioavailabilitas chloroquine mencapai 78-89%. Chloroquine


secara cepat diabsorpsi dari saluran cerna dan hanya sebagian kecil dari dosis yang akan
ditemukan di feses. Sekitar 55-60% dari obat di plasma akan berikatan dengan protein
plasma.[12,14]

- Distribusi

Chloroquine didistribusikan secara ekstensif, dengan volume distribusi 200-800 L/kg ketika
dikalkulasi dari konsentrasi plasma dan 200 L/kg ketika diestimasi dari data darah lengkap
(whole blood). Chloroquine di deposit di jaringan dalam jumlah yang cukup banyak. Pada
hewan, sekitar 200-700 kali konsentrasi plasma bisa ditemukan di hati, limpa, ginjal, dan
paru. Leukosit juga dapat mengkonsentrasikan obat. Otak dan korda spinalis mengandung
hanya 10-30 kali konsentrasi obat di plasma.[12,14]

- Metabolisme

Chloroquine mengalami degradasi di dalam tubuh. Chloroquine dimetabolisme oleh enzim


sitokrom P450 menjadi dua metabolit aktif, yaitu desetilklorokuin dan bisdesetilklorokuin.
Konsentrasi desetilklorokuin dan bisdesetilklorokuin secara berturut-turut mencapai 40%
dan 10% dari konsentrasi chloroquine. Obat dan metabolitnya dapat dideteksi di urin
berbulan-bulan setelah pemberian dosis tunggal. Chloroquine dan desetilklorokuin secara
kompetitif menghambat reaksi yang dimediasi oleh CYP2D1/6. Studi in vitro dan data
preliminari dari penelitian klinik menunjukkan bahwa CYP3A dan CYP2D6 merupakan
dua isoform utama yang terlibat dalam metabolisme chloroquine.[12,14]

- Eliminasi

Ekskresi chloroquine sangat lambat, tapi dapat meningkat dengan meningkatkan keasaman
urin. Pada sukarelawan sehat, konsentrasi chloroquine dapat dideteksi di darah dan urin
secara berturut-turut hingga 52 dan 119 hari setelah pemberian dosis tunggal 300 mg.
Setelah pemberian regimen profilaksis 300 mg/minggu selama 10 minggu, chloroquine
masih didapatkan di serum setelah 70 hari dan di urin hingga 1 tahun setelah pemberian
dosis terakhir. Proses distribusi dan redistribusi, dari berbagai kompartemen tubuh kembali
ke ruang intravaskuler, merupakan faktor yang lebih dominan dibandingkan eliminasi yang
lambat dalam mempengaruhi konsentrasi chloroquine selama berbulan-bulan setelah
pemberian.
Meskipun waktu paruhnya panjang, chloroquine memiliki klirens total yang tinggi, yaitu
sekitar 0,1 L/jam/kg dari data darah lengkap dan 0,7-1 L/jam/kg dari data plasma. Di urin,
setelah pemberian chloroquine dosis tunggal atau multipel, sekitar 50% dari dosis yang
diberikan akan ditemukan dalam bentuk chloroquine yang tidak berubah, dan sekitar 10%
ditemukan sebagai desetilklorokuin/metabolit primer. Setelah pemberian dosis tunggal,
sebanyak 50% chloroquine diekskresikan melalui ginjal. Hati dan ginjal berkontribusi
terhadap eliminasi chloroquine sehingga dosisnya harus dimodifikasi pada pasien dengan
insufisiensi ginjal atau hepar.

Pertemuan: 8 Dosen Pengampu Ka Prodi Farmasi

Tanggal:

10 November
(Siva Fauziah M.Farm., Apt)
2020

Anda mungkin juga menyukai