Anda di halaman 1dari 18

Makalah Uji Praklinik dan Klinik

(Uji Klinik Fase I)

Kelompok I

Disusun oleh :

Afia Safutri (1801276)

Eva Marlina Tangalayuk (1801283)

Fira Delvana Mursalim (1801284)

Junita Rusli (1801395)

Nuraida (1801305)

Sri Dewi (1801322)

Sri Maria Mardhana (1801323)

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI

MAKASSAR

2019
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tujuan dasar pengobatan adalah menghilangkan gejala dan juga
menyembuhkan penyakit serta jika mungkin mencegah timbulnya
penyakit. Dalam tujuan dasar ini tercakup pula ketentuan bahwa manfaat
klinik obat yang diberikan harus melebihi risiko yang mungkin terjadi
sehubungan dengan pemakaiannya. Untuk dapat menilai secara objektif
manfaat dan keamanan suatu obat diperlukan pengetahuan mengenai
metodologi uji klinik dan praklinik, yaitu suatu perangkat metodologi
ilmiah untuk menilai manfaat klinik suatu obat atau perlakuan terapetik
tertentu dengan memperhatikan faktor- faktor yang dapat memberikan
pengaruh yang tidak dikehendaki baik individual maupun populasi.
Secara umum dasar penemuan obat-obatan termasuk obat herbal
adalah melalui beberapa prosedur yang diyakini memiliki nilai kebenaran.
Cara yang paling pertama dikenal adalah berdasarkan pengalaman
empiris secara turun-temurun. Cara ini menghasilkan beberapa obat yang
dikelompokkan sebagai obat tradisional dan jamu. Penemuan obat kedua
adalah melalui prosedur yang lebih ilmiah yaitu dengan memahami
tempat kerja obat sehingga dipahami interaksi obat dengan reseptor.
Penemuan dengan cara ini biasanya dapat menjelaskan bagaimana
mekanisme efek terapi dan efek samping dari obat tersebut. Cara yang
ketiga proses penemuan obat adalah cara kebetulan dalam meneliti atau
perjalanan pemanfaatan obat tertentu. Cara ini juga cukup sering terjadi
dalam penemuan obat baru. Cara penemuan obat baru yang ke 4 adalah
melalui skrining (Jawi, I Made. 2016). Sesungguhnya ke 4 cara
penemuan obat tersebut memerlukan metode pembuktian yang dapat
dipercaya dan memiliki nilai secara ilmiah. Metode yang disepakati saat
ini dan telah ditetapkan dengan peraturan dari Badan POM adalah
metode uji praklinik dan uji klinik. Uji praklinik dan uji klinik adalah suatu
pengujian khasiat serta keamanan obat sebelum digunakan secara luas
(Mahan, 2014 ). Uji praklinik dilakukan pada hewan sedangkan uji klinik
dilakukan pada manusia. Pada dasarnya uji praklinik dan uji klinik adalah
suatu usaha untuk memastikan efektivitas, keamanan dan gambaran efek
samping yang sering timbul pada manusia akibat pemberian suatu obat
(Jawi, I Made. 2016). Dibandingkan dari kedua uji diatas, uji klinik
mempunyai kapasitas yang lebih tinggi dalam menerangkan hubungan
sebab akibat. Uji klinis pada dasarnya merupakan suatu rangkaian proses
pengembangan pengobatan baru, sering dilaksanakan untuk
membandingkan satu jenis lainnya. Pada dasarnya uji klinik memastikan
efektivitas, keamanan dan gambaran efek samping yang sering timbul
pada manusia akibat pemberian suatu obat. Menggunakan manusia sehat
atau sakit dalam eksperimen dibenarkan dalam ilmu kedokteran karena
akan bermanfaat bagi masyarakat banyak untuk memahami efek obat
tersebut sehingga dapat digunakan pada masyarakat luas dengan lebih
yakin tentang efektifitas dan keamanannya(Zunilda SB, dkk. 2003). Uji
klinik terdiri dari 4 fase(Rahmatini, 2010) yaitu uji klinik fase I, Uji klinik
fase II, uji klinik fase III dan uji klinik fase IV.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari uji praklinik dan uji klinik?
2. Bagaimana tahap-tahap (fase) dari uji klinik?
3. Bagaimana Penerapan Uji klinik fase 1 dalam proses pengobatan?
4. Bagaimana pengaplikasian uji klinis fase 1 dalam proses pengobatan?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian dari uji praklinik dan uji klinik
2. Mengetahui tahap-tahap (fase) dari uji klinik
3. Mengetahui Penerapan Uji klinik fase 1 dalam proses pengobatan
4. Mengetahui pengaplikasian uji klinis fase 1 dalam proses pengobatan
BAB II

Tinjauan Pustaka
A. Pengertian
1. Uji Praklinik
Uji praklinik, atau disebut juga studi pengembangan atau uji non-
klinik,atau uji efek farmakologik, adalah tahap penelitian yang terjadi
sebelum uji klinik atau pengujian pada manusia. Uji praklinik memiliki
satu tujuan utama yaitu mengevaluasi keamanan suatu produk yang baru.
Produk yang umum menjalani uji praklinik adalah obat-obatan, peralatan
medis, kosmetik, dan solusi terapi gen. Informasi yang diperoleh dengan
menafsirkan data dalam uji praklinik sangat bermanfaat untuk
mendeteksi serta mencegah produk berbahaya dan beracun agar tidak
merugikan lingkungan dan masyarakat.
Melalui penelitian ini, peneliti dapat mempercepat penemuan
obat dan meringkas proses pengembangan obat. Pengujian pada manusia
hanya disetujui jika produk obat tidak memiliki efek berbahaya pada
hewan coba pada uji praklinik (Mahan, 2014). Uji praklinik merupakan
persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini diperoleh informasi tentang
efek farmakologis, profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada
mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat
pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi,
selanjutnya bila dianggap perlu maka dilakukan uji pada hewan. Hewan
yang baku digunakan adalah galur tertentu seperti mencit, tikus, kelinci,
marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata.
Penelitian dengan hewan dapat diketahui apakah obat aman atau
menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan. Penelitian toksisitas
merupakan cara potensial untuk mengevaluasi: Toksisitas akut atau
kronis, kerusakan genetik (genotoksisitas, mutagenisitas), pertumbuhan
tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas) atau teratogenisitas.
Penelitian pada hewan juga dapat mempelajari sifat farmakokinetik obat
meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Semua hasil
pengamatan pada hewan menentukan apakah obat dapat diteruskan
dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli
teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat, menghasilkan
bentukbentuk sediaan obat yang akan diuji pada manusia.
Uji praklinik selain memakai hewan, telah dikembangkan pula
berbagai uji in vitro untuk menentukan khasiat obat contohnya uji
aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba
pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain
untuk menggantikan uji khasiat pada hewan (Thorat et al.,2010) tetapi
belum semua uji dapat dilakukan secara in vitro. Uji toksisitas sampai saat
ini masih tetap dilakukan pada hewan percobaan, belum ada metode lain
yang menjamin hasil yang menggambarkan toksisitas pada manusia,
untuk masa yang akan datang perlu dikembangkan uji toksisitas secara in
vitro. Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman
pada hewan percobaan maka selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik).
2. Uji Klinik
Uji klinik adalah kegiatan penelitian dengan mengikut sertakan
subjek manusia disertai adanya intervensi produk uji, untuk menemukan
atau memastikan efek klinik,f armakologik dan/atau farmakodinamik
lainnya, dan/atau mengidentifikasi setiap reaksi yang tidak diinginkan,
dan/atau mempelajari absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi
dengan tujuan untuk memastikan keamanan dan/atau efektifitas produk
yang diteliti.(BPOM, 2014). Uji klinik adalah pengujian khasiat dan
keamanan obat pada manusia yang dapat “menjamin” apakah hasil in
vitro atau hasil pada hewan coba sama dengan pada manusia (Jawi, I
Made. 2016). Uji Klinik Yaitu suatu pengujian khasiat obat baru pada
manusia, dimana sebelumnya diawali oleh pengujian pada binatang
atau pra klinik. Uji klinik Pada dasarnya uji klinik memastikan efektivitas,
keamanan dan gambaran efek samping yang sering timbul pada manusia
akibat pemberian suatu obat (Katzung, 1989).
2.1 ASAS UJI KLINIK
Semua penelitian yang melibatkan subjek manusia harus
dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang terkandung dalam
versi saat ini dari Deklarasi Helsinki. Tiga prinsip dasar etika didefinisikan
oleh revisi dari International Ethical Guidelines for Biomedical
Research Involving Human Subjects yang dikeluarkan oleh Council
for International Organizations of Medical Sciences (CIOMS). (WHO, 1995)
2.2 Uji Klinik Pra- Pemasaran
Uji Klinik Tahap Awal adalah suatu uji klinik tanpa pembanding
(Uncontrolledtrial). Tahap ini bertujuan untuk melihat adanya
kemungkinan manfaat klinik,menentukan dosis yang dapat menimbulkan
efek tersebut serta untuk Uji Klinik Tahap Lanjut merupakan uji klinik
yang definitif dengan jumlah penderita yang lebih banyak dan dilakukan
dengan persyaratan-persyaratan metodologi dan monitoring yang
ketat(exploratory trial).Uji klinik dilakukan dengan kelompok pembanding
dapat berupa placebo atau obat standar (baku) yang sudah diketahui
secara pasti. Uji klinik dapat dilakukan disalah satu pusat penelitian
(mono centre) atau di beberapa pusat penelitian (multi centre). (Menkes,
1996)
B. Tahap-tahap (Fase) Uji Klinik
1. Tahapan 1
Pada tahapan ini dilakukan penelitian laboratorium, yang disebut
juga sebagai uji pre-klinis, dikerjakan in vitro dengan menggunakan
binatang percobaan. Tujuan penelitian tahapan 1 ini adalah untuk
mengumpulakan informasi farmakologi dan toksikologi dalam rangka
untuk mempersiapkan penelitian selanjutnya yakni dengan menggunakan
manusia sebagai subjek penelitian.
2. Tahapan 2
Pada uji klinis tahapan 2, digunakan manusia sebagai subjek
penelitian. tahapan ini berdasarkan tujuannya dapat dibagi menjadi 4
fase, yaitu :
a. Fase I : bertujuan untuk meneliti keamanan serta toleransi
pengobatan, dengan mengikut sertakan 20-100 orang subjek
penelitian.
b. Fase II : bertujuan untuk menilai sistem atau dosis pengobatan
yang paling efektif , biasanya dilaksanakan dengan mengikut sertakan
sebanyak 100-200 subjek penelitaian.
c. Fase III : bertujuan untuk mengevaluasi obat atau cara
pengobatan baru dibandingkan dengan pengobatan yang telah ada
(pengobatan standar). Uji klinis yang bnyak dilakukan termasuk dalam
fase ini.
d. Fase IV : bertujuan untuk mengevaluasi obat baru yang telah
digunakan di masyarakat dalam jangka wkatu yang relative lama (5
tahun atau lebih ). Fase ini penting karna terdapat kemungkinan efek
samping obat timbul setelah leboh bnyak pemakai. Fase ini disebut
juga sebagai uji klinis pascapasar (post marketing). (Jasaputra,dkk.
2008).
C. Penerapan Uji Klinik Fase I
Fase ini merupakan pengujian suatu obat baru untuk pertama kalinya
pada manusia. Hal yang diteliti di sini ialah keamanan obat, bukan
efetifitasnya dan dilakukan pada sukarelawan sehat. Tujuan fase ini ialah
menentukan besarnya dosis tunggal yang dapat diterima, artinya yang tidak
menimbulkan efek samping serius. Dosis oral (lewat mulut) yang diberikan
pertama kali pada manusia biasanya 1/50 x dosis minimal yang
menimbulkan efek pada hewan. Tergantung dari data yang diperoleh pada
hewan, dosis berikutnya ditingkatkan sedikit-sedikit atau dengan kelipatan
dua sampai diperoleh efek farmakologik atau sampai timbul efek yang tidak
diinginkan. Untuk mencari efek toksik yang mungkin terjadi dilakukan
pemeriksaan hematologi, faal hati, urin rutin dan bila perlu pemeriksaan lain
yang lebih spesifik (Zunilda SB, dkk. 2003).
Pada fase ini diteliti juga sifat farmakodinamika dan farmakokinetikanya
pada manusia. Hasil penelitian farmakokinetika ini digunakan untuk
meningkatkan pemilihan dosis pada penelitian selanjutnya. Selain itu, hasil
ini dibandingkan dengan hasil uji pada hewan coba sehingga diketahui pada
spesies hewan mana obat tersebut mengalami proses farmakokinetika
seperti pada manusia. Bila spesies ini dapat ditemukan maka dilakukan
penelitian toksisitas jangka panjang pada hewan tersebut. Uji klinik fase I ini
dilaksanakan secara terbuka, artinya tanpa pembanding dan tidak tersamar,
pada sejumlah kecil subjek dengan pengamatan intensif oleh orang-orang
ahli dibidangnya, dan dikerjakan di tempat yang sarananya cukup lengkap.
Total jumlah subjek pada fase ini bervariasi antara 20-50 orang (Zunilda SB,
dkk. 2003).
Uji klinik fase I ini dilaksana-kan secara terbuka, artinya tanpa
pembanding dan tidak tersamar, pada sejumlah kecil subjek dengan
pengamatan intensif oleh orang-orang ahli dibidangnya, dan dikerjakan di
tempat yang sarananya cukup lengkap. Total jumlah subjek pada fase ini
bervariasi antara 20-50 orang (susanti, Nora. 2016).
Sebelum memulai uji coba fase I, sponsor harus mengajukan aplikasi
Investigasi Obat Baru ke FDA yang merinci data awal tentang obat yang
dikumpulkan dari model seluler dan penelitian pada hewan.
Uji coba Fase I dapat dibagi lebih lanjut:
1. Dosis naik tunggal (Fase Ia)
Dalam studi dosis tunggal yang menaik, kelompok kecil subjek diberi dosis
tunggal obat sementara mereka diamati dan diuji selama periode waktu
untuk memastikan keamanan. Biasanya, sejumlah kecil peserta, biasanya
tiga, dimasukkan secara berurutan dengan dosis tertentu. Jika mereka
tidak menunjukkan efek samping yang merugikan, dan data
farmakokinetik kira-kira sesuai dengan nilai-nilai aman yang diprediksi,
dosis ditingkatkan, dan kelompok subjek baru kemudian diberi dosis yang
lebih tinggi. Jika toksisitas yang tidak dapat diterima diamati pada salah
satu dari tiga partisipan, sejumlah tambahan partisipan, biasanya tiga,
diobati dengan dosis yang sama. Ini dilanjutkan sampai tingkat keamanan
farmakokinetik yang telah dihitung sebelumnya tercapai, atau efek
samping yang tidak dapat ditoleransi mulai muncul (pada titik mana obat
dikatakan telah mencapai dosis maksimum yang dapat ditoleransi (MTD)).
Jika diamati adanya toksisitas tambahan yang tidak dapat diterima, maka
peningkatan dosis dihentikan dan dosis itu, atau mungkin dosis
sebelumnya, dinyatakan sebagai dosis yang ditoleransi secara maksimal.
Desain khusus ini mengasumsikan bahwa dosis maksimal yang dapat
ditoleransi terjadi ketika sekitar sepertiga dari peserta mengalami
toksisitas yang tidak dapat diterima. Variasi desain ini ada, tetapi
sebagian besar serupa.
2. Dosis naik ganda (Fase Ib)
Beberapa studi dosis menaik menyelidiki farmakokinetik dan
farmakodinamik dari berbagai dosis obat, melihat keamanan dan
tolerabilitas. Dalam studi ini, sekelompok pasien menerima beberapa
dosis rendah obat, sementara sampel (darah, dan cairan lain)
dikumpulkan pada berbagai titik waktu dan dianalisis untuk memperoleh
informasi tentang bagaimana obat diproses dalam tubuh. Dosis
selanjutnya ditingkatkan untuk kelompok lebih lanjut, hingga tingkat yang
telah ditentukan.
3. Efek makanan
Percobaan singkat yang dirancang untuk menyelidiki perbedaan
penyerapan obat oleh tubuh, yang disebabkan oleh makan sebelum obat
diberikan. Studi-studi ini biasanya dijalankan sebagai studi crossover,
dengan sukarelawan diberi dua dosis obat yang identik saat puasa, dan
setelah diberi makan.
BAB III

PEMBAHASAN
A. Review Jurnal

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan uji klinis terbatas terhadap
jamu temulawak kapsul, jamu temulawak instan, produksi IKOT An Nuur, sebagai
antihepatotoksik dan antihaemorhoid. Adapun parameter yang digunakan
adalah nilai SGPT dan SGOT. Penelitian ini dilaksanakan dalam 3 tahap, tahap 1
(Tahun pertama), uji klinis fase I untuk jamu temulawak dalam bentuk sediaan
kapsul dan instan. Pada uji klinisfase I ini obat yang diujikan diberikan pada
manusia (sukarelawan sehat), untuk melihat efek farmakologik maupun efek
samping. Tahap 2 (Tahun kedua), uji klinis fase 2, untuk jamu temulawak dalam
bentuk sediaan kapsul dan instan, diberikan pada sukarelawan yang sudah
menunjukkan gejala klinis kurang sehat. Tujuannya untuk melihat kemungkinan
efek terapetik dari obat yang diujikan. Pada tahap ini uji klinisdilakukan secara
terbuka tanpa kontrol (uncontrolled trial). Tahap 3 (Tahun ketiga), uji klinis fase 3
untuk jamu temulawak dalam bentuk sediaan kapsul dan instan. Hasil penelitian
uji klinis tahap 1, menunjukkan bahwa jamu temulawak instant dan kapsul yang
diminum 2x sehari tidak memberikan efek samping terhadap fungsi ginjal dan
liver yang merugikan. Dari hasil penelitian ini juga dapat diketahui lebih dari 80%
responden menyatakan merasa lebih sehat setelah minum jamu temulawak baik
instant maupun kapsul. Uji klinis fase 2 menggunakan responden yang sebanyak
30 orang pria dan wanitayang menunjukkan gejala klinis kurang sehat (kadar
SGPT dan SGOT tinggi). Hasil analisis menunjukkan ada perbedaan yang signifikan
kadar SGPT dan SGOT sukarelawan sakit yang minum jamu temulawak kapsul
maupun instan pada tiga kali pengukuran. Tidak ada perbedaan pengaruh
penurunan kadar SGPT dan SGOT sukarelawan sakit antara yang minum jamu
temulawak kapsul dan instan. Uji klinis fase 3 dilakukan terhadap 104 pasien.
Hasil uji klinis fase 3 dapat diketahui jumlah pasien yang menunjukkan
ketidaknormalan pada kadar SGPT/SGOT tinggi, hematologi, serta urin
mengalami penurunan setelah satu bulan minum jamu temulawak.

METODOLOGI

A. Rancangan Penelitian
Tahap 1 (Tahun pertama, 2010) uji klinis fase satu untuk jamu temulawak
dalam bentuk sediaan kapsul dan instan. Pada uji klinis fase 1 ini untuk
pertama kalinya obat yang diujikan diberikan pada manusia (sukarelawan)
sehat, baik untuk melihat efek farmakologi maupun efek samping. Dengan
melakukan uji klinis fase 1 ini akan diperoleh informasi mengenai dosis,
frekuensi, cara dan berapa lama suatu jamu harus diberikan pada pasien agar
diperoleh efek terapetik yang optimal dengan risiko efek samping yang
sekecil-kecilnya. Informasi yang diperoleh pada uji ini diperlukan sebagai
dasar untuk melakukan uji klinis berikutnya (fase 2).
B. Subyek penelitian
Tahap 1 subyek penelitian untuk tahap 1 adalah: - Orang dewasa laki-laki dan
perempuan sehat dengan SGOT dan SGPT normal - Usia antara 20 -60th -
Subyek dibagi 2kelompok (kelompok 1, temulawak kapsul; kelompok 2,
temulawak instan) - Tiap kelompok terdiri dari subkelompok laki-laki dan
perempuan masing-masing sekitar 20 orang
Kriteria umum yang lainnya adalah usia pasien 20-70 tahun dan menyatakan
bersedia untuk mengikuti penelitian ini. Pasien datang sendiri ke Puskesmas
untuk diperiksa kesehatannya dalam tiga periode dan minum jamu temulawak
secara terus menerus selama satu bulan.

Cara dan Analisis

 Sebelum perlakuan seluruh subyek diperiksa darah dan urin rutin


 Semua subyek diberi perlakuan dengan minum jamu temulawak 2 x sehari 1
kapsul/ sachet.
 Setelah perlakuan selama dua minggu, semua subyek diperiksa darah dan
urin rutin
 Setelah perlakuan selama empat minggu, semua subyek diperiksa darah
dan urin rutin

Darah yang diperiksa: Hb, SGOT, SGPT, Leucocyt Urin yang diperiksa:urea,
kreatinin Pemeriksaan dilakukan di laboratorium klinikParahitadi
Yogyakarta

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Uji Klinis


Tahap 1 Penelitian uji klinis tahap satu untuk jamu temulawak dalam bentuk
sediaan kapsul dan instan diujikan pada manusia (sukarelawan) sehat, untuk
melihat efek farmakologik maupun efek samping. Pada penelitian ini telah
dikumpulkan sebanyak 82 sukarelawan pria dan wanita dengan rentang usia
antara 20 – 60 tahun. Namun setelah melalui tahap pemeriksaan yang
memenuhi syarat kesehatan sebanyak 53 sukarelawan. Sebanyak 53
sukarelawan tersebut selanjutnya diminta untuk meminum jamu temulawak
instan atau kapsul dua kali sehari selama satu bulan. Pemeriksaan kesehatan
terhadap sukarelawan dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada awal perlakuan,
dua minggu setelah perlakuan, dan empat minggu setelah perlakuan. Dalam
setiap kali pemeriksaan dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh dokter (dr.
Priyo sudibyo, M.kes., Sp.S) dan pemeriksaan darah dan urin. Pemeriksaan
darah meliputi kadar SGPT, SGOT, ureum darah, creatinin, cholesterol total,
dan kadar trigliserida. Pemeriksaan urin meliputi data makroskopis urin dan
mikroskopis urin. Makroskopis urin meliputi warna, kekeruhan, berat jenis,
pH, leukosit, nitrit, protein, glukosa, keton, urobilinogen, bilirubin, dan darah.
Mikroskopis urin meliputi eritrosit, leukosit, epitel, mucus, hablur/Kristal,
silinder Hyalin, silinder granula, silinder ephitel, silinder leukosit, dan silinder
eritrosit. Selain data tersebut dalam setiap kali pemeriksaan juga
diamati/diukur berat badan, nadi, tensi darah, kebiasaan buang air besar,
serta kemungkinan adanya ambeien. Dari data yang diperoleh menunjukkan
tidak adanya gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh minum jamu
temulawak instan dan kapsul. Dari data hasil wawancara terungkap juga
bahwa 80% sukarelawan merasa lebih sehat dari sebelumnya. Beberapa
diantaranya juga menunjukkan terjadi kenaikan berat badan, meskipun tidak
signifikan.
Uji statistik untuk mengetahui pengaruh penggunaan jamu temulawak
instan dan kapsul terhadap kadar SGPT dan SGOT dilakukan secara statistik
ANAVA ABC dengan hasil analisis sebagai berikut: a. Tidak ada perbedaan
pengaruh jamu temulawak instan dan kapsul terhadap kadar SGPT dan SGOT
pada sukarelawan sehat wanita dan pria b. Tidak ada perbedaan pengaruh
jamu temulawak instan dan kapsul terhadap kadar SGPT dan SGOT pada
sukarelawan sehat wanita dengan usia di atas 30 tahun dan di bawah30
tahun c. Tidak ada perbedaan pengaruh jamu temulawak instan dan kapsul
terhadap kadar SGPT dan SGOT pada sukarelawan sehat pria dengan usia di
atas 30 tahun dan di bawah30 tahun d. Tidak ada perbedaan pengaruh jamu
temulawak instan dan kapsul terhadap kadar SGPT dan SGOT sukarelawan
sehat secara keseluruhan.

KESIMPULAN
Hasil penelitian tahap 1 (tahun 2010), uji klinis fase I dilakukan terhadap
53 orang sukarelawan sehat pria dan wanita dengan variasi usia antara 20 – 60
tahun, menunjukkan hasil bahwa jamu temulawak instant dan kapsul yang
diminum 2x sehari tidak memberikan efek samping terhadap fungsi ginjal dan
liver yang merugikan. Dari hasil penelitian ini juga dapat diketahui lebih dari 80%
responden menyatakan merasa lebih sehat setelah minum jamu temulawak baik
instant maupun kapsul.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Untuk dapat menilai secara objektif manfaat dan keamanan suatu obat
diperlukan pengetahuan mengenai metodologi uji klinik dan praklinik, yaitu
suatu perangkat metodologi ilmiah untuk menilai manfaat klinik suatu obat
atau perlakuan terapetik tertentu dengan memperhatikan faktor- faktor
yang dapat memberikan pengaruh yang tidak dikehendaki baik individual
maupun populasi.
2. Uji praklinik dan uji klinik adalah suatu pengujian khasiat serta keamanan
obat sebelum digunakan secara luas. Uji praklinik dilakukan pada hewan
sedangkan uji klinik dilakukan pada manusia.
3. Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu uji klinik fase I, Uji klinik fase II, uji klinik fase
III dan uji klinik fase IV.
4. Fase I Uji klinik merupakan pengujian suatu obat baru untuk pertama kalinya
pada manusia. Hal yang diteliti di sini ialah keamanan obat, bukan
efetifitasnya dan dilakukan pada sukarelawan sehat. Tujuan fase ini ialah
menentukan besarnya dosis tunggal yang dapat diterima, artinya yang tidak
menimbulkan efek samping serius.
5. Berdasarkan jurnal penelitian “Uji Klinis Terbatas Sediaan Jamu Temulawak
Bentuk Kapsul Dan Instan Sebagai Antihepatotoksik Di Puskesmas Jetis”,
Hasil penelitian tahap 1 (tahun 2010), uji klinis fase I dilakukan terhadap 53
orang sukarelawan sehat pria dan wanita dengan variasi usia antara 20 – 60
tahun, menunjukkan hasil bahwa jamu temulawak instant dan kapsul yang
diminum 2x sehari tidak memberikan efek samping terhadap fungsi ginjal
dan liver yang merugikan.
DAFTAR PUSTAKA

BPOM. 2014.Tata Laksana Persetujuan Uji Klinik.Peraturan Kepala BPOM Nomor


9 Tahan 2014. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia

Jasaputra, Diana Krisanti (ed.) and Santosa, Slamet (ed.) (2008) Metodologi
Penelitian Biomedis. Edisi 2. Danamartha Sejahtera Utama, Bandung. ISBN
978-979-1194-09-9

Jurnal, I Made. 2016. PERAN PROSEDUR UJI PRAKLINIK DAN UJI KLINIK DALAM
PEMANFAATAN OBAT HERBAL. Farmakologi FK UNUD. Universitas
Udayana. Bali.

Mahan V L. 2014. Clinical Trial Phases. International Journal of Clinical Medicine,


5, 1374- 1383

Zunilda SB Arini Setiawati F.D. Suyana, Pengantar Farmakologi. Dalam


Farmakologi dan Terapi, FKUI; 2003. h.1-23.

Rahmatini.2010. Evaluasi Khasiat dan Keamanan Obat (Uji Klinik), Majalah


Kedokteran Andalas No.1. Vol.34 hal 31-38

Susanti, Nora. 2016. SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016-Farmasi.


Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Guru Dan
Tenaga Kependidikan. Jakarta.

Thorat S B, Banarjee S K, Gaikwad D D, Jadhav S L, Thorat R M. 2010. Clinical


Trial: A Review. International Journal of Pharmaceutical Sciences Review
and Research, Volume 1, Issue 2, p 101-106.

WHO. 1995.Guidelines for good clinical practice (GCP) for trials on


pharmaceutical products. WHO Technical Report Series, No.
850, 1995, Annex 3. World HealthOrganization.

Anda mungkin juga menyukai